22. Secret

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Holaaaaaaaaa. Dedek cedih. Susah dapet inspirasi akhir-akhir ini. Kudu semedi kayaknya, huhuhu :(

Part ini nulisnya seminggu baru jadi. Kalo nggak nyambung atau gaje, kasih tau dedek ya. Jangan sungkan-sungkan komenin aku hohoho. Kalo ada informasi yang salah, tolong koreksi aku hihi.

Udah mau end nih, tapi bingung bikin endingnya :(

Seperti biasa, tolong sekalian koreksi typo, dll ya hihihi

Selamat membaca :)

_____________________________________



My God, amazing how we got this far

It's like we're chasing all those stars
Who's driving shiny big black cars
And everyday I see the news
All the problems that we could solve

(Secret-One Republic)



Denting yang berasal dari ponselnya membuat Vanno mengambil benda pipih yang ditaruhnya di atas nakas. Notifikasi pop-up di layar ponselnya menampakkan chat masuk yang berasal dari Vanya. Vanno membuka lock screen ponselnya supaya bisa membaca chat Vanya lebih lengkap.

Zivanya K.Z: Hai, Kak. Udah sampe di Indo ya? Euum, aku mau minta maaf soal yang waktu itu. Aku nggak bermaksud apa-apa. Kita tetep temenan kan, Kak? Cepet balik ya, Kak. Bawa Kak Nina sekalian hehe.

Vanno sudah sampai di Indonesia. Namun, keengganan membalas chat  Vanya melingkupi dirinya. Vanno meletakkan ponselnya sembarang di atas ranjang. Dia kini rebahan, matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamarnya yang bercat biru, hatinya gundah. Vanya.... Ah, gadis itu.... Berbicara perihal Vanya, mau tak mau membuat Vanno harus kembali teringat kejadian malam itu. Pengakuan Vanya yang tidak pernah disangka-sangkanya.

Vanno tengah mengemasi beberapa helai pakaiannya ke dalam koper kecil. Tekadnya sudah bulat. Dia akan ikut pulang bersama Nina. Akhtar benar, mereka harus menyelesaikan semuanya sampai tuntas. Dia dan Nina sudah melangkah sejauh ini, tinggal sedikit lagi mereka akan mencapai tujuan. Vanno hanya harus bersabar.

"Kak, boleh masuk?"

Vanno memutar kepalanya ke arah pintu yang memang tidak tertutup. Sosok Vanya berdiri di tengah pintu. "Masuk aja."

"Mau nyusulin Kak Nina ya?"

"Hmmm." Vanno masih tetap sibuk dengan kopernya. Dibiarkannya Vanya berbicara sendiri.

"Kakak cinta banget sama Kak Nina ya?"

Vanno kini sepenuhnya memusatkan perhatian pada Vanya. Gadis itu kelihatan gugup, seperti ingin mengutarakan sesuatu, namun ragu.

Kenapa memangnya."

"Eum... Kak Vanno, kayaknya aku... a-aku su-ka sama Kakak."

Vanno langsung terdiam. Perkataan Vanya barusan membuatnya kaget. Vanno mengakui kalau Vanya memang menyenangkan, bahkan Vanno sempat membandingkan keluwesan Vanya dan Nina, tapi... berpaling dari Nina tidak ada dalam pikirannya.

"Maaf ya Vanya. Aku cinta banget sama Nina. Delapan tahun lebih aku ngejar dia, dan sekarang, aku harus pertahanin dia. Kamu itu udah kayak adekku sendiri. Maaf ya Vanya."

Raut wajah Vanya yang terlihat sedih membuat Vanno merasa bersalah. Namun apa boleh buat. Sebelum rasa suka yang disebut Vanya tadi berkembang lebih jauh dan malah menyakiti Vanya, Vanno lebih suka mematikan rasa itu sendiri. Seiring waktu, Vanya pasti mengerti.

"Vanya...."

Melihat Vanya yang tidak berbicara sepatah pun membuat Vanno semakin dilanda rasa bersalah.

"Nggak apa-apa Kak. Aku ngerti. Aku keluar dulu ya. Semangat ngejar Kak Nina, ya."

Vanno cuma bisa mengangguk sembari menatap kepergian Vanya dari kamarnya.

Maaf, Vanya. Maaf, bisik batinnya berulang kali.

Tring. Notifikasi chat masuk kembali tertera di ponselnya. Lamunan Vanno tentang Vanya selesai begitu saja.

Karenina Arneta: Jadi ke rumah, kan?

Tergesa-gesa Vanno bangkit dari ranjang lalu menuju kamar mandi.

***

Suasana di ruang tamu rumah Nina tampak menegangkan bagi Vanno. Beberapa kali ia mengusap tengkuknya sembari tersenyum kikuk. Berhadapan dengan Papa dari tunangannya itu selalu saja membuat dirinya wajib merasa waspada.Karena setiap kali mereka bertemu, Papa tunangannya itu selalu bersikap dingin.

"Membawa Nina? Maksud kamu?

Papa Nina kini memelototinya. Matanya melebar, tatapan tajamnya menusuk. Sepertinya penjelasan Vanno tentang keinginannya memboyong Nina kini telah menimbulkan reaksi yang tidak bagus. Reaksi yang membuat  nyali Vanno sedikit ciut. "Begini Om... saya berniat membawa Nina tinggal di Frankfurt setelah kami menikah nanti. Selain itu juga, saya bermaksud memajukan rencana pernikahan kami menjadi tiga bulan mendatang."

"Kamu yakin mau memajukan rencana pernikahan kamu dengan Nina?"

"Yakin, Om." Suara yang mengandung ketegasan itu bergema di ruang tamu rumah Nina.

Siang ini Vanno datang untuk menghadap Papa Nina. Sesaimpainya di Jakarta kemarin, dia hanya mengantarkan Nina pulang ke rumah karena sudah terlalu lelah. Penerbangan selama enam belas jam membuat tubuhnya terasa remuk. Jadi pagi ini, setelah kondisi tubuhnya lumayan fit, Vanno memberanikan diri mengutarakan keinginannya untuk memboyong Nina ke Frankfurt selepas mereka menikah nanti.

Marco terdiam setelah mendengar semua ucapan calon menantunya. Sejak mengetahui kalau Vanno pindah bekerja ke luar negeri, dia memang sudah memikirkan hal ini baik-baik. Nina pasti akan meninggalkan rumah setelah menikah. Cepat atau lambat, putri kesayangannya akan diambil orang. Ada perasaan tidak rela, namun sudah risiko bagi setiap ayah yang memiliki anak perempuan untuk mengikhlaskan putrinya setelah menikah. Karena setelah menikah, putrinya sudah bukan tanggungannya lagi.

"Nina sudah setuju?"

"Saya dan Nina menunggu keputusan Om."

Marco menghela napas. Berat memang melepas Nina, tetapi apa boleh buat. Marco memindai wajah calon menantunya itu lekat-lekat. Terlihat jelas kalau tunangan putrinya itu cemas. Tetapi, Marco sudah berjanji tidak akan mempersulit Vanno. "Saya setuju, tapi dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Ya... syarat. Kamu tau hal apa yang membuat saya akhirnya menyetujui permintaan Nina untuk menyusulmu ke Frankfurt? Itu karena kami memiliki kesepakatan. Well, Nina beruntung karena bisa membawamu pulang bersamanya sehingga kesepakatan itu sekarang batal." Marco memang tidak akan mempersulit Vanno, dia ingin melihat usaha Vanno agar bisa mereguk bahagia dengan Nina.

Kesepakatan apa?

Vanno kini beralih melirik Nina. Gadis itu terlihat salah tingkah sehingga lebih memilih menatap lantai. Raut wajah Nina sarat dengan kekhawatiranPenasaran Vanno makin menjadi mengenai kesepakatan antara ayah dan anak itu.

"Biar Nina yang jelaskan, Pa."

Nina menegakkan kepalanya, kini memberanikan diri menatap Vanno. Terang saja Nina gugup. Risau menghuni hatinya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Tetapi biarlah. Nina tidak ingin menutupi apapun lagi. Dia ingin belajar membuka diri pada orang lain, terlebih itu tunangannya sendiri.

"Demi menyusulmu ke Frankfurt, aku menyetujui penawaran yang diajukan Papa. Jika aku tidak berhasil membawamu pulang, maka aku diharuskan memutuskan pertunangan kita. Sebaliknya, kalau aku berhasil, Papa akan menyetujui apapun permintaanku. Aku sudah berbicara dengan Papa sebenarnya mengenai keinginanku mengikutimu ke Frankfurt. Papa memang belum mengatakan setuju, tetapi aku yakin Papa tidak akan mempersulit kita."

Vanno mendengar semua penjelasan Nina dengan saksama. Dedikasi Nina dalam hubungan mereka patut diacungi jempol. Tetapi Vanno tak menampik kalau hatinya sempat dirayapi kecewa karena Nina mempertaruhkan hubungan mereka. Bagaimana jika Vanno tidak menyusul Nina ke bandara? Apa Nina benar-benar akan memutuskan pertunangan mereka? Mungkin inilah 'untung' yang disebut oleh Om Marco tadi. Untung dia tidak mengedepankan egonya dan bisa berpikir dengan baik di detik-detik terakhir.

"Jadi, apa syarat dari Om tadi?"

"Kamu tau kan kalau saya menginginkan Nina memiliki pendamping yang memiliki bakat musik? Saya sebenarnya sudah punya kandidat kalau kamu memang tidak ikut pulang ke sini dengan Nina."

"Siapa, Pa?"

Jujur saja, sampai saat ini Nina tidak tahu siapa lelaki yang diikutsertakan oleh Papanya dalam penawaran itu. Nina terlalu fokus mengejar Vanno sehingga tidak peduli dengan lelaki lain.

"Darel."

Vanno terkesiap. Nina lebih parah lagi. Dia bahkan sampai berdiri dari kursinya. Mereka sama-sama tidak menyangka kalau nama Darel akan muncul di tengah perbincangan mereka. Mendengar nama Darel, membuat Vanno kembali teringat dengan dengan kejadian di Bandung. Kejadian yang membuatnya menjadi lelaki bodoh dengan melarikan diri. Sedangkan Nina, langsung mengepalkan tangannya mengingat semua kelakuan Darel. Meski Darel tidak salah sepenuhnya, namun lelaki itu ikut andil dalam goyahnya hubungan mereka.

Marco tersenyum kecil melihat perubahan raut wajah kedua anak muda di depannya. Sedikit banyak dia sudah tahu mengenai keterlibatan Darel dalam hubungan Nina dan Vanno. Namun, Marco sudah punya rencana sendiri. Jadi Marco harus tetap bersikap tenang. "Darel juga yang akan menjadi lawan kamu nanti."

"Maksud, Om?"

"Maksud, Papa?"

Marco terkekeh. "Kalian kompak sekali." Masih dengan senyum yang tersimpul di bibirnya, Marco meneruskan tuturannya. "Mengenai syarat tadi, saya ingin Vanno bermain piano. Lagu apa saja boleh. Cari saja yang mudah."

Udara di sekitar Vanno rasanya menghilang hingga dia kesulitan bernapas setelah menangkap maksud berupa syarat yang dikemukakan calon mertuanya itu. Bermain piano? Bermain gitar yang biasanya dikuasai banyak lelaki pun Vanno tidak bisa. Apalagi piano.

"Lalu apa hubungan dengan Darel, Papa? Dari mana Papa kenal Darel?" Nina penasaran.

"Kamu lupa kalau Papa punya banyak kenalan di dunia musik, Sweetgirl? Sama seperti Vanno, Darel juga akan bermain piano. Darel sebenarnya pernah menemui Papa, dia bermaksud serius dengan kamu. Tetapi Papa belum memberikan jawaban apapun karena Papa tau kamu mencintai Vanno, Papa sendiri tidak ingin dianggap tidak adil pada Darel kalau menolak langsung, jadi Papa adakan kompetisi ini."

Resah kini menggelayuti Nina. Mengenal Darel sejak kuliah dan kebetulan berada di jurusan yang sama, membuat Nina paham jika Vanno tidak sebanding dengan Darel. "Tapi Vanno dan Darel berbeda jauh, Pa. Kemampuan mereka tidak sama. Darel menguasai banyak alat musik. Ini nggak adil."

"Well, kalau Vanno memang benar-benar mencintai kamu, dia pasti akan berusaha mencari cara agar menang," ujar Marco tenang.

Skak mat!

***

"Lagi di mana?"

"Dokter kandungan, ada apa?"

"Astaga.... Kamu hamil?"

"Istriku, bukan aku. Ada perlu apa sampai menelponku?"

Vanno terkekeh mendengar nada marah yang terdengar di seberang sana. Padahal Vanno hanya bercanda, tapi lawan bicaranya sedang tidak bisa diajak bercanda. Selalu saja kaku. "Aku butuh bantuan, tapi nanti saja."

"Ya sudah."

Vanno meletakkan ponselnya di atas nakas setelah panggilan dengan Zhafran terputus. Hanya Zhafran yang sekarang bisa dimintai tolong. Playboy itu tahu caranya bermain piano, jadi Vanno harus berguru padanya. Om Marco memberinya waktu satu bulan untuk belajar memainkan piano. Hanya satu bulan dan Nina dilarang membantunya. Vanno harus mengakui kalau saat ini dia amat gugup. Untuk pertama kalinya dia takut kalah.

***

Terima kasih sudah membaca :)

Doain sebelum lebaran udah tamat haha. Abang Zhafrannya slow update ya. Lagi sibuk jaga Kamillia yang lagi hamil soalnya hoho.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro