Sebuah Pertanyaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"...Apakah ada pertanyaan?"

Setelah menanyakan hal itu, wajah tanpa ekspresi Shangfei, sepupuku, menatap kami bergantian. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

"Tidak ada, Tuan Shangfei," jawab Si Bayi Besar kalem.

Aku hanya bisa terperangah mendengarnya.


***ooo000ooo***


Hari keduapuluh dua, bulan sebelas.


Aku bersyukur insiden pie apel tempo hari selesai dengan mulus berkat campur tangan Alex dan—terutama, sepupuku, Shangfei.

Sepupu bodohku yang satu lagi memang tidak cermat memilih kata, tetapi apa yang dia suarakan itu bukan pendapat yang langka di kalangan anggota keluarga lain. Dikatai: Pembohong, penipu, pencuri ... Bahkan oportunis—entah apakah itu sesuatu yang jelek, sudah biasa dialami oleh Alex. Apalagi bila dia melakukan sedikit saja hal yang mencurigakan, seperti memberi angin segar pada serigala-serigala kelaparan itu untuk berlomba mengatainya.

"Apa betul kue kemarin itu kau yang ambil?" aku bertanya pada Alex, setelah memastikan tidak ada siapa-siapa di sekeliling kami.

"Kenapa memangnya?" Si Bayi Besar malah balik bertanya. Membuatku jengkel

"Karena terasa aneh. Kau ... yang biasanya sangat memperhatikan detil-detil tata karma yang tak penting, bisa sampai tidak memastikan Bibi Koki tahu kau sudah mengambil kuenya?"

Tidak ada respon. Dia malah terlihat asyik dengan kuas dan tintanya—untuk menyalin puisi dari karya sastra favorit Bibi Koki, hukuman yang harus dia jalani karena menimbulkan keributan kemarin. Tulisannya cukup bagus, bahkan lebih rapih dari tulisanku. Mengesalkan!

"Hei!" panggilku, terbawa rasa kesal yang menumpuk.

"Iya ... Iya, nanti saja, ya...?" tanggapnya acuh. "Aku masih menulis, Lanfan."

Aduh ... Kalau dia sudah menanggapiku seperti sedang menenangkan adiknya atau keponakannya, rasanya jadi ingin memberinya jitakan keras. Mungkin kulakukan seperti itu saja. Mumpung dia sedang duduk jadi aku bisa mencapai dahinya tanpa harus berjinjit atau melompat.

"Kau sudah selesai?" tegur sebuah suara datar, sedatar ekspresi wajah yang mengucapkannya.

Sepupuku, Shangfei masuk ke ruang belajar dengan gulungan kertas di tangan. Sepertinya dia juga mendapatkan hukuman yang sama dari Bibi Koki—luar biasa memang bibi satu itu sampai bisa menghukum putera Ketua Klan!

"Sedikit lagi selesai, Tuan Shangfei," jawab lelaki yang nyaris kuberi jitakan itu.

Sepupuku mengernyit mendengar jawabannya. Aku paham mengapa dia bereaksi begitu, karena aku juga merasakan hal yang sama.

"Sampai kapan kau akan berbicara seperti itu?" tanya Shangfei.

"Berbicara yang seperti apa, Tuan Shangfei?" Dia kembali balik bertanya.

"Memanggilku dengan sebutan Tuan dan bicara sangat formal, aku tidak suka mendengarnya."

"Bukankah lebih aneh kalau saya memanggil anda dengan panggilan, Tuan Wu di kompleks kediaman ini?"

Aku nyaris menyemburkan tawa. Benar juga, di tempat hamper semua orang bermarga Wu, pasti akan merepotkan bila Si Bayi Besar memanggil sepupuku dengan cara begitu.

"Maksudku," desah Shangfei, terdengar agak lelah. "Seperti caramu memanggil Lanfan ... Bukankah kalian bisa dengan santai mengobrol dan saling panggil nama? Lagipula secara teknis, kita bertiga ini punya hubungan kekerabatan... ."

"Begitu juga dengan sebagian besar bawahan yang bekerja pada keluarga ini," potong Alex. Dia menyapukan beberapa goresan terakhir lalu meletakkan kembali kuas pada tempatnya. Luwes dan rapih.

"...Jadi kau sudah tahu?" komentar Shangfei setelah kami bertiga terdiam untuk beberapa saat.

"Berkat mata kanan ini, yang kebetulan jadi pembeda posisiku dibanding dengan yang lainnya, Tuan Shangfei."

Sebagai ganti komentar, sepupuku menarik kursi untuk dirinya sendiri lalu ikut duduk di meja yang sama dengan aku dan Alex. Gulungan puisinya dia letakkan begitu saja di atas meja.

"Kalau begitu, langsung saja ... Aku membutuhkanmu, Alex Lui. Orang dengan posisi netral dengan kemampuan yang cukup. Ke depannya mungkin akan lebih banyak hal yang harus kau lakukan, seperti insiden kue manis tempo hari."

"TUNGGU SEBENTAR!" Kali ini aku yang memotong. "Jadi benar pie kemarin itu bukan kalian yang mengambil?"

Kedua lelaki itu saling berpandangan lalu seperti ada yang mengomando melihat kepadaku. Ekspresi Shangfei tidak begitu terlihat, tetapi dari pandangan matanya dia tampak heran mengapa aku baru paham. Sementara Ekspresi Si Bayi Besar lebih mengesalkan lagi, dia pasang wajah polos.

"Kau baru sadar sekarang, Lanfan?" tanya Alex masih dengan tampang polosnya.

"AKU KAN SUDAH MINTA KONFIRMASI DARI TADIII???" Kali ini aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjitaknya sekeras mungkin.

Setelahnya baru aku mendapat penjelasan. Kasus pie tempo hari sengaja dilakukan oleh pihak keluarga yang tidak suka Alex mendapatkan posisi dalam keluarga. Menuding mereka sebagai pelakunya—walaupun benar, hanya akan membuat masalah makin runyam. Pertentatangan antar berbagai kubu dalam keluarga akan semakin runcing. Karena itu Alex—tanpa sepengetahuanku, bergegas mengontak Shangfei dan mengajukan diri untuk sengaja menerima tuduhan mereka.

"Tentu saja aku tidak mau tenaga ahli yang ingin kupakai hilang karena hal sepele, bahkan sebelum aku mulai," jelas Shangfei. "Karena itu kuputuskan untuk mengambil pie-nya dan menyerahkan pada pejabat yang kebetulan datang saat itu. Untung aku sempat datang ke lokasi keributan tepat waktu."

"Saat itu beneran ada tamu yang datang?" gumamku tak percaya.

"Sengaja. Mereka mungkin memanggil pejabat itu dengan berbagai alasan saat Ayahanda sedang tidak ada di tempat, jadi harus aku yang menemui...," jelas Shangfei lagi.

"Aku yang menemukan orang yang mencuri pie ... Saat bermaksud untuk membawanya kembali pada Bibi Koki, Tuan Shangfei mengambilnya," Alex menambahkan dengan ringan.

Dua orang yang kukira jarang sekali saling berinteraksi tidak kusangka bisa bergerak kompak dalam kondisi semacam itu. Apakah karena mereka sama-sama memiliki mata rubi jadi koordinasinya jadi lebih cepat?

Ah, pemilik mata rubi yang lain juga ada, tetapi mereka tidak bisa bekerja sama dengan Shangfei sebaik itu. Mungkinkah karena pemilik mata rubi yang lain itu juga memiliki rasa persaingan pada putera Ketua Klan ini?

Kemudian aku menyadari satu hal. Alasan Shangfei menginkan Si Bayi Besar itu bekerja langsung padanya, bukan hanya sikap netralnya. Lelaki itu juga tidak punya hak untuk mengklaim posisi Ketua Klan berikutnya, jadi tidak akan ada perseteruan soal itu. Dalam arti tertentu, Alex bahkan jauh lebih tepat bekerja pada sepupuku daripada Kakak.

"Kau sudah paham, sekarang?"

Aku memang sudah paham.

"Kau sebagai pendampingnya juga berarti harus ikut bekerja langsung padaku," tambah Shangfei.

Itu aku juga sudah paham. Tidak masalah, untukku lebih baik bekerja di bawah Shangfei daripada bekerja pada paman-paman atau sepupuku yang lain.

"Karena itu, aku ingin kita bertiga mulai menetapkan cara panggil satu sama lain yang lebih luwes lagi, untuk memudahkan komunikasi ... Jadi aku ingin kalian memanggilku dengan nama saja!"

Dia masih juga belum menyerah membahas soal itu. Apa karena anak tunggal, sepupuku ini jadi mudah kesepian?

"...Apakah ada pertanyaan?"

"Tidak ada, Tuan Shangfei," jawab Si Bayi Besar kalem.

Jawaban itu sempat membuat sepupuku yang biasanya tidak berekspresi itu menyipitkan pandangan matanya pada Alex. Kukira Shangfei akan meledak kesal, tetapi kemudian aku malah melihat hal yang lebih langka lagi, putera Ketua Klan itu tersenyum geli.

Bagaimana mungkin aku tidak terperangah melihatnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro