Di Kereta Ekspres Menuju Neraka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hei, Nak, apa dosamu?"

Aku tersentak, menoleh ke si penanya. Dia seorang pria paruh baya berwajah teduh dan memakai topi. Dia barusan bertanya padaku?

"Tidak mungkin anak seusiamu pergi secepat ini. Kau pasti sudah melakukan dosa besar."

Aku tidak mengerti perkataannya.

"Ayolah," Paman itu merangkul bahuku. "Sesama umat yang akan masuk neraka, bukankah bagus kita berbicara soal perbuatan maksiat kita selama hidup? Mumpung masih ada satu jam lagi sebelum kereta sampai ke tujuan."

Perbuatan kotor? Aku bahkan tidak tahu apa yang kulakukan hingga sampai ke kereta ini. Aku hanya ingat sedang mengikuti acara kemah dan tersesat saat mencari seekor kucing. Lalu ketika bangun, aku sudah sampai di sini.

Apakah aku sedang bermimpi? Jika ini nyata, kenapa aku sama sekali tidak takut?

"Hentikan itu, Torid. Kau membuatnya takut," celetuk paman-paman lain di bangku sebelahku. Dia menghisap cerutu. Paman ini sepertinya lebih berumur dari paman bernama Torid. "Duduklah dengan tenang."

"Aku heran, kenapa orang sesopanmu masuk neraka, Redtin." Paman Torid bersungut-sungut, tetap duduk kembali ke bangkunya.

Setelah kulihat-lihat lagi, ternyata cuman kami yang menghuni gerbong ini.

Menurutku ini aneh.

Kenapa hanya ada tiga orang di satu gerbong kereta? Apakah ini ruangan VIP? Aku tidak ingat membeli tiket khusus.

Dan yang paling aneh, perkataan Paman Torid. Dosa? Kenapa dosa? Apa benar aku sudah mati dan sedang menuju neraka? Aneh.

Lantas dosa apa yang kuperbuat sampai dimasukkan ke neraka? Aku tidak tahu.

Hening beberapa menit. Hanya suara gesekan roda kereta yang terdengar. Aku mengayunkan kedua kaki yang mulai kram. Aku tidak terbiasa bepergian memakai kereta tradisional. Ini membuatku mabuk kendaraan.

"Aku telah merebut keperawanan keponakanku," ucap Paman Torid tiba-tiba memecah keheningan. "Itulah dosaku."

Aku dan Paman Redtin refleks menoleh menatap beliau. Apa ini? Tiba-tiba beliau bercerita? Kami tidak menyuruhnya kok! Dia benar-benar mau curhat tentang dosanya pada orang asing? Entah kenapa aku tidak enak sendiri.

Kulihat Paman Redtin satu pendapat denganku. Dia terlihat tak nyaman. Siapa yang suka mendengar perbuatan kejam seseorang?

Namun, ada baiknya juga kami saling bercerita dan mendengarkan seperti kata Paman Torid. Karena kami akan segera tiba di neraka.

Bagaimana bentuk tempat itu, ya? Kata teman-temanku tempat itu sangat panas dan kita disiksa setiap waktu untuk menebus dosa yang diperbuat.

Apa kabar orangtuaku, ya? Apa mereka cemas melihat anak mereka mati secara musykil?

Harusnya aku mencari tahu, tapi entah kenapa perasaanku kosong. Aku merasa ini tidak apa-apa dan tidak berbahaya. Aku tidak merasakan cemas sedikitpun. Apakah aku sungguhan menuju neraka? Kenapa aku tidak takut?

"Aku termakan hawa nafsuku dan melecehkannya. Paman Torid terkekeh pelan. Namun aku tahu, ada nada sumbang perasaan bersalah di kekehannya itu. "Karena dia menolak sampai menamparku, akhirnya aku larut dalam emosi dan mengambil daerah serviks uterus ke korpus (rahim) agar dia tidak bisa menggandung. Aku menancapkan rahimnya ke dinding lantas tertawa. Bejat sekali aku."

Aku terdiam cukup lama, mencoba mencerna perkataan Paman Torid. Astaga, bukankah itu sudah keterlaluan sekali? Melecehkan wanita yang merupakan keponakannya sendiri lantas mengambil rahimnya?

"Itu tidak baik, Paman," kataku pelan. Kalimat pertamaku. "Menyakiti wanita adalah hal hina."

Paman Torid dan Redtin menatapku intens. Kenapa? Apa ada yang salah dengan omonganku? Tapi aku mengatakan hal yang benar kok.

"Wah, kupikir kau bisu, Anak Muda."

Kasar sekali mengatakanku bisu. Aku hanya tidak suka berbicara, mengatakan yang perlu-perlu saja. Tidak bisakah kereta ini melaju lebih cepat? Aku mendadak resah berada di sini.

Mengerti maksud ekpresiku yang tersinggung, Paman Torid menyengir. "Maaf, maaf, aku salah. Jangan baper dong."

Aku mengangkat bahu tidak peduli.

Lengang menghantui gerbong untuk kedua kalinya. Kalau kujelaskan lewat kata-kata, kereta yang kami tumpangi hanya menembus terowongan gelap tak berujung. Aku tidak melihat ujung dari terowongan ini. Apakah Neraka masih jauh?

"Di kasusku, aku sudah memfitnah seseorang dan menyebabkan orang itu meninggal." Giliran Paman Redtin yang curhat tentang dosanya.

Aku menatap beliau, juga Paman Torid.

"Dulu hidupku hanya mencari jackpot. Aku memalak teman-teman sekolahku, dagangan orangtuaku, bahkan mencuri sumbangan untuk anak yatim. Lalu aku melempar kecurigaan mereka pada salah satu teman yang masih mempedulikanku. Aku sungguh menyesal. Karena omonganku, satu-satunya orang yang peduli padaku mati." Paman Redtin memejamkan mata, mendesah pendek.

"Itu tidak baik, Paman," sahutku membuka suara. "Memfitnah lebih kejam daripada membunuh. Apalagi orang itu peduli pada Paman. Tetapi Paman justru menuduhnya atas kesalahan Paman."

Ck, aku dari tadi ngomong apa sih? Kenapa pula aku sok bijak begini sendirinya juga masuk neraka?

"Bagaimana denganmu, Anak Muda?" tanya mereka berdua nyaris serempak. "Apa dosamu sampai tiba di kereta ini?"

Duh, sudah kuduga. Melihat arah percakapan, ujung-ujungnya aku juga bakal kebawa arus.

Memangnya aku harus menceritakan apa pada mereka? Hilang ingatan? Mustahil.

"A-aku tidak tahu. Aku tidak ingat," ucapku patah-patah. Tidak ada gunanya berbohong. Tidak ada juga gunanya berbicara jujur. Aku sama sekali tidak tahu kenapa aku bisa di sini.

Mereka berdua menatapku serius. "Kau tidak ingat penyebab kau terlempar ke neraka? Wow, serius?"

Aku mengangguk ragu.

Paman Torid mengelus dagu. "Ini aneh. Apa dia kehilangan ingatannya saat tewas?"

"Bisa jadi." Paman Redtin mengiyakan. "Karena dia duduk di bangku pertama, itu menandakan bahwa dia sudah melakukan dosa berat yang melebihi punyamu, Rid."

"Maaf, apa maksud Paman 'bangku pertama'?" Aku menyela sopan.

"Kau tidak menghitung jumlah bangku penumpang di gerbong ini? Terdapat 10 kursi. Torid berada di bangku tiga (di belakangmu) aku kursi dua (di sampingmu). Dan kau yang duduk di tempat pertama, Anak Muda," jelas Paman Redtin singkat.

"Lalu apa hubungannya dengan 'dosa berat'?" tanyaku lagi.

"Yeah singkatnya, tingkatan dosa tergantung pada dimana sebuah roh menduduki kursi di gerbong ini. Karena aku berada di kursi ketiga, berarti level dosaku kelas C (melecehkan wanita). Si Redtin level B (memfitnah) dan kamu terakhir, Anak Muda. Level A, dosar berat." Kali ini Paman Torid yang menjelaskan.

Maksudnya aku melakukan dosa yang paling kejam di antara mereka?

Aku tidak ingat. Beritahu apa kesalahanku, siapa pun!

Kereta berhenti melaju, mengeluarkan suara decit yang nyaring. Aku terdorong ke depan karena terlalu fokus memikirkan kesalahanku.

Kereta sudah sampai di kota tujuan. Dipersilakan untuk turun.

Glek

Aku meneguk air ludah kering. Dapat kurasakan hawa panas masuk lewat jendela kereta. Keringat langsung mengalir dari kening. Aku melonggarkan dasi, gerah. Bahkan aku belum keluar dari sini, tetapi panasnya sudah membuatku lemas.

Kereta api yang kami tumpangi berdiri di tempat seperti tebing. Lautan api membentang di bawah, mengeluarkan uap panas bak magma gunung. Aku bisa merasakan jeritan-jeritan roh (berdosa) lain di bawah sana.

"Inikah neraka?" Aku tidak melihat apa pun selain warna merah mendidih dan orang-orang yang berteriak.

Pintu kereta terbuka otomatis, mempersilakan kami untuk turun dari gerbong. Paman Torid dan Redtin berdiri di ambang pintu dengan aku di belakang mereka. Seperti mereka berdua mulai takut dengan tempat ini.

Nah masalahnya sekarang, bagaimana cara kami ke bawah? Kami langsung terjun aja gitu? Ayolah! Yang menyambut bukan air laut asin, tetapi air panas beribu-ribu celsius!

Memangnya apa yang kami harapkan dari neraka?

Tapi...! Aku masih tidak ingat kesalahanku! Bagaimana mungkin aku meloncat begitu saja tanpa tahu apa dosaku? Aku ingin tahu kenapa aku dijebloskan ke neraka!

Paman Redtin menelan ludah, menyikut lengan Paman Torid. "Kau tua 2 tahun dariku, kan? Duluan gih sana. Nanti aku menyusul. Toh, cepat atau lambat kita bertiga bakal jatuh juga."

"Enak saja! Justru yang tua duluan dari yang muda!"

"Tidak! Yang muda duluan!"

"Tapi kita cuman beda dua tahun!"

Mereka berdua menoleh kepadaku, tersenyum. "Anak Muda, apa kau mau melompat duluan?"

"Aku akhirnya tahu apa dosaku."

Paman Torid dan Redtin sontak antusias, menghadap ke arahku. "Benarkah? Apa itu? Katakan saja. Kita sudah sampai di penghujung nih."

Aku membuka mulut kecil, tersenyum manis.

"Aku mengikuti seekor kucing yang tersesat di dalam hutan sampai tebing. Begitu menemukannya, kucing itu mencakar tanganku. Jadi aku melemparnya ke jurang yang penuh duri tajam." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro