Tongkat Musim Gugur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Umur 7 tahun.

"Guri, mari sini, Nak."

Aku menutup buku dongeng 'Tongkat Musim Gugur' yang kubaca, meletakkannya di atas kasur, lantas melompat ke bawah. Aku membuka pintu kamar dan menuruni anak tangga. "Mama sama Papa sudah pulang?"

Tetapi bukan jawaban dari mereka yang kudengar, melainkan suara gonggongan kecil imut.

Aku berhenti begitu selesai menuruni semua anak tangga, menatap bengong.

Mama menyodorkan seekor anak anjing bersurai hitam ke wajahku sambil tersenyum lebar, sementara Papa meletuskan terompet. "Selamat ulang tahun yang ke-7!"

Aku berkedip lima kali, termenung lima detik. Oh benar juga! Kenapa aku bisa lupa? Hari ini ulang tahunku! Keasyikan mengalau di kamar membuatku jadi lupa.

Aku menerima anak anjing yang disodorkan Mama. Bulunya sangat lembut dan halus di kulit. Aku tersenyum pada Mama. "Makasih anjingnya, Ma!"

"Ayok tiup lilinnya dulu," celetuk Papa sudah memegang kue dengan angka 7 bertengker di tengah-tengahnya.

Aku melakukan apa yang disuruh Papa. Mereka berdua tepuk tangan.

Kutatap anak anjing di pelukanku.

"Mulai hari ini, kau kuberi nama Garam."

Umur 10 tahun.

Guk! Guk! Guk!

Garam meloncat sana-sini, memerhatikan ranting di tanganku liar. Aku menyeringai lebar mengolok-olok Garam.

"Anjing manis, ayok kejar dong. Jatah maka malam nanti nggak kukasih lho~" Aku bersenandung riang, menggoyang-goyangkan ranting kayu.

Kesal diolok, Garam pun melompat tinggi meraih ranting tersebut. Aku terjungkal ke belakang karena kaget. Apa-apaan itu tadi? Dia main loncat aja! Kukira dia mau mencakar wajahku!

Garam mendekatiku, menyundul lenganku lalu berpindah ke perutku, menjilatku.

"Ah, sudah! Sudah! Geli! Ya, aku kalah. Kau pemenangnya." Tetapi Garam tidak mau berhenti. Dia masih menjilatiku. "Geli aku bilang!"

Mama dan Papa yang melihat itu di depan teras hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

Aku beranjak duduk, mengelus-elus kepala Garam. "Anjing pintar. Ng?" Tanganku berhenti demi melihat kalung di leher Garam. Oh ya, kemarin aku juga lihat saat Mama memegangnya Garam memang sudah punya kalung.

Apa ini? Apa dia anjing curian? Dan kok ....

Aku memerhatikan kalung di leher Garam dan gelang di pergelangan tanganku. Gelang dengan mainan daun maple. Kenapa bisa sama?

"Ma, Pa, kalian mencuri anjing ini, kan? Ngaku gak!"

Umur 14 tahun.

Bugh!

Aku tersandar ke dinding, berdiri lemas.

"Guri, apa kau sok mau jadi pahlawan kelas?"

"Kenapa? Aku hanya mengatakan hal yang jujur. Hari ini ada pr dan ulangan. Apanya yang salah dengan itu? Bukankah sudah kewajiban murid mengingatkan guru mereka jika melupakan tugas?" ucapku membela diri.

Tetapi mereka makin ganas memukuliku.

Padahal niatku baik. Apakah selanjutnya aku harus mencoba untuk tidak peduli pada apa yang terjadi? Lama-lama aku jenuh.

"Guri! Wajahmu kenapa, sayang??" jerit Mama histeris melihat wajahku penuh lebam.

Aku menepis tangan Mama, mendesah pelan. "Guri lelah, Ma. Jangan ganggu," kataku melengos pergi dari situ.

Aku melempar tas ke sembarang arah, membanting pintu, kemudian menghempaskan badan ke kasur.

Guk!

"Eh?" Aku sontak bangkit dari kasur, mengembuskan napas kasar. "Garam, ngapain kamu di bawah selimut? Kan kamu jadi kehimpit!"

Garam menatap dengan muka sedih. Apa ini? Hewan bisa mengeskpresikan perasaan? Wow. Apa Garam termasuk anjing genius?

Aku membelai kepalanya. "Aku tidak apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Yok, jalan-jalan sore.

Aku mengganti seragam sekolah, turun ke bawah, memasangkan tali ke leher Garam. "Ma, Guri kencan dulu sama Garam."

"Jangan pulang malam."

"Ya."

Angin berembus kencang, menerpa anak rambut. Aku melihat pohon di halaman rumah. Daun-daun di rantingnya berguguran ditiup angin.

Sudah musim gugur, ya? Waktu cepat sekali.

Mataku memicing melihat sesuatu seperti topi terbang melayang di langit. "Apaan tuh?"

"Anu, bisa tolong ambilkan topi itu?" seru seseorang dari atas jejalanan. Aku tidak bisa melihat sosoknya.

Aku mundur tiga langkah ke belakang, menangkap topi tersebut. Seorang remaja sebaya berdiri di hadapanku, memegang tali anjing. Sepertinya dia juga hendak jalan-jalan sore bersama peliharaannya.

Aku menyerahkan benda bundar itu ke pemiliknya. "Jika mau jalan-jalan, jangan pake topi. Kan bukan piknik," usulku melambaikan tangan.

"Sebentar," serunya menahan langkah kakiku.

"Apa?"

"Namaku Garim. Namamu?"

Umur 16 tahun.

"A-aku menyukaimu! Maukah kau berpacaran denganku?"

Wajahku merona. Jantungku memeraton dua kali lebih cepat. Aku menatap Garim canggung. "A-aku juga."

Singkat cerita, setelah pertemuanku dengan Garim dua tahun yang lalu membuat kami saling berdekatan satu sama lain sampai mempunyai rasa. Tak kusangka Garim melakukannya lebih dulu. Payah ah aku. Harusnya laki-laki yang memulainya duluan!

Daun-daun pepohonan yang berada sepanjang jalan jatuh ke bawah. Musim gugur sudah tiba kembali tanpa disadari.

"Kau ingat pertama kali kita bertemu?" ucap Garim menggandeng tanganku, menikmati siraman daun maple. "Kau mengambilkan topiku di tengah-tengah terpaan daun maple. Itu sungguh romantik!"

Aku bersungut-sungut, malu. "He-hentikan itu. Aku sudah tidak ingat." Bohong. Tentu saja aku mengingatnya. Hanya saja aku terlalu malu untuk mengenangnya. Siapa sangka aku jadian sama Garim?

"Oh!" Garim melepaskan tangannya, berlarian kecil menuju sebuah kios khusus 'couple'. "Guri! Sini! Sini!"

Aku menghela napas jengah, tetapi tetap melangkah ke sana. Apa lagi maunya sekarang? Dia seenaknya memegang tanganku seenaknya juga melepaskan tanganku. Memangnya tanganku guling?

"Apa?" tanyaku begitu sampai.

"Tadaa!!" Garim memamerkan dua gelang couple bermainan daun maple. "Gelang pasangan."

Aku memutar bola mata. "Ayolah. Kita sudah bukan anak-anak yang melakukan itu di dunia novel."

Garim tidak peduli pada keluhanku. Dia memakai satu gelang di tangan kirinya. Lalu seenaknya lagi menarik tanganku, memasang gelang yang tersisa.

"Musim gugur adalah musim dimana aku bertemu denganmu. Aku tidak akan melupakan kenangan berharga ini."

Aku blushing mendengarnya.

"Tahun besok, bagaimana jika kita kencan bersama anjing kita? Kita kan juga bertemu karena mengajak Garam dan Gani (nama anjing Garim) jalan-jalan sore," ucapnya tersenyum yang sialnya sangat manis.

"O-oke."

Umur 17 tahun.

Garim menarik pipiku. "Hayoo, kamu nggak ganteng lho kalo cemberut kayak gitu."

"Haruskah kita meninggalkan Garam di sini? Bagaimana jika kita ajak saja mereka!" tanyaku tidak mau dipisahkan.

Garim menyilangkan kedua tangan. "Kita, kan, nanti bakal masuk ke restoran. Mana mungkin diperbolehkan bawa hewan. Aku tahu kamu sangat menyayangi Garam sama seperti menyayangiku."

Aku mencibir. "Darimana datangnya kepercayaan diri itu."

Garim ikut mencibir, memeluk lenganku.

Aku menoleh ke belakang. Tampak Garam menonggolkan kepala dari kotak. Aku tersenyum. Tunggu di sana, ya. Aku akan datang menjemputmu lagi. Garam.

Malamnya.

Duh! Aku tahu arah alur kencan ini! Mengajakku ke jembatan dengan pemandangan air pancur pelangi, kembang api, tempat para pasangan berkencan.

Ini akan berakhir dengan ciuman!

Aaaaaaa!!! Memikirkan saja sudah membuat otakku korslet! Kami kan masih di bawah umur! Memangnya boleh melakukan itu? Tidak mungkin boleh lah!

Aku termakan ucapanku sendiri.

Lihatlah, tepat di samping kami, ada pasangan yang melakukan itu. Sialan.

"Indahnya...," gumam Garim memandangi kembang api yang meletus di udara.

Aku mengeluarkan buku dongeng yang kubawa dari tas. "Aku ingin memberikanmu ini," kataku menyerahkan buku tersebut. "Ini buku dongeng kesukaanku. Membacanya akan membuatmu nyaman."

"Tongkat Musim Gugur?" Garim membaca judul dongeng. "Judulnya yang unik."

"Y-ya," aku menggaruk pipi. "Menceritakan seorang anjing yang amat menyayangi pemiliknya. Dia pergi ke masa lalu untuk mencegah kematian pemiliknya tetapi selalu gagal hingga membuatnya frustasi."

Garim tersenyum. "Terima kasih. Aku akan menyimpannya baik-baik."

Aku tersenyum.

Tiba-tiba aku ditabrak oleh seseorang dari belakang. Untung Garim tidak kena. Pria itu memeluk seekor anjing.

"Apa sih? Lihat-lihat dong kalo jalan!" Aku mengomel ketus.

"Oh! Kau pemilik anjing bernama Garam, kan? Lebih baik kau cepat mengambilnya sebelum dicuri oleh mereka!" serunya panik dan melarikan diri.

Aku tertegun. "Garam... GARAM!"

"Tunggu, Guri!"

Aku melesat cepat ke gedung penitipan hewan. Sialan! Masa ada yang mau menculik binatang? Apa mereka mau menjualnya di pasar gelap? Aku tidak akan membiarkannya! Garam!

"Guri, jangan ke sana!" Garim menahan tanganku.

"TIDAK! AKU HARUS KE SANA! GARAM ITU AMAT BERARTI BAGIKU!" teriakku menepis tangan Garim.

"Aku mohon ...."

"Maaf, Garim."

Akhirnya aku sampai. Aku melihat ada lima penjahat berpakaian gelap sedang memasukkan anjing-anjing ke dalam truk. Salah satunya adalah Garam.

"LEPASKAN ANJINGKU!" Aku berseru kencang, merebut Garam secara paksa.

Garam sejak kecil menemaniku. Dia selalu ada untukku kala Mama dan Papa bepergian. Dia temanku sebelum aku mengenal Garim. Mana mungkin kubiaran dia dibawa pergi?!

Salah satu pencuri mengeluarkan senjata. Aku menarik Garam dari cengkeraman mereka.

Garim berhasil menyusulku. "AWAS, GURI!"

Dor!

Garim terduduk di tanah, berkaca-kaca. Buku Tongkat Musim Gugur jatuh dari tangannya, ditiup angin, sampai ke halaman Anak Anjing menyaksikan  kematian pemiliknya. Gelang milik Garim dan kalung Garam bersinar redup.

"Lagi-lagi aku gagal menyelamatkanmu." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro