Peti Kaca

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke sembilan belas, bulan sebelas.


KEMBALIKAN RASA WAS-WASKU KEMARIN!!!

Ingin rasanya berteriak begitu pada pelatih Si Bayi Besar. Aku sudah mempersiapkan hati dan fisik untuk mendengar keputusan hasil evaluasi hasil latihannya. Bahkan sempat mencoba mengulur waktu dengan mengajak Si Bayi Besar ke berbagai tempat—tidak terlalu berhasil, lelaki itu terlalu serius pada janji yang sudah dia buat.

Apa boleh buat, setelah sarapan kami segera menemui pelatihnya. Lelaki paruh baya itu tampak merenung suram ketika kami tiba. Tanpa menoleh, dia hanya menyodorkan selembar amplop. Si Bayi Besar segera menerima amplop tersebut, dengan santun dan penuh rasa terimakasih.

Jantungku berdebar ketika melihatnya membuka amplop dengan hati-hati untuk tidak merusak segelnya. Ada selembar kartu di dalam amplop. Atas seizin pelatihnya, Si Bayi Besar membacakan isinya keras-keras. Ternyata si tua-ehm- ... maksudku, Beliau hanya mengajak kami menikmati jamuan makan malam.

Aku melongo. Kami dipanggil pagi-pagi sekali olehnya hanya karena Beliau ingin kami datang dengan mempersiapkan pakaian terbaik terlebih dahulu. Mantel bagus si Bayi Besar juga diberikan padanya dengan alasan itu.

"Restoran yang sudah kupesan itu tidak mengizinkan pengunjung datang dengan pakaian biasa," jelas Si Tua Bang-...ehm, maksudku ... Pelatihnya Si Bayi Besar.

"Rupanya begitu, baiklah ... Kami akan mohon diri untuk bersiap-siap, Guru," timpal si Bayi Besar santai. "Sampai jumpa lagi malam nanti!"

Ah, rupanya kelakuan seenaknya lelaki paruh baya itu juga disebabkan tingkah muridnya yang tidak pernah terlihat keberatan dengan itu.

Singkat cerita, malam itu pelatih Si Bayi Besar dan kami betul-betul hanya berkumpul untuk makan dan berbincang-bincang ringan. Pembicaraan sesungguhnya ditangguhkan hingga hari ini, di salah satu ruang berlatih. Aku juga diundang untuk hadir.

Setelah selama seharian kemarin dipenuhi rasa khawatir, hari ini aku mencoba untuk menyikapi undangan ini dengan lebih santai. Namun sepertinya sudah menjadi kebiasaan para lelaki di kompleks kediaman keluarga ini untuk memberikan kejutan. Berlawanan dengan nuansa serius yang berakhir dengan santai tempo hari, ketika kami tiba di ruang berlatih pelatih Si Bayi Besar menyambut kami dengan riang.

Sementara guru-murid itu saling bertukar sapa, mataku tertuju pada sosok serius lain yang sudah berdiri di belakang mereka sejak semula. Sepupuku sendiri.

"Shang?" panggilku tak kuasa menahan rasa terkejut.

Sepupuku menyempatkan diri hadir di sela-sela kesibukannya. Pertemuan ini menjadi acara yang jauh lebih serius dari yang kukira. Sepenting itukah hasil evaluasinya nanti? Apakah dia mendapatkan hasil yang gemilang atau justru malah parah tak tertolong lagi?

Berbagai pertanyaan bermunculan dalam benakku saat itu.

"Aku sudah mendapatkan hasilnya," Shang membuka pembicaraan. Dengan ekspresi datarnya itu bobot kata-kata lelaki dengan sepasang anting segel berantai di telinganya, seperti bertambah puluhan kali.

"...Bagus. Jauh lebih bagus dari yang kami perkirakan. Semua yang dibutuhkan untuk peran yang akan kuberikan padanya kelak sudah terlihat hanya dalam tempo setengah bulan ini."

Aku tak mengerti. Itu sesuatu yang bagus, bukan? Mengapa pelatih si Bayi Besar terlihat tidak begitu gembira?

"...Hasil yang terlalu bagus ini menimbulkan pertanyaan baru. Siapa sesungguhnya seorang Alex Lui yang berdiri di hadapan kami ini?"

Shang, sepupuku yang mampu menggerakkan para anak buah dan jaringan informasi dengan mudah seharusnya sudah mendapatkan informasi tentang itu.

"Sudah kami lacak, tetapi keberadaannya sebelum masa sekolah sama sekali tidak ditemukan. Seolah-olah orang yang bernama Alex Lui tidak pernah ada. Apakah nama itu betul-betul nama aslimu?"

Ketika aku menoleh kepada Si Bayi Besar untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh sepupuku itu, kulihat dia menarik seulas senyum. Sedikit berbeda dengan senyum riang atau senyum santai yang selama ini kulihat.

"Apakah ... Bermasalah bila saya menjadi bagian dari keluarga ini bukan dengan nama asli?"

Dia kembali bicara dengan kelewat formal. Aku kurang suka melihat dia bersikap terlalu santun.

"...Jadi Alex Lui bukan namamu yang sebenarnya?" tukas Shang, tajam.

"Saya menyebut diri dengan nama Alex Lui, itu benar. Namun bahwa saya juga dikenal dengan nama lain, itu juga benar."

Aku sungguh sangat membenci lelaki di sebelahku ini bila sedang bicara seperti itu. Mengingatkan aku akan orang-orang menyebalkan yang dengan licin memutar kata-kata hingga membuat keluargaku porak-poranda.

"Kemampuanmu ini ... Bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari hanya dalam waktu beberapa tahun saja," pelatihnya ikut bicara. "Lebih masuk akal bila kau mengikuti pelatihan sejak usia yang cukup dini, mungkin ... sekitar 9 hingga 13 tahun? Bukan tidak mungkin seseorang dari anggota keluarga juga melatihnya."

"Saya mulai mendapat pelatihan sejak usia 10 tahun," jawabnya kalem. Berlawanan dengan reaksiku saat mendengarnya.

Keberadaan anggota keluarga di luar negara kami tanpa tercatat mendekati mustahil. Paman memang tidak memiliki Ruby Eyes, Shang juga masih terlalu kecil 15 tahun yang lalu, tetapi masih ada Ketua Klan sebelumnya. Orang yang memiliki kemampuan yang sama dengan Shang, tidak mungkin ada anggota keluarga yang lolos dari pengawasannya.

"Sedikit terlambat dibandingkan dengan standar usia pelatihan di keluarga ini. Bukan sesuatu yang mudah, tentunya?" cetus Shang. Seperti mengabaikan hal penting yang seharusnya ditanyakan. "Apa alasanmu menjalani pelatihan itu?"

"Untuk bertahan hidup."

Sebuah jawaban singkat dan lugas.

"Seperti yang sudah anda semua ketahui, mata rubi saya hanya sebelah ... Itu saja sudah menimbulkan ketidakseimbangan energi dalam tubuh, terlebih lagi di dalam area yang membatasi magis seperti di dalam Plate. Mungkin saya bakal tewas tertelan oleh kekuatan saya sendiri bila tidak bertemu dengan instruktur saya saat itu."

Kami terdiam selama beberapa saat mendengar penjelasannya. Anak yang terlahir dengan sepasang mata rubi dalam keluarga, sebetulnya tidak terlalu langka. Hanya saja harapan hidupnya sangat rendah. Kebanyakan dari mereka keburu tewas di usia yang sangat muda. Karena itu begitu terlihat tanda-tandanya, sejak sebelum lahir segala sesuatunya harus dipersiapkan.

"...Apakah instrukturmu adalah...?"

"Benar," jawab Alex cepat. Seperti sengaja memotong omongan sepupuku.

"...Jadi kau adalah...?"

"Sayangnya bukan," lagi-lagi lelaki itu memotong. "...Tetapi saya mungkin pernah bertemu dengan orang yang anda maksud, Tuan Shangfei."

Sulit sekali membaca emosi dari wajah tanpa ekspresi sepupuku. Namun aku yakin saat mendengar perkataan Alex, terjadi pergulatan batin dalam benaknya.

"...Pertemuanmu dengannya ... Kapan itu terjadi?" Shang kembali bertanya setelah terdiam sejenak.

"Sudah sangat lama ... Kira-kira saat saya masih di awal usia belasan tahun, saat itu saya sudah tidak dalam bimbingan instruktur saya. Sehingga baru beberapa tahun terakhir ini saja saya menyadari siapa anak yang saya temui saat itu."

Ada sedikit gurat kekecewaan di mata sepupuku—mungkin tidak sembarang orang bisa melihatnya, tetapi aku yakin guratan itu ada.

" Baiklah, aku bisa paham...," ujar sepupuku kemudian. "Namun kau masih belum menjelaskan, mengapa memilih untuk datang ke mari dengan sengaja, meminta untuk bergabung dalam keluarga kami. Asal kau tahu saja, untuk mendapatkan kemegahan dan kemakmuran yang kau lihat ini ... Tidak terhitung pengorbanan dari para anggota keluarga maupun dari pihak lain yang bersinggungan... ."

"...Saya tahu."

"Lalu kenapa...?" desak sepupuku.

"Dengan kemampuan yang kau miliki, kau sudah bisa hidup dengan tenang dan mudah di negara asalmu, tak perlu repot-repot bergabung dengan kami, bukan?" tambah pelatihnya.

"Menjadi bagian dari keluarga ini mungkin seperti memesan peti mati atas nama sendiri, tetapi setidaknya selama di sini, saya bisa menjadi diri sendiri seutuhnya. Semua orang di sini tidak ada menganggap mata kanan saya sebagai penyakit terkutuk yang harus dienyahkan. Mata terkutuk ini ternyata berguna, itu saja sudah cukup."

Kata-katanya membuatku tercekat. Kakakku dipekerjakan hingga tewas karena mata rubinya, sedangkan lelaki di sebelahku ini malah dengan sukarela menyodorkan mata kanannya hanya karena dia ingin hidup sebagai penyandang mata rubi.

"Lagipula ... negara asalku itu mungkin sulit tertolong," gumam lelaki itu menambahkan.

"Sudah separah itukah, kondisi di dalam Plate?" tanya pelatihnya. Tidak kusangka lelaki paruh baya itu cukup mengikuti perkembangan kondisi negara luar.

"Pihak pemerintah sibuk bertikai sendiri. Sementara pemberontakan dari kalangan anti-Plate tinggal tunggu waktu saja. Mereka tidak mendapatkan pengetahuan yang benar, bila dibiarkan mungkin para pemberontak akan memaksa menghancurkan Plate."

Aku cukup memiliki pengetahuan tentang negara-negara lain tetapi pembicaraan ini tidak bisa kupahami.

"Ada apa dengan hancurnya Plate, bukankah itu bagus?" tanyaku.

"Lanfan, kau ingat pembicaraan kita soal jiwa-jiwa orang yang mati?" lelaki jangkung itu balik bertanya.

Melihat ku yang bungkam, dia meneruskan, "Bayangkan sebuah wadah kaca, tersegel rapat diisi bola-bola ping-pong, kemudian dicelupkan ke dalam kolam yang dalam dan penuh air ... Sekarang coba bayangkan seseorang nekad menghancurkan wadah kaca itu!"

Dalam benakku sebuah bola kaca retak, lalu bola-bola plastik mungil di dalamnya terkena semprotan air kolam yang masuk melalui celah-celah. Tekanan air merangsek masuk menghancurkan bagian kaca yang tersisa, menenggelamkan wadah kaca sementara bola-bola mungil berhamburan keluar tak terkendali.

"Seorang petinggi dari negara kami bermaksud untuk meningkatkan kembali tekanan Plate karena belakangan mulai banyak imigran berkekuatan. Yah ... Bila usulnya diterima, saat para pemberontak itu berhasil menghancurkan Plate, efeknya mungkin akan seperti wadah hampa udara yang dihancurkan di dalam kolam."

Kami membisu, mungkin baik Shang maupun pelatih lelaki itu membayangkan hal yang sama denganku, bola-bola mungil yang tercabik oleh berbagai tekanan yang diterima.

"Yah ... Tanpa adanya para pemberontak itu juga, manusia pemilik kekuatan seperti kita akan tewas seketika bila usulan meningkatkan kembali tekanan Plate disetujui konsul." Alex menambahkan seraya mengangkat bahu. "Berada dalam kungkungan Plate mungkin bisa membuat penduduknya terlindungi, tetapi Plate itu juga bisa menjadi penyebab langsung kematian mereka. Bukankah itu sama saja dengan hidup dalam peti mati raksasa?"

Aku tidak mengerti, bagaimana dia bisa mengatakan itu semua dengan ringan dan wajah yang kembali mengembangkan senyum.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro