Mengembalikan Pinjaman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari kedua puluh, bulan sebelas.



Setelah pembicaraan yang melelahkan tempo hari, aku jadi tidak berselera untuk melakukan apa-apa lagi. Walau sudah bangun, membersihkan badan dan berganti pakaian sejak tadi, berat rasanya untuk memulai hari.

Pagi ini masih dingin tetapi cuaca juga cukup cerah. Salju yang sempat bertumpuk lagi semalaman, membuat pemandangan di luar jendela terlihat manis dan segar. Beberapa bocah yang lalu lalang terlihat berusaha menahan diri untuk tidak berlari menyebrangi taman.

Mereka ingin membuat jejak sempurna di hamparan salju saat bermain sore nanti. Bahkan para pelayan dan bawahan sudah diwanti-wanti untuk tidak merusak kesenangan para bocah, mereka terpaksa harus memilih jalan memutar. Kukira tidak perlu begitu juga tidak ada orang dewasa yang mau sepatunya basah. Rembesan air dingin yang masuk hingga ke kaus kaki saat kau masih harus bekerja itu sungguh tidak menyenangkan.

Aku masih sedang mengumpulkan niat untuk menarik dagu dari topangan lenganku sendiri di atas meja, ketika melihat sesosok jangkung berlari menyeberangi taman. Setiap langkahnya menimbulkan debu salju halus dan suara gemerasak. Sementara sebelah tangannya dilambaikan begitu dia melihat ke arahku.

Ah ... Dasar bayi besar itu. Terbayang wajah-wajah kecewa para bocah melihat padang salju yang mereka idam-idamkan sudah dirusak oleh lelaki yang belasan tahun lebih tua dari mereka.

"Selamat pagi, Lanfan!" sapanya ceria dari luar jendela.

"Jangan bergerak satu mili pun dari tempatmu!" perintahku, membuatnya urung melangkah ke lantai teras.

Setelah memastikan dia tetap di tempatnya, aku terpaksa mengambil mantel dan sarung tanganku sendiri yang sedari tadi kuhamparkan di atas tempat tidur. Lalu bergegas menyusulnya, sebelum dia melakukan kebodohan yang lain lagi.

"Apa yang kau pikirkan?!" bentakku sesampainya di hadapan Si Bayi Besar. "Sepanjang pagi ini semua orang berusaha tidak merusak tumpukan salju untuk tempat bermain anak-anak, malah kau yang badannya paling bongsor di antara semua, dengan santai lewat dan meninggalkan jejak begitu saja?"

"Masih ada taman lain yang bisa mereka lalui," jawabnya santai. "Jadi tidak masalah, kan?"

Aku hanya bisa menghela napas panjang.

"Jadi, apa kegiatanmu hari ini?" tanyaku pada akhirnya. Menyerah pada kesempatan bermalas-malasan yang sepertinya tidak akan datang.

"...Menjemputmu?"

"Aku bisa lihat itu," timpalku datar. "Lainnya? Tugas dari pelatih? Pesan dari Shangfei? Permohonan dari bawahan atau pelayan? Mungkin bocah-bocah itu meminta bantuan?" kejarku bertubi-tubi.

"Tidak ada yang seperti itu," jawabnya. "Guru dan Tuan Shangfei memberiku waktu bebas untuk seharian ini."

"Lalu untuk apa kau repot-repot datang kemari?"

"Menemuimu," jawabnya dengan senyum mengembang, menyilaukan.

Aku sudah cukup kebal jadi tidak terlalu berefek tetapi bila orang lain yang melihat mungkin ada filter mawar di pandangan mata mereka.

"Apa kau ingin aku mengeringkan kaus kakimu, atau semacamnya?" tanyaku seraya melirik pada sepatu botnya yang tenggelam dalam salju.

"Kau bisa melakukan itu?" Dia balik bertanya dengan takjub. "Terus terang ujung jariku mulai terasa membeku sekarang."

"Sudah tahu bakal basah, kenapa harus potong kompas melewati salju segala, sih?"

"Maaf ... Saljunya terlihat bersih sekali. Aku belum pernah melihat yang seputih itu bertumpuk hingga setebal ini," kilahnya seraya menunjuk pada area sekitar kakinya. "Tak kusangka tebalnya bisa sampai menembus sepatu botku."

Ah ... Aku yang bodoh mengharapkan Bayi Besar di hadapanku ini berpikir dengan logika normal orang dewasa.

"Dasar ... Memangnya kau tidak pernah main salju waktu kecil dulu?" tanyaku sembari memulai mantra kombinasi yang bisa menghasilkan angin panas untuk menguapkan air di dalam kauskakinya sekaligusa menghangatkan kakinya.

"...Tidak pernah."

Anak dari negara dengan empat musim, tidak pernah bermain salju? Aku mendongak heran. Lalu melihatnya menunjukkan sorot mata yang sama dengan semalam. Aku terdiam.

"Trims, Lanfan ... Kakiku jadi hangat lagi sekarang!" ujarnya riang, seolah menyadari diamku karena mengucapkan hal yang membuat suasana jadi kurang nyaman.

"Kau sudah sarapan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Bibi Koki mengatakan menu hari ini adalah kesukaanmu, tapi kau belum datang mengambil jatah."

"Oh ... Sup kacang manis?" aku menimpali. Agak lega karena pengalihan topik itu.

"Bukan, tapi dari baunya mungkin manis juga ... Aku tidak tahu itu apa."

"Apaan, jadi kau juga belum mencicipinya?" protesku.

"Tapi kau belum sarapan, masak kutinggal sendirian? Lagipula ... Aku tidak terlalu suka makanan yang manis-manis seperti itu. Bayangkan omelan Bibi Koki kalau aku makan sendiri, minta menu yang beda, pula...!"

Aku tahu dia hanya menambah-nambahkan alasan untuk menjemputku. Aku yakin walau mengomel, Bibi Koki akan tetap memasakkan sesuatu yang tidak manis untuknya. Dia juga pasti bisa memberikan alasan yang bagus pada Bibi Koki untuk menghindari omelan. Namun terlepas dari semua itu dia tetap menyempatkan diri mendatangiku walau dengan cara yang agak konyol.

"Dasar ... terlalu baik," gumamku, nyaris tanpa suara.

"Aku hanya mengembalikan kebaikanmu saja, Lanfan... ."

Aku terperangah dengan pipi memanas. DIA MENDENGAR KATA-KATAKU???

Bukankah biasanya dia terlalu bebal untuk menyadari hal-hal sepele?

Jangan-jangan selama ini dia memang selalu mendengar dan menyadari semua omelan dan pujian yang kuucapkan sepelan mungkin, tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk membuatku tenang???

"KAU ... Jadi selama ini ... Hhh!!!"

"Ya ... Telingaku ini bukan pajangan, lho. Tapi daripada membuat suasana tidak enak, aku sering pura-pura tidak mendengar," jawabnya kalem.

"La-lalu ... Apa maksudnya dengan membalas kebaikan itu. Memang aku pernah ngapain?!" kilahku mencoba menyembunyikan rasa malu, walau—berdasarkan rasa seperti terbakar di wajahku, aku yakin warnanya sudah serupa kepiting rebus.

"Yah ... Anting ini, milik kakakmu, kan?" Dia menunjuk pada telinga kanannya yang dijepit oleh logam perak berukir. "Aku tahu statusku hanya pinjam, tetapi anting ini tidak mungkin kukembalikan—mungkin hingga akhir nyawaku nanti, jadi kuputuskan untuk mengembalikan dengan cara lain."

"K-k-kau ini bodoh atau apa???" seruku dengan terbata-bata. "Anting segel macam begitu sih bisa bikin lagi. Aku bisa usahakan satu dibuatkan khusus untukmu!"

"Ya, aku juga sudah meminta hal yang sama pada Guru dan Tuan Shangfei," timpalnya. "Sayangnya mereka bilang kasusku saat itu cukup parah... ."

Entah berapa kali dia membuatku terkejut hari ini, aku tidak menghitung. Hanya saja kali ini dalam artian sangat negatif.

"Apa maksudnya itu?" tanyaku curiga.

"Saat anting segel ini dilepas berikutnya ... Maka mata kananku sudah tidak mungkin disegel lagi," jelasnya dengan senyum. "Karena itu, tolong terima saja caraku mengembalikan kebaikanmu dengan cara lain ini, ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro