20. Better That We Break (B)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haiiiii :)

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang sudah menjawab pertanyaan di bab sebelumnya. Yang belum berpartisipasi, ayo ikutan. Biar aku bisa jadi lebih baik lagi dan bisa terus menghibur kalian. Mau ngasih kritik? Boleh kok. Aku menunggu hehe.

Ini sebenernya sambungan dari part kemaren, karena kebanyakan jadi ku bagi dua.

Kalo ada typo, salah ejaan, dan kalimat yang rancu, aku minta tolong dikoreksi ya.

Selamat membaca :)

______________________________________________________________

Setelah sama-sama terdiam, Vanno meninggalkan Nina dan beranjak ke dapur—mengambil segelas air untuk Nina. Dia baru ingat kalau belum memberi minum pada gadis yang masih berstatus sebagai tunangannya itu. Sambil menuang air ke gelas, Vanno membuka kembali pikirannya yang tadi ia akui diselubungi kabut amarah. Dia sadar kalau terlalu memojokkan Nina.

Vanno berusaha mengingat-ingat apa saja yang sudah dikatakannya. Dan ... Ya Tuhan, rasanya Vanno ingin memukul kepalanya sendiri. Apa yang tadi dia katakan soal menyudahi hubungan mereka tidak benar-benar serius. Hanya refleks saja akibat emosi berlebihan.

Tetapi Vanno jujur saat mengatakan tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Setelah mendengar semua penjelasan Nina, Vanno malah semakin bingung. Setelah semua yang terjadi, akan jadi apa hubungan mereka sekarang? Katakanlah mereka berbaikan, lalu selanjutnya apa?

Vanno mengangkat gelas yang sudah penuh dan memilih menyudahi berbicara sendiri dengan pikirannya. Ada Nina yang ditinggalkannya di ruang depan dan masih harus dihadapinya.

"Akhtar?" panggil Vanno dengan ragu. Dipindainya seisi ruangan, namun tak nampak keberadaan Nina.

"Tunanganmu sudah pulang."

"Pulang?" Vanno meletakkan gelas di meja samping televisi lalu menghampiri Akhtar yang bersandar di dekat pintu apartemen mereka yang terbuka lebar.

"Menurutmu apa yang akan dipikirkan oleh seorang gadis saat ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan selain pergi sambil menangis?"

Jadi Nina pergi sambil menangis?

"Tapi aku cuma ngambil minum."

"Kalian itu sama-sama bodoh ternyata."

"Maksudmu?"

"Ah... sudahlah, aku malas berbicara panjang lebar dengan orang bodoh. Lebih baik kejar tunanganmu itu." Akhtar menatap sahabatnya sebentar lalu meninggalkan Vanno yang masih termenung di tengah pintu.

Vanno menyadari betul maksud ucapan Akhar yang mengatakan dirinya dan Nina bodoh. Dua orang bodoh yang saling mencintai namun tidak bisa memutuskan langkah apa yang harus diambil untuk memperbaiki hubungan mereka. Mencintai ternyata tidak cukup hanya saling memperhatikan, tapi harus memiliki tujuan dan arah yang sama. Baik Vanno maupun Nina, sekarang belum memiliki keduanya.

Vanno menutup pintu apartemen lalu mengajak kakinya melangkah menuju lift. Mencari seseorang yang diharapkannya memiliki arah dan tujuan yang sama.

*

Nina tidak tahu lagi harus melakukan apa setelah keluar dari apartemen Vanno. Ditinggalkan sendirian tanpa penjelasan sudah cukup untuk membuktikan kalau Vanno memang serius ingin menyudahi hubungan di antara keduanya.

Hanya menangis dan menangis saja yang bisa dilakukannya sekarang. Menyesali dirinya yang sudah sangat terlambat dan tidak mendapat kesempatan untuk berjuang. Cintanya dipaksa berhenti begitu saja oleh orang yang ia cinta. Padahal baru saja ia ingin memulai perjuangan cintanya.

Nina sadar kalau usahanya belum maksimal. Tetapi kenapa Vanno harus meninggalkannya seperti tadi? Membiarkannya menunggu tanpa kepastian akan hubungan mereka. Dia akan berusaha menerima kalau memang Vanno sudah tidak ingin berjuang lagi, meskipun hal itu sulit. Ditinggalkan begitu saja membuatnya merasa sangat tidak nyaman.

Nina kini duduk di depan pintu apartemennya sambil menutup wajahnya yang dipenuhi air mata dengan kedua tangan. Dia tadi ingin masuk ke apartemen namun lupa kodenya. Sudah berusaha diingatnya, namun tidak bisa juga. Sungguh kesialan yang beruntun! Dia benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik sekarang. Hanya penolakan Vanno yang memenuhi pikirannya.

"Na...."

Meski samar-samar, namun indera pendengaran Nina tetap menangkap suara itu. Suara yang terdengar berasal dari tempat yang dekat dengannya. Nina pun mengangkat wajahnya. Matanya yang masih mengeluarkan air mata bertatapan langsung dengan lelaki pemilik suara yang memanggilnya barusan. Namun tak lama kemudian Nina menunduk. Hatinya seketika sakit kala teringat kejadian di apartemen lelaki itu tadi.

"Na, i'm sorry."

Nina tidak mampu mengatakan apapun untuk membalas ucapan lelaki itu. Air matanya masih terus mengalir dan dadanya sesak. Lelaki itu kemudian berjongkok di depannya. Kedua tangan besar milik lelaki itu kini menangkup wajahnya. Membuat Nina terpaksa harus tetap menatap lelaki itu.

Jari-jemari lelaki itu mengusap matanya yang basah, berusaha menghapus jejak air matanya. Namun sepertinya tidak berhasil karena Nina masih tetap menangis.

"Jangan nangis, Na. Maafin aku."

Bukan maaf yang ingin Nina dengar dari mulut lelaki itu. Tetapi penjelasan tentang kenapa lelaki itu meninggalkannya sendirian. Penjelasan tentang bagaimana hubungan mereka ke depannya. Hanya itu saja yang ingin Nina dengar.

Saw you sitting all alone

You're fragile and you're cold, but that's all right

Life these days is getting rough

They've knocked you down and beat you up

But it's just a rollercoaster anyway

"Ya Tuhan, Na! Berhenti nangis. Aku nggak tahu harus gimana." Lelaki itu kini terlihat frustrasi. Saat tadi dia turun ke lantai 15 dan keluar dari lift, di sebelah kiri, dia melihat seorang gadis yang duduk di depan pintu. Meski ragu kalau gadis itu adalah gadis yang dicarinya, tetap saja langkah kaki membawanya pada gadis itu. Hatinya mendadak sakit kala melihat gadis yang dicarinya sedang menangis seperti sekarang.

"Kenapa kamu ninggalin aku sendirian?" Setelah cukup lama saling berdiaman, Nina akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sangat mengganggunya itu.

"Ninggalin kamu?" Vanno langsung teringat dengan ucapan Akhtar di apartemen tadi. "Ya Tuhan, Na, aku nggak ninggalin kamu. Aku tadi—"

"Tapi kamu ninggalin aku."

Vanno menghela napas. "Ayo berdiri, masuk ke apartemen kamu dulu. Kita bicara di dalam aja." Vanno membantu Nina berdiri lalu menopang tubuh gadis itu. Sepertinya Nina akan jatuh kalau tidak dipegangi.

"Ini apartemen Marlo. Aku lupa kodenya."

Sebenarnya Vanno bisa saja menghubungi Karen karena ini apartemen milik suami Karen. Namun mengingat sekarang sudah tengah malam, menelpon Karen mungkin saja bisa mengganggu istirahat pasangan yang baru menikah itu.

"Ya udah, balik ke apartemenku lagi. Mau kan?"

Nina menggeleng. Dia tahu ini sudah sangat malam dan dia tidak ingin berada di apartemen milik seorang lelaki, meskipun itu tunangannya sendiri. Meski lama tinggal di luar negeri, namun Nina tahu batas-batas kesopanan.

"Terus kamu maunya apa? Mau tetep di sini sendirian? Atau udah inget kodenya?"

Pertanyaan beruntun dari Vanno semakin membuat Nina tidak bisa berpikir jernih. "Aku nggak tahu," ucap Nina akhirnya. Dia tidak tahu harus melakukan apa.

"Ya sudah, coba masukkan tanggal lahirmu dan Karen," saran Vanno. Vanno sendiri kemudian yang memasukkan angka-angka yang sudah dihafalnya itu. Namun, bukan itu kodenya karena pintu tetap tidak mau terbuka. "Coba tanggal pernikahan Karen dan Marlo."

Kali ini Nina yang memasukkan kodenya. Dan, pintu pun langsung terbuka. Nina dan Vanno sama-sama mengembuskan napas lega.

"Masuklah. Sekarang istirahat. Besok baru kita bicara lagi. Aku yang besok ke sini." Vanno membuka pintu lebar-lebar dan menyuruh Nina masuk. "Aku pulang dulu." Sebelum berbalik, ditinggalkannya jejak di dahi Nina supaya gadis itu sedikit tenang.

Nina kini terpaku di tempatnya. Dirabanya dahi yang baru saja dikecup oleh Vanno. Senyumnya mengembang, kecupan itu menerbitkan harapan di hatinya, harapan agar dirinya Vanno bisa bersama kembali. Setelah sosok Vanno menghilang, Nina menutup pintu dan masuk ke dalam apartemen.

*

Entah siapa yang bangun lebih pagi. Tetapi baik Nina maupun Vanno, semalam tak bisa tidur nyenyak. Tak heran, meski jam baru menunjukkan pukul 6 pagi, Vanno sudah berada di dalam apartemen Nina. Menepati janjinya semalam untuk menemui gadis itu.

"Udah mandi, Na?"

"Hmmm." Nina hanya menjawab dengan gumaman karena sedang sibuk membuat sarapan untuk mereka berdua. Vanno yang datang terlalu pagi memang tidak menjadi masalah. Namun membuat Nina gugup karena saat Vanno datang, Nina baru selesai mandi dan belum sempat berdandan. Jadi wajahnya saat ini benar-benar polos tanpa make-up.

"Butuh bantuan, Na?"

"Nggak, udah mau selesai kok." Kali ini Nina memutuskan bersuara. Tangannya masih sibuk menyusun roti isi telur, sosis, dan keju di atas piring. Tak lama kemudian, dibawanya piring itu ke meja makan, tempat di mana Vanno duduk dan memperhatikannya dari tadi.

"Ini pertama kali kita sarapan bareng ya, Na?"

Nina tersenyum. "Iya. Kesempatan yang luar biasa bisa bertemu denganmu sepagi ini. Makanlah, semoga sesuai dengan seleramu."

Tak ada yang berbicara selama sarapan sehingga keheningan sangat terasa di ruangan itu. Untunglah acara sarapan itu hanya memakan waktu selama sepuluh menit saja. Piring Nina dan Vanno kini sudah kosong.

"Makanannya enak. Menyenangkan banget kayaknya kalo bisa sarapan tiap hari sama kamu. Berada dalam satu ruangan yang sama. Bisa menatapmu sepuasnya tanpa dibatasi oleh apapun."

Wajah Nina langsung bersemu setelah mendengar ucapan Vanno. Dia pun tadi sempat membayangkan hal sama seperti yang Vanno katakan saat tengah membuat sarapan untuk Vanno.

"Kenapa kamu semalam meninggalkanku?" Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu dari bibir Nina. Sejak Vanno datang tadi, Nina sudah ingin bertanya, namun merasa waktunya belum tepat.

Vanno tidak tahu harus kesal atau malah tersenyum. Jujur saja dia kesal karena Nina pergi begitu saja, tetapi lucu juga jika mengingat Nina yang semalam sampai melupakan kode apartemen karena terlalu kalut. "Aku cuma ke dapur ngambil minum. Memangnya kamu nggak haus, ngomong panjang lebar selama satu jam? Tapi pas aku balik kamu udah pergi," jelasnya pada Nina.

Nina tersenyum lemah. Dia sadar kalau sudah salah karena pergi begitu saja. "Maaf."

Vanno mengangguk maklum. Toh Vanno juga lari saat melihat Nina dengan lelaki lain. Jadi skor 1-1 untuk mereka. Kali ini Vanno menghela napas dalam-dalam, hal yang akan diutarakannya kali ini cukup panjang.

"Aku sudah berpikir semalaman mengenai hubungan kita. Aku tidak bisa menyalahkanmu karena tidak bisa terbuka, dan kamu pun tidak bisa menyalahkanku karena aku lari. Karena menurutku ini terjadi karena rasa percaya di antara kita sangat kurang. Dan kalau hubungan ini mau dilanjutkan, kita berdua harus saling timbal balik. Karena dalam sebuah hubungan dibutuhkan peran dua orang, tidak hanya satu. Jadi Na, bisakah kita mulai lembar baru untuk hubungan kita? Maukah kamu berdiri di sampingku dan membiarkanku menggengam tanganmu lebih erat dari biasanya?"

Nina memutuskan berpikir dulu sebelum menjawab pertanyaan Vanno. Secara tidak langsung, Vanno memintanya berubah supaya menjadi lebih terbuka dan tidak menyimpan segalanya sendirian. Dia juga harus ikut berjuang bersama Vanno untuk mempertahankan hubungan ini. Nina bisa melakukan itu semua. Dan kesimpulan dari kalimat terakhir Vanno tadi, bisakah dia sebut sebagai lamaran? Tetapi lebih baik dikesampingkan dulu ucapan yang membuat bunga di hatinya bermekaran itu karena ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya.

"Kamu akan tetap tinggal di sini?" Inilah yang mengganjal di hati Nina. Tempat tinggal mereka yang sekarang berbeda. Jarak jadi masalah besar untuk mereka kini.

"Na, kalau aku tetap tinggal di sini, bisakah kamu mengikutiku untuk tinggal di sini juga?" Vanno sendiri juga sadar kalau hal inilah yang paling sulit untuk mereka berdua satukan. Kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka berdua mudah untuk diluruskan. Namun, masalah satu ini, memang agak sulit. Tetapi, setidaknya Vanno sudah mencoba bertanya. Apapun jawaban Nina, mungkin memang yang terbaik untuk mereka nantinya. Vanno tidak mau memaksa.

"Aku nggak tau. Papa nggak mungkin ngijinin."

Vanno diam sejenak. Jalannya menemukan kebuntuan. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Pulang ke Indonesia lalu meminta izin pada Papa Nina? Hanya hal itu yang terasa masuk akal.

Meminta izin membawa Nina begitu saja tanpa ikatan resmi rasanya tidak mungkin. Mengikat Nina buru-buru pun agak sulit dilakukan. Masih tersisa waktu enam bulan sebelum rencana pernikahan mereka digelar. Apa memang harus dimajukan?

Lagi... dan lagi. Keheningan yang tercipta di antara mereka. Tidak ada jawaban pasti. Entah masing-masing yang takut membuat keputusan, atau memang kisah mereka diharuskan tidak berujung seperti ini.

***

Mereka belom baikan mwahahaha. Jadi mau di gimanain kedua tokoh ini??

Terima kasih sudah membaca :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro