21. It's Over Now

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai :) Sebelumnya aku mau mengucapkan terima kasih untuk kalian semua yang sudah membaca ceritaku, berkomentar, dan juga memberi vote. Tanpa kalian aku bukanlah apa-apa.

Maaf kalau komentar di part sebelumnya belum dibalas. Nanti akan kuusahakan membalas semuanya hehe.

Seperti biasa, kalau menemukan typo, ejaan yang salah, kalimat yang rancu, atau malah part ini terasa gaje banget. Jangan segan-segan untuk memberitahu aku ya :)

Aku nggak tahu nulis apa, dari pagi susah banget buat nulis part ini. Maafkan kalo gaje -.-

Selamat membaca :)

___________________________________________



"Mbak Nina tinggal di apartemen ini juga?"

Nina mengangguk, "iya, di lantai lima belas." Matanya fokus menatap ke arah lelaki yang berstatus sebagai tunangannya sehingga ia terlihat malas menanggapi pertanyaan lawan bicaranya. Bahkan Nina tidak menatap lawan bicaranya saat menjawab pertanyaan tadi.

Nina tidak ingin seperti itu, namun pemandangan di depannya membuat hatinya terasa tercubit. Tunangannya kini tengah tertawa terbahak-bahak karena mendengar gurauan seorang gadis muda. Tawa lepas yang tidak pernah ditunjukkan lelaki itu saat bersamanya.

Gurauan itu memang lucu. Namun, entah kenapa dia sendiri tidak bisa tertawa layaknya orang-orang di ruangan ini. Dia merasa terasing di tengah orang-orang ini. Mereka semua bercanda ria, tetapi hanya dirinya yang diam.

Nina memperhatikan gadis yang bersama dengan Vanno dan Akhtar lekat-lekat. Gadis itu sendiri sepertinya sadar kalau diperhatikan karena Nina menangkap ada perubahan kecil pada raut wajah itu. Roman tidak nyaman tampak meski gadis itu tengah tertawa. Kelihatan sekali kalau gadis itu berusaha menutupi ketidaknyamanannya.

"Vanya itu adik Mbak Nania?" Akhirnya Nina bersuara juga. Awalnya, saat Vanno mengajaknya ke sini, dia cukup kaget karena mendapati ada Nania, dan seorang gadis bernama Vanya. Gadis yang sekarang tengah jadi pusat perhatian Vanno dan Akhtar.

"Iya."

"Mbak Nania udah lama di Frankfurt?"

"Nggak, baru beberapa hari."

"Vanya ceria banget ya, Mbak."

"Iya, Vanya anaknya memang gitu, mudah akrab sama orang lain."

"Kalian tinggal di lantai berapa?"

"Di lantai enam belas. Di lantai ini juga kok."

Nina diam. Sudah cukup basa-basinya. Apalagi setelah mendengar kalau Nania dan Vanya selantai dengan Vanno. Nyeri yang menyelinap ke hatinya kini bertambah kala melihat Vanno terus saja tertawa lepas seperti itu dengan gadis lain. Bukan dengannya. Interaksi Vanno, Vanya, dan Akhtar membuatnya iri. Nina jelas tidak akan bisa seperti Vanya yang ceria. Nina hanyalah gadis pendiam yang tidak bisa menunjukkan perasaannya.

Vanno dan Akhtar sudah berhenti tertawa karena Vanya mengatakan akan menceritakan sesuatu yang berbeda. Kini Vanya memasang wajah serius. Tadi dia menyebutkan ceritanya mengenai Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya.

"Jadi ya, Kak. Si Cacing itu bodoh banget deh, masa dia terus-terusan tinggal di tempat yang banyak kotorannya. Padahal kan bau banget. Pas ada yang ngajak pindah, dia malah nggak mau. Dia lebih suka tinggal sama kotoran yang katanya harum itu. Kan bodoh banget ya, Si Cacing itu.

Ngerti nggak, Kak, maksud cerita aku ini? Cerita ini sebenarnya mengandung pesan kalo kita itu nggak boleh terus-terusan hidup di zona nyaman. Karena apa coba? Karena hidup ini pasti ada zona nggak nyamannya. Nggak semua hal yang kita mau itu bisa sesuai sama keinginan kita."

Vanno mendengarkan cerita Vanya dengan saksama. Dia harus mengakui kalau Vanya yang lebih muda darinya ternyata bisa mengatakan hal bijak seperti tadi. Vanno merasa tersentil setelah mendengarkan cerita Vanya. Gadis itu benar, hidup memang tidak selalu nyaman. Akan ada zona tidak nyaman yang harus dilewati. Dalam sebuah hubungan pun pasti akan ada masa di mana masalah mulai mengganggu.

Vanno mengarahkan pandangannya pada Nina. Mereka bertemu pandang. Lewat tatapan itu, Vanno mencoba menerka apa yang terdapat dalam netra Nina itu. Sorot mata Nina tajam, seolah menyimpan kemarahan. Mendapati hal itu, Vanno malah tersenyum senang. Ekspresi yang ditunjukkan Nina pun sesuai dengan prediksinya. Nina seratus persen cemburu.

Vanno bangkit, menghampiri Nina yang sedari tadi duduk di depannya. Dirangkulnya bahu gadis yang wajahnya sangat tidak enak di pandang itu. Dibelainya rambut Nina dengan lembut hingga wajah cantik itu kini bersemu.

"Diem aja sih dari tadi? Nggak seneng ya aku ajak ke sini?"

"Seneng kok."

"Kalo seneng, kenapa diem aja dari tadi?"

"Nggak pa-pa."

Vanno hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Nina. Dia mengerti sekali kalau 'tidak apa-apa' yang keluar dari mulut seorang gadis berarti kebalikannya.

Vanno memang mengajak Nina ke apartemennya setelah ia pulang bekerja tadi. Dia ingin mengenalkan Nina dengan Akhtar dan Vanya. Apalagi kebetulan Nania juga ada di sini. Vanno pikir Nina pasti akan senang karena memiliki teman daripada sendirian di apartemen. Tetapi, sepertinya dia salah.

"Cemburu ya?" goda Vanno sambil tertawa.

Nina menggeleng. Enggan mengaku kalau tebakan tunangannya itu memang benar. Dia memang cemburu melihat kedekatan Vanno dan Vanya. Entah kenapa, Vanno da Vanya terlihat seperti pasangan serasi.

"Mbak Nina nggak cemburu sama aku kan? Suer deh Mbak, aku nggak ada apa-apa sama Kak Vanno," ucap Vanya cepat-cepat.

Sejak Vanno berpindah duduk, Vanya sudah tidak meneruskan ceritanya lagi. Ia hanya memperhatikan Vanno yang merangkul bahu Nina. Memperhatikan sorot mata Nina yang tidak bersahabat saat memandangnya. Hingga saat Vanno menanyakan kecemburuan Nina, Vanya cepat-cepat menimpali agar tidak terjadi salah paham.

"Tuh, Na. Bener kata Vanya, kami nggak ada apa-apa kok. Jadi kamu nggak perlu khawatir."

"Aku nggak cemburu kok." Setengah mati Nina menutupi perasaannya. Nada bicaranya pun sengaja dibuat pelan meski sebenarnya Nina ingin sekali berteriak di depan Vanno dan Vanya kalau dia amat sangat cemburu.

"Beneran nggak cemburu?"

Nina kali ini memilih mengangguk. Tidak ada gunanya menanggapi ucapan Vanno yang malah berpotensi membuat hatinya semakin kacau. Meski Vanno dan Vanya mengaku tak ada apa-apa, tetap saja dia was-was. Bukankah sebuah hubungan memang di mulai dari tidak ada apa-apa hingga akhirnya menjadi ada?

Hubungan mereka saat ini pun entah akan bagaimana akhirnya. Pembicaraan mereka kemarin tidak menghasilkan apa-apa. Dan besok, Nina akan kembali ke Indonesia. Tanpa Vanno. Rencananya Nina memang mau memberitahu Vanno, namun melihat situasi sekarang, Nina mengurungkan niatnya.

Nina melirik jam yang tergantung di dinding. "Sorry, aku pamit dulu ya. Mau beres-beres. Besok mau pulang." Nina berdiri kemudian berpamitan dengan Nania, Vanya, dan Akhtar.

Vanno pun ikut berdiri. Ditatapnya Nina lekat-lekat, meminta penjelasan mengenai ucapan yang dilontarkan Nina barusan. "Pulang ke mana, Na?"

Tanpa menjawab pertanyaan Vanno, Nina melenggang dari apartemen Akhtar dan Vanno. Nina mengayun langkahnya dengan cepat. Nina kira Vanno akan mengejarnya, namun ternyata dia salah. Harapannya terlalu tinggi. Bahkan sampai Nina masuk ke lift, sosok Vanno tak juga tampak. Sepertinya hubungan mereka memang harus dicukupkan sampai di sini saja.

"Kalian berdua bertambah bodoh sepertinya." Akhtar berdecak kesal setelah Nina melewati pintu. Vanno yang terpaku di tempatnya pun turut menambah kekesalan Akhtar. Pasangan itu memang positif sama-sama bodoh. "Kamu jadi mirip Cacing di cerita Vanya tadi."

"Kak Vanno harusnya ngejar Mbak Nina," tambah Vanya. Dia setuju dengan Akhtar kalau pasangan itu memang bodoh.

Vanno menghempaskan tubuh di kursi yang tadi diduduki Nina. Pikirannya kini penuh dengan berbagai spekulasi. Ucapan Nina tadi menyiratkan kalau tunangannya itu akan pulang ke Indonesia. Besok. Tanpa dirinya. Padahal, Vanno sudah menyusun rencana supaya bisa meminta izin pada Papa Nina agar membiarkannya mempersunting Nina lebih cepat.

"Kak Vanno cinta sama Mbak Nina?"

Vanno mengangguk pelan. Tentu saja dia mencintai Nina. Setelah semua yang sudah terjadi, kadar cintanya bahkan tidak berkurang. Hanya saja, keadaan yang sekarang membuat Vanno menimbang banyak hal. Memperkirakan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Dia tidak mau gegabah lagi. Tetapi Nina yang agaknya sekarang gegabah. Setelah susah-susah menemuinya, malah memutuskan pulang tanpa memberitahunya sama sekali.

"Kalo cinta, kejar dia. Perempuan itu butuh kepastian." Nania juga ikut mengemukakan pendapatnya. Dia memang tidak mengenal dengan baik pribadi Vanno dan Nina. Dari cerita Radit saat mereka makan siang bersama dulu itu, Nania tahu kalau Vanno dan Nina sudah bersama sangat lama. Akan sangat disayangkan jika hubungan mereka berakhir begitu saja. Dari yang dia lihat, pasangan itu hanya kurang komunikasi saja.

"Lebih baik kemasi barang-barangmu lalu pesan tiket. Urusan kantor tidak usah dipikirkan, biar aku yang mengurus. Keluar dari zona nyamanmu dan berpikirlah secara dewasa!"

Vanno melangkah menuju kamarnya. Kata-kata Akhtar tadi sebenarnya sudah ada dalam pikirannya. Hanya saja, Vanno masih mempertimbangkan apakah harus mengikuti Nina pulang ke Indonesia atau tidak. Lalu apa kata Papinya jika Vanno tiba-tiba memutuskan pulang?

Vanno harus mengakui kalau dia memang salah karena tidak bisa bersikap tegas terhadap Nina. Vanno sengaja menggantungkan hubungan mereka begitu saja. Berharap Nina akan berani mengemukakan keinginan untuk tinggal di sini bersamanya. Vanno lupa kalau Nina bukan orang yang mampu berbagi cerita dengan mudah.

Satu hal yang Vanno sesalkan di sini adalah keputusan Nina untuk pulang yang terburu-buru. Baik dia maupun Nina sepertinya berbakat melarikan diri dari masalah. Dan ujung-ujungnya, masalah mereka bertambah runyam. Tidak selesai-selesai. Kalau sudah begini, salah satu harus mengalah. Sudah diputuskan kalau dia akan menyelesaikan semua ini sampai akhir.

***

Nina mengembuskan napas lega setelah menyelesaikan seluruh pemeriksaan di bandara. Sekarang dia duduk di ruang tunggu bersama dengan para penumpang yang akan terbang ke Singapura. Nina sendiri nanti setelah dari Singapura, akan melanjutkan penerbangannya menuju Indonesia.

Nina menatap ponsel di tangannya lalu tersenyum getir. Tak ada satupun notifikasi masuk yang diharapkannya datang dari Vanno. Nina akhirnya pulang sendirian. Segala hal yang sudah dia janjikan pada Papanya tidak sesuai harapan. Vanno tidak ikut pulang bersamanya.

Miris rasanya, hubungan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun harus kandas tanpa penjelasan apapun. Terlalu banyak kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Berbagai masalah silih berganti mendatangi hubungan mereka. Dan mereka berdua, ternyata tidak cukup kuat untuk menghalau badai itu bersama. Mereka memutuskan bertahan dengan cara masing-masing.

Entah bagaimana cara Nina bertahan setelah pulang ke Indonesia tanpa Vanno. Ucapan Papanya waktu itu terbayang di pikirannya. Nina harus siap dengan konsekuensi yang ditanggung karena pulang dengan tangan hampa.

"Boleh duduk di sini?"

Nina mendongak. Sejurus kemudian matanya melebar karena tak percaya. Rasa lega seketika menggantikan sesak yang bersarang di hatinya. Dan tanpa bisa dicegah, kini air matanya mengalir begitu saja.

***

Terima kasih sudah membaca ya :)

Adakah yang kaget pas baca judulnya?

Nah, sesuai judulnya, it's over. Vanno dan Nina udahan aja berantemnya hehe.

PS: Abang Zhafran belom kelar ditulis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro