Kotak Sampah Itu Bertanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kotak sampah itu bisa berbicara.

Dia mengeluh kenapa banyak sekali murid-murid membuang sampah di jalan padahal dia sudah berdiri di tengah-tengah kerumunan. Apa keberadaannya tidak dianggap? Atau mereka terlalu enggan menyentuh kotak itu?

Tapi, kan, dia kotak sampah. Berguna untuk menampung segala jenis sampah sampai petugas kebersihan mengangkut semua sampah tersebut ke mobil. Kenapa mereka mengabaikannya?

Dibanding kotak-kotak sampah yang lain, hanya kotak itu yang buruk rupa. Penutupnya yang sudah retak-retak. Tangkai penopangnya yang berkarat. Juga warna badannya yang memudar karena siang-malam disengat mentari dan disiram air hujan.

Mungkin karena itulah orang-orang tidak mau membuang sampah di situ. Jika rusak, mereka akan dituntut ganti rugi. Mereka pasti memprioritaskan tindakan mencegah yang dirasa tak perlu.

Kotak sampah itu bisa berbicara.

Dia hanya ingin digunakan. Hanya karena umurnya sudah tua, penduduk mengabaikan fungsinya karena tidak mau membuang uang.

Kotak sampah itu bisa berbicara.

Dia bilang, dia hanya ingin 'dilihat' tanpa memandang fisik. Selagi dia masih bisa digunakan, kenapa diabaikan?

Aku ingin berbicara, kenapa Ibu tidak mau menyuruhku melakukan ini-itu sementara kakak-kakakku bekerja? Padahal aku bisa membantu Ibu mengangkat barang. Tetapi Ibu hanya menyuruhku diam menonton.

Apa Ibu menyayangiku? Tidak. Beliau takkan melarangku jika menyayangiku.

"Ibu, biarkan aku membantumu."

Ibu menatapku sinis. "Anak cacat sepertimu bisa apa? Jika kau jatuh dan kenapa-kenapa, uang bulan ini harus habis untuk biaya pengobatanmu. Sudahlah, kau diam dan duduk saja. Aku tidak membutuhkanmu."

Aku menundukkan kepala, menatap kedua kakiku yang utuh namun tak bisa digerakkan.

Ah, karena ini rupanya. Ibu tidak menyayangiku. Dia hanya tidak mau mengeluarkan pengeluaran. Salahku juga cacat di usia segini.

"Haaah," Ibu melepas rasa lelah. "Kenapa nasibku seperti ini? Ditinggal suami, mempunyai anak tiga, dua berguna dan satu tidak. Membanting tulang untuk membesarkan mereka dan pengobatan si bungsu. Inikah keberuntunganku?" Ibu menoleh kepadaku. "Jika kau tidak ada, kakak-kakakmu sekarang sudah di luar negeri untuk kuliah dan bekerja menghasilkan uang untukku. Mereka terhambat karenamu."

Siapa yang meminta Ibu melahirkanku?

Jika aku hanya penghambat studi Kak Jun dan Kak Rio, kenapa Ibu melahirkanku yang tidak berguna ini? Siapa yang salah sekarang.

Aku tidak tahu. Apa itu salahku? Tapi, aku tidak menyuruh Ibu untuk mengandungku kok.

Ibu menghela napas pendek, memotong-motong kulit daging. "Melahirkanmu adalah kesalahan. Harusnya aku tidak serakah waktu itu. Dua saja sudah cukup. Atau kau mau menjual diri, hmm? Ibu sangat membutuhkan uang. Ibu kenal bar tempat tante-tante cantik. Kau bisa memuaskan nafsu mereka di sana."

"Lebih baik aku cacat selamanya daripada melakukan itu," ucapku mendengus.

"Lihatlah gaya bicaramu, Gadis Gila. Aku sakit-sakitan untuk membiayai terapimu, tetapi kau sama sekali tidak membantu. Apa kau tidak malu dengan kakak-kakakmu? Mereka berguna. Mereka bisa menghasilkan uang untukku. Tapi kau?" Ibu menghela napas jengah, kehabisan kalimat untuk menasehatiku. "Aku benar-benar menyesal melahirkanmu."

Itu bukan salahku, oke?

Aku takkan menangis karena semua perkataan Ibu benar. Aku memang anak tidak berguna yang hanya merepotkan beliau.

Aku juga ingin berguna untuk Ibu. Bekerja mencari uang untuk Ibu agar Ibu tak perlu memakai koyo lagi, supaya tidur Ibu bisa pulas, supaya Ibu tidak sakit-sakitan lagi dan tinggal duduk di rumah sepertiku sekarang.

Aku sungguh ingin membahagiakan Ibu dengan caraku sendiri.

Malam hari, hujan turun dengan deras. Petir menyambar sesekali. Udara sangat dingin dan kami tidur di lantai menggunakan satu selimut.

Ibu hanya menyelimuti Kak Jun dan Kak Rio, memeluk mereka, menyalurkan rasa hangat. Membelakangiku yang tidak bisa tidur. Aku hanya melihat punggung Ibu, mengabaikan tubuhku yang menggigil.

Setiap hujan turun, Ibu pasti hanya fokus melindungi Kak Jun dan Kak Rio supaya mereka tidak pilek atau demam. Dengan begitu mereka berdua bisa terus mencari uang untuk kebutuhan hidup kami sehari-hari.

Tetapi, aku hanya makan sedikit karena aku sadar diri. Nasi dan lauk itu dibeli oleh uang mereka. Aku sama sekali tidak ikut patungan. Makanya kadang aku hanya meminum air putih saja atau pinggiran roti yang diberi tetangga.

Ibu hanya melihat kakak-kakakku karena mereka berguna.

Sementara aku tidak.

Oleh karena itu, Ibu tidak peduli padaku. Sakit, lapar, sedih, Ibu hanya "melihat" Kak Jun dan Kak Rio. Mungkin baginya aku hanya bayangan yang tidak perlu diperhatikan karena begitu cahaya hilang, bayangan tersebut lenyap.

Aku beringsut merangkak dengan tangan ke tempat Ibu yang memunggungiku, memeluknya dari belakang.

"Ibu, aku juga mau merasakan kehangatanmu. Kau sangat hangat. Bahkan lebih hangat dari selimut."

Boleh, kan?

*

"AREN!" terdengar suara bentakan Ibu. "Kenapa gelas di meja pecah?! Kau yang memecahkannya, kan? Aku sudah bilang jangan berkeliaran dengan dua tongkat kayu itu! Kau bisa merusak!"

Aku spontan menggeleng. "Bukan aku, Bu."

Kak Jun berdiri di depanku. "Itu bukan salah Aren, Bu. Aku yang memecahkannya! Tadi aku tak sengaja terpeleset ke meja makan mencari gunting dan menjatuhkan gelas itu, Bu," ucapnya menunjuk kaki yang lebam terantuk meja.

Wajah marah Ibu mereda, membelai lembut kepala Kak Jun. "Kaki Jun tidak apa-apa? Tidak terluka, kan? Lain kali bilang aja ke Ibu kalo ada perlu ya?"

"Umm!"

Aku menatap mereka dengan wajah datar. Mungkin karena pemandangan di depanku saat ini sudah terlalu sering kualami dan klise, jadi, aku sudah biasa disalahkan. Lalu Ibu akan membela jika itu perbuatan kakak-kakakku.

Aku tidak menangis karena aku tidak berguna seperti mereka. Kak Jun dan Kak Rio patut diistimewakan karena mereka berguna untuk Ibu. Sedangkan aku tidak. Karena aku tidak berguna dan mereka berguna.

Hari berganti dengan cepat. Aku duduk-duduk di teras sambil memerhatikan anak-anak berseragam putih-merah tengah meloncat-loncat di jejalanan. Mereka terlihat semangat dan riang sekali, sesekali berseru.

Aku tersenyum melihatnya. Jika aku sekolah, mungkin kira-kira saat ini aku sudah memakai seragam putih-biru dan bergaul dengan banyak teman. Memulai kehidupan remaja pada umumnya.

Tetapi itu hanya akan terjadi di mimpiku saja.

Nyatanya, aku tidak sekolah. Ibu tidak menyekolahkanku dan beliau takkan mau. Apa gunanya membuat anak cacat tak bisa berjalan sekolah? Yang ada hanya menambah biaya kehidupan. Aku bisa menghapal pikiran Ibu.

Makanya aku tinggal di rumah saja sambil mencuri-curi ilmu dari buku paket pelajaran milik Kak Jun dan Kak Rio. Jadi, aku bisa belajar private tanpa harus ke sekolah. Toh, ke sekolah pun takkan banyak yang kudapatkan.

Teman? Siapa yang mau berteman denganku.

Bosan, aku bangkit dari kursi, melangkah masuk ke dalam dengan kedua tongkatku. Hari ini terlihat sepi karena kedua kakakku sedang sekolah.

Ibu? Entahlah. Pagi-pagi subuh beliau sudah bergegas pergi. Mungkin ke pasar untuk membeli bahan makanan hari ini.

Klek

Aku yang sedang membaca di kamar, tersentak mendengar suara pintu masuk berbunyi. Apa Ibu sudah pulang?

Mengambil tongkat, aku menyusul ke ruang tamu. Ibu datang dengan seorang wanita paruh baya. Siapa dia?

"Ini dia anak yang kumaksud," kata Ibu menunjukku. Kenapa ini? Firasatku tidak enak.

Wanita itu menatapku dari atas sampah bawah, tersenyum manggut-manggut. "Dia imut dan manis sekali, Nyonya. Mungkin hanya kurang di kaki, tapi selebihnya dia amat sempurna. Saya ingin membelinya dengam harga 20.5 M."

Bola mata Ibu terbelalak. 20.5 M?! Itu sangat mahal dan tinggi! Ibu bisa langsung kaya dalam sehari!

Tapi, tunggu. Apa katanya tadi? Membeli? Wanita itu ingin membeliku?

Maksudnya Ibu menjualku?

Ibu mengusap-usap tangan. "Oh, tentu saja, Mbak. Anda sudah boleh membawanya pergi. Dia tidak berguna di sini mungkin bisa berguna unuk Mbak. Itu... Uangnya kapan ...."

Wanita itu tersenyum, langsung menyerahkan satu koper berisi lembaran merah ke hadapan Ibu.  Mata Ibu berbinar-binar melihatnya.

"Jangan terima uangnya, Ibu!" seruku masih setengah berharap Ibu mau mendengarku.

Tetapi naas. Ibu malah menatapku tajam. "Kau ingin berguna, kan? Nah, jadilah berguna sekarang."

Tidak mau. Aku tidak mau diriku menjadi hina!

Dengan tertatih-tatih, aku menabrak mereka berdua sehingga uang di dalam koper jatuh berhamburan ke lantai, keluar dari rumah. Ibu panik dan secepat kilat mengumpulkan uang-uang tersebut.

Hatiku sakit dibuatnya. Aku tidak apa-apa Ibu bersikap tak acuh padaku. Aku tidak apa-apa Ibu tidak menghiraukan keberadaanku. Aku tidak apa-apa Ibu tak peduli padaku. Aku tidak apa-apa Ibu tak "melihatku".

Tetapi, Apa-apaan ini? Ibu mau menjual anaknya sendiri kepada orang asing?

Jahat.

Aku sudah berjuang keras untuk tidak menangis atas tindakan Ibu selama ini, tetapi hari ini adalah klimasknya. Ibu menjualku! Ibu menjual anaknya sendiri! Dan kenapa wanita itu memberi harga yang sangat tinggi untukku yang pincang ini?!

Aku tiba di taman kota, merasa lelah karena berlari menggunakan tongkat. Aku bahkan tersungkur karena tongkatku menyandung batu dan bangkit kembali dengan lutut berdarah. Orang-orang melihatku keheranan. Anak pincang berlarian dengan lutut terluka.

Duduk di bangku taman, aku mengembuskan napas panjang, menenangkan diri.

Sepertinya kesabaranku selama ini tidak ada gunanya, ya?

Hei, lihat, Kotak sampah itu bisa berbicara!

Dia bertanya, kenapa dia begitu malang.

Dia bilang, dia ingin digunakan. Namun, penduduk mengabaikannya karena dia sudah rusak.

Hei, dengar, aku si cacat ingin berbicara!

Aku berkata, aku ingin dilihat oleh Ibuku. Aku ingin terlihat berguna untuk Ibuku. Aku ingin Ibuku tidak membedakanku dari Kak Jun dan Kak Rio. Aku ingin Ibu menerimaku apa adanya.

"Kau sama sepertiku ya. Sama-sama ingin berguna," gumamku tersenyum.

Karena kebetulan akulah kotak sampah tersebut.

Tidak, tunggu.

Kotak sampah ini masih bisa didaur ulang setelah dihancurkan dan berguna nantinya.

Apakah aku bisa begitu?

Oh, aku tahu.

Aku tinggal mengeluarkan semua organku dan memberikan uang hasil penjualan organ tersebut pada Ibu! Dengan begitu, Ibu akan kaya raya tanpa perlu menjualku. Dan aku akhirnya menjadi anak yang berguna. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro