Jarum Mulia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membungkukkan badan hormat. "Terima kasih sudah menerima saya di klub ini, Kak! Saya akan bekerja semaksimal mungkin agar tidak mengecewakan kalian!" seruku semangat.

Namaku Penny. Kelas satu SMA yang baru berumur lima belas tahun. Desember nanti ulang tahunku ke-16. Hari ini hari ketigaku sekolah di sekolah baru setelah mengikuti kegiatan MPLS.

Setelah mendapatkan kelas resmi, mata pelajaran serta wali kelas, bagan anggota kelas, lalu sekarang aku harus mengurus kegiatan klub untuk nilai ekstrakurikuler. Dan aku memilih klub menjahit untuk mengisi nilai ekstra-ku.

Orang-orang mengatakannya hobi.

Sejak SD aku selalu memperhatikan pekerjaan Ibuku yang seorang penjahit. Lalu ayahku seorang guru seni. Tidak lupa kakak-kakakku masuk ke Jurusan Arsitektur. Sekarang tinggal aku anak bungsu.

Aku memang sudah bertekad akan mengikuti jalan keluargaku yaitu seni. Bukan menjadi penjahit atau designer, tetapi menjadi pelukis. Benar! Itulah cita-citaku! Menjadi seorang pelukis jalanan!

Tapi sayang sekali tidak ada klub melukis di sekolah ini, jadilah aku bergabung ke Klub Menjahit dan menjadikan 'melukis' hobi sampingan. Lagi pula aku tidak membenci jahit-menjahit. Mana tahu aku bisa jadi Ibu saat besar nanti. Ehehehe.

Kedatanganku disambut dengan kakak kelas yang ramah dan sopan. Tidak ada seorang pun yang dingin di klub itu. Mereka menyambutku hangat membuatku segan. Apakah ini suasana Klub Menjahit SMA XXX? Solidaritas sekali.

Besok adalah kegiatan pertamaku di klub. Aku tidak sabar menantikannya! Apakah kakak kelas akan menyuruhku membuat gambar bunga atau sesuatu yang lebih rumit lagi. Aku tidak sabar!!

Aku pulang ke rumah dengan ceria. Berbagai lirik lagu kusenandungkan di jejalanan yang sepi. Melihat keceriaanku, satu dua pejalan kaki ikut tersenyum. Sepertinya aura kelinci-ku meluber ke mana-mana.

Sesampainya di rumah, aku bercerita sedikit dengan keluargaku tentang klub baruku. Mereka bangga dan kagum bahwa aku kelak akan mengikuti jalan hidup mereka di masa depan. Sebagai hadiah, Ibu membuat makan malam kesukaanku!

"Penny," sapa teman sebangkuku. Namanya Zandar. "Kudengar kamu masuk Klub Menjahit, ya? Bagaimana?"

Aku mengangguk semangat menanggapi. "Aku ingin seperti Ibu, Ayah dan Kakak-kakakku! Umm, nanti sore kegiatan pertamaku sih. Zandar?"

Dia menggaruk tengkuk yang tak gatal, menjawab gagap. "A-aku masuk klub basket. Cuman iseng sih. Aku sama sekali tidak berbakat."

"Tida berbakat apanya...!" seruku menyikut lengan Zandar. "Menurutku kamu cocok kok di situ. Kulihat kamu juga tinggi dan tide ideal pemain basket. Kudoain deh ntar kamu bisa main basket. Eits, jangan lupa berlatih giat, ya!"

Zandar menatapku lama, tersenyum. "Terima kasih dukunganmu. Aku akan berusaha. Penny juga harus semangat klubnya."

"Oh tentu! Aku akan membanggakan keluargaku dengan bakatku! Lihat saja nanti!" seruku menggebu-gebu.

Bel pulang berbunyi. Bel yang sudah kutunggu dari tadi. Secepat kilat kurapikan perkakas sekolahku, menyandeng tas. Kuangkat kursi ke atas meja, berdoa bersama teman-teman, lantas cabut bagai angin. Piketku hari jumat dan ini baru hari rabu.

"Apa itu barusan? Angin?" celetuk murid-murid saling pandang.

Zandar tersenyum kikuk. "Si Penny tuh. Dia semangat sekali ke klubnya. Yah, menjahit kurasa cocok dengannya."

Hening seketika.

Zandar terdiam. Apa dia mengatakan sesuatu yang salah atau sensitif? Atau mereka tidak menyukai teman sebangkunya? Tapi yang Zandar ketahui anak-anak di kelas itu friendly kok.

"A-ada apa?" Zandar bertanya bata.

"Barusan ... kau bilang menjahit? Penny bergabung ke Klub Menjahit?"

Zandar mengangguk. "Kenapa?"

Salah satu murid perempuan yang tomboi menjawab santai, "Kau tidak tahu? Klub itu kan sudah ditutup lama semenjak sebuah insiden."

***

Aku akhirnya sampai di Klub Menjahit. Papan nama yang diukir seindah mungkin menambah daya tarik klub ini. Duh, aku sangat antusias.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengeratkan pegangan terhadap tali tas. Perlahan namun pasti, aku meraih gerendel pintu klub gemetaran. Aduh! Padahal, kan, kemarin aku tidak segugup ini. Kamu kenapa sih, Penny? Sadarlah! Kamu sudah jadi anggota Klub Menjahit!

Berhasil! Aku berhasil membuka pintu klub!

Prok!

Terdengar suara letusan terompet dari dalam. Berbagai kertas warna-warni menghambur ke wajahku. Rambutku penuh dengan potongan-potongan kertas origami. Semua anggota Klub Menjahit sudah menungguku sedari tadi.

"Selamat datang di Klub Menjahit secara resmi, Penny!" sambut mereka ramah plus serempak. Kepala mereka dihiasi topi kerucut ala-ala ulang tahun. Termasuk anggota cowok.

Aku ... ingin menangis merasakan momen ini. Aku terlalu cengeng. Tidak kusangka mereka seberlebihan ini demi menyambutku ke klub mereka. Sampai menghias klub dengan ucapan 'selamat datang'. Aku benar-benar terharu!

Aku membungkukkan badan, menyapu ujung mata yang berair. "Terima kasih, teman-teman! Terima kasih!"

Ketua klub, Kak Fanny, menyodorkan sebuah kotak kepadaku. "Sebagai hadiah penerimaan anggota baru, akan kuberikan ini padamu."

Aku menerimanya dengan wajah penasaran. "Apa ini, Kak?" tanyaku membuka kotak tersebut. Isinya adalah sebuah jarum perak berkilau! Ini jarum tercantik yang pernah kulihat. "Apakah ini tanda anggota klub, Kak?"

Kak Fanny tersenyum. "Tepat sekali. Kami mempunyai tradisi memberikan Jarum Mulia pada setiap pendatang baru. Ya, kan, guys?"

Kakak-kakak kelas lainnya mengangguk serentak. Kekompakan mereka membuatku iri. Lalu nama jarum ini terdengar suci banget.

Tapi, eh ....

Aku memerhatikan wajah para anggota klub, melongo kecil. Kenapa wajah mereka terlihat pucat begitu? Apa mereka sakit dan memaksakan diri datang ke sekolah untuk menyambutku?

Tanganku terkepal. Mereka sangat berlebihan!

"Nah, Anak Baru, tugas pertamamu simpel dan mudah. Kami takkan memberi pekerjaan sulit karena hari ini hari pertamamu bekerja bersama kami." Kak Fanny melanjutkan upacara penyambutan. "Apakah kau sudah siap? Biasanya kami bekerja sampai malam lho."

Aku menyeringai. Tentu aku tahu itu! Ibu bahkan sampai lembur di tokonya demi menjahit pesanan pelanggan. Ayah juga sering begadang di gudang terhanyut dengan mahakaryanya. Lalu kakak-kakakku sibuk mempertajam ilmu seni mereka.

Aku tersenyum semangat. "Kakak sudah tahu jawabanku! Tentu saja aku siap!"

Kak Fanny luas mendengar jawabanku. "Baiklah, baiklah. Mari kita ke ruang kerja. Ruangannya ada di bawah tanah agar tidak terusik oleh murid-murid dari klub lain."

Pantas saja aku merasa aneh dengan ruang Klub Menjahit yang kecil dan sempit. Ternyata mereka punya ruang cadangan. Baguslah! Dengan ini aku bisa berkonsentrasi dalam menjahit!

"Oh, persiapannya sudah selesai, Fik?"

Di bawah sudah menunggu Kak Fiko, Wakil Ketua Klub. Dia tampak baru selesai memahat sesuatu. "Selesai, Ketua!"

Jantungku berdebar kencang terbawa suasana. Apakah tugas pertamaku sampai Ketua dan Wakil turun tangan? Ayolah! Beritahu aku!

Di tengah-tengah ruangan, terletak sebuah peti hitam seukuran manusia. Kak Fanny menepuk-nepuk peti tersebut. "Tugas pertamamu ada di dalam kotak ini."

"Apa, Kak?" Aku bertanya tak sabaran.

Kak Fanny tersenyum, membuka kotak peti. Mataku terbelalak melihat sosok Zandar terikat di sana.

"Tugas pertamamu adalah menjahit mulut teman sebangkumu." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro