Sepotong Roti Basah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Buk, beri uang, Buk. Ratusan juga tidak apa, Buk. Saya belum makan tiga hari."

Jangankan memberi uang, wanita karir itu hanya menatapku jijik dan merendahkan lantas tunggang-langgang dikejar waktu.

"Pak, beri saya uang, Pak. Saya belum makan tiga hari," ucapku tak menyerah pada pria bersetelan rapi dan membawa tas mahal. Beliau tidak acuh terhadap keberadaanku, asyik menelepon.

"Iya, iya. Saya akan segera sampai ke sana." Pria lajang itu pun berlalu pergi.

Aku menatap kaleng bekas di hadapanku yang kosong melompong, tidak berisi. Sudah tiga hari aku tidak mendapatkan uang, sudah tiga hari juga aku tidak mengisi perut. Pagi-malam. Cacing-cacing dalam perutku sudah demo sejak tadi.

Aku sangat lapar. Saat haus pun aku meminum air sumur dan air hujan yang kutampung. Terakhir kali yang kumakan adalah sisa-sisa makanan di tong sampah dan apel busuk dibuang pemilik kedai buah.

Mereka yang di atas, kenapa tidak mau melongok ke bawah? Apakah kami sehina itu sampai-sampai mereka tidak mau memberi uang koin? Apa kami sekotor itu hingga mereka menatap kami dengan tatapan seperti itu?

Aku tidak mengerti. Mereka sepertinya susah sekali ya memberi satu koin saja untuk membeli makanan murah yang cukup untuk mengisi perut. Kenapa mereka begitu pelit?

"Hidup itu bukan main-main, Nak," sahut pemuda di sebelahku. Sama sepertiku, dia juga seorang pengemis. "Jika kau menyerah dalam permainan takdir, maka kau game over."

Aku menatap kerikil di tanah, bergumam tak jelas.

Permainan takdir, ya? Entahlah aku tidak tahu apa itu takdir. Apakah aku terlahir seperti ini karena takdir baik tak berpihak padaku? Lalu aku harus menyalahkan siapa? Tuhan? Tidak mungkin. Diberi napas dan kesempatan untuk hidup saja aku sudah sujud syukur. Aku tidak boleh asal meminta-minta pada-Nya tanpa adanya usaha.

Tetapi, aku tidak punya talenta atau bakat sedikitpun. Aku hanya perempuan tanpa orangtua dan rumah yang sudah menjabat status pengemis selama dua tahun. Aku juga sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan.

Meski begitu, aku masih berpikir positif masih ada yang bisa kulakukan. Karena aku gelandangan, aku bertandang ke berbagai tempat demi mencari uang.

Mencuci baju, menyemir sepatu, menjual koran dan susu, menjaga toko seseorang ketika pemiliknya bepergian. Aku sudah pernah melakukan semuanya.

Namun, mereka hanya memberiku uang seribuan. Hebat sekali, bukan? Aku bertaruh nyawan melawan para perampok yang mengincar toko demi mendapat uang seribu. Dunia ini sungguh tidak adil.

Tapi aku tetap tidak menyerah. Sampai saat ini. Aku yakin pasti ada seseorang yang mau memberiku makanan atau sekadar uang koin. Toh, manusia takkan mati tidak makan selama tiga hari.

Tentu saja aku tidak melakukan perbuatan yang jahat untuk memuaskan rasa lapar dan dahagaku. Seperti mencuri misalnya. Lebih baik aku meminum kubangan air atau kali (jika tidak turun hujan) daripada mencuri minuman dagang milik seseorang.

Aku tidak mau memakan sesuatu yang tidak halal. Hukumannya parah di akhirat. Bagaimana kalau aku keburu sakit perut baru memakannya satu suap? Pedagang makanan pastilah menyumpah serapahi orang yang mencuri dagangannya. Dan itu tidak baik.

Biarlah aku menahan lapar daripada curi atau apa pun yang sejenis itu. Aku tidak mau memakan makaman haram.

Di sini juga tidak pepohonan buah. Andai saja ada, aku pasti tidak akan kelaparan.

Oh, sepertinya tidak juga.

Pohon-pohon buah itu tentu memiliki pemilik galak nan mengamuk kala pohonnya dilempari batu. Tidak ada solusi yang baik untuk mengatasi kelaparan.

"Paman, apakah kau punya makanan?" tanyaku menggoyangkan kaki pemuda di sebelahku yang tidur. Bajunya compang-camping. Kulitnya kusan. Kukunya hitam karena tidak pernah disikat. Ciri khas seorang penggemis. "Aku lapar."

Pemuda itu menarik selimut korannya ke atas. "Tidak ada. Aku sudah menghabiskan tadi pagi. Itu pun juga berbagi dengan wanita di atasku," ucapnya menunjuk wanita paruh baya yang duduk di atas kepalanya. "Dan kau tahu apa yang kami makan? Sisa-sisa daging di tulang lauk."

Hidup kami sudah seperti kucing liar.

Aku beranjak bangkit.

"Mau kemana?"

"Sungai, mencari makanan. Mana tahu ada buah yang hanyut. Aku tidak bisa tidur dengan perut kosong seperti ini."

"Pulang sebelum senja, ya."

Kami bertiga walau beda umur, tidak ada hubungan darah sama sekali, sudah seperti sebuah keluarga. Maksudku kami sudah akrab sekali. Kami saling berbagi ini-itu. Dan aku bisa mengerti kenapa Paman tidak membagi makanan hari ini. Karena dia juga membaginya pada Bibi di atasnya.

Aku mengambil air sungai dengan nama kedua telapak tangan yang bersatu, menyerapnya. Ah, terasa segar di tenggorokan. Air di sungai memang terbaik.

Aku membersihkan muka yang kumal. Rasanya seperti bunga disiram.

Tetapi, memang tidak bisa jika tidak ada makanan. Aku masih merasa lemas dan tak sanggup jongkok lama-lama. Kepalaku pusing.

"Aku lapar," gumamku meluruskan kaki ke rumput. Menatap langit biru dengan buntalan empuk yang menghiasi. Satu dua burung terbang di udara, menuju sarang mereka masing-masing. Semilir angin mengembus sungai, meniup rambut panjangku.

Aku tidak punya tenga untuk bergerak. Dengan kombinasi pemandangan angkasa dan angin sepoi-sepoi ini, sepertinya aku bisa terlelap. Aku harus mengisi tenaga untuk mencari makanan nanti malam.

Baru hendak jatuh ke alam mimpi, mataku tak sengaja menangkap satu sosok di permukaan air, mengambang mengikuti arus sungai.

Aku sontak bangun, memicingkan mata. Hei, itu manusia! Apa yang sedang dia lakukan dengan separuh badan tenggelam?!

Mengikuti kata hari, aku melompat ke dalam sungai. Beruntung sungainya tidak terlalu dalam dan bisa kulewati. Aku berenang ke tempat sosok itu, menarik tubuhnya ke tepi. Tas milik sosok itu nyemplung ke air karena terlalu berat.

Dia seorang laki-laki seusiaku! Wajahnya pucat dan sepertinya sudah banyak memakan air. Kepalanya berdarah, juga perutnya yang bocor. Lalu darah di bahunya yang merembes keluar. Astaga! Kondisinya sungguh mengenaskan!

Apa yang terjadi padanya?

Agar tidak mencolok, aku membawa dia ke Rumah Pohon. Buatanku, Paman dan Bibi. Kami selalu ke sana setiap badai hujan menerpa.

Aku berlari tergopoh-gopoh ke tempatku tadi, membangunkan Paman dan Bibi yang tidur. "Hei! Hei! Darurat! Ke Rumah Pohon sekarang!"

Mendengar kata 'darurat' mereka berdua terlonjak bangun, menoleh kepadaku yang berlarian kembali ke Rumah Pohon. Tanpa ABCD mereka pun segera menyusul langkahku.

"Apa? Kau menemuinya mengapung di sungai?" seru Paman tidak percaya begitu aku menceritakan dengan cepat. "Kenapa kau, maksudku, kenapa dia bisa berada di sana? Dia tenggelam?"

Bibi mengangguk serius. "Kemungkinan besar iya. Lihat semua luka di tubuhnya. Anak ini sepertinya terkena serangan dari para prajurit."

"Apa dia mencuri sesuatu milik kerajaan sampai lukanya seperti itu?" gumam Paman mengelus dagu. "Tapi wajahnya terlihat tak asing."

Kamk bertiga menatap anak itu dari jarak dekat. Dia ganteng, putih, dan unyu. Siapa dia sebenarnya?

Jawabannya langsung terjawab karena anak itu membuka mata, spontan bangkit mengagetkan kami bertiga.

"Astaga, jantung." Paman mengurut dada yang deg-deg.

Dia menatap kami tajam. "Siapa kalian?! Dari fraksi mana kalian—ukh!" Bentakannya tertahan karena meringis memegang bahunya. Aku yakin itu pasti sakit sekali.

Aku menghela napas, menatap ramah. "Namaku Rina. Ini Paman Rere dan itu Bibi Nar. Kami bertiga adalah penggemis yang sama sekali tidak berharga. Kami tidak berniat jahat kok."

Paman Rere mengangguk setuju. "Rina menyelamatkanmu dari sungai! Hayo, bilang apa hayoo."

"Uhuk!"

Aku mendelik melihatnya muntah darah. "Kau tidak apa-apa?!" teriakku menoleh ke Paman Rere. "Bagaimana cara kita mengobatinya? Dia butuh dokter."

Paman Rere dan Bibi Nar mengangguk. "Kami akan segera mencarinya. Rina awasi dia, ya!"

Mereka berdua pun turun dari Rumah Pohon, mencari dokter terdekat.

"Aku sudah tidak punya waktu lagi," gumam anak itu memaksakan diri untuk bangun.

"Jangan! Lukamu masih belum diperban!" Aku mencegah yang sepertinya sia-sia.

Dia menatapku. "Apa kau melihat tasku?"

"Tas? Yang kau pake saat jatuh ke sunggai?" Anak ini kenapa malah memikirkan tasnya ketimbang tubuhnya yang babak belur sih!

"Di mana kau meletakkannya?!" Dia mendesak.

"A-aku tak sengaja menjatuhkannya ke sungai karena berat," ucapku gelagapan.

"Aish!" Dia beranjak dari kasur, turun dar Rumah Pohon sambil memegang bahu. Daras jatuh ke tanah.

"Ya ampun, kau masih terluka. Jangan pergi!" seruku segera mengekori. Jika dia pingsan di tengah jalan, aku yang makin repot nantinya.

Anak itu masuk ke dalam air sambil mengais-ngais dasar sungai, mencari tasnya yang kujatuhkan. Darah keluar-keluar dari lubang luka di tubuhnya, menyatu dengan air sungai.

Apakah isi tas itu sangat berharga? Karena tidak kuat menyaksikan anak itu mencari dengan luka koyak di tubuh, aku pun ikut melompat ke sungai, membantu mencari.

Butuh sepuluh menit kami berhasil mendapatkan kembali tas berat berwarna hitam. Anak itu segera menepi, bersandar ke punggung jembatan.

"Apa sih isi tasnya itu sampai kau tidak peduli dengan lukamu?" Aku bertanya kesal, memeras pakaian yang basah kuyup.

Anak itu tidak mendengarkan ocehanku. Dia membuka resleting tas, mengeluarkan sebuah kotak yang berisi sandwich.

Akan kutempeleng kepalanya jika dia membahayakan nyawanya cuman untuk sepotong roti basah—

Dia menyerahkan kotak itu padaku. "Perutmu berbunyi sejak menyelamatkanku, kan? Itu berisik. Makanlah ini. Memang sudah terendam air. Tapi itu lebih baik daripada kau tidak makan apa pun. Aku tergesa-gesa karena roti itu nanti keburu terendam lebih lama. Aku tidak suka melihat anak gadis kelaparan."

Aku terdiam, mencerna kalimatnya baik-baik.

"Sekarang aku ingin tidur," gumamnya dan tidur ke rumput.

Mataku berkaca-kaca, membuka penutup kotak roti, memakannya dengan linangan air mata.

"Ini sudah lembek." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro