Pergi, Pergi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Buat apa kau berjanji kalau ujung-ujungnya kau ingkari? Lebih baik pergi saja dan jangan kembali. Jangan membuatku berharap lebih."

"Rei, dengarkan aku dulu."

Aku menulikan telinga, melempar plastik sampah ke tempat pembuangan, bergegas kembali ke rumah. Sudah sejak tadi aku menahan air mataku agar tidak tumpah.

"Rei!" Nalu menahan tanganku. "Kau serius memperlakukanku seperti ini? Aku akan berangkat besok, Rei."

"Lepas!" bentakku menepis tangan Nalu. "Aku tidak peduli. Pergi saja kau sana."

"Rei ...."

Baru kemarin rasanya aku dan Nalu berteman. Baru kemarin rasanya akhirnya aku bisa menyesuaikan diri di lingkungan baru. Baru kemarin rasanya aku mempunyai teman setelah setahun homeschooling. Kenapa Nalu harus pindah secepat ini?

Aku menghadap ke depan, menatap Nalu. "Apakah kau tidak bisa tinggal? Kau sendiri yang bilang padaku kita teman selamanya. Kau sendiri yang bilang kita akan berteman sampai mati. Kenapa sekarang kau mengingkari perkataanmu sendiri? Kau pembohong."

Kumohon, bilang bisa. Aku tidak bisa jika kamu tidak ada di sisiku, Nalu!

"Aku juga tidak mau," gumam Nalu berkaca-kaca. "Tapi Ayahku keras kepala ingin pindah. Aku bisa apa?"

Aku menatap kecewa. Sepertinya Nalu benar-benar tidak bisa tinggal bersamaku. Dia tidak salah. Yang salah orangtuanya! Kenapa mereka harus pindah ke kota lain? Kenapa tidak dekat-dekat sini? Paling tidak aku bisa menemui Nalu.

Kenapa harus jauh? Mereka mau menjauhi Nalu dariku? Kenapa? Apa salahku?

Nalu menoleh ke belakang. "Sepertinya Ayah memanggilku. Aku duluan—"

Aku menarik ujung kemeja Nalu, menatap berbinar. "Jangan pergi. Jangan tinggalkan Rei. Nalu teman pertama Rei di sini. Rei akan melakukan semuanya asal Rei bisa bersama Nalu."

Nalu tidak tega.

Nalu tersenyum, memegang kedua tanganku. "Rei sayang sama Nalu, kan?"

Aku mengangguk.

"Rei ingin bersama Nalu terus, kan?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu, mari kita bermain sepuasnya besok!" ajaknya tersenyum lebar.

"Apa gunanya kalau akhirnya Nalu pergi?" sanggahku cemberut. Bersiap menangis. Eh, aku memang sudah menangis.

"Rei tidak mau?" Nalu menelengkan kepala. Ukh, dia imut sekali.

"Mana mungkin Rei menolaknya!!"

Pada akhirnya, besok pagi, aku pergi bersama Nalu ke taman bermain. Kami sepuasnya memainkan wahana-wahana yang ada di taman itu. Ini sangat menyenangkan, sungguh. Bermain bersama teman pertamamu, bukankah terdengar seru?

Kami naik bianglala, bermain tembak-tembakan berhadiah, tangkap ikan, masuk rumah hantu, Rollercoaster, dan kora-kora. Semuanya kami mainkan. Tanganku penuh dengan cenderamata dan boneka yang dimenangkan oleh Nalu.

Aku memang masih sepuluh tahun, tapi aku pernah melihat adegan ini di TV. Saat dua orang lawan jenis saling bersenang-senang di suatu tempat. Mereka menamainya "kencan".

Bibirku melukiskan sebuah senyuman kecil, menatap Nalu lamat-lamat. Dia sedang fokus melempar koin.

Apakah aku bisa menyebut ini kencan?

Habisnya, aku deg-degan dari tadi.

"Yah, aku gagal." Nalu mengembuskan napas kasar. "Kita pergi ke kios lain aja yuk!"

Aku menggeleng. "Tapi, kan, Nalu mau boneka itu!" ucapku menunjuk sebuah boneka ikan.

Nalu manyun. "Susah."

"Biar Rei aja yang ngambilin," sahutku membayar pada Bapak-bapak yang menjaga kios tersebut. Beliau memberiku empat koin. "Tinggal masukkin ke kaleng itu, kan? Ini mudah. Tenang saja, Na! Rei akan mengambilkannya untukmu!"

Lemparan pertama aku gagal memasukinya. Begitu juga dengan lemparan kedua. Apalagi jaraknya lumayan jauh.

Kesal, aku pun memakai tenaga dalam dan melempar semua koin secara bersamaan. Satu koin masuk ke dalam kaleng.

Nalu cengo lima senti, merasa malu karena kalah sama cewek. Kenapa dia tidak memikirkan trik itu tadi sih?

Aku memberikan boneka ikan hiu itu pada Nalu, menyengir lebar. "Nih! Sesuai janji!"

Nalu menerimanya dengan pandangan menghargai, tersenyum lembut. "Terima kasih, Rei. Aku akan menjaganya baik-baik. Dari kamu sih."

Blush, wajahku merona hebat. Melihat senyuman Nalu sungguh seperti sebuah ujian untukku. Hatiku tidak kuat melihatnya lama-lama. Kenapa sih ada manusia manis seperti Nalu?

Hari semakin malam. Wahana terakhir yang kami naiki adalah komedi putar.

Aneh memang.

Di tv, biasanya seorang pasangan akan mengakhiri kencan mereka di bianglala dan saling berciuman. Ditambah kembang api yang sudah dipesan oleh lelaki.

Tetapi, aku dan Nalu masih di bawah umur. Tidak mungkin kami melakukan sesuatu di atas umur. Aku tahu batasanku.

"Rei," Nalu memanggil.

"Hmm?"

"Aku akan pergi."

Deg!

Jantungku seolah berhenti berfungsi. Apa yang Nalu katakan? Kenapa dia mendadak mengatakan itu? Kenapa Nalu merusak momen romantis sekarang?!

Aku menoleh cepat kepada Nalu. "Tidak! Jangan pergi, Nalu! Kumohon! Aku tidak—"

"Tunggulah aku," potong Nalu tersenyum.

"Eh?" Aku terdiam.

"Hanya sebentar... Jika kau menungguku sebentar saja, aku akan kembali. Jangan menanyakan apa pun sekarang. Cukup diam dan tunggu aku kembali. Paham?" Ini pertama kalinya aku melihat Nalu seserius itu.

Aku menundukkan kepala. "Berapa lama Nalu pergi? Dua bulan? Setahun? Rei cuman bisa tahan satu detik tidak ketemuan sama Nalu."

Nalu tersenyum. "Hahaha, bisa saja."

"Pastikan Nalu kembali pada Rei, ya?" kataku memelas.

Nalu tersenyum tipis, mengelus kepalaku. "Aku berjanji."

Iya, Nalu kembali padaku. Tetapi bukan raganya. Hanya foto dan kenangannya.

"Nalu mengidap penyakit kanker stadium akhir. Dia pergi ke luar negeri untuk pengobatan. Tetapi karena itu sudah di level terakhir, Nalu tidak bisa diselamatkan. Meski begitu dia tetap optimis dan pergi melakukan operasi. Ini barang-barang Nalu."

Pandanganku kosong, hampa.

Kenapa kau pergi tanpa izinku Nalu? Kenapa kau pergi sendiri-sendiri saja? Padahal kau sudah berjanji ....

Tidak. Itu bukan salah Nalu.

Aku tidak menyadarinya. Aku yang salah.

Jadi, malam itu aku pergi ke makam Nalu. Tidur di sebelahnya.

"Tenang saja, Nalu. Jangan khawatir. Aku takkan membiarkanmu sendirian di sana. Aku akan ikut pergi bersamamu."

Aku hendak menggiris pergelangan tangan kananku, namun tiba-tiba aku mendengar suara seruan Nalu dari jauh.

"Jangan lakukan itu, Rei!"

Aku melihatnya. Penampakan Nalu. Dia menatapku cemas.

"Nalu... Biarkan aku pergi ke tempatmu!" seruku bangkit. "Aku tidak bisa tinggal di dunia yang tidak ada dirimu!"

"Tapi tidak dengan begini, Rei. Aku tidak bisa menerimanya."

"Rei tidak peduli! Silakan marah sama Rei! Silakan membenci Rei! Tapi Rei tetap akan pergi ke tempat Nalu!"

"Tidak... Jangan seperti ini." Suara Nalu lama-kelamaan semakin samar seperti suara radio terputus. Tubuhnya memudar.

"Nalu? Nalu!" Aku berlarian mengejar sosok Nalu. "Tidak! Jangan pergi! Jangan tinggalkan Rei dua kali! Kau tidak bisa melakukan ini pada Rei ...."

Aku melompat hendak menangkap Nalu, tetapi tiba-tiba wujud Nalu menghilang. Sebuah jurang sudah membentang di depanku. Spontan bola mataku terbelalak. Aku jatuh!

Nalu muncul di atas kepalaku, tersenyum culas.

"Kenapa? Bukannya kau sendiri bilang tidak bisa hidup tanpaku?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro