Keajaiban Sweet Seventeen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berhenti mencatat, menoleh ke samping, menatap langit biru. Hari sangat cerah. Suara kepak burung dan siulan angin melakukan duet berhasil membuat pelajar di kelas tidak bosan.

Sepertinya menyenangkan terbang bersama burung-burung. Bukankah begitu?

Jika kita punya sayap, kita bisa terbang ke mana pun kita suka. Kita bisa bebas mengelilingi langit dan tidak capek-capek berjalan kaki. Itu praktis dan amat menguntungkan.

Kuketuk-ketuk buku tulis dengan pulpen, menulis tanggal 3 januari 2021 di kolom yang tertera, menopang dagu. Ah, aku lupa, hari ini aku berulang tahun.

Tapi itu tidak ada artinya lagi bagiku. Aku yatim piatu. Orangtuaku meninggal bulan lalu karena kecelakaan. Saat ini aku tinggal sendiri di rumah warisan Ibu dan Ayah atas namaku sendiri. Hidup mandiri.

Bunyi bel berdering. Aku menutup buku, berdecak mendapati Qinqa (teman sebangkuku) molor indah dengan buku yang teronggok menutupi wajahnya.

"Bangun, Qinqa, ayo kita pulang. Bel sudah berbunyi." Percuma. Pakai toa sekalipun, Qinqa memang anak kebo. Susah dibangunin.

Kutinggalin aja? Tapi aku tidak tega. Nanti dia tertidur sampai malam gimana? Yah, karena dia laki-laki, aku tak perlu takut dia kenapa-kenapa. Qinqa pasti bisa menjaga diri.

Aku mengambil botol air, menyiram wajah Qinqa. Kukira dia akan bangun, wajah tidurnya malah berubah tampang mesum yang ngefly. Astaga? Apa yang dia mimpikan?

"Roza, apa kau mau menemaniku ke pasar?" celetuk Zayta. Salah satu dari delapan murid lelaki di kelasku. "Aku mau membeli makanan kucing untuk kucingku."

Aku manyun. "Kalau bukan untuk kucing namanya bukan makanan kucing."

"Mau temani, nggak?"

Memandangi kiri-kanan, aku bertanya, "Ke mana lima temanmu? Bukankah kalian kayak ekor beruk—maksudku saudara."

"Kami di sini!" Kejutan, mereka ternyata bersembunyi di balik koridor. Yang bodohnya, kenapa aku tidak menyadari persembunyian mereka yang mencolok? Ah, pikiranku benar-benar tidak ada di sini.

Aku melipat tangan ke dada. "Kalian belum pulang? Ada apa, heh? Ada yang ultah?"

"Itu yang ngomong." Ini namanya Thega.

"Kenapa kau bertanya lagi? Ini kan tanggal 3 januari." Yang ini namanya Ghante.

"Serius deh. Kau tidak ingat ulang tahunmu sendiri? Jangan-jangan kau masih sedboi, Roza?" Lalu ini namanya Lanoni.

"Kucingku bagaimana? Kita ke pasar dulu, kumohon. Aku punya 5 ekor kucing di rumah. Mereka sudah lapar dari pagi karena aku lupa memberi mereka makan kemarin."

"Bilang kucing sekali lagi, kutampol." Ini sih namanya Takalz.

"Kau pikir dirimu Peri Kucing? Sadar gender, Zayta, kamu itu laki-laki. Jangan belok." Terakhir, namanya Terasha.

"Memangnya laki-laki tidak boleh menyukai kucing? Kucing kan lucu. Semua orang menyukai kucing. Tidak ada hubungannya dengan belok."

"Apa isi otakmu hanya kucing dan kucing?"

"Qinqa bangun dong. Tak gendong pulang nih."

Aku memijit pelipis. Mereka berisik sekali. Aku tak suka keramaian. Apalagi laki-laki semua, kayak kumpulan preman gimana gitu. Atau kumpulan geng motor. Nanti dicap berandalan oleh guru, gimana?

"Oke, oke. Jangan berisik lagi. Mari kita ke pasar. Tapi hanya aku dan Zayta. Sisanya silakan pulang sebelum kutonjok. Lalu, kuserahkan masalah Qinqa padamu, Ghante. Aku menyerah membangunkannya."

***

"Apa ada yang menganggu pikiranmu, Ro?" Zayta mengambil sembarang topik, memutus hening.

"Kenapa bertanya?" balasku basa-basi. Pasar lumayan ramai sore ini. Jujur saja, ini agak memalukan. Anak SMA, dua laki-laki, satu jantan satu jantan-betina, pergi ke pasar untuk membeli makanan kucing. Terdengar aneh.

Zayta berdiri di warung tempat jualan ikan cupang, mengabaikanku. "Bang, ikan cupangnya 10 ekor."

"Eh, Dek, kok banyak banget. Buat apa?" Si Penjual berucap bingung.

"Buat koleksi."

Masih setengah bingung mengapa Zayta membeli banyak ikan, Si Penjual Ikan Cupang hanya mengangkat bahu, segera membungkus ikan-ikan tersebut ke kantong plastik. Lumayan, dapat untung gede.

"Ngapain sih kamu?" Aku berkacak pinggang. "Jadi tidak beli makanan kucingnya?"

"Jadi kok," balas Zayta datar. Matanya mati seperti ikan. "Aku hanya penasaran, apa kau tidak punya harapan di ulang tahunmu yang ke-17 ini? Sangat disayangkan sweet seventeen tidak memiliki memori indah."

"Harapan, ya," Aku mendongak menatap langit senja. "Aku tidak ingin berharap lagi. Habisnya berharap terlalu tinggi hanya membuatku jatuh ...."

Mataku menatap poster kehilangan di tiang listrik. 'Yang menemukan anjing/kucing ini, silakan hubungi XXXXX'. Bodoh. Siapa juga yang mau mencari sesuatu tanpa imbalan? Dunia sudah berubah.

"Tapi paling tidak, kau harus mengharapkan sesuatu, Roza." Lima menit menunggu, Zayta keluar dari toko perkakas hewan, membawa seplastik makanan kucing. "Itu menyenangkan kok."

Kembali menatap langit, aku tersenyum kecil, "Aku ingin punya sayap dan bisa terbang bersama burung-burung di angkasa. Yah, itu harapan mustahil sih."

Seolah peri ajaib betulan ada, seolah jin dalam lampu yang bisa mengabulkan permintaan nyata, seolah ada penyihir hebat, tubuhku mendadak dibungkus cahaya putih yang dapat kupastikan bukan cahaya biasa.

Zayta menjatuhkan bungkus makanan kucing. Makanan itu berserak ke tanah. Dia mundur ke belakang, wajah pucat pasi, syok dan tegang berpadu.

Sepuluh detik dipilin cahaya aneh, akhirnya aku 'dimuntahkan' keluar. Aku mengerjap, punggungku terasa berat. Belum lagi ada bulu-bulu putih berguguran di sekelilingku.

"Roza, kau...!" Zayta menutup mulut, berseru tertahan. "Punya sayap! Kau seperti burung!"

Ini bukan mimpi. Sepasang sayap menempel di punggungku. Bukan sayap mainan atau efek kamera, namun sayap asli! Dua benda berbahan bulu ini seakan menyatu dengan tulang punggungku.

Mencoba mengepakkannya, aku terbang dua inci dari tanah. Setelah merasa tidak akan jatuh, aku tersenyum lebar, langsung meluncur ke atas, menembus awan putih. Bahkan Zayta di bawah terdorong oleh arus angin yang kuat.

Kukira keajaiban tentang sweet seventeen itu hanyalah mitos, tidak kusangka itu nyata! Tuhan mengabulkan permintaanku!

Lihat aku, Ayah! Ibu! Aku bisa terbang sekarang! Aku bisa menuju surga dan bertemu dengan kalian! Aku akhirnya bebas!

Dua jam terbang tanpa istirahat, aku kembali ke daratan, hati-hati supaya tidak dilihat oleh penduduk. Nanti dipotret dan diposting. Aku mendadak jadi manusia langka yang memiliki sayap.

Zayta ngos-ngosan. "A-akhirnya kau turun juga," desahnya mengatur napas. "Kupikir kau meninggalkanku."

Aku mengusap bagian belakang leher, cengengesan. "Maaf, aku terlalu keasikan. Hari sudah malam, mau kuantar pulang? Zayta pasti juga ingin terbang, kan?"

Zayta teman pertama yang melihat insiden ajaib ini, aku wajib membawanya terbang bersamaku. Siapa yang tidak suka terbang, heh.

"K-kau yakin? Aku berat lho?"

"Tidak apa! Aku yakin kau juga ingin terbang, kan? Mari kuantar kau sampai rumah!"

Aku melangkah ke belakang Zayta, mulai mengepakkan sayap. Zayta menahan napas, mendekap erat-erat makanan kucing yang tersisa setengah karena jatuh tadi. Kami sudah melayang sepuluh inci.

Mata Zayta berbinar-binar memandangi malam dari atas langit. Angin kencang mengembus kami, membuat menggigil. Tapi kami tidak menghiraukan itu sebab asyik melihat pemandangan kota dari atas. Terlihat indah sekali. Banyak cahya lampu rumah penduduk seperti bintang kalau dilihat dari sini.

Tujuh menit, kami sampai di kediaman Zayta. Zayta tinggal sendiri, kedua orangtuanya pergi bisnis ke kota lain. Lampu rumahnya padam.

Kami turun tepat di depan pintu rumah, sekaligus celingak-celinguk memastikan tidak ada orang yang lewat. Nanti aku tertangkap basah.

Zayta terkekeh, paham maksud wajah hati-hatiku. "Jangan khawatir, Roza. Tidak ada siapa-siapa di sini. Tetangga-tetanggaku rumahnya pada jauh."

"Kau tidak takut apa gitu? Di sini agak horor. Kenapa para tetanggamu pindah?" Lahan kompleks di sini masih luas. Apa mereka tidak sanggup membayar pajaknya?

Zayta merogoh saku, mengeluarkan kunci pinth. Ekspresinya berubah kosong. "Kata mereka, rumahku berisik dan bau. Makanya mereka pindah dan menjauh."

"Bau kenapa? Kau malas membersihkan rumah?"

"Iya, kan? Padahal aku rajin kok bersih-bersih." Zayta memutar gerendel pintu. Pintu terbuka. Dia mengambil sesuatu dari balik pintu.

Aku mengangkat bahu, tersenyum. "Kalau begitu aku pamit dulu. Sampai jumpa besok, Zayta!"

"Ngomong-ngomong, Roza, selamat ulang tahun ya." Terdengar puluhan suara meongan kucing dari dalam rumah. Juga suara-suara hewan lainnya.

Aku berbalik. "Terima kas—"

Zayta melayangkan mesin gergaji ke sayapku. Darah memuncrat.

Aku tersentak bangun. Tanganku kebas mati rasa. Buk Guru menatapku cemas. "Apa kau baik-baik saja? Ini baru hari pertama kau pindah kemari. Kenapa kau tidak mencoba berteman malah tiduran di sini?"

Aku mengelap keringat dingin. "Aku takut berteman." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro