Malaikat di Lentera Kaca

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari natal tiba.

Aku mendapat hadiah dari Kakek yaitu mainan lentera. Di dalam lentera kaca itu, ada boneka malaikat perempuan dengan sayap putih dan hello di kepalanya. Dia memegang sebuah tongkat seolah sedang menabur sesuatu ke figuran-figuran rumah di bawahnya.

Kuperhatikan boneka malaikat di dalam lentera itu lekat-lekat, menghiraukan keluargaku yang mulai sibuk berbincang-bincang. Biasa, hari natal tahun ini memberi bonus liburan dua minggu lebih. Mereka bisa bercengkerama ria setelah tidak bertemu berbulan-bulan.

Apa benda ini bisa bersinar dalam gelap, ya? Namanya juga lentera pasti bisa. Namun, aku tidak melihat kabel listrik atau sesuatu seperti tuas penyala. Aku juga tidak melihat benda itu mempunyai tutup baterai—berarti penggunaannya tidak menggunakan baterai.

Daripada duduk kayak patung di sini, mending aku ke kamar saja mencoba mainan baruku. Mereka pasti juga asyik bercerita dan tidak mempedulikan satu penghuni rumah sudah menghilang. Aku bisa menghapus keberadaan dengan mudah.

Kuletakkan lentera kaca di meja, mematikan lampu kamar. Oh! Pantas tidak punya tuas! Lampunya sudah memang ada di dalam kotak lentera! Wow, ini indah sekali. Padahal bukan kotak musik. Dari mana Kakek mendapat ide membelikan hadia natal yang seperti ini?

Aku merebahkan kepala ke meja, menatap boneka malaikat yang menyiram desa dengan tongkatnya.
Dia pasti adalah malaikat utusan surga untuk membawa kedamaian pada suatu desa yang dilanda krisis dari berbagai segi kehidupan. Aku bisa membaca kisah malaikat itu dari sini.

Tapi, ada satu hal yang tidak kumengerti. Yaitu ekpresi wajah malaikat yang terlihat tak ikhlas. Apakah pemahatnya sengaja membuatnya seperti itu?

"Malaikat yang dermawan...," gumamku terkantuk-kantuk. Setahuku ini sudah malam, jam sepuluh. Sementara jam tidurku (untuk kalangan anak-anak) sekitar setengah jam yang lalu. Kesimpulannya, aku tidur di luar jam tidur yang sudah diatur.

Krek! Krek! Krek!

"Ng?" Terdengar suara derik seperti jam berkarat yang dipaksa berbunyi lagi. Aku menoleh ke belakang, samping kiri-kanan. Tidak ada siapa-siapa di ruangan kecuali aku.

Jelas, ini kan kamarku. Siapa yang mau masuk jika tidak datang lewat pintu? Dan pintu sudah kukunci tuh. Lampu juga sudah kumatikan. Jika aku sudah melakukan dua hal tersebut, maka Mama sama Papa berpikir aku telah tidur.

Lantas suara apaan yang barusan itu? Jam? Aku menoleh ke benda bundar yang tertempel di dinding kamar. Tidak ada bermasalah tuh.

"Ah, sudahlah. Mungkin aku kecapekan. Ini sudah lewat dari jam tidurku. Mari kita ke alam mimpi, Kawan." Aku naik ke atas kasur, menarik selimut untuk menutupi keseluruhan badan. Satu boneka panda seukuran manusia menemaniku.

Dua menit sebelum aku jatuh ke alam bawah sadar, tiba-tiba terdengar suara denting jam khas jam Kota London.

"Apa yang...?" Aku menatap bengong.

[Dugaanmu salah besar, Nak. Desa itu sama sekali tidak membutuhkan bantuan. Mereka 'jatuh' karena keserakahan mereka sendiri.]

Aku sontak bangkit dari kasur, menatap cemas ke sudut-sudut kamar, merinding luar biasa. "S-siapa?!" seruku takut-takut.

Ini mustahil! Yang barusan ... suara wanita, kan? Dari mana suara itu berasal?! Itu jelas bukan suara Mama atau Tante karena mereka masih di bawah! Dan lagi, suara ini tidak mempunyai wujud!

Jangan-jangan makhluk halus?

Aku melompat, berlarian menuju pintu tanpa menolehkan kepala lagi. Tetapi langkahku tertahan karena merasakan keberadaan orang lain di belakangku, menggambang di udara. Tanganku yang memegang kenop pintu gemetaran.

[Akan kuperlihatkan kepadamu .... ]

Aku memutar kepala dengan pelan ke belakang. Lentera kaca hadiah Kakek masih menyala. Tetapi, boneka malaikat di dalamnya sudah menghilang.

Tidak, bukan hilang. Melainkan keluar dari lentera. Terbang di kamarku, menatapku dingin. Aku tersandar ke pintu kamar.

[Malaikat pembawa kebahagiaan yang ada di pikiranmu hanyalah sebuah alat dengan alasan budi pekerti.]

Boneka malaikat itu dengan kedipan mata menyentuh kepalaku bahkan sebelum aku sempat membuka suara, berteriak minta tolong. Tubuhku lenyap beriringan dengan jatuhnya lentera kaca ke lantai kamarku. Anehnya lentera tersebut tidak pecah.

Aku telah dibawa pergi.

Beberapa menit merasakan tubuhku melayang dengan sensasi terjun bebas, barulah aku menyadari bahwa aku sudah berada di tempat lain.

Aku di mana? batinku menatap sekeliling yang cerah berawan dan ... aku melayang! Kuulangi, aku benar-benar melayang! Ya ampun, apa yang terjadi padaku?? Apakah aku sudah tertidur dan ini Dunia Mimpi? Tapi, eh, kan seingatku aku diserang sama hantu boneka malaikat yang keluar dari mainan.

Atau dua-duanya salah dan ini memang Dunia Mimpi? Ah!!! Aku tidak tahu!! Mana mungkin manusia biasa bisa melawan gravitasi! Aku pasti sudah ke Dunia Mimpi. Aku pasti sudah terlelap dan yang tadi itu hanya bunga tidur.

"Ayo cepat! Bawa dia ke rumah tabib! Dia butuh pengobatan!" seru seorang warga.

Aku akhirnya berhenti menceloteh dalam hati, melongokkan kepala ke bawah. Oh, aku berada di sebuah desa? Tapi kok..., suasana desanya terasa tak familiar?

"Apakah tidak apa membawa dia ke Rumah Tabib? Lihat dia baik-baik, Pak, dia monster!"

Aku melakukan gerakan berenang untuk terbang lebih dekat ke kerumunan warga. Yang mereka selamatkan adalah seorang wanita paruh baya bersayap putih dengan hello di kepala. Sayap wanita itu tertusuk oleh ranting. Juga tubuhnya penuh dengan luka gores. Aku ngilu melihatnya.

Tunggu...! Bukannya dia malaikat yang ada di lentera?!!

Bapak-bapak yang kelihatan kepala desa itu mengambil resiko. "Kesampingkan masalah identitas wanita ini. Dia jelas butuh pertolongan."

Jadilah mereka membawa wanita malaikat ke rumah Tabib dan merawatnya dengan telaten. Besoknya Sang Malaikat bangun dan berterima kasih pada warga desa.

Aku bergumam sendiri. Alur sudah sebagus dan selancar ini, di bagian mananya yang rusak nanti?

"Nona Malaikat, bisakah kamu membuatkan emas untuk kami? Desa kami amat miskin."

"Tentu saya bisa. Saya adalah malaikat. Dan saya akan membantu kalian karena sudah menyelamatkan saya dari sungai. Saya akan mengabulka permintaan kalian."

Begitu seterusnya.

Aku mengernyit. Lho, lho, kenapa kayak dongeng Ikan Mas Ajain? Dan hei! Jangan asal menyetujui begitu dong! Aku memperhatikan lebih teliti.

Jika Ikan Mas Ajaib mengabulkan permintaan penyelamatnya yang memiliki istri serakah, bedanya warga desa ini melakukan penyiksaan terhadap wanita malaikat. Setelah kuperhatikan, Nona Malaikat tidak bisa menggunakan kekuatannya terus menerus. Sementara warga desa itu jumlahnya banyak. Hampir setiap hari meminta agar menjadi orang kaya dengan sekilas mata.

Plak! Plak!

Nona Malaikat dicambuk oleh Kepala Desa karena tidak mengabulkan permintaannya, yaitu membuatkan alat transportasi modern seperti desa sebelah. "Kau seseorang dari surga, kan? Kau makhluk ajaib, kan? Kenapa kau tidak bisa membuat hal semudah ini?! Payah!"

"Ma-maaf, Tuan, tapi saya sudah tidak punya. Biarkan saya beristirahat."

"JANGAN MENGARANG KAMU! KAMU ITU MALAIKAT! MALAIKAT ITU TIDAK PUNYA NAFSU! BILANG SAJA KAMU TIDAK MAU MENGABULKAN KEINGINAN KAMI LAGI, KAN? KAMU LUPA SIAPA YANG MENYELAMATKANMU?"

"Ba-baik Tuan, akan saya buatkan."

Aku mengepalkan tangan. Seorang malaikat diperlakukan seperti babu.

Jadi ini maksud Nona Malaikat itu padaku? Alasan wajahnya dipahat dengan wajah tak ikhlas, begitu rupanya.

Dan bertahun-tahun pun berlalu. Aku menonton sampai habis. Desa yang penuh warga serakah itu sudah menjadi kota canggih. Banyak alat transportasi yang tak pernah kulihat sebelumnya ada di sana. Juga, penduduk di kota rata-rata berstatus kaya.

Lalu Nona Malaikat..., tewas. Mereka menyembunyikan jasadnya ke dalam sebuah peti yang akan dihanyutkan. Kulihat penjaga peti itu pergi mengurus sesuatu. Yosh! Ini kesempatanku!

Aku turun ke bawah dengan susah payah sebelum dua penjaga peti itu kembali. Kutarik kunci peti memakai tenaga dalam dan KLIK! Terbuka! []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro