2. Aku Mandul?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mentari tampak begitu malu memperlihatkan wujudnya pagi itu, diiringi langit yang berwarna hitam. Ah, sepertinya hari ini pun hujan akan turun lagi. Wanita berusia 27 tahun itu bergegas menuju halaman belakang, mengangkat pakaian-pakaian yang sebelumnya ia jemur karena melihat langit berubah mendung, lalu memindahkannya ke teras belakang.

Ujung khimar panjangnya berkibar pelan tertiup angin. Angin dingin berembus pelan menyapu wajahnya. Ia terduduk di sebuah kursi kayu bercat putih, menatap kosong ke depan.

“Sayang, melamun lagi?” Suara bariton terdengar menyapa wanita cantik itu.

Wanita itu tersenyum tipis, tipis sekali. “Maaf.”

Satu alis terangkat, pertanda bingung. “Maaf? Untuk apa?”

“Kita sudah hampir tujuh tahun menikah. Tapi, sampai sekarang belum ada satu pun malaikat kecil yang mengisi rumah kita,” ucapnya lirih.

Sang suami berdiri di hadapan wanita itu, lantas berlutut seraya mengecup kedua tangan bidadarinya yang sudah berada dalam genggaman tangannya yang kokoh. “Amira sayang, entah sudah berapa kali kau mengucapkan kalimat yang sama. Tidak perlu meminta maaf. Semua yang terjadi bukan salahmu.” Adnan—suami Amira—membelai lembut pipi tirus istrinya. “Mungkin Allah masih ingin melihat kita menikmati masa-masa berdua, sebelum Allah turunkan malaikat kecil untuk kita.”

“Tapi, aku malu, Mas.” Bulir-bulir air mata mulai terlihat menggenangi pelupuk mata Amira. “Saudara-saudara kita banyak sekali yang mempertanyakan kehamilanku. Tidak sedikit pula yang mengatakan aku mandul. Bahkan—bahkan ... tetangga kampung pun membandingkan keadaanku dengannya yang ‘sekali menempel langsung jadi’. Mengatakan bahwa selama ini aku mandul karena tak kunjung dikaruniai anak. Dia juga bilang kalau aku hanya menghabiskan uangmu saja untuk hanya sekadar mendapatkan anak. Hatiku sakit saat mendengarnya, Mas.” Runtuh sudah pertahanan Amira. Ia menangis terisak di hadapan Adnan yang dengan sigap memeluk tubuh sang istri.

“Sayang, Mas tidak keberatan mengeluarkan banyak uang agar kita bisa mempunyai momongan. Mungkin dia belum merasakan bagaimana susahnya mendapatkan seorang anak. Aku maupun kau ... tidak ada yang mandul. Bukankah dokter mengatakan demikian? Hanya saja, belum rezeki kita mempunyai anak.” Tangan kekar Adnan mengusap pelan punggung Amira, memberikan semangat kepada istrinya.

“Terima kasih, Mas. Karena kau masih mau bertahan denganku meskipun dalam kondisi kita belum mempunyai anak.” Amira membalas pelukan Adnan dengan erat. Ia merasa bersyukur Allah mengirimkan pria seperti Adnan untuk menjadi pendamping hidupnya.

“Amira sayang, menikah bukan hanya perkara memiliki keturunan saja. Aku mencintaimu tanpa syarat. Aku mencintaimu apa adanya, dengan atau tanpa adanya anak di pernikahan kita, aku akan selalu mencintaimu.” Merenggangkan sedikit pelukannya, Adnan mengecup mesra kening Amira. Tiga detik kemudian, kedua netra lelaki itu menatap penuh sayang pada sang istri. Ia tersenyum menenangkan. “Abaikan komentar negatif. Toh, kita berikhtiar untuk memiliki anak tidak mengemis belas kasihan dari orang lain.”

Amira mengangguk pelan, membenarkan perkataan Adnan. “Maaf, Mas.”

Adnan mengembuskan napas pelan. “Lagi-lagi kau mengatakan ‘maaf’. Tak perlu dipikirkan. Semua ada waktunya.”

Tanpa aba-aba, Adnan langsung menggendong Amira di depan dadanya, membuat wanita cantik itu memekik karena terkejut.

“Nah, sekarang waktunya kita berusaha lagi,” ucap Adnan dengan senyuman nakal.

“Mas!”

Tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang senang dicap “mandul”. Terlebih lagi dibandingkan dengan mereka yang bangga mengatakan “sekali menempel langsung hamil”. Belum diberi keturunan bukan berarti mandul.

—TAMAT—

Written by nandaahime

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro