1. Pengantar Tidur Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keramaian kota Jakarta masih seperti biasa, lewatnya kendaraan pribadi yang terlalu banyak, menyebabkan kemacetan padat, sulit bergerak dalam waktu beberapa detik maupun menit. Dikarenakan waktu masih menunjukkan pukul lima sore, keramaian pun semakin menjadi-jadi.

Shintia yang sedang memandangi kemacetan lewat jendela mobil pun hanya mengingat masa lalunya, beberapa tahun lalu, tepat saat dia sah menjadi istri dari pria di sebelahnya. Rentang usia lima tahun bukanlah masalah besar baginya. Dia bahagia, sangat bahagia hingga sebuah amplop cokelat berisikan berkas kesehatan miliknya. Letupan jantung yang cukup kuat bersama dengan panas menjalar ke tempat penglihatan sangatlah membuat tubuhnya gemetar dengan cemas.

"Ini alasan kamu setiap pagi pasti pakai lipstick?"

Pertanyaan yang dibersamai dengan senyum tipis itu berhasil membuat dia sedikit lebih lega. Suaminya masih menerima dia apa adanya, tetap menyayanginya sebagaimana mestinya. Justru, setelah mengetahui hal itu pun, perasaan cintanya semakin bertambah besar.

"Sayang?"

Mata Shintia mengerjap beberapa kali, dia menoleh ke kusir kemudi, mendapati suaminya yang sesekali melirik dan kembali fokus ke jalan yang tersekat oleh kaca di depan mereka.

"Kenapa, Yah?"

"Kamu kenapa? Ngelamun terus dari tadi," katanya yang tersirat kekhawatiran. "Ada yang sakit?"

"Nggak, kok, cuma keingat dulu aja."

Satria--suaminya hanya tersenyum manis dan melanjutkab perjalanan mereka menuju tempat tinggal yang dipenuhi cinta dan kehangatan itu.

~oOo~

Ucapan salam dari suara yang amat mereka rindukan akhirnya terdengar. Shintia sudah menyiapkan makan malam untuk mereka, tepat waktu yang menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh sore menjelang malam. Begitu pula dengan Satria yang menutup laptopnya, meletakkan di atas meja tamu dan ditinggal olehnya begitu saja. Makanan di atas meja sudah sayup-sayup, Satria menghampiri istrinya, melingkarkan lengan kokoh ke perut rata sang wanita yang amat dia cintai.

"Kenapa, Yah?" tanya Shintia yang kebingungan.

"Nggak. Aku suka bingung aja, kenapa kamu nggak pernah mau kubantu, hm?"

Shintia terkekeh pelan. "Udah seharusnya aku yang masak di dapur, bukan kamu. Lagian, nggak apa-apa, kan? Atau masakanku nggak enak di lidah kamu?"

"Apa pun yang kamu masak, selalu enak di lidah aku," bisiknya lalu menggigit pelan cuping telinga istrinya.

Kekehan Shintia semakin jadi, dia menggeleng dan membuat suaminya semakin menguatkan rengkuhannya. Kemesraan di dapur berhasil membuat anaknya berdeham pelan. Wajah dingin itu memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap kedua orangtuanya sendiri. Dia mengembuskan napas dan duduk di salah satu kursi di depan meja yang tersedia berbagai makanan.

Tidak ada satu pun yang membuka suara untuk menghiasi sesi makan mereka. Namun, sesekali suara persengketaan antara sendok dan garpu dengan piring sebagai lokasi perang juga cukup mendominasi. Degupan jantung Shintia bergerak amat cepat, seolah dia kehabisan persediaan darahnya semakin menipis. Melihat wajah anak semata wayangnya berlaku tidak biasa dan menyudahi makannya dengan cepat.

"Giri, kamu udah makannya, Sayang?"

"Hm."

Laki-laki itu melangkahkan kakinya dan membanting pintu kamar yang berada di selatan meja makan mereka. Shintia mengembuskan napas panjang dengan perlahan, dia menoleh ke Satria yang sedang mengusap tangan kirinya dengan amat lembut dan menghangatkan.

"Kamu nggak apa-apa?"

Shintia mengangguk. Tentu saja dia tidak apa-apa, anaknya hanya kelelahan karena aktivitas kelas tiga SMP yang cukup melelahkan, hanya itu.

~oOo~

"BISA NGGAK, SIH, NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN GIRI!"

Bentakan itu berhasil membuat Shintia terdiam di tempat. Matanya terpejam sebentar dengan napas yang berusaha teratur. Sesak napasnya kembali datang, dia kembali merasa pusing yang luar biasa. Tidak ada oksigen yang masuk ke dalam kepalanya,

Giri melangkahkan kaki melewatinya seraya mencibir, "Masih pagi udah dandan, mau lihatin siapa coba? Tetangga?"

Cibiran itu tertangkap oleh telinga Shintia yang tengah terbatuk-batuk. Tubuhnya yang mulai lemas itu terduduk di depan pintu kamar anaknya. Dengan segala usaha dan napas yang terengah-engah, Shintia bangkit menuju dapur untuk membuatkan sarapan kepada keluarga kecil yang sangat dia sayangi ini.

Baju putih lengan panjang itu dia singsing hingga ke siku. Kulit kekuningan dengan tubuh cukup kurus itu terlihat. Shintia masih terbatuk-batuk, membuka saluran wastafel hingga lebih mudah untuk mengeluarkan dahak dan masuk ke dalam sana. Suara bergesernya semua peralatan akibat tangannya yang berusaha menopang tubuh, terdengar oleh suami dan anaknya.

Hal itu pula yang membuat keduanya datang ke dapur untuk memeriksanya. Giri berdecih sebal, keasyikannya saat bermain gim daring terganggu hanya karena akan repot jika ayahnya melihat kalau dia tidaklah peduli.

"Shintia! Shin, bangun, Shintia!"

Mata Giri mengerjap beberapa kali, dia mengernyitkan dahi kebingungan saat melihat wajah ibunya yang kelihatan berbeda, begitu pula dengan tangannya yang sedang digenggam oleh Satria dengan gemetar kuat.

Bibir sama kuku Bunda, kok, warnanya biru?

"Giri, bantu Ayah bawa Bunda ke mobil, cepat!"

Kepala Giri mengangguk cepat, dia membantu ayahnya untuk membawa ibunya ke dalam mobil. Untuk hari ini, dia tidak akan bersekolah, kekhawatirannya kepada ibunya tiba-tiba datang, ia ingin mengetahui ada apa sebenarnya kepada ibunya.

~oOo~

Suara monitor detak jantung yang cukup kuat memecahkan keheningan di dalam ruangan tersebut. Satria menunduk dalam, menahan perasaan sesaknya saat melihat wanita yang amat dia cintai belum membuka matanya. Sedangkan Giri, laki-laki pintar itu tengah berpikir panjang, semua prilaku yang dia tunjukkan kepada ibunya, betapa kasarnya dia, semuanya teringat kembali. Keduanya sama-sama frustrasi, namun, kefrustrasian mereka, bukanlah hal yang sama.

Gerakan tangan Shintia berhasil membuat Satria menengadahkan kepala, dia menatap mata wanita itu dengan penuh harap, sangat berharap agar itu bukan ilusi semata. Ternyata, Shintia tersenyum di balik face mask dan matanya melirik suaminya yang ada di sebelahnya kala ini. Syukur, ribuan kali diucapkan Satria dengan air mata yang tidak bisa terhenti sama sekali. Kebahagiaannya juga membuat Giri mengembuskan napas sangat lega.

Lima hari di rumah sakit, selama itu pula Giri tidak masuk sekolah, dia ingin menemani ibunya yang masih dalam kondisi lemah. Terutama, setelah mendengar perbincangan antara dokter dengan ayahnya sendiri, ibunya terlalu bersikukuh tidak mau menerima transplantasi paru-paru. Giri ingin mengetahui alasannya, namun, dia terlalu takut mengingat perbuatannya kepada ibunya sendiri.

"Gimana sekolah kamu?"

Giri mengangguk pelan. "Baik."

"Ada pelajaran yang kamu nggak paham?"

Kepala Giri menggeleng kecil dan membuat Shintia tersenyum simpul saat melihatnya.

Kepala ranjang itu sedikit dinaikkan, karena Shintia sama sekali tidak bisa mengangkat semua tubuhnya. Giri masih menunduk dan memperhatikan bingkai foto kecil di atas nakas, tepat di sebelah kirinya.

Foto keluarga mereka, Shintia memang meminta agar dia bisa melihat ini setiap hari, mengingat kebahagiaan dan kehangatan yang tersalurkan lewat keluarga kecilnya. Giri tidak mengerti, mengapa ibunya sangat menyayanginya, setelah apa yang telah dia lakukan.

"Bunda?"

"Apa, Sayang?"

Giri menggigit bibir bawahnya, dia mengayunkan kaki karena merasa cemas. "Giri minta maaf, Bun."

"Minta maaf?"

"I-iya. Selama ini, Giri jahat sama Bunda, anak yang durhaka," katanya setengah bergumam.

"Sok tahu kamu durhaka-durhakaan," sahut Shintia lalu terkekeh pelan.

"Bunda?"

"Apa, Sayang?"

Bahkan, masih bisa bilang 'Sayang'?

"Em, Bunda kenapa nggak mau dioperasi aja? Bunda juga nggak pernah bilang masalah penyakit Bunda," katanya lalu mengembuskan napas pelan. "Bunda benci banget sama Giri?"

"Apa Bunda kelihatan benci sama kamu?" tanya Shintia lalu terkekeh pelan. "Kamu tahu? Bahkan, Ayah kamu yang hidup udah lima belas tahun sama Bunda baru tahu masalah penyakit ini beberapa bulan lalu. Apa Bunda kelihatan benci sama Ayah?"

Giri menggeleng pelan, dia meraih tangan ibunya yang sangat kurus. Meskipun sekurus ini, Shintia tetap cantik seperti biasanya. Tidak heran jika Satria amat mencintainya sejak masih duduk di bangku kuliah.

"Kamu mau dengar cerita? Ini tentang pertemuan Bunda sama Ayah."

Sontak, Giri mengangguk antusias saat mendengarnya. Dia memang penasaran sejak dulu.

"Dulu, Bunda sama Ayah ketemu di acara ulang tahun sahabat Bunda, Hani namanya. Ternyata, Hani itu sepupu Ayah, dari sana katanya, Ayah kamu sering banget nanyain Bunda, tentang sekolahnya, tentang asmara, ekskul, banyak banget. Waktu Hani udah mulai malas jawab Ayah kamu, dia kasih kontak Bunda, dari sana kami dekat, sering bagi-bagi cerita, kebetulan juga itu waktu Bunda lagi masuk kelas dua belas, jadi, Bunda suka nanya-nanya masalah pelajaran.

"Waktu Bunda lulus, Ayah kamu datang ke acara kelulusan Bunda, bawain bunga mawar merah sebuket. Jujur, Bunda kaget banget. Dua minggu setelahnya, Ayah kamu datang ngelamar Bunda, itu juga nggak kasih tahu sama sekali, untung aja keluarga lagi lengkap karena lagi makan-makan.

"Lalu, Bunda bilang ke Ayah kamu, kalau Bunda itu punya asma yang cukup parah. Tapi, Ayah kamu bilang, kalau itu bukan masalah. Waktu lima bulan setelah kita menikah, Bunda hamil, rasanya bahagia banget, Bunda nggak nyangka bakal bisa sebahagia itu."

Giri mengerjapkan mata beberapa kali, merasa ada yang janggal di dalam cerita ibunya. "Bunda punya penyakit ini dari kapan?"

"Sejak kelas dua SMA." Shintia tersenyum miris dengan tatapan yang menjadi sendu. "Bunda nutupin itu semua, tetap konsumsi obat yang dikasih dokter. Tapi, Ayah kamu bilang, dia udah tahu dari lama, dia diam-diam cari tahu obat yang Bunda konsumsi selama ini, dia lihat tangan Bunda yang mulai biru, begitu juga sama bibir."

"Ayah nggak marah, Bun?" tanya Giri.

Shintia menggeleng pelan. "Ayah kamu bilang, dia nerima Bunda apa adanya, dia sayang Bunda dan mau jadi teman hidup Bunda sampai mati nanti."

Genggaman tangan Giri menguat, gemetar pun terasa oleh Shintia. Anak semata wayangnya menangis, di hadapannya yang tengah lemah di atas ranjang rumah sakit. Ingin sekali dia mengusap pelan kepala anaknya, merengkuh kuat anaknya dengan senyum bahagia.

Penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK Shintia sudah sangat parah, dia tidak yakin bisa terus bertahan dengan sesak napas kuat saat ini. Giri merebahkan kepalanya di bahu kanan ibunya, memejamkan mata seraya menangis pelan, gemetar di tangannya pun tidak bisa menghilang.

Shintia tidak bisa menahan rasa sesaknya lebih lama. Sesak karena napasnya, sesak karena merasa tidak bisa hidup lebih lama lagi, sesak karena melihat anaknya menangis. Sesak, terlalu sesak.

"Bunda sayang sama kamu, Giri. Sayang banget." Shintia terkekeh pelan dan memejamkan matanya. "Lagu kesukaan kamu waktu kecil, mau Bunda nyanyiin nggak?"

Giri berdeham pelan dan mengangguk kecil.

Dehaman panjang dan mengikuti melodi indah itu berhasil membuat Giri nyaman di posisi seperti ini. Kepalanya sedikit menggeleng, memanja di dekat telinga ibunya yang sedang terbaring.

"Let me sing a lullaby, as you close your eyes."

Giri tersenyum bahagia mendengar suara serak dan lembut milik ibunya memasuki telinga.

"How I hope that the dreams that you find, are bright."

Bunda ... Giri sayang Bunda ....

"Love, can we meet again soon in the bluest of skies? When a tomorrow wait for you and I."

Ya Tuhan, sekali saja, biarkan hamba tetap seperti ini, mendengarkan suara indah milik Bunda yang telah Kau-berikan kepadanya ....

"So hold me tight one more time but don't kiss me goodbye."

Bunda, Giri minta maaf, Bun. Giri jahat sama Bunda.

"Cause I know that I will see you on the other side."

Giri anak durhaka, Giri pembawa penyakit buat Bunda, Giri yang buat penyakit Bunda semakin jadi, maaf, Bun.

"I will think of our song when the nights are too long."

Giri nggak tahu harus berbuat apa lagi.

"I'll dream of you for that's where I belong."

Ya Tuhan, ampuni dosa Bunda, angkatlah penyakit Bunda. Ya Tuhan, Giri nggak kuat lihat Bunda kesakitan kayak begini, kabulkan doa Giri, Ya Tuhan.l

"Love, can we meet again soon in the bluest of skies?"

Suara Shintia melemah, begitu juga dengan napasnya. Giri menahan tangisnya yang sudah di ujung mata, dia takut kehilangan ibunya, dia takut ditinggal seperti ini, dia takut dengan semua kesalahannya yang membuat ibunya seperti ini. Ketakutannya sangatlah nyata. Giri tidak tahu harus melakukan apa.

"O-only in my dreams ... do we meet a-again ...?"

Tepat pada lirik terakhir, monitor detak jantung mengeluarkan bunyi yang berbeda. Tepat saat itu pula Giri terbangun dengan wajah yang tidak bisa dikendalikan.

Tangisnya pecah, menghiasi seisi ruangan. Tangannya memencet tombol yang ada di atas kepala Shintia, memanggil dokter masih dengan perasaan sakit yang teramat dalam. Hatinya yang semakin tipis, dikikis oleh luka yang dibuatnya sendiri. Dia adalah penyakit, itu yang dikatakan kepada dirinya sendiri. Namun, Shintia meninggal dengan senyum manis, kulit yang kekuningan, bibir yang membiru, kuku yang membiru, tubuh yang amat kurus.

Bahkan, Shintia meneteskan air mata di sela nyanyiannya tadi.

~oOo~


"Giri mau makan apa?"

"Apa aja, Yah! Yang penting, Ayah nggak kerepotan juga. Atau, mau Giri yang masak?"

Kehidupan mereka berdua tanpa Shintia memang sangatlah menyakitkan. Namun, sebuah kebahagiaan pula karena mereka saling terbuka satu sama lain.

Kepergian Shintia memang memberikan luka. Namun, luka itu yang membuat mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Luka yang dibiarkan terbuka, menjadikan bekas itu sebagai pengingat dan pelajaran bagi keduanya. Mereka saling menyayangi, begitu pula ibunda yang telah berpisah dari dunia yang mempertemukan mereka.

Bunda, tenang, kan, di sana?

~oOo~

End

Penulis
syalqadri

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro