Dompet Ibu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini aku pergi ke Bandara menjemput Ayah bersama Sang Ibu.

Tadinya aku tidak ingin ikut mengingat ada les biola sore nanti, tetapi Ibu membujuk dengan setangkai gulali edisi baru. Mau tak mau aku mengesampingkan harga diri demi mendapatkan permen kesukaanku itu.

Ayah adalah seorang pebisnis. Beliau seorang CEO di luar sana, pulang kapan punya waktu senggang. Sementara Ibu mengurus kafe dan restoran. Jika Ibu terlalu sibuk, kadang Ibu meminta Paman untuk menjaga kafe dengan aku sebagai satpamnya. Ibu punya dua pekerjaan sih.

Koki dan kepala kafe.

Saat aku besar nanti, aku berjanji akan menjaga kafe Ibu. Serius, Ibu mendirikan kafe itu dengan uangnya sendiri tanpa bantuan dari Ayah. Makanya aku harus menjaga kafe itu baik-baik. Ibu sangat mandiri.

Dan sifatnya itu turun-temurun ke aku. Entah kenapa aku bangga jadi anaknya.

Cita-citaku juga mau jadi koki mengikuti jalan Ibu. Karena selain musik dan menulis, aku juga gemar memasak. Memang terdengar aneh anak cowok suka masak-masak. Tapi jangan lupa, Anime Soma dan Chef Juna. Mereka pria tuh, jago masak.

"Puh, Ayah lama banget sih. Ketinggalan pesawat, ya? Atau salah mendarat? Mat capek berdiri, Bu," keluhku mengurut lutut yang mulai goyang. Aku masih 8 tahun tapi sudah kayak nenek-nenek saja.  "Sudah begitu Mat belum makan dari tadi."

Ibu tersenyum simpul. "Tahan sebentar lagi ya, Mat. Bukannya Mat tidak suka masakan selain masakan Ibu? Mat tidak suka makanan di Bandara, kan? Kita tunggu sebentar lagi."

Benar. Aku tidak suka makan makanan jika itu bukan buatan Ibu. Bahkan di sekolah pun aku lebih memilih membeli cemilan. Ibu tidak mungkin pelit membelikanku makanan di sini. Akunya saja yang tidak mau.

Aku menoleh ke sebuah kios, menarik-narik ujung baju Ibu. "Kalo gitu beliin Mat snack dong. Chitato menengah."

Menghela napas pendek, Ibu mengangguk maklum. Dia mengusap kepalaku lantas meraih tanganku. "Jangan lepaskan tangan Ibu, ya. Nanti Mat kebawa arus keramaian lho. Terus hilang."

Aku mengangguk. "Mat tidak akan melepaskan tangan Ibu!"

Kami berdua melangkah menuju kios makanan yang kutunjuk. Banyak pengunjung Bandara hari ini. Mungkin kebetulan, mereka juga hendak menjemput atau mengantar seseorang dari anggota keluarga.

Sampai ke tempat tersebut, aku bergegas melepaskan tangan Ibu dan berlarian kecil masuk ke dalam. Supermaket di Bandara memang beda suasananya. Aku bisa mencium aroma mahal-mahal di sini.

Orang Bandara cari untung dengan menaikkan harga barangnya. Aqua di sekolah cuman tiga ribu, di sini bisa mencapai delapan sampai sepuluh ribu. Makanya aku kadang malas berbelanja di sini. Tapi kali ini aku tidak bisa menahan rasa laparku.

Ibu membayar snack yang kumau ke karsir. Aku melihat dompet merah milik Ibu dengan desain menarik. Seingatku Ibu tidak pernah mengganti dompetnya. Dan aku tahu persis, Ibu jelas tidak kekurangan uang.

"Ibu, apakah itu pemberian Ayah saat zaman kalian jatuh cinta? Ibu tidak pernah memakai dompet lain selain dompet itu," tanyaku polos. Tidak. Begini-begini, sepupuku sering mengajakku nonton drama Korea romantis. Jadi, skill romansa-ku perlahan mulai terasah. "Cie Ibu."

Ibu menyumpal mulutku dengan chitato, kikuk. Orang-orang menatap kami bingung. "Apa sih omongan kamu. Masih kecil pula. Galaksi, kan, yang mengajari itu? Hayo ngaku."

Galaksi, nama sepupuku. Dia datang setiap hari minggu karena bosan di rumah tidak punya teman. Dia selalu punya apalah untuk dipamerkan padaku. Lama-lama ingin kucekek tuh anak.

Dan jangan tertipu soal namanya yang terkesan laki. Kak Galaksi itu cewek tulen.

[Pesawat XXX sudah mendarat]

"Nah, itu pesawat yang dinaiki Papamu. Gih, tunggu dia di sana." Ibu bangkit dari kursi. Begitu juga dengan aku. Sudah tiga bulan lamanya aku tidak melihat wajah Ayah. Apa beliau masih ganteng sepertiku, ya? Atau aku sudah melebihi kegantengan Ayah?

Aku tidak sabar melihat Ayah!

Tapi aneh.

Aku menoleh ke Ibu yang pucat.

Kenapa hanya aku yang antusias? Ibu tidak senang Ayah kembali? Kenapa wajah Ibu lemas begitu?

"Papa pulang!!" seru pemuda paruh baya berkemeja cerah di antara penumpang pesawat yang naik bersamanya, menarik koper hijau. Dia langsung menghampiriku dan Ibu, menggendongku kemudian menciumi pipiku. "Aduh, anak Papa ini makin berat aja. Mama kasih dia makan apa?"

Ibu tersenyum. "Dianya yang rajin makan, Pa."

"Oh ya?" Ayah menoleh kepadaku. "Hayoo, kamu makan berapa kali sehari?"

"Hampir 6 kali, Yah. Rekor minggu ini 7. Mat hebat, kan!" Aku menjawab mantap. Memang aku terlihat kecil, tetapi lambungku besar bukan main. Seolah tidak cukup dua kali makan.

Ibu berniat ingin membantu membawakan koper Ayah sambil menunggu Pak Sopir datang. Tetapi, Ibu mendadak oleng. Dia menekan dadanya.

Ayah memegangi Ibu, menurunkanku. "Ma? Mama tidak apa-apa?"

Ibu tersenyum kecil. Wajahnya pucat sekali. "Tidak apa-apa, Pa, ayo kita pulang—bruk!"

"Ma? MA!" Ayah berseru memanggil Ibu berkali-kali sehingga membuat orang-orang sekitar mengerubungi kami. Satu dua sudah memanggil ambulans, satu dua membantu pertolongan pertama.

Aku terdorong ke belakang karena semakin lama semakin banyak orang-orang berkumpul, jatuh mengenai trolley barang.

Entahlah. Sepertinya aku tidak terlalu peduli apa yang sedang terjadi saat ini.

Lebih tepatnya, aku hampir lupa.

Tentang Ibu dan penyakit paru-parunya.

Ini penyakit turun-temurun juga. Sudah temurun ke aku, tetapi aku belum menunjukkan gejalanya karena mungkin usiaku masih 8 tahun. Namun, kadang aku mulai merasakan nyeri jika melakukan pekerjaan berat. Sedangkan Ibu sudah berumur matang. Penyakit itu bisa kapan saja menggerogoti paru-paru Ibu.

Kenapa aku bisa lupa hal sepenting itu? Ibu bahkan panik saat aku sedikit saja merasakan rasa sakit dari penyakit itu. Kenapa aku malah duduk diam di sini dan tidak menolong?

Aku menatap telapak tanganku. Mobil ambulans sudah datang.

"Harusnya aku tidak melepaskan tangan Ibu."

*

Ayah keluar dari ruangan, duduk di sebelahku yang sedang memainkan rubik. "Mat pulang duluan saja, ya? Sepertinya Mamamu akan menginap malam ini. Papa akan mengantarmu. Mat belum makan apa pun hari ini, kan?"

Aku menggeleng, tetap fokus terhadap rubik di tanganku. Aku memutar semua sisinya dengan cepat dan teliti. "Mat mau menunggu Ibu sampai siuman. Soal perut Mat bisa mengurusnya—"

Kruyuk~

Dapat kurasakan wajahku menghangat saat ini.

Ya ampun, perut! Kenapa nggak bisa perhatiin situasinya sih?! Dibanding bersama Ibu, aku lebih canggung saat bersama Ayah (tanpa Ibu). Bawaannya takut-takut begitu.

Ayah menggeleng. Dia mengangkatku, berkata, "Mama nanti marah lho kalau Mat kelaparan. Ayo kita makan malam."

Aku mengangguk malu-malu. Kami pun segera meluncur menuju lift.

Aku benar-benar menyesal mengikuti perintah Ayah.

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di sofa rumah. Dia pasti tahu aku sudah menggantuk dari tadi dan membawaku pulang.

Buru-buru aku beranjak dari sofa, menjatuhkan sesuatu ke bawah meja.

"Lho? Ini kan dompet Ibu?" gumamku menatap benda petak itu dengan kerutan di kening. Barulah aku sadar jaket yang Ibu kenakan kemarin menjadi selimuti di ruang tamu ini. Si Ayah benar-benar hanya mengantarku ke rumah dan tancap gas kembali ke rumah sakit.

Aku memakai jaket tersebut, memasukkan dompet Ibu ke sakunya, beralih melangkah ke pintu depan. Beruntung aku tahu Ibu dirawat di rumah sakit langganan. Aku tidak perlu takut tersesat.

Sesampainya, Ayah membentuk peace tanda meminta maaf dan berdamai. Aku memberengut dan menatapnya kesal. Awas Ayah ulangi. Mat diemin satu jam. Demikian maksus ekpresiku.

Ibu masih belum siuman. Dua jam, empat jam, sampai delapan jam kemudian. Ruang kecil itu sudah dipenuhi oleh Nenek, Paman, Bibi, dan kerabat anggota lainnya sehingga membuatku sesak.

Aku keluar dari kamar, duduk di bangku tunggu. "Ibu kapan bangun, ya? Kan Ibu belum membuatkanku makanan kesukaanku," ucapku menatap langit-langit.

Bosan, aku jalan-jalan di koridor. Menyapa ramah suster dan penghuni rumah sakit yang lain. Tak sengaja aku melihat ada pedagang permen di bawah. Mataku terbelalak melihat gula kapas pink di angkutannya.

Ah..., aku tidak punya uang untuk membelinya.

"Tunggu!" Aku mengeluarkan dompet Ibu. Ada beberapa lembar uang di dalamnya, tersenyum senang. "Aku pakai uang Ibu saja! Besok aku akan langsung menggantinya. Mat janji, Bu. Jangan marahi Mat. Bakal Mat ganti langsung besok kok!"

Tapi, malamnya ....

Alat monitor jantung menunjukkan garis lurus.

Aku terdiam cukup lama di luar ruangan, menatap tangkai permen yang tidak jadi kumakan.

Padahal aku belum mengganti uang Ibu. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro