TIGA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“K-kak Rizky?”

“Hai,” sapa lelaki yang berdiri itu.

“M-mau duduk di sini, Kak?” ucap Alya berdiri dari duduknya.

“Nggak usah. Gue cuman mau ngasih tahu Dinda sesuatu aja,” ucapnya. “Lo duduk aja. Gak lama, kok."

Alya tersenyum, kemudian duduk lagi. Di depan matanya, Rizky mendekatkan mulutnya ke telinga Dinda. Ya! Mereka sedang berbisik.

"Temuin gue di bawah pohon mangga pulang sekolah nanti.

Begitulah apa yang dibisikkan Rizky kepada Dinda, kemudian pergi tanpa pamit. Dia menghilang seperti dibawa terbang oleh angin.

“Din, yang kak Rizky bisikin tadi apaan?” tanya Alya antusias.

Dinda tersenyum smirk. “Ada deh.”

Alya mengeluarkan sendok dari mangkuknya. Sendok itu kemudian digunakannya untuk memukul pelan punggung tangan Dinda. “Kasih tahu gue! Cepeten!”

“Gak mau,” ucap Dinda kemudian menjulurkan lidahnya.

“Lo, ya! Kasih tahu nggak!” Alya mengangkat sendoknya. Dari bentuk tubuhnya, dapat ditebak jika dia sedang mengancam Dinda. Kasih tahu gue, atau nggak gue pukul lagi. Kurang lebih seperti itu ancaman yang ia keluarkan tanpa berkata.

“Oke, oke, gue kasih tahu,” ucap Dinda dengan nada menyerah.

Alya tersenyum penuh kemenangan. “Nah! Gitu dong! Coba bisikin ke gue.”

Alya mendekatkan telinganya ke Dinda. Dinda pun mendekatkan mulutnya ke telinga Alya tanpa susah payah.

“Jadi, yang kak Rizky bilang tadi itu… RAHASIA.”

Setelah membisikkan kalimat itu, Dinda tersenyum dengan posisi duduk yang tegak. Senyum menghina yang tak lama menjadi sebuah tawa geli.

“Lo tuh, ya! Gak ada yang lucu, kok malah ketawa?!”

“Ada kok yang lucu,” ujar Dinda berhenti tertawa. Mukanya terlihat serius sekali.

“Kalau ada, apaan coba?” ucap Alya dengan tangan yang dilipat di depan dada.

“Ya ada. Yaitu gue.” Dinda dengan segera menunjukkan wajah jelek buat-buatannya ke depan Alya. Dan akhirnya berhasil membuat sahabatnya itu tersenyum.

Maksud kak Rizky apaan ya? Kok minta ketemuan di bawah pohon mangga? Jangan-jangan, dia mau nyuruh gue buat nyolong mangga. Nggak-nggak! Gue harus positive thinking! batin Dinda sambil menggeleng-geleng.

“Lo kenapa geleng-geleng sendiri kayak gitu?” tanya Alya bingung.

“Biasalah,” ucap Dinda mengibas rambut. “Obat merah gue abis.”

“Anjir! Lo minum obat merah?”

“Nggaklah! Lo kira gue siapa sampe minum obat merah?” ujar Dinda menggeleng-geleng.

TingTingTingTing

“Njir, kok belnya cepat banget bunyi?” ucap Dinda kesal.

“Bukan belnya yang cepet bunyi, tapi lo yang terlalu banyak bicara, jadi lupa waktu.” Alya menjewer telinga kanan Dinda. “Yok, cepetan kita balik ke kelas!”

⋆⋆⋆⋆⋆


TingTingTingTing

Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat. Bel pulang sudah berbunyi. Semua siswa SMA Pelita Harapan mulai berlarian keluar dari kelas, berbeda dengan gadis berkacamata yang satu ini. Dinda masih duduk gemetaran di dalam kelas. Semua bukunya sudah masuk ke dalam tas. Ia takut. Benar-benar takut.

Apa gue harus ke tempat yang kak Rizky suruh? batin Dinda.

“Oh ya, gue belum selesai baca novel pinjaman perpus tadi,” ucap Dinda menepuk jidatnya.

Dengan cepat, Dinda mengeluarkan sebuah novel dari tasnya tadi. Buku itu kemudian ia buka dan baca dengan seksama, agar ia dapat terhanyut ke dalam cerita pada novel itu.

“Lo di sini rupanya.”
Suara itu membuat Dinda berhenti membaca. Matanya mendapati seseorang yang berdiri di depan pintu kelas. Dinda menjadi gugup seketika.

“K-kak R-rizky?”

“Yok, cabut!” ucap Rizky mengambil novel Dinda, kemudian menarik gadis itu.

Dinda menggendong tasnya, kemudian membiarkan dirinya ditarik. Ia tak bisa melawan. Bagi dirinya sendiri, ia hanya gadis kutu buku yang lebih lemah dari siapa pun. Ia hanya dapat menang jika itu berkaitan dengan otak.

Rizky menarik Dinda berjalan menuju suatu tempat. Untung saja sekolah sudah tidak ramai, jadi Dinda tidak perlu merasakan malu yang luar biasa. Tangan Rizky melepas genggamannya pada tangan Dinda, tepat ketika mereka sudah berdiri di depan sebuah mobil yang ada di parkiran sekolah.

“Kenalin, dia Jeje,” ucap Rizky menepuk sebuah mobil BMW hitam yang Dinda yakini adalah mobil lelaki tersebut. “Masuk gih.”

Dinda mengangguk pelan. Dia pun mengikuti apa yang Rizky ucapkan. Dia membuka pintu depan, kemudian masuk ke dalam mobil.

Safety belt-nya dipake,” ucap Rizky setelah memasang sabuk pengaman untuk dirinya.

Dinda kembali mengangguk pelan, kemudian melakukan apa yang Rizky katakan. Setelah itu, barulah Rizky menginjak gas mobilnya perlahan.
Suasana sangatlah hening, sampai Rizky mulai membuka percakapan.

“Lo jadi pacar gue. Ini perintah,” ujar Rizky fokus menyetir.

“T-tapi saya nggak pernah p-pacaran sebelumnya,” ucap Dinda pelan, namun dapat terdengar oleh Rizky.

“Gue juga sama, kok.”

“S-saya harus bagaimana dari sekarang?” tanya Dinda.

Rizky tersenyum. “Ya, jalanin aja.”

Dinda berbalik menatap Rizky bingung. “M-maksudnya jalanin aja g-gimana, Kak?”

“Ya, jalanin aja. Lo pasti tahu tipe-tipe pacaran dari novel yang lo baca,” ucap Rizky.

“T-tapi─”

“Tenang aja, kita pacaran sewajarnya aja,” potong Rizky.

Dinda diam menanggapi. Ditatapnya jalanan yang ada di depan. Dia seperti kebingungan dan juga takut.

Kak Rizky tahu dari mana kalo gue tinggal di perumahan ini?

Rizky tersenyum. “Gue sempet baca biodatanya elo waktu di ruang BP.”

“G-gitu, ya.”

Buset! Kok dia bisa baca pikiran gue? Jangan-jangan dia punya indera keenam lagi.

“Gue nggak punya indera keenam, Din,” ucap Rizky.

“E-emang yang b-bilangin Kakak punya indera keenam s-siapa?”

Tuhkan! Kok bisa sih kasanova sekolah gue kayak gini?! Jangan-jangan, dia cuman penyihir yang menyamar lagi.

Mobil BMW yang dikendarai Rizky kemudian terhenti di depan rumah bertingkat dua dengan dinding krem.

“M-makasih ya, Kak. N-nggak mau mampir dulu?” tawar Dinda.

Rizky menghela napas. “Emang lo mau apa langsung ngenalin gue ke orangtua elo?”

Dinda dengan cepat menggeleng. “K-kalau gitu, s-saya ma─”

“Tunggu! Gue mau bilang sesuatu,” ucap Rizky tersenyum simpul pada Dinda.

“M-mau bilang apa, Kak?”

“Tolong lo hilangin semua pikiran lo tentang gue penyihir atau semacamnya,” ucap Rizky.

Dinda terkejut. Sepertinya, benar jika Rizky adalah seorang penyihir seperti apa yang Dinda pikir tadi.

“K-kakak kenapa bisa tahu?”

Rizky memutar bola matanya, kemudian menatap Dinda. “Mata lo udah ceritain semuanya. So, bisa dihilangin gak?”

Dinda tersenyum lebar, kemudian mengangguk. “Siap, Komandan.”

Deg.

“Kalau gitu, s-saya masuk duluan ya, Kak. Sekali lagi terima kasih.”

Setelah mendapat anggukan dari Rizky, barulah Dinda masuk ke dalam rumahnya. Sementara itu, Rizky masih terdiam di dalam mobil. Ia sedang merenungkan sesuatu. Tak lama, ia mulai mengacak rambutnya kasar. Dipukulnya setir mobil, kemudian ia menempelkan puncak kepalanya pada setir mobil itu.

“Senyuman itu…Shit!” Rizky mulai mengumpat. “Selain wajah lo yang mirip, kenapa sih senyum lo juga mirip sama dia?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro