6. Lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fajri baru tiba di rumah. Ia setiap tiga kali dalam seminggu akan melakukan latihan basket. Dia terpilih menjadi salah satu pemain inti di klub basket kampus.

"Assalamualaikum... Ma, Aji pulang," ucap Fajri.

Fajri melepas sepatu, lalu menaruh di rak sepatu dekat pintu. Terlihat wajah Fajri kelelahan dan keringat yang masih menempel di kening.

"Wa'alaikumsalam... Eh anak ganteng Mama sudah pulang. Kamu langsung mandi terus turun ke bawah ya. Mama sudah buatkan makan malam kesukaan kamu."

Sang Mama tersenyum tipis. Di usianya yang menginjak kepala empat, masih terlihat awet muda dan cantik.

"Asyik. Makasih ya Ma. Aji mau ke kamar dulu," ujar Fajri.

"Iya. Kamu bau kecut soalnya," balas sang Mama menutup hidung.

"Hehehe... Aji tetap ganteng tapi Ma," ucap Fajri merapikan poni rambut.

"Hahaha... iya-iya. Anak Mama yang satu ini memang paling ganteng," puji sang Mama membelai pipi kanan Fajri penuh kasih sayang.

Fajri pun berpamitan. Saat mencapai lantai 2, ia melihat saudara kembarnya tengah berjalan ke arah kamar.

"Bang Aldo!" panggil Fajri semangat.

Aldo menolehkan kepala singkat, lalu berjalan cepat menuju kamar. Ia tak mau sampai Fajri melihat sesuatu yang aneh di wajahnya.

"Loh?"

Fajri menatap punggung Aldo yang sudah menghilang di balik pintu kamar bingung. Ia sempat melihat ada luka memar di pipi kiri sang kembaran.

Rasa khawatir menyelimuti hatinya. Pantas saja saat ia bermain basket sempat merasakan sakit di dada.

"Nanti deh Aji tanyain ke Bang Aldo langsung," ucap Fajri pelan.

Di balik pintu, Aldo duduk bersandar. Ia memegangi pipi kiri yang terasa sakit.

"Aww! Tinggal di obati, pasti besok sudah sembuh," gumam Aldo.

Aldo berdiri pelan. Ia berjalan menuju cermin di lemari pakaian. Dapat dilihat luka memar sampai berwarna biru menghiasi pipi kirinya.

"Sampai kapan Aldo harus menghadapi ini semua Pa. Jujur Aldo capek Pa," ucap Aldo lirih.

Tak terasa air mata menetes jatuh membasahi kedua pipi. Aldo sudah tak tahan jika berada di rumah terus. Ia takkan hidup tenang selama berada di rumah ini.

"Pa... apa Aldo pergi saja dari rumah ini? Pasti Mama senang kalau Aldo nggak ada."

Aldo semakin terisak dalam diam. Ia tak mau sampai suara tangisan kesedihan ini terdengar sampai di sebelah kamar, tempat kamar Fajri berada.

"Ji... Abang berharap kamu bahagia walau tanpa Aldo di sini," ucap Aldo menatap wajahnya yang terlihat tak karuan.

.....

Gilang melempar tas asal. Ia cukup lelah beraktivitas pada hari ini di kampus.

Rasanya kedua kaki Gilang sudah tak kuat menahan beban. Seharian ia berkeliling kampus yang hampir sebesar GBK.

"Gila! Itu kampus apa Istora Senayan!"

Gilang merebahkan diri di atas kasur empuk. Ia malas untuk berganti baju yang sudah tercampur bau tak karuan.

Baru saja mata Gilang terpejam. Suara ketukan pintu kamar sangat mengganggunya.

"Aish! Siapa sih?!"

Tok!

Tok!

"Gilang. Ini Mama," ucap Mama Nia di balik pintu.

Sontak Gilang terbangun. Ia tak bisa protes atau mengeluh jika sudah di depan sang Mama tercinta.

"Iya, Ma. Sebentar," balas Gilang.

Dengan kekuatan seribu bayangan, Gilang sudah sampai di depan pintu. Ia raih gagang pintu, lalu membukanya perlahan. Senyum lebar terukir manis menyambut sang Mama.

"Ada apa Ma?" tanya Gilang.

"Nanti malam ada teman Mama mau datang. Kamu siap-siap dan dandan yang rapi," jawab Mama Nia.

Kerutan di kening Gilang muncul. Ia tak mengerti maksud ucapan sang Mama.

"Apa hubungan ya sama Gilang?" tanya Gilang polos.

Mama Ina tertawa kecil. "Pokoknya kamu nanti saat makan malam turun. Udah sana mandi, bau kecut," jawabnya tertawa kecil.

Gilang reflek menciumi pakaian yang ia kenakan. "Enak aja! Gilang wangi gini juga."

"Hahaha... iya terserah kamu aja," balas Mama Ina, lalu pergi meninggalkan kamar Gilang.

"Ada apa sih nanti malam?!"

.....

Ricky dan Arinda selalu pergi serta pulang bersama. Rumah mereka berdekatan dan memang sejak kecil sudah tinggal di sana.

"Ar, nanti malam sibuk gak?" tanya Ricky keluar dari mobil.

Saat ini mereka sedang berada di garasi mobil milik Ricky. Arinda sudah keluar dari mobil.

"Gak!" jawab Arinda cepat.

"Ooh... malam mau temenin gue pergi?" tanya Ricky kembali.

"Gak! Gue capek!"

Lagi, Arinda menjawab cepat dan bersikap cuek. Arinda baru melangkahkan satu kaki, pergelangan tangannya sudah di pegang oleh Ricky.

"Apa sih?! Lepasin!"

Arinda menyentak tangan Ricky kasar. Ricky sampai kesakitan dibuatnya. Maklum Arinda pemegang sabuk hitam dalam bidang Karate.

"Kasar banget jadi cewek!" seru Ricky. Dan ia langsung menutup mulut rapat-rapat.

Arinda melirik Ricky tajam. Ia pun memberikan sebuah hadiah kecil untuk sabahat kecilnya itu.

Bugh!

Kaki kanan Ricky ditendang cepat oleh Arinda. Ricky langsung menjerit kesakitan. Ia telah salah membangungkan Singa betina yang sedang tertidur.

"Aww!" rintihnya menahan sakit.

"Rasain! Jangan telepon atau main ke rumah gue! Gue mau istirahat!" seru Arinda.

Sosok Arinda pun menghilang di balik pintu rumah utama. Ricky menatap kepergian Arinda sambil merasakan sakit di kaki kanan.

"Lain kali gue harus hati-hati berbicara sama tuh Mak Lampir," ucap Ricky.

"Gue dengar ya Rick! Mau gue tambahin di kaki kiri!"

Suara Arinda dari jendela lantai dua membuat Ricky bungkam. Ia langsung berlari cepat masuk ke dalam rumah sambil terpincang-pincang.
.
.
.
.
.

Bersambung...

(10/06/2022)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro