Penyair Tanpa Telinga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Namaku Tulip. Teman-teman sering memanggilku tuli karena aku tidak bisa mendengar meski sudah memakai alat pendengar.

Tetapi, kekuranganku itu tidak membuatku putus asa melanjutkan sekolah. Tidak seperti mereka yang bermental lemah yang langsung berhenti sekolah begitu diejek kekurangannya.

Memangnya kita manusia bisa menentang ciptaan Tuhan? Tidak, kan? Jadi terima saja. Setidaknya yang diambil-Nya bukan mata. Aku masih bisa kok belajar seperti biasa.

Lagian aku tunarungu. "Tuli" adalah istilah merendahkan untuk menyebut orang yang kehilangan pendengarannya karena bawaan lahir. Di kasusku, aku kehilangan fungsi telingaku karena suatu kejadian.

Kapan ya itu terjadi? Sudah lama sekali seingatku. Saat aku masih duduk di bangku SMP.

Aku punya nenek yang sakit-sakitan. Waktu itu aku sedang sibuk mencoba menulis lagu karena cita-citaku ingin jadi kompuser. Jadi, hampir setiap hari telingaku disumbat headset.

"Tulip, tolong ambilkan Nenek nasi. Nenek lapar."

"Ck," aku berdecak. Aku masih bisa mendengar panggilan beliau karena aku tidak memasang volume yang paling keras.

Dengan hati kesal, aku melangkah menuju dapur. Mengambil nasi, sambal, sayuran dan air putih seperlunya.

Ke mana sih Ibu? Dia belum pulang? Aku benar-benar tidak bisa diganggu saat merancang sebuah lagu! Ini menyebalkan.

"Nih," ketusku menyerahkan nampan ke sebelah meja Nenek. "Jangan panggil Tulip lagi ya, Nek, Tulip mau bikin lagu. Kalau lagu Tulip bagus dan sesuai syarat-syarat, Tulip bisa jadi kompuser termuda yang pernah ada. Kita takkan tinggal di gubuk ini lagi. Mohon perhatiannya ya, Nek."

Nenek membalas dengan senyuman hangat. "Semangat, ya, Tulip. Nenek mendoakanmu."

Aku tersentum mendengarnya, lantas kembali melangkah ke bilik kamar.

Siulan burung dan semilir angin masuk ke kamar, membuat ruanganku semakin sejuk. Nah, begini kek dari tadi. Tenang tidak ada gangguan. Aku, kan, bisa konsentrasi. Merancang sebuah lagu tidaklah mudah kalian tahu.

Jika mudah, tidak mungkin ada banyak kompuser berserakan tanpa agensi. Kecuali dia solo.

Aku sudah menyelesaikan bagian pertama dan mengalami buntu pada awalan bait kedua. Padahal biasanya aku lancar dalam lagu modern dan klasik.

Apa aku memang tidak bisa menulis lagu cinta?

Tidak! Sudah sejauh ini, aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus menyelesaikan lagu ini dan mengirimnya pada Pak Fallen. Aku bisa dapat kesempatan jika laguku dipublikasikan.

Aku sudah bosan tinggal di gubuk kumuh ini. Aku ingin pindah ke rumah yang layak disebut rumah. Yang bisa disebut rumah "sebenarnya".

Baru saja aku melanjutkan pekerjaanku, terdengar seruan Nenek, "Tulip, tolong ambilkan obat Nenek."

Refleks aku mencoret kertas laguku, berteriak frustasi. Aku sudah setengah jalan menyambung laguku, kenapa Nenek menganggu?! Dia sendiri yang bilang takkan memanggilku lagi! Sial.

Aku melangkah penuh amarah ke kamar Nenek, menyingkap tirai. "APA LAGI MAU NENEK?! KUBILANG JANGAN MENGANGGU, KAN?"

Nenek terbatuk. "Tolong ambilkan obat Nenek," suruhnya lemah.

"Di mana?" tanyaku masih dalam setengah kekesalan.

Beliau menunjuk laci meja di sebelah tempat kasur. Itu membuat makin emosi. "Sedekat ini, masih butuh bantuan?! CUMAN DI SEBELAH NENEK TAPI MASIH MEMANGGILKU? APA GUNANYA KAKI NENEK?"

Nenek membuatku jengkel. Aku berusaha untuk merubah nasib gubuk tua ini menjadi rumah mewah, tetapi kenapa beliau tidak mendukungku? Aku bahkan nanti akan memberi perawatan mahal untuk Nenek.

"Nenek tidak melarangmu dalam meraih ambisimu, Tulip," gumam Nenek pelan. "Tetapi kau harus ingat batas kemampuanmu. Jangan melampiaskannya kala kau menemukan kebuntuan."

Sudah cukup.

Aku mengambil botol pil di laci, memberikannya pada Nenek, lantas pergi keluar dari kamar dengan hentakan kaki. Kuambil headset dan kertas lagu baru.

Harusnya sejak tadi aku mengarang di luar saja, tidak perlu di dalam rumah. Aku selalu berakhir marah-marah karena fokusku terganggu.

Duduk di dekat pohon rindang, aku memakai headset, memasang volume keras-keras, mulai memasuki Alam Musik. Aku harus mengikuti lantunan lagunya supaya bisa tenggelam ke dasar melodi. Tanganku sudah menari di atas kertas.

Lihat? Ideku jadi lancar jaya.

*

"Benarkah, Pak?" Aku berseru tertahan.

Pak Fallen mengangguk, tersenyum kecil. "Kamu sudah melakukan yang terbaik, Tulip. Bapak bangga denganmu. Mulai sekarang, kamu sudah bisa menyetor lagu-lagu baru dan Bapak pastikan lagu buatanmu dipublikasikan media. Berjaya terus, Tulip!"

Ya ampun, ya ampun! Aku tidak tahu cara mengapresiasikan rasa bahagiaku. Aku berhasil! Laguku akan dipublikasikan! Aku berhasil dalam langkah pertama menuju gerbang kesuksesan!

Bergegas pulang ke rumah, aku menyambar headset dan kertas musik, kemudian pergi ke pohon rindang kemarin. Entah kenapa aku jadi lancar mengarang lirik lagu di sana. Mungkin mulai hari ini, aku menjadikan pohon ini sebagai tempat favoritku.

Dan aku melakukan itu selama seminggu. Sudah banyak lagu buatanku dipublikasikan di radio khusus remaja. Semuanya menyukai laguku! Lagu-laguku selalu diputar di radio mingguan! Mereka memberi banyak komentar membangun membuatku semakin bersemangat dalam menulis lagu.

"Tulip ...."

Aku terkekeh pelan membaca ulang lirik lagu buatanku, geli sendiri. Sejak kapan aku bisa berbahasa puitis? Hari makin hari lagu karanganku semakin maju dan berwarna. Ini amat menyenangkan.

"Tulip ...."

Ng? Aku menanggalkan satu headset-ku. Perasaanku saja atau memang ada yang memanggilku? Kutolehkan kepala ke rumah.

"Tulip ...." Suara itu memanggil namaku.

Ck, pasti Nenek bakal menyuruhku lagi. Ibu ada di rumah, kan? Biar Ibu saja yang mengurus beliau. Sekarang aku harus melanjutkan lagu ini. Sudah kepala tanggung nih.

"Tulip."

Aku menyetel musik ke volume paling keras.

Maafkan Tulip, Nek, tetapi Tulip tidak bisa. Begitu aku menghampiri Nenek, imajinasiku pasti langsung buyar dan aku gagal melanjutkan laguku. Deadline lagu untuk minggu ini tinggal tiga jam lagi.

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri uang minggu ini akan kubelikan untuk kursi roda buat Nenek. Dengan itu Nenek bisa berjalan ke mana saja tanpa memanggilku dan Ibu lagi. Aku tahu Nenek pasti tidak enak juga terus-terusan menganggu pekerjaan anak dan cucunya.

Ponselku menyala. Low bat. Untung aku punya power bank berskala mini. Aku membelinya pakai uang hasil laguku. Perlahan aku mulai mandiri, bida mencari uang sendiri.

Melanjutkan aktivitas mengarang lagu, tiba-tiba ...

"Argh!" jeritku pelan, memegang kedua telinga yang pekak. Aku spontan melempar headset-ku ke sembarang arah, menggigit bibir untuk mengurangi rasa sakitnya. Aku tidak bercanda. Telingaku sakit sekali, ada yang berdenging dari dalam.

"Argh! Apa ini? Apa ini?! Sakit sekali!" lirihku memegang telinga kiri yang sakitnya bukan main. Mataku berair. Telingaku berdenging hebat seolah ada yang hendak keluar. "I-ibu... Ibu!!! Telinga Tulip..., sakit. Ibu!!!"

Nyut! Nyut! Nyut!

"ARGH!" Aku makin menjadi-jadi. Telingaku seperti ditusuk besi panas. Astaga, aku tidak bisa menahan sakitnya.

Kegelapan pun mengambil kesadaranku.

*

Aku mengerjapkan mata berkali-kali, menyesuaikan pencahayaan ruangan. Kepalaku terasa berat, tidak, telingaku yang berat.

Hal pertama yang kulihat adalah wajah Ibu dan Nenek sedang bercakap-cakap dengan pria berjas putih. Aku sontak terbelalak kaget.

Apa aku salah lihat? Sedang apa Nenek di sini? Dan... Dia berdiri tanpa alat bantu sekalipun! Apa Nenek sudah sembuh dari lumpuh sementara itu? Ya ampun, aku tidak percaya ini.

Tetapi pertanyaannya sekarang, aku ada di mana? Ini kan ruangan khas ruang rawat. Apa aku pingsan dan dibawa ke rumah sakit?

Memalukan. Ibu pasti marah padaku. Harusnya aku tidak memakai headset saat mengecas ponsel. Padahal aku tahu bahaya mendengarkan lagu memakai headset saat berhubungan dengan listrik.

Lho? Aku tertegun sejenak.

Kenapa telingaku beperban?

"Begini, Buk, terdapat banyak kotoran di telinga putri Anda. Sepertinya dia selalu menyumbat telinganya dengan sesuatu dan jarang membersihkan telinga sehingga menyebabkan kotoran-kotoran itu menumpuk lalu menjadi keras, melekat pada dinding-dinding telinga. Terutama gendang telinganya yang sangat kotor."

Ibu menutup mulut kaget, juga Nenek. "Apakah tidak ada cara untuk membersihkannya, Dok? Putri saya masih SMP. Dia masih muda sekali."

"Kami sudah melakukan yang terbaik." Dokter menggeleng. "Sulit karena kerak-kerak kuman kotoran itu sudah merayapi gendang telinga Tulip. Kami berhasil memisahkannya sebelum menyebar lebih luas. Tetapi karena kuman itu sudah terlalu melekat permanen ...."

Ibu menangis, menatapku nanar.

Nenek memejamkan mata, memaklumi.

"...."

"...."

Lho? Kok? Aku terdiam.

Ibu membelai rambutku, mengusapnya penuh kasih sayang. Kenapa Ibu menangis tersedu begitu? "...."

Nenek memegangi tanganku, tersenyum lembut. "...."

Aku mengerjap bingung.

"Ibu, Nenek, kalian dari tadi bicara apa?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro