3. A Glimmer of Life

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terbangun dari tidur adalah hal yang paling tidak diinginkan seorang manusia bernama Athia. Dirinya sangat berharap kalau ia akan selamanya tertidur dan bangun setelah cukup puas bermimpi. Namun itu semua tidak terkabul, seperti apa yang terjadi di pagi hari ini.

Athia terbangun dari tidurnya dengan senyuman lebar dan matanya yang sayu. Namun setelah beberapa detik, senyuman itu pudar digantikan dengan wajah dan tatapan kosong yang menerawang.

Terpaksa Athia bangkit dari tidurannya dengan helaan napas lelah. Entah beban apa yang ia tanggung hingga dirinya tidak mau terbangun dari tidur.

Dengan langkah lesu, Athia berjalan ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

Cukup memakan waktu beberapa menit, Athia pun keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuhnya yang terlihat agak basah.

Athia berjalan ke arah lemari dan mengambil setelan seragam berwarna putih biru.

"Senyuman, hari ini ...." Athia terus mengulangi kalimat itu dengan tatapan kosong yang masih sama. Namun setelah sampai di tiga kali pengulangan, senyuman juga binar wajah langsung terpampang jelas pada wajahnya, seakan disulap oleh dirinya sendiri dengan penuh tipu daya.

Senyuman itu terlihat berbeda dari senyuman orang biasanya. Senyuman di wajah Athia terlihat sangat jelas dicampuri oleh paksaan dan ketidak bahagiaan mendasar dari hatinya.

"Mau sampai berapa lama lagi kau berdiam di kamar?! Cepatlah pergi ke sekolah dan pulang kembali dengan membawa makanan!"

Suara menggelegar yang berasal dari lantai bawah, membuat senyuman paksa yang Athia ulas kembali menyurut. Tidak bisa bagi Athia kalau harus terus memaksakan senyuman yang bahkan dirinya berusaha menghilangkan bekas tersebut.

"Sudahlah, Ayah. Kasihan Athia." Terdengar suara lain di bawah sana yang sepertinya menenangkan orang tadi.

Mendengar suara itu, Athia langsung menghapus bekas air matanya dan segera melapisi wajahnya menggunakan pelembab, agar mata sembabnya yang sehabis menangis semalam tidak akan terlalu kelihatan.

Bergegas mengambil tasnya, Athia langsung berjalan menuju ke bawah, takut kalau kakaknya akan dibentak oleh ayahnya karena sudah membela dirinya.

"Jangan bela dia terus! Ayah lebih menyayangimu dibanding anak sial itu."

Langkah Athia terhenti begitu mendengar dua kata yang selama ini menghantui pikirannya untuk menghilang dari permukaan bumi.

Dengan perlahan dan mengulas senyuman kaku, Athia menuruni tiga anak tangga terakhir.

Perempuan yang terlihat lebih tua beberapa tahun dari Athia dan seorang pria kepala tiga spontan menoleh begitu dirinya menampakkan batang hidung dengan keadaan yang tiba-tiba menjadi kikuk.

"A-ah, Athia! Kau sudah bangun rupanya. Ayo kita sarapan bersama!"

Perempuan yang terlihat beberapa tahun lebih tua dari Athia itu langsung menuntunnya ke meja makan, diikuti pria tadi dengan aura suram yang sangat kentara.

"Athia, mau makan apa? Kakak akan langsung siapkan!" Perempuan itu tersenyum lebar ke arah Athia.

Athia hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Aku ikut Kak Thata saja," jawabnya.

"Baiklah. Kalau begitu, Kakak akan menyiapkannya dengan secepat kilat!" candanya yang ditanggapi anggukan kepala dari Athia.

"Kalau Ayah mau makan apa?" Kini Thata bertanya pada ayahnya yang sedari tadi diam.

"Apa saja asal tidak merepotkanmu .... Dan jangan samakan menunya dengan anak sialan satu ini."

Keadaan kembali canggung. Dan perkataan itu sukses membuat dada Athia bergemuruh hebat dengan bibir yang sedikit bergetar menahan tangis.

"A-ayah, jangan seperti itu ...." Thata mencoba untuk memberi nasihat pada ayahnya, melihat Athia yang semakin menguatkan pegangan pada roknya sendiri.

"Ah, Kak Thata, aku sarapan di sekolah saja. Aku kebagian piket kelas hari ini."

Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang di hadapannya, Athia segera menggendong tasnya dan berjalan ke luar rumah dengan terburu-buru, menyembunyikan sesuatu yang selalu ia tahan di depan keduanya.

Melihat adiknya yang berubah dratis, juga perlakuan ayahnya yang semakin berdampak negatif pada adiknya, membuat Thata ikut merasakan sakit hati. Ia menatap sendu kepergian sang Adik yang selalu menjadi temannya dahulu kala.

Di perjalanan, langkah Athia jadi melambat, diikuti air mata yang terus memburamkan pandangannya. Dengan rasa kesal yang ia lampiaskan, Athia menyusut kasar air mata yang sebentar lagi akan jatuh.

"Seharusnya aku tidak lahir ...." lirih batinnya.

Athia merenungi setiap perkataan ayahnya yang hampir memenuhi memori dalam kepalanya. Terlalu bodoh untuk dirinya bila mengikuti perkataan hatinya yang sedang diselimuti awan kelabu untuk mati saja.

Athia berusaha untuk melupakan kata-kata ayahnya tadi pagi dengan menghirup napas dalam-dalam dan mencoba untuk memikirkan hal lain. Namun begitu matanya tak sengaja menangkap sosok anak kecil bersama ayahnya yang sedang bercanda ria, lagi-lagi membuat hatinya teriris pisau.

Athia segera mengalingkah pandangannya dengan alis yang mengerut. "Aku juga dulu 'kan seperti itu! Tidak usah dipikirkan terus, tidak usah dipikirkan terus!"

Hatinya yang kini mencoba untuk menghilangkan memori menyakitkan, dibantu dengan pikirannya yang bertolak belakang dengan emosi campur aduk di dalam perasaannya.

Puk

Sebuah tepukan berhasil membuat Athia kembali ke atas bumi. Dirinya langsung menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya. Dilihatnya, seorang ibu dengan kerutan di wajahnya yang nampak tak asing di penglihatannya.

Athia mengernyit. "Iya?" tanyanya dengan suara yang sedikit parau.

Menyadari ada yang aneh dengan suaranya, Athia segera berdehem untuk menghilangkan jejak lagi.

"Kau menunggu bus, 'kan?" tanya ibu-ibu itu dengan senyuman yang lagi-lagi nampak tak asing di penglihatan Athia.

"Eng, iya."

"Itu busnya sudah sampai. Cepatlah naik sebelum Kau telat masuk ke sekolah."

Si Ibu itu menunjuk bus yang baru saja akan berhenti di halte yang Athia tempati sekarang.

Sadar dengan bus yang ditunggunya sudah sampai, Athia berjalan menuju pinggiran halte agar dirinya mendapat duduk di bagian depan. Tapi begitu beranjak dari tempat duduknya, Athia menyadari sesuatu yang janggal.

"Kenapa ibu itu tahu kalau aku menunggu bus ini?" pikirnya.

Athia berbalik, namun dirinya sudah tidak menemukan keberadaan sosok ibu-ibu yang tadi menepuk bahunya. Athia mengernyit heran, ia rasa ibu-ibu tadi duduk di samping bangku halte yang ia duduki.

Tiit, cussh

Bus yang biasa mengantar Athia menuju sekolah pun sampai, membuat Athia kembali tersadar dan langsung naik ke bus berwarna merah itu.

Di dalam bus, ia mengambil tempat duduk di pinggir kaca, dilihatnya lagi tempat yang ia duduki tadi. Namun hasilnya sama, tidak ada siapa-siapa di sana.

Tak mau memusingkan diri dengan masalah tambahan, akhirnya Athia menyenderkan kepalanya ke kepala kursi dan memasang headset ke telinganya.

"Dek .... Dek ...."

Merasakan guncangan pada seluruh tubuhnya, membuat mata Athia yang tadinya terpejam langsung terbuka lebar.

"Astaga, Kau ketiduran terus, Dek. Nasib baik saya masih mau membangunkanmu. Kalau tidak, Kau harus mencari bus lain di halte berikutnya."

Si Supir Bus itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Athia yang menyadari dirinya ketiduran lagi, segera bangun dan langsung memberi uang pada si Supir Bus.

"Eh?" Si Supir Bus lagi-lagi dibuat kebingungan dengan Athia yang langsung melewatinya begitu saja, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Dibukanya kepalan tangan, dan melihat uang dengan tulisan di atas kertas, 'Terima kasih lagi, Pak.'

"Ck, ck, ck. Kasihan juga sih, semoga ada keajaiban yang membuat dirinya bisa berbicara." Ternyata si Sopir Bus menyangka kalau Athia itu gadis yang bisu. Mungkin itu juga sebab Athia tidak pernah mengeluarkan kata-kata di depannya?

Setelah sampai di sekolahnya, Athia tidak langsung pergi ke kelas, ia malah pergi ke kantin dengan langkah terburu-buru dan ia ambil lebar.

Sesampainya di salah satu stand pedagang, Athia langsung memasuki kios kecil itu dan meletakkan tasnya di dekat etalase.

"Eh, Non Athia sudah sampai. Tumben telat, Non? Busnya lama ya?" tanya seorang wanita paruh baya yang sedang menanak nasi.

"Em ... tidak," jawab Athia singkat.

"Ya sudah, tolong jaga sebentar, ya. Ibu mau ke belakang dulu ambil bumbu." Athia menganggangguk. Si Ibu itu pun melenggang pergi ke belakang lewat pintu.

Membantu ibu-ibu kantin itu berjualan adalah pekerjaan sampingan Athia selama beberapa bulan ke belakang ini. Itu semua ia lakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya, karena sekarang dia tidak mendapatkan pasokan uang saku. Dan itu juga ia gunakan bila ayahnya menyita semua uang miliknya.

Athia kemudian duduk di stand kursi milik si Ibu Kantin, menunggu seseorang yang datang untuk membeli. Namun sudah ia tunggu selama seperempat jam, tidak ada juga seorang pun yang datang ke stand miliknya.

Murid-murid lain hanya berlalu lalang di depan stand yang Athia jaga, mereka kelihatan lebih tertarik dengan stand sebelah. Entah apa yang mereka pikirkan, hanya saja penjaga di stand sebelah itu lelaki di sekolah Athia yang merupakan pemain basket. Cuman Athia tidak mengetahui hal itu dan selalu tidak ingin mengetahui agar dirinya terhindar dari masalah.

Athia menghela napasnya. Sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi, namun warung jagaannya tidak juga ada yang beli, biasanya ada beberapa orang yang mau membeli jajanan di situ, tapi sekarang orang-orang itu berpindah haluan dengan stay di sebelah.

Menghela napasnya, Athia rasa ia takkan mendapatkan penghasilan di hari ini dari penjagaan kantinnya. Athia pun menyerah dan hendak mengambil tasnya, namun ada suara seseorang yang membuat Athia kembali menoleh.

"Permisi."

Athia berbalik, lalu menemukan seorang laki-laki berkacamata sedang berdiri di depan etalase.

"Apakah Kau yang berjualan di sini?" tanya lelaki itu.

"A— iya, ada apa?" Athia menjawabnya ragu-ragu, melihat tatapan tajam dari balik kacamata bening yang lelaki itu tampilkan.

"Ah, maaf, kukira Kau pencuri. Gelagatmu aneh tadi." Lelaki itu cengengesan lalu membungkukkan badannya sebagai tanda meminta maaf.

Athia menatapnya datar.

"Aku ingin membeli pop ice, ada?" tanyanya.

Athia mengangguk lalu beranjak dari tempat duduknya dan segera membuat pop ice yang diinginkan laki-laki itu.

"Kenapa Kau tidak ikut mereka?" tanya Athia dengan pandangan yang masih setia menatap pisau blender yang berputar cepat. Entah, dirunya tergerak untuk bertanya. Hal yang begitu langka belakangan ini.

"Mereka siapa?" Laki-laki itu bertanya balik.

Athia kemudian menggerakkan dagunya dan menunjuk ke arah kerumunan orang yang berkumpul di stand sebelahnya.

Laki-laki itu kemudian menggangguk-angguk. "Oh~ mereka. Tidak. Aku tidak terlalu suka kerumunan." Athia kemudian mengangguk singkat sebagai responnya. "Aku juga tidak terlalu suka dengan si Cecil."

Athia mengernyit. "Cecil?"

"Ya, si Cecil. Lelaki yang berjualan di stand sebelah. Dia pemimpin klub basket. Jangan bilang Kau tidak tahu dia?" Laki-laki berkacamata itu memicing.

Athia kembali menggeleng. "Memangnya dia kenapa?"

Laki-laki berkacamata itu menghela napasnya. "Dia itu anak yang menurutku lumayan angkuh untuk dijadikan seorang teman. Cara bicaranya juga selalu terkesan merendahkan untuk didengar. Aku tidak nyaman karena dirinya terlihat seperti terus-terusan mencoba menarik perhatian orang lain dengan gayanya yang seperti itu. Ya, aku akui dia memang keren, tapi dia memanfaatkan kelebihannya di bidang olahraga untuk mencela orang lain yang tentunya tidak mahir di bidang yang ia tekuni."

Setelah berbicara panjang lebar, si Lelaki berkacamata itu menyenderkan punggungnya pada sanggaan kursi. Matanya melirik sedikit ke arah Athia yang sepertinya sedang memikirkan perkataannya tadi.

Tak mau ceritanya diambil pusing, ia segera berntanya, "Hei, aku baru melihatmu sekarang. Kau anak kelas berapa?"

Athia kemudian menoleh setelah beberapa saat tertegun. "Ah, maaf. Eng ... Kau tadi bicara apa?"

Load .... 404. Press F for Athia.

Lelaki berkacamata itu menepuk keningnya. Melihat itu, Athia merasa bersalah dan langsung menyajikan minumannya dengan sedikit topping tambahan yang tentunya dibayar dari uangnya.

"Eh? Sudah beres. Terima kasih." Lelaki berkacamata itu kemudian mengambil gelas cupnya. Begitu ia melihat ke arah minuman, ia mengernyit heran. "Loh? Aku ga pesen toping kok—"

"Itu untuk permintaan maafnya," potong Athia.

Si Lelaki itu keanehan. "Ha? Tidak apa—"

"Dibayar dari uangku," potong Athia lagi.

Mendengar kalimatnya yang terus dipotong membuat si Lelaki itu mendengus kesal. Ia pun tersenyum karena telah diberi topping gratisan. "Ya sudah, terserah Kau saja. Terima kasih."

Si Lelaki itu pun menyeruput minumannya.

Athia yang merasa pegal karena terus berdiri akhirnya ikut duduk di samping lelaki berkacamata dengan membawa nampan ibu kantin.

"Jadi tadi Kau berbicara apa?" tanya Athia sekali lagi.

Si Lelaki itu menoleh, kemudian memilih untuk menghabiskan minumannya terlebih dahulu sampai terdengar suara seruputan dari sedotannya, dan itu membuat Athia memutar bola mata.

Setelah minumannya habis, ia pun berdehem sejenak. "Khem. Jadi tadi itu aku bertanya padamu, Kau itu anak kelas berapa? Perasaan aku baru pertama kali melihatmu."

Athia kemudian menganggukan kepalanya berulang kali. "Oh, aku anak kelas 11 MIPA," jawabnya.

Mata lelaki itu terbelalak seketika. "Hah?! Kau anak sebelas MIPA?! Kok aku tidak tahu? Aku anak sebelas MIPA juga."

Athia menghela napasnya. Sudah terbiasa ia tidak dianggap dan juga tidak ada yang mengenalnya selain mereka. Hanya pada saat tertentu Athia terlihat dan tidak menjadi transparan di kelasnya. Tapi mungkin saat itu terjadi lelaki ini tidak ada di kelas.

"Kau siswa yang sering dipanggil guru, ya?" tanya Athia.

Lelaki itu semakin mengernyitkan dahinya. "Kok tahu?"

"Enak ya disayang guru. Aku juga ingin." Tanpa sadar Athia mengungkapkan perasaannya pada orang yang baru ia kenal beberapa menit lalu. Begitu tersadar, ia langsung bangkit dari duduknya. "Lupakan."

Grep

"Ga enak tau disayang guru itu." Dengan mencekal baju belakang Athia, si Lelaki berkacamata itu bicara dengan nada datar.

Athia berbalik. "Maksudmu, Kau tidak ingin disayang guru?"

Jelas-jelas disayang guru itu enak. Dapat tugas lebih sedikit, nilai selalu ditambah, ditanya setiap hari, dipandang paling kreatif, dipuji setiap menit. Dari segi mana hal yang membuat si Lelaki itu terlihat tidak nyaman?

"Ck. Kau tidak mengerti. Coba saja kalau Kau jadi diriku, Kau tidak akan mampu menanggung itu semua." Dia memalingkan wajahnya.

Mendengar itu, emosi Athia seketika jadi tidak stabil. "Oh, jadi Kau berniat mengejekku karena aku tidak disayang guru, begitu?" tanyanya dengan nada berbeda dari yang sebelumnya.

Si Lelaki itu terkejut dan langsung menggeleng cepat. "Eh, bukan! Bukan itu! Maksudku, Kau harus terus bersamanya dengan menerima hinaan dari murid lain."

Athia mengernyit tidak mengerti.

"Kau tahu? Memang enak bisa disayang oleh guru. Tapi yang menjadi masalah utamanya adalah sifat dengki dari orang yang tidak menyukai kedekatanmu dengannya. Murid-murid di kelas bahkan tidak pernah bertegur sapa denganku semenjak aku selalu menggaet medali dari kelas sepuluh. Mereka terlalu takut dan tidak mau aku melangkah lebih jauh. Mereka berpikiran kalau aku juga akan merebut hati lebih banyak orang lagi. Dan oleh karena itu mereka selalu menjauhiku, apalagi sekarang sudah mulai ada beberapa orang yang nekat untuk membullyku dengan alasan seperti itu." Lelaki berkacamata itu menghela napasnya.

"Padahal aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin agar semuanya bisa mengerti, karena aku juga mengerti akan mereka. Tapi mereka selalu menjauhiku dan membuang dengan percuma usaha yang telah kulakukan untuk mereka semua. Aku yang berambisi kuat untuk memenangkan berbagai kejuaraan hanya agar untuk membuat kelasku bangga, membuat teman-temanku bangga, dan nama mereka ikut harum bersamaku. Namun nyatanya tidak. Mereka malah beranggapan lain." Dia termenung sebentar.

"Haha, kalau dipikir-pikir, diriku mungkin terlalu naif hingga melakukan hal seperti itu. Tapi memang itu lah hal yang ingin kulakukan jauh dari lubuk hatiku."

Dia mencurahkan isi hatinya juga.

Athia yang tak tega dengan adanya kesedihan dari raut wajahnya, segera duduk kembali dan bersedia mendengar ceritanya lebih lanjut.

"Ah, maaf jadi membuatmu mendengar ini." Lelaki berkacamata itu memalingkan wajahnya sambil menyusut sesuatu yang sepertinya keluar dari pelupuk mata.

"Eng, tidak apa-apa, harusnya aku yang minta maaf .... Maaf karena telah salah faham." Athia menundukan wajahnya.

Si Lelaki itu berbalik. "Eh, tidak apa-apa, kok."

Athia kemudian tersenyum, ia lalu menyodorkan tangannya. "Namaku Athia."

Mendengar itu, si Lelaki tersadar kalau Athia mengajaknya berkenalan. Ia pun membalas sodoran tangan Athia. "Namaku Vino." Ia balas tersenyum.

"Vino? Kau mau es? Di sini tidak menyediakan es." Athia pura-pura berpikir untuk mengerjainya.

Vino langsung cemberut mendengarnya, dan itu sukses membuat Athia tertawa karena berhasil.

Untuk hari ini, adalah saat pertama kalinya Athia menemukan kembali dirinya yang dulu setelah sekian lama menetap di jiwanya yang abu-abu. Kebahagiaan sepertinya nampak kembali ke permukaan hatinya, dan itu semua hanya karena Vino.

Athia yang mendengar cerita dari Vino membuat dirinya teringat kembali akan masa lalunya yang mirip sepertinya. Dan karena pemikiran tentang kesamaan nasib, Athia jadi lebih berani membuka dan membeberkan sikapnya yang selama ini ia tutupi.

Mungkin mulai saat ini Athia akan bertambah akrab dengan Vino. Ia sepertinya sudah bisa membuka topengnya sendiri yang sudah melekat beberapa tahun terkahir.

Kriiingg!

Bel masuk berbunyi, membuat keduanya kembali tersadar kalau mereka tengah berada di sekolah.

"Ah, bel berbunyi. Ayo kita cepat ke kelas, sekarang pelajaran guru killer." Vino yang merupakan murid kesayangan para guru pun ternyata takut juga pada guru killer.

Athia mengangguk dan segera mengambil tasnya. Ia lalu berteriak pada ibu kantin yang masih ada di belakang, "Bi, saya masuk kelas dulu, ya!"

"I-iya, Non. Hati-hati, Non!"

Terdengar aneh dari suaranya saat ibu kantin berteriak. Terdapat nada yang sedikit gugup dan tidak biasa di telinga Athia. Namun ia mencoba untuk berpositif thinking kalau memang tidak ada apa-apa.

"Athia, ayo!" ajak Vino.

Athia berbalik lalu mengangguk. "A-ah, iya!"

Mereka berdua pun meninggalkan kantin dengan kondisi yang perlahan sepi karena semua siswa sudah memasuki kelasnya masing-masing.

Memasuki kelas, arah tujuan ke tempat duduk mereka berbeda. Athia yang menuju ujung pojok kelas paling belakang, dan Vino yang duduk di barisan pertama bangku kedua dari pintu masuk. Mereka pun saling melempar senyum sebelum berpisah.

Anak-anak lain yang melihat interaksi walau hanya lemparan senyum dari keduanya terheran. Tentunya selain karena Athia yang selalu diam, Vino pun selalu sendirian dengan buku-buku tebalnya. Dan mereka berpikir bahwa ini adalah suatu pertanda akan terjadinya momentum persatuan dari kedua murid yang sama-sama ansos.

Athia pun segera duduk di kursi miliknya, paling pojok sendirian, tanpa ada yang menemani.

"Hei, yo! Si Pendiam sudah datang!"

Tiba-tiba ada tiga orang anak datang menghampiri meja Athia dengan menggebraknya. Dan dapat diketahui langsung, kalau mereka bertiga adalah pembully di kelas.

Athia hanya menghela napas dan dengan sengaja tidak menganggap keberadaan mereka. Ia malah cuek dan membuka tasnya juga mengeluarkan buku, lalu membacanya, mengabaikan ekspresi marah dari ketiga orang itu yang mengarah padanya.

Melihat Athia yang selalu menjadi mangsa empuk bagi pembully di kelas, teman-temannya bukan tak mau membantu Athia, tapi mereka takut terkena imbas dan malah akan dihajar oleh ketiga preman kelas itu. Vino yang mengetahui itu kaget melihat Athia dikelilingi genk yang sering membullynya.

"Mereka mengganti target?" pikir Vino.

"Hei, aku minta tolong— eh tidak, aku menyuruhmu untuk mengelap sepatuku. Lihatlah, tadi ada kucing sialan yang buang kotoran dan tidak sengaja kuinjak." Salah satu dari mereka menunjuk ke arah sepatunya yang mengeluarkan bau menyengat.

Dengan berat hati, teman-temannya hanya bisa berpura-pura tidak terjadi sesuatu dan dengan perlahan kembali ke rutinitasnya. Vino yang melihat itu sedikit emosi mengetahui teman barunya menjadi incaran berikutanya.

Namun Athia sepertinya sudah tidak aneh lagi melihat ekspresi menyedihkan dari teman-temannya. Dan itu tidak berdampak untuknya, sekali pun ada satu temannya yang membantu.

"Hei, ternyata sekarang Kau buta, ya?" Perempuan dengan gaya gothic berbicara dengan nada mengejek pada Athia. Dan seperti biasa, Athia akan pura-pura tidak mendengarnya.

"Wah, sekarang dia juga jadi tuli." Lelaki di sebelah kanannya menimpali dan membuat kedua temannya tertawa.

"Mari kita lihat, apakah dia bisu atau tidak." Lelaki lain di sebelah kiri kini mengambil pisau lipat dari balik saku seragamnya.

Ketua kelas yang melihat itu seketika matanya terbelalak kaget dengan kelakuan ketiga murid nakal itu yang kini sudah di luar batas. Si Ketua Kelas hendak menghampiri mereka, sebelum langkahnya terhenti karena tindakan Athia yang tidak terduga.

"Kalian cari mati?" Athia menodongkan kepalan tangannya yang sedikit memerah setelah memukul lelaki yang tadi membawa cutter sampai terjatuh dengan pipi yang lebam.

Si Perempuan Gothic itu merasa kesal dengan perlakuan Athia pada temannya. Ia menggeram marah dan mengepalkan tangannya yang sudah siap dilayangkan pada Athia.

"Selamat pagi, Anak-Anak!"

Tiba-tiba seorang guru masuk dan menghentikan mereka berdua yang sebentar lagi akan terlibat adu tinju.

"Lihat nanti, Kau!" desis si Perempuan Gothic lalu kembali ke mejanya, diikuti kedua temannya yang mendelik tajam ke arah Athia.

Pelajaran pun berlangsung, dan hal tadi sama sekali tidak mempengaruhi konsentrasi Athia walau selama jam pelajaran ia diganggu.

Dari kejauhan, Vino terus memperhatikan Athia dengan senyuman miring yang terlukis di wajahnya. Keluar sebuah gumaman yang sangat kecil, bahkan tidak dapat didengar oleh orang lain yang berada di dekatnya sekalipun kecuali oleh dirinya sendiri.

Triiinggg!

Bel istirahat pertama berbunyi. Athia memasukkan peralatan tulisanya dan mengosongkan meja, ia kemudian mengeluarkan kotak bekal makan siangnya karena ia malas ke kantin.

Guru pun keluar kelas setelah membereskan mejanya sendiri.

Kesempatan emas datang kembali kepada para pembully yang sepertinya memang menyimpan dendam pada Athia sejak pelajaran pertama berlangsung. Mereka bangkit dari tempat duduk dan langsung berjalan menuju meja Athia.

Brak!

"Apa lihat-lihat?! Mau kukeluarkan dari sekolah?!" Lelaki yang tadi terkena bogem mentah dari Athia memelototi anak murid lain satu persatu yang masih ada di dalam kelas dan memperhatikan gerak-gerik mereka.

Mendengar itu, mereka semua langsung meninggalkan kelas dengan langkah yang terburu-buru. Selain karena dia adalah donator di sekolah ini, mereka juga takut pada genk pembully yang satu ini. Karena, genk itu banyak disegani bahkan oleh sekolah lain.

Vino yang melihat itu lagi-lagi tersenyum miring dan ikut keluar bersama anak murid lainnya.

Merasa aman dan nyaman untuk melakukan aktifitas rutin, mereka bertiga segera mendekati Athia dan mengambil kursi untuk duduk di dekatnya.

"Hei, tadi Kau sudah lancang tidak menuruti perintahku dan malah memukul pacarku. Sekarang aku akan memberimu pilihan, Kau ingin disayat menggunakan cutter pada telapak tanganmu yang berani melayangkan pukulan pada pacarku, atau Kau ingin masuk ke sungai dan tenggelam di sana sampai esok hari?" tanya si Gadis Gothic tanpa basa-basi sambil memangku wajahnya di depan meja Athia.

"...."

Tidak ada jawaban dari Athia, dan itu mampu membuat emosinya langsung naik ke puncak dengan wajahnya yang kini memerah.

Terlalu kesal diabaikan, tanpa pikir panjang si Gadis Gothic melayangkan kepalan tangannya pada Athia. Tetapi tepat sebelum pukulan itu melayang, ada seorang guru yang masuk dan tentunya melihat kelakuan teman anak donator itu dengan mata kepalanya sendiri.

"Selly!"

Selly, si Gadis Gothic menghentikan layangan kepala tangannya dan akhirnya hanya menggantung di udara. Ia tersentak kaget saat mendengar suara guru yang selama ini selalu dihindarinya. Guru itu adalah guru BK sekaligus guru killer dalam mata pelajaran Inggris, dan sekarang ia tengah berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang.

Selly perlahan menoleh dengan keringat dingin yang sudah bercucuran di dahinya. Tangannya bergetar begitu melihat seorang guru perempuan berbaju pinky-pinky melotot ke arahnya.

"Ternyata benar ya, tentang aduan para murid mengenai dirimu yang seperti ini. Ibu kira Kau anak baik-baik, ternyata itu hanya manipulasi agar para guru tidak mencurigaimu." Mencak-mencak, guru perempuan itu memasuki kelas sambil berjalan ke arah Selly dan kawan-kawannya.

"A— AAAH!" Selly dan teman-temannya meringis kesakitan saat merasakan jeweran kuat di telinganya.

Tanpa mereka sadari, sosok Vino ternyata berdiri di balik pintu masih dengan ekspresi misteriusnya. Ia perlahan kembali menghilang dari balik tembok dengan sesuatu yang ia bawa di genggaman.

"Ah, lepas Bu!" Selly menyentak tangan guru perempuan itu, dan tentunya perlakuan Selly semakin membuat si Guru marah.

"Ibu tau 'kan kalau saya anak donator dari sekolah ini? Ibu bisa-bisa tidak dapat pekerjaan kalau saja ayah saya tidak menyumbangkan uangnya untuk pembangunan sekolah jelek ini." Dengan angkuhnya, Selly berkata demikian.

"Astaga. Ternyata Kau benar-benar orang yang seperti ini. Dan apa Kau tahu? Ayahmu sangat membenci orang yang membangkang. Dan lihatlah Kau yang sekarang ini. Aku yakin ayahmu pasti akan kecewa dan mengeluarkan juga memberikan beasiswamu untuk orang yang lebih layak."

Selly merasa tertohok dengan pernyataan itu. "Kenapa Ibu seakan-akan sudah sangat mengenal ayah? Saya tau Ibu hanya membual, benar, 'kan?"

"Ibu tahu karena ayahmu adalah teman bahkan sahabat ibu dari semenjak Sekolah Dasar," jawab guru perempuan itu.

Lagi-lagi, Selly tercengang mendengarnya. "Aku tidak pernah tahu kalau nenek lampir ini bersahabat dengan ayah sewaktu dulu."

"Ikut Ibu ke ruang BK sekarang. Ibu yakin kalian akan mendapat surat peringatan, dan itu akan membuat orang tua kalian kecewa dengan perilaku anak-anaknya, karena sifat orang tua memanglah menginginkan hal terbaik untuk anaknya." Mata guru itu bergulir lagi ke arah Selly. "Dan untuk Kau, saya yakin Kau pasti akan mendapat SP3 langsung. Jadi mulai sekarang jagalah sikapmu itu!"

Setelah berkata demikian, ia kemudian menggiring ketiga anak murid itu menuju keluar kelas untuk mendapat penghakiman di ruang konseling.

Athia yang melihatnya melongo, kenapa ada perdebatan aneh di depannya yang tidak tahu apa-apa?

Melihat ketiga murid dan guru yang tadi sengaja dipanggilnya, Vino masuk ke kelas dan segera berjalan menuju meja Athia.

"Hei, Kau tak apa-apa, 'kan?" tanya Vino begitu sudah duduk di depan meja Athia.

Athia tersadar dari lamunannya dan langsung menengadahkan kembali kepalanya ke arah Vino dengan kaget. "Astaga. Aku kira siapa. Jangan mengagetkanku seperti itu."

Vino mengangkat sebelah alisnya lalu terkekeh pelan. "Eh? Aku kira Kau tidak sedang melamun, hahaha. Maafkan aku. Kenapa Kau melamun? Jangan khawatirkan soal mereka, itu sudah diurusi oleh pihak sekolah, jadi Kau jangan takut lagi, oke?" Vino mengangkat jempolnya.

"Ck, bukan itu. Tapi aku bingung dengan ...." Athia menjeda kalimatnya dan kembali dengan pandangan menerawang.

".... Dengan?" cicit Vino.

"Eh! Ah, tidak."

Bingung dengan sikap Athia yang memang membingungkan, atau Vino yang memang tidak peka dan tidak menangkap sinyal yang diberikan? Vino lalu mengendikan bahunya tidak peduli dan mengeluarkan kotak bekal yang sedari tadi dijinjingnya.

"Eh? Kau bawa makan?" Athia menunjuk kotak bekal milik Vino.

Vino meliriknya. "Ya, kenapa?"

"Ng, tidak. Hanya saja, Kau tidak ke kantin? Aku biasanya sendiri loh kalau saat istirahat. Benar, 'kan Kau tidak di kelas saat jam-jam istirahat sebelumnya?" tanya Athia.

Vino mengangguk sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. "Benhar, kok. Laghipula aku hanya sedang inghin makan di kelas," jawabnya.

Athia menatapnya datar. "Habiskan dulu makananmu, oi."

Glek

"Hehe .... Maaf. Aku memang sedang ingin makan di kelas, kok! Biasanya sih aku makan di halaman belakang sekolah, karena di sana sepi penunjung kalau masih pagi. Mereka 'kan pada sibuk di kantin atau di lapangan, terutama perempuan yang memang sengaja ingin menonton para pemain basket di sana." Setelah menelan makanannya yang anehnya terasa masih panas, Vino menjelaskan yang selama ini ia sering lakukan di jam istirahat.

Athia menganggukkan kepalanya berulang. "Ooh, ternyata Kau terlalu minder dengan si Cecil-Cecil sampai memilih istirahat di halaman belakang sekolah, ya?" Athia menahan tawanya.

"Eh?! Teori macam apa itu?! Aku tidak terima! Dilihat dari segi manapun aku ini keren, tahu!" Vino merenggut kesal.

Athia yang tadinya ingin tertawa lepas jadi urung karena mendengar kalimat narsis dari Vino. "Heh, dilihat dari manapun ke-'kerenan' yang Kau katakan tidak muncul di mataku. Kau tahu, 'kan laki-laki berkacamata itu bukannya terlihat keren, tapi malah terlihat lucu?"

Deg

Vino langsung melebarkan senyumannya. "Wah~! Baru kali ini ada yang menyebutku lucu. Apakah benar aku ini lucu?" Vino berpose dengan gaya yang diimut-imutkan.

"Dih, geli! Diam ah!" Athia memukul tangannya menggunakan sendok besi yang ia pegang. Vino langsung meringis kesakitan karena pukulan sendok maut itu langsung membekas merah.

"Aw! Kau ternyata cukup perkasa. Ini sakit tau." Vino mengelus-ngelus punggung jari tangannya yang terlihat sangat memerah, dan terdapat segaris bekas tanda sendok yang baru saja Athia layangkan.

Mendengar dirinya disebut perkasa, Athia tentu saja tidak terima dan langsung mengamook. "APA KATAMU?! AKU PERKASA?! TERNYATA KAU SUDAH TAK SABAR INGIN TULANGMU REMUK, YA?! SINI OM PERKASA REMUKIN!"

"AAA TIDAK! AKU HANYA BERJANDA, OM! AMPUNI ANAK KECIL TIDAK BERDOSA INI!" Vino menelungkup.

"WHUT DE HEK?!" Athia semakin emosi mendengar sebutan 'Om' dilayangkan padanya, padahal dirinya sendiri yang memulai.

"HEH!—"

"Permisi?"

Di tengah keributan mereka berdua, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kelas dan langsung menghentikan aksi kenakan mereka. Orang itu berdiri dengan canggung di ambang pintu dan sebuah senyuman kaku yang terulas.

"E— eh? Iya, ada apa?" tanya Athia yang sekarang kembali ke sikap semula.

"Ah, anu, aku diminta oleh temanku untuk mengambilkan botol airnya. Bolehkah aku masuk?" tanyanya dengan sopan.

Athia tersenyum kecil. "Ya, silakan saja."

"Terima kasih."

Lelaki berseragam olahraga itupun segera mengambil botol minum yang berada di meja paling depan dan kembali lagi ke tempatnya semula. "Terima kasih, ya!"

"Hm, ya."

Athia yang menyadari aura yang dikeluarkan Vino berubah, segera duduk kembali di tempatnya setelah memastikan lelaki tadi pergi agak menjauh.

"Kau kenapa?" tanya Athia dengan emosi yang ditahan.

".... Dia Cecil," jawab Vino masih dengan wajah yang ditekuk.

"Cecil ....?" Athia mencoba mengingat nama itu yang padahal baru beberapa detik lalu ia sebutkan. "Oh! Lelaki yang Kau sebutkan tadi pagi juga lelaki yang berhasil membuatmu makan di halaman belakang sekolah karena kalah keren?" tebak Athia.

Groooo

Vino menatapnya penuh dengan tatapan umpatan tertahan, namun sedetik kemudian ia menghela napasnya dan menatap Athia dengan kedua alis yang saling bertaut kesal. "Huh! Mau dilihat dari manapun tetap, aku yang lebih keren darinya."

"He? Benarkah?" Athia menempatkan jarinya di dagu dan membingkai wajahnya. "Dari mana Kau bisa menyimpulkan hal ambigu juga mustahil itu?"

"He? Hahah, Kau tidak tahu rupanya ...." Vino tertawa dua kata. "Aku itu kalau sekalinya lepas kacamata akan membuat kaum hawa mimisan, tau." Dengan percaya dirinya, dia lagi-lagi mengeluarkan kalimat narsis.

"Dih. Aku tidak percaya. Kalau begitu coba buktikan. Dan kalau misalkan aku tidak tertaik padamu, Kau harus membelikanku cokelat uang," tantang Athia.

Vino tersenyum miring. "Ouw~ begitu, ya? Oke!"

Athia menegakkan tubunya dan meletakkan sendoknya di tepi kotak bekal miliknya. Athia bersiap dengan mental yang ia buat kokoh agar tidak goyah maupun patah begitu melihat mata Vino di balik kacamatanya. Ya, Athia akui kalau Vino itu terlihat imut saat dia memakai kacamata seperti ini. Tapi dia belum menyimpulkan rupa Vino kalau dia melepas kaca—

Sret

Athia melongo.

Syalalala~

Pemandangan yang sungguh ... sungguh tidak ada banding bagi Athia. Mungkin kata 'Wow'-lah yang seharusnya keluar dari mulut Athia sekarang, tetapi dia malah terdiam dengan mulut yang terbuka sepenuhnya.

Vino yang tanpa kacamata minusnya terlihat sangat keren seperti kebanyakan laki-laki pada komik. Rambutnya yang memang agak panjang di dahi dan disisir ke pinggir sedikit terbawa angin saat kacatamanya dibuka. Seringaian juga terlihat di bibirnya hingga memperlihatkan sosok yang berbeda dari sebelumnya. Di balik keimutan, pasti ada ke-badass-an.

"Pfftt— AHAHAHAHA! Kau harus melihat wajahmu yang tertegun tadi, itu sangat lucu. Ahahahaha!" Vino tergelak puas bahkan sampai memegangi perutnya sendiri.

Athia langsung tersadar dan kembali menegakkan tubuhnya dengan pipi yang memerah karena ketahuan termanipulasi dengan sosok menyeramkan tadi.

"E— ekhm! Maaf, ya, aku sama sekali tidak tertipu dengan itu." Ia berusaha mengembalikan image-nya yang sudah runtuh di hadapan orang menyebalkan ini.

Vino menyusut bekas air matanya yang keluar sedikit. "Ah, sudahlah. Mengaku saja kalau Kau tadi memang ter-bless dengan ke-kerenanku." Ia kembali memakaikan kacamatanya dan itu membuat Athia yang tadinya gugup bernapas lega.

Vino yang melihatnya lagi-lagi tertawa, tapi kali ini hanya keluar kekehan geli. "Kenapa Kau sangat gugup seperti itu? Tenang saja, aku tidak akan membuat kekerenan ini terbagi untuk orang lain, kok."

Athia kembali melayangkan pukulan seribu sendok miliknya pada tangan kiri Vino. "Enak saja kalau bicara."

"Aw! Jahat sekali Kau ini ... hiks." Kini kedua punggung jari tangan Vino sudah memerah, ia kemudian melirik lagi Athia. "Hei, Kau tahu tidak kenapa aku tidak makan di halaman belakang dan malah bisa menemanimu di sini?"

Athia berpikir. Benar juga, kenapa Vino tidak makan di halaman belakang?

"Mungkin karena Kau telah bisa mengatasi rasa mindermu itu?" jawab Athia sambil menunjuknya.

"Wah, alasan bagus, alasan bagus— eh tunggu, aku tidak minder! Sembarangan saja kalau bicara." Vino mendelik sebal.

"Habis itu?" tanya Athia sambil memulai makan.

"Aku yang panggil guru itu tadi, tau." Athia tersedak. ".... Dan itu kulakukan cuman untuk melaporkan juga agar dia bisa melihat kelakuan ssbenarnya dari mereka. Kebetulan saja saat aku berpapasan dengannya di koridor waktu aku akan ke ruangannya untuk menemuinya. Dan di situ aku berpura-pura minta tolong padanya kalau ada kerusakan di kelas," jelas Vino.

Athia menganga tidak percaya. Masalahnya, guru killer itu paling tidak mau dan tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya, dan dia juga tidak pernah berinteraksi dengan murid di luar pembahasan mengenai pelajaran.

Menghela napas, Athia tahu kalau Vino memang anak kesayangan guru. Dan Athia juga tahu pastinya kemauan Vino langsung diturut karena prestasinya—

"Guru itu salah satu yang tidak mendeskriminasi murid, kok." Seakan tahu apa yang sedang Athia pikirkan, Vino nyeletuk begitu saja dengan santainya kembali memakan bekal makanannya.

"Eh?!"

"Ya, dia salah satu guru yang tidak suka membedakan kasih sayang pada muridnya dari prestasi. Kau tahu? Sebenarnya dia orang yang penuh kasih sayang, tidak membedakan pada murid dengan sikap apa saja yang ia temui. Hanya saja, caranya menyampaikan perasaan berbeda dengan yang lain. Dan jangan sampai berpikiran aku menyogoknya dengan uang." Vino mengacungkan sendoknya.

"Uhm, aku baru tahu dia orang seperti itu. Tapi, dilihat dari manapun sangat tidak meyakinkan jika dia datang bersamamu ke mari. Dan untuk kalimat terakhir, itu kemungkinan yang paling besar sejauh pemahamanku tentang guru itu." Athia menelengkan kepalanya berusaha untuk mencerna kalimat Vino, namun ia masih tetap kurang percaya dan menggunakan pikirannya.

"Hah, terserah Kau saja lah."

Mereka berdua pun kembali melanjutkan makan siangnya dengan tenang dan tanpa ada cekcok lagi, karena sekarang kelas mulai terisi dengan murid yang mulai berdatangan dari luar.

Kriiingg!

Bel masuk berbunyi, Vino membereskan bekas makannya dan segera berdiri. "Athia, nanti pulangnya bareng, ya," ajaknya.

Athia sedikit kebingungan. Ini pertama kalinya ia diajak pulang bersama setelah sekian lama tidak melakukan itu bersama temannya. Tambah lagi, dia nanti harus kerja part time.

".... Ya." Dia pun akhirnya menyetujui itu karena tidak tega untuk menolaknya.

Vino tersenyum. "Ya sudah, aku kembali dulu."

Anak-anak di kelas semakin yakin kalau mereka berdua sekarang ada hubungan. Tidak mungkin gadis pendiam dan anak kutu buku yang sebelumnya tidak mengenal satu sama lain bisa sedekat itu sekarang.

~ ~ ~ ~ ~

Waktu pulang sekolah telah tiba, Athia juga teman-temannya segera membereskan barang bawaan mereka bersiap untuk pulang. Dan pulang adalah hal yang ditunggu-tunggu semua anak murid, bahkan dari pertama kali memasuki kelas. Masuk kelas, dan ingin cepat pulang, itulah kodratnya.

"Kau mau ke mana, heh?"

Lagi, genk pembully itu mencegat Athia di depan kelas begitu dirinya sudah berbelok. Vino yang menyadari itu segera berjalan lebih dulu dan menunggunya di tangga tikungan depan kelasnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Athia yang dikelilingi. Dan lagi, senyuman menyeramkan terulas di bibir Vino.

Athia memutar bola matanya malas mendengar suara gangguan yang lagi-lagi membuatnya jengkel.

"Lepas." Athia menekan kalimatnya, menandakan kalau ia memang benar-benar kesal.

Ketiga pembully itu malah tertawa terbahak mendengar perkataan Athia yang terdengar mengancam mereka. "Kau sekarang ada keberanian, ya? Hebat, hebat." Mereka bertepuk tangan tak ikhlas. "Ah, aku juga dengar Kau dekat dengan si Anak Kesayangan sekarang. Tapi dia di mana? Kok tidak membantumu?" Dia menunjukan ekspresi pura-pura khawatir.

"Bukan urusanmu," jawab Athia dingin.

"Wah, sekarang Kau jadi lebih banyak bicara. Aku bangga padamu." Salah satu dari mereka menepuk bahu Athia, dan tentunya Athia langsung menepisnya.

Plak!

Ia meringis kesakitan. Tak lama, ia tersenyum miring dan langsung menggunakan gangguan yang Athia sendiri akan merasa kesal.

"Lalu kenapa Kau tidak menolong ibumu waktu itu?" Suara itu terdengar jelas tepat dari samping telinga Athia.

Mendengar ucapan dari si Gothic, membuat emosi Athia tersulut begitu saja tanpa sadar kalau mereka bertiga sedang mempermainkannya. Wajah Athia sampai memerah menahan ledakan besar yang ia sembunyikan. Tangannya terkepal kuat dengan bibir menekuk ke bawah yang sudah ia tahan sekuat tenaga tapi tidak bisa.

"Anak sialan yang tidak melindungi ibunya. Ck ck ck, malang sekali ibunya sampai-sampai melahirkan anak seperti dia."

Baiklah, itu sudah keterlaluan.

Bugh! Bugh! Bugh!

Athia melayangkan pukulannya pada titik fatal ketiga pembully itu. Dan aksinya tak luput dari semua pandangan teman sekelasnya.

Melihat itu, Athia langsung buru-buru pulang dengan setengah berlari.

"Athia, Athia!" Vino melambai-lambai dari belakang dan menyusul lari Athia yang tidak begitu cepat. "Tunggu dulu!"

Set

Vino membalikkan badannya dan langsung terkejut melihat wajah Athia yang dipenuhi air mata. Sepertinya Athia sudah tidak bisa menahan emosinya yang meluap-luap, dan ia melampiaskan semuanya dengan air mata.

"Athia ....?" Vino memegang pundaknya, berusaha untuk menariknya kembali pada kesadaran.

Plak

Lagi, tangan Vino Athia tepis.

"Jangan lihat aku!" Setelah berucap seperti itu, Athia langsung berjalan cepat meninggalkannya. Mereka berdua kini sudah sampai keluar sekolahan.

Vino yang mendengarnya tentu tidak bisa meninggalkan Athia, dia pun berjalan mensejajarkan langkahnya dengan Athia tanpa melihatnya yang sedang menangis.

"Kubilang jangan lihat aku!" bentak Athia.

"Eh? Aku tidak melihatmu, tuh." Vino masih menatap lurus, dan memang benar dia tidak melihat ke arah Athia, tapi ... ga gitu juga Ferguso.

"Jangan ikuti aku!" Athia kembali membentaknya karena muak dengan wajah menyebalkan Vino.

"Hm? Aku 'kan mengajakmu pulang bersama, karena sekarang kita teman. Mana bisa aku meninggalkanmu di sini, lagipula sepertinya rumah kita satu arah," jawabnya tanpa merasa bersalah.

Athia terdiam di tempatnya dan membuat Vino ikut terdiam dengan menoleh kebingungan. "Lalu kenapa 'seorang teman' diam saja saat temannya diperlakukan seperti itu oleh orang lain dan hanya diam menunggu di ujung tangga?" tanya Athia.

Vino tersentak. "Ah! Wah, jadi Kau mengetahui itu? Hebat sekali." Vino tersenyum padanya, namun tentunya itu tidak berpengaruh.

"Sebenarnya aku sudah tahu kelebihanmu dan sudah lama mengenalmu. Dan Kau tahu? Tidak hanya Kau, tapi seluruh murid di kelas. Aku tahu latar belakang mereka dan semua keluh kesah mereka."

Athia terkejut. "Jadi Kau adalah stalker?"

"Eh? Tentu saja tidak! Aku ini diam-diam mendengarkan mereka berbicara. Bukannya bermaksud menguping atau apa, aku hanya bisa mendengar beberapa. Dan mungkin karena akunya sendiri yang jarang menggunakan mulut dan lebih sering menyimak, jadi pendengaranku sedikit lebih tajam. Dan kecuali untukmu, selain karena pengakuan para pembully tadi, aku belum pernah mengetahui latar belakangmu karena memang sepertinya Kau sama sepertiku. Dan selama ini yang kusadari hanyalah aura darimu yang terasa asing, seorang murid pendiam yang menduduki bangku barisan terakhir." Vino menunjuk Athia.

"Ya ... kamu 'kan pendiam, aku jadi tidak berani mendekatimu walau kita sama. Karena aku berpikir jika orang lain pun Kau tolak mentah-mentah, apalagi aku yang notabenya sudah dibenci satu kelas," ungkap Vino.

Athia yang mendengarnya jadi sedikit merasa bersalah. "Ah, maafkan aku .... Aku sudah berprasangka buruk padamu."

Vino tersenyum. "Tidak apa-apa."

Pat, pat

"Ng, baru pertama kali aku bisa akrab kembali setelah sekian lama dengan orang lain. Dan itupun orang yang baru kukenal beberapa jam lalu." Athia tiba-tiba berujar.

Vino merasa dirinya sedang dibicarakan. "Maksudmu aku, gitu?" Dia mengangkat sebelah alisnya, sepertinya Vino tersinggung dengan kata 'Orang yang baru dikenal'.

"Ehehe ...."

Vino menghela napasnya. "Aku juga baru pertama kali ini setelah sekian lama. Mungkin ... karena kita merasa senasib, jadi kita cepat akrab dan saling membagi— atau mungkin belum."

"Baiklah!" Athia mengelap sisa air matanya. "Kurasa kita akan menjadi teman baik bahkan sahabat baik. Jadi mari kita saling berjanji untuk melindungi satu sama lain dan mendukung satu sama lain." Athia mengangkat jari kelingkingnya.

Vino tersenyum setelah sempat beberapa detik merenungi ucapannya. "Oke, janji!"

"Hei, kalian berdua."

Sebuah suara terdengar dari arah belakang mereka yang tengah menjalin ikatan persahabatan, membuat keduanya menoleh dan terkejut mendapati anak basket yang tadi siang mengunjungi kelasnya.

"Dia ...." Tangan Vino mengepal. Athia melihatnya sedikit ketakutan kalau-kalau dia akan bertengkar.

"Kalian sedang apa di sini?" tanyanya.

".... Apa masalahmu?" tanya Vino dengan nada yang tidak bisa diajak kalem.

"Eh? Tenang, tenang. Aku tidak ada niatan jahat, kok. Lagipula aku kebetulan lewat sini karena ada keperluan." Cecil, lelaki itu datang mendekati mereka berdua yang menatapnya risih seakan dia adalah pengganggu. Tapi Cecil tidak peka dengan hal itu dan malah tersenyum berbunga mendekati kedua orang muram di depannya.

"Hai, namaku Cecil. Seragam kita sama, jadi pastinya kita satu sekolah. Tidak baik jika saling cuek satu sama lain, 'kan? Kalau nama kalian siapa?" tanyanya sambil menyodorkan tangan. Cecil dengan mereka berdua memang tidak kenal, karena berbeda kelas.

Athia dan Vino saling memandang dengan tatapan datar. Dan tanpa menggubris uluran tangannya, mereka berdua pergi begitu saja.

Jleb!

Cecil tertohok. Selama ini ia tidak pernah diabaikan. Tapi mereka berdua ....

"Hei, kok gitu? Aku ajak baik-baik loh. Nama kalian siap—"

"Athia."

"Vino."

Mereka menjawab bersamaan dengan nada datar dan tegas yang membuat Cecil langsung terdiam di tempatnya.

"O-oh .... Salam kenal."

Tanpa memperdulikan dia, Vino dan Athia kembali berjalan lebih dulu dan kembali meninggalkannya yang terdiam di tempat.

Tak putus asa, Cecil pun juga kembali mengikuti mereka dari belakang.

"Dia mengikuti kita," bisik Athia.

"Eh? Benarkah?" balas Vino berbisik.

"Iya. Aku takut dia ingin membunuh kita."

"Tidak akan. Dia tidak akan berani."

"Lalu sekarang kita harus bagaimana?"

"Biarkan saja. Anggap saja dia nyamuk."

Cecil menatap mereka datar. "Itu kedengaran jelas, tau." Cecil yang berada tepat di belakang mereka tentunya dapat mendengat bisikan-bisikan itu dengan jelas.

"Hei, kenapa kalian takut padaku? Aku bukan pembunuh bayaran, kok." Cecil berusaha meyakinkan mereka berdua.

"Astaga, dia mendengar kita."

"Ah! Biarkan saja, abaikan saja, anggap saja lalat."

"OI, AKU DENGARLAH!" Cecil mengamuk di belakang.

Vino dan Athia kaget dan langsung berbalik.

"Kalian kalau mau berbisik itu perkecil dulu suaranya! Orang yang kalian bicarakan ada di belakang kalian! Dan aku dapat mendengar semuanya dengan jelas, tau!" kesalnya.

"Oh, jadi dia dengar." Vino tetap bicara pada Athia seakan Cecil tidak ada.

"Iya, lalu kita harus apa sekarang?" Athia membalasnya dengan sama.

Cecil sekarang sudah seperti nyamuk saja bagi mereka berdua. "Hei, aku tahu kalian baru pacaran. Tapi jangan seperti ini juga, dong! Begini-begini aku juga bisa sakit hati, tau! Nanti kalau aku berdo'a yang tidak-tidak lalu terkabul, aku akan menyalahkan itu pada kalian."

Athia dan Vino kembali saling pandang. "Kenapa kami?" tanya mereka kompak.

"Ya 'kan kalian yang buat aku sakit hati." Cecil mengeluarkan pembelaannya.

"Hei, dengarlah wahai Manusia Menyebalkan. Aku dan Athia itu tidak pacaran, kami bahkan baru mengenal satu sama lain tadi pagi. Dan kenapa Kau berisi keras mendekati kami kalau sudah tahu akan menjadi nyamuk? " tanya Vino.

Cecil mengangkat sebelah alisnya. "Jadi kalian baru mengenal satu sama lain tadi pagi? Kenapa seperti itu?" Ia semakin penasaran dengan keduanya yang langsung terlihat cepat akrab.

"Bukan urusanmu," potong Athia. "Ayo, Vino." Mereka berdua pun kembali berjalan, diikuti Cecil yang memang satu arah. Tapi kali ini Cecil diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata.

Di tengah perjalanan, Athia mampir ke sebuah toko swalayan. Ia langsung berbalik pada Vino dan tersenyum. "Vino, aku mau berkunjung ke sini dulu. Kau pulang saja duluan. Terima kasih juga untuk hari ini. Sampai jumpa."

Vino mengernyit. "Oh, Kau mau belanja? Biar aku temani saja kalau begitu?"

Athia langsung menggeleng cepat. "Eh, tidak-tidak. Aku kerja part time di sini."

"Ah, begitu rupanya. Kau hebat. Ya sudah, semangat ya. Sampai jumpa di sekolah nanti." Vino melambaikan tangannya yang dibalas Athia.

Athia pun masuk lebih dulu ke dalam toko.

"Wah, dia sudah bekerja. Hebat, ya?" tanya Cecil sambil terus memandangi toko besar yang sepertinya sepi pengunjung di depannya.

Vino tidak menggubris itu dan langsung berjalan lebih dulu. Cecil yang sudah mengira mendapat tanggapan seperti itu hanya mengendikkan bahu dan mengikutinya dari belakang lagi.

Setelah memasuki toko tadi, Athia segera melepaskan tas punggungnya lalu berjalan ke arah pria tua yang berada di meja kasir.

"Oh, hai Anak Muda, Kau sudah datang." Pria tua itu menyambutnya dengan senyuman khas seorang kakek.

Athia membalas senyuman pria tua itu dengan senyuman berseri. Tidak biasanya ia tersenyum seperti itu, atau mungkin saja karena pengaruh mendapatkan teman baru? Ya, bisa aja.

"Kau kelihatan senang. Mau cerita sesuatu?" tawarnya dengan senyuman sejuk yang masih ia pertahankan.

Athia mengangguk dengan semangat. "Aku tadi mendapat teman! Dia denganku memiliki nasib yang sama. Dan aku senang sekali akan hal itu— maksudku, aku memiliki seorang teman baru."

Si Kakek ikut bahagia mendengarnya. "Wah~ selamat kalau begitu. Kakek turut bahagia mendengar Athia bisa mendapat teman baru selain kakek dan ibu kantin."

Ya, teman Athia selama beberapa tahun ke belakang ini memang hanya si Ibu Kantin dan kakek ini saja. Dia terlalu takut untuk mencari teman, dan caranya memperlakukan orang lain sedikit terlihat kasar.

"Ehehehe~"

Kakek pemilik toko lalu melihat ke arah baju Athia yang sedikit kusut, ia tahu kalau anak di depannya pasti mengalami hal itu lagi selepas sekolah tadi. "Kalau Kau lelah, Kau bisa bekerja nanti saja," ujarnya.

Athia segera menggeleng mendengar ucapan si Kakek. "Tidak, Kek. Aku mau bekerja sekarang. Aku harus pulang sebelum jam enam sore."

Si Kakek pun tersenyum dan mempersilahkan Athia untuk bekerja di toko swalayan miliknya.

Tak terasa, jam setengah enam sore tiba, Athia pun segera berpamitan pada si Kakek dan dibekali oleh si Kakek beberapa makanan kalengan yang selalu Athia terima dengan hati yang senang.

Di perjalanan, senyuman Athia tidak luntur, ia pun sesekali bersenandung kecil. Rasanya Athia yang sekarang bukanlah Athia yang kemarin.

Sesampainya di depan rumah, senyuman yang tadinya ia pasang lebar surut seketika. Wajahnya jadi mendung seperti refleks yang biasanya tersetrum listrik, dan hal itu membuat hati Athia kembali ciut, bukan berbunga-bunga.

Dengan perasaan was-was, Athia pun memutar knop pintu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Perlahan kaki Athia melangkah masuk dan matanya melirik ke kanan-ke kiri.

Pletuk!

Sebuah sepatu melayang begitu saja ke arah kepala Athia dan membuatnya meringis karena lemparan itu kuat, hati Athia langsung berdegup kencang menahan ketakutan hingga badannya gemetaran. Dan tentunya, perasaan Athia langsung mencelos begitu melihat siapa pelaku yang melemparkan sepatu ke kepalanya. Ayahnya sendiri.

Walau sudah diperlakukan seperti ini berulang kali, Athia tetap menolak untuk percaya kalau ayahnya adalah pelakunya. Ia tidak siap dan tidak mau siap mendengar makian yang akan keluar.

"Anak tidak berguna!" cecarnya dengan mata yang sayu.

Ayah Athia pengangguran, dan kerjaannya hanya mabuk-mabukan setiap siang dan malam. Dan di sore atau di pagi hari, ia akan tertidur pulas di kamarnya.

Kondisi seperti itu tentu tidak memungkinkan dirinya untuk terus hidup. Dan hingga akhirnya, Athia-lah yang menafkahi keluarganya sendiri, karena ayahnya melarang kakak Athia untuk bekerja. Yap, pilih kasih.

"Ayah, hentikan!" Kakak Athia langsung berdiri di depan, melindungi Athia yang akan dilempar kembali, dan kali ini menggunakan botol kaca kosong.

"Hei, Kau kenapa ada di situ, minggir! Ayah ingin melemparnya dengan ini." Dengan lemas, ia menggerakkan jarinya memberi isyarat untuk Thata menyingkir.

"Tidak, Ayah tidak boleh melakukan itu pada Athia. Dia adikku, dia anakmu, Ayah," peringatnya.

Pria itu malah membuang mukanya dan berdecih sebal. "Cih, jangan bela dia terus, karena dia ibumu meninggalkan Kau, dan juga ayah. Karena itu, biarkan ayah melakukan hal yang sama padanya."

"Ayah, cukup!"

Melihat situasi itu, Athia segera berlari memasuki kamarnya dengan perasaan sedih setelah menyimpan sekeresek makanan kalengan hasil kerja kerasnya di meja makan.

"Dia hanya berguna sebagai pesuruh." Si Ayah berucap enteng, dan dia sama sekali tidak memperdulikan perasaan anak bungsunya.

Thata yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya. Itu bukanlah sosok ayah yang selama ini ia kenal. Sosok ayah yang dulu adalah sosok yang penyayang dan tidak membedakan kasih pada anak-anaknya, berbeda jauh dengan yang sekarang. Dan sosok yang ini bukanlah ayah mereka, melainkan seorang monster tak berbelas kasih, dan pengecualiannya hanya kepada Thata seorang.

Thata ikut sakit hati mendengar makian ayahnya pada adiknya. Ia dari dulu sangat menyayangi adiknya, dan adiknya adalah suatu alasan baginya tetap bertahan hidup sampai sekarang.

Tak kuat melihat itu, Thata segera menyusul Athia ke kamarnya, ia berlari dengan tergesa. Begitu Thata sampai di depan pintu, ia mencoba membuka knop pintunya, namun terkunci.

"Aku tahu bebanmu banyak, Athia. Aku akan selalu menyayangimu dan menjadi tameng untukmu. Aku harap Kau bersabar menghadapi ini."

Dengan perasaan sedih, ia pun pergi meninggalkan pintu kamarnya.

Terlihat dari dalam, Athia sedang meringkuk di atas kasur di pojokan dengan isak tangis yang ia tahan sekuat tenaga. Gemuruh di dadanya membuat ia kembali teringat masa-masa di mana menjadi awal permulaan ayahnya membenci dirinya.

'Anak kurang ajar! Kau apakan ibumu?!'

'Tidak tahu diuntung, pergi sana, Kepar*t!'

'Aku sudah tidak menyayangimu, lebih baik Kau kujadikan pemulung saja.'

"Hik! Hik! Aaaaaaa!" Frustasi dengan kata-kata pengguncang mentalnya, Athia membekap wajahnya menahan teriakan yang keluar agar tidak lebih keras lagi.

~ ~ ~ ~ ~

Rembulan muncul dengan cahayanya yang terang, membuat wajah Athia menjadi sedikit damai akan kehadirannya.

"Psst, psstt!"

Athia langsung tersadar dari lamunan dan mencari asal suara berbisik yang ia dengar.

Tap, tap

"Hai?"

".... AAA! KOK—" Athia langsung membekap mulutnya karena takut kena marah lagi. Jantungnya serasa dipacu saat melihat Vino kini berada di hadapannya yang berada di jendela kamar.

"Eh, sut, sut, jangan berisik. Aku ke sini cuman mau main." Vino menyuruhnya untuk diam, dia pun masuk ke kamar Athia sambil meloncat dari jendelanya.

"Keluar kamu, dasar maling! Sana, dari mana tahu rumahku! Pergi, pergi!"

Bugh! Bugh!

Pukulan Athia layangkan pada Vino dengan bertubi dan membuatnya meringis. Ia begitu panik kenapa Vino bisa mengetahui rumahnya, apalagi mereka 'kan baru mengenal satu hari, apa tidak berlebihan?

"Ah, maafkan aku! Ampun, ampun!" Athia pun menghentikan pukulannya. "Aku ke sini cuman mau ajak kamu ke rumah hantu ...."

Athia mengernyitkan dahinya. ".... Hah? Rumah hantu?"

Vino kembali ceria dan menampilkan cengiran lebarnya. "Iya! Soalnya aku bawa kecoak. Tada~!"

Tuing!

"GYAAAAAAAAAAAA!"

~ ~ ~ ~ ~

"AH!" Athia terbangun dari tidurnya dengan keringat basah yang keluar dari dahi. Napasnya ngos-ngosan seperti sudah berlari jauh saja. "Mimpi aneh apa ... itu?"

Kelelahan dengan pikirannya sendiri mengenai mimpi absurd yang melibatkan Vino di dalamnya, Athia langsung saja bangkit dari tidurnya dan membersihkan diri.

Selesai mandi, Athia tersadar kalau ini masih pagi buta, matahari belum muncul dari ufuk Timur. Tapi ini kesempatan langka, artinya kakak juga ayahnya belum bangun tidur, jadi dia akan langsung berangkat ke sekolah tanpa makian atau pukulan.

Perlahan ia menuruni tangga dan ternyata benar saja, tidak ada siapa-siapa di bawah sana. Athia kemudian menuliskan pesan untuk kakaknya kalau ia akan berangkat duluan. Setelahnya pun, dia langsung pergi ke luar begitu saja.

Cukup memakan waktu untuk sampai ke halte, akhirnya Athia tiba di sana dengan keadaan yang masih kosong. Athia kemudian duduk di bangku paling ujung, menunggu bis yang mungkin datangnya setengah jam lagi. Dan tidak mungkin bagi Athia untuk berjalan kaki ke sekolah, karena jaraknya memang sangat jauh.

Gek

Athia menoleh ke samping dan ia terkejut ketika mendapati Vino ada di sampingnya. Ingatan tentang mimpi anehnya semalam kembali menghantui pikirannya.

"Astaganagagagap!" Athia mengusap dadanya.

"Eh? .... Hoi, Athia! Tak kusangka Kau juga pakai halte ini?" Vino tersenyum lebar.

"Aku memang sering ke sini." Athia menatapnya datar. "Dan Kau sedang apa di sini? Perasaan tiap hari aku tidak pernah melihatmu di sini juga."

"Oh, aku memang selalu datang pagi-pagi sekali, menanti bus pertama lewat. Kau selalu datang siang, ya?" Vino balas bertanya.

"Iya." Athia kemudian mengedarkan pandangannya begitu mengingat sesuatu.

Vino mengernyit. "Ada apa?"

"Kau tahu? Kemarin ada ibu-ibu yang tiba-tiba duduk di sampingku dan menepuk pundakku. Ia juga memberitahukan kalau busku akan lewat. Tapi setelah sadar dan aku kembali menoleh ke belakang, dia tidak ada." Sorot Athia terlihat serius saat menceritakannya.

Vino terdiam. ".... Jangan-jangan hantu?" guraunya.

"Bukanlah!" Athia memukul lagi bahunya. "Jelas-jelas sentuhannya terasa hangat. Dan aku juga tidak mempunyai six sense."

"Hmm .... Mungkin saja orang itu langsung pergi saat Kau bangun dari kursimu?"

"Iya, sih, mungkin saja. Ah! Daripada bahas hal aneh itu, emangnya di jam segini ada bus yang lewat—"

Belum juga Athia menyelesaikan kalimatnya, Vino menunjuk ke arah belakangnya. Dan benar saja, ternyata ada bus yang sudah berhenti di halte.

"Ayo!" ajak Vino.

".... Eh?"

Setibanya di sekolah, lapangan masih sepi dengan udara yang belum tercampur keringat ataupun debu. Sekolah luas yang baru didatangi dua orang murid dan satu penjaga juga beberapa orang yang berjaga di sana, membuat suasana damai tanpa kebisingan anak-anak lain.

"Wah, enak juga datang pagi." Athia menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan.

"Hihi, Kau baru pertama kali datang pagi, ya?" tanya Vino diiringi kekehan.

"Iya. Oh, Kau sudah beberapa kali datang pagi? Atau jangan bilang setiap hari?" tanya Athia.

"Yep, setiap hari," jawab Vino. Athia yang mendengarnya tentu tertegun. Vino bisa bangun sepagi ini dan ke sekolah dengan cepat diliputi udara pagi hari juga embun sejuk setiap harinya.

"Waw."

"Dan jangan tanyakan alasannya. Aku yakin Kau sudah tahu betul." Baru juga Athia ingin membuka mulutnya, tapi ia langsung urungkan dan mengangguk menurut. Mereka pun berjalan menyusuri lorong sekolah.

Tiba di kelas, Athia seketika ingat kalau dirinya harus menjaga kantin. "Ah! Vino aku lupa kalau ada kepentingan di kantin. Aku ke sana dulu, ya!"

"Eh tunggu, aku juga mau sekalian ke sana, aku belum sarapan." Athia pun mengangguk setuju dan akhirnya mereka berdua pergi bersama ke kantin.

"Ehm, permisi Pak, kantin ini tidak buka?" tanya Athia begitu menampaki kantin tempatnya bekerja tertutup rapat.

Si Penjaga Sekolah kemudian membalikkan badannya dan langsung mengenali Athia dalam sekali pandang. "Oh, Non Athia! Iya, Non, kenapa?" Pendengarannya memang sudah sedikit berkurang semenjak kecelakaan di sekolah beberapa bulan lalu.

"Ini, kantin tidak buka?" Athia mengulang kembali pertanyaannya sambil menunjuk kantin di hadapannya.

Seketika si Pejaga Sekolah yang tadinya tersenyum lebar jadi lesu. "Ah, Non, Non belum dengar, ya? Kemarin sore bu Lilis meninggal dunia."

DEG

Athia begitu syok mendengarnya. Ini tidak mungkin terjadi, kemarin 'kan dia tidak apa-apa. Kenapa sekarang tiba-tiba? "Bapak .... Bapak gak lagi bercanda 'kan?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Tidak Non, bapak serius. Kemarin sore, tepatnya jam empat sore, bapak gak sengaja masuk ke standnya bu Lilis, karena cuman kiosnya yang masih buka di jam segitu. Tanpa naruh rasa curiga, bapak masuk ke dapurnya, takut-takut si Ibu malah keasikan bikin adonan. Dan ternyata— .... akh, maaf Non, bapak ga bisa cerita lebih jauh, Non masih kecil." Dengan raut sedih si Penjaga itu meninggalkan keduanya yang termenung di tempat.

"Tidak ... tidak mungkin ...." Athia terlihat sangat kacau. Ibu Lilis adalah satu-satunya teman Athia selama di sekolah ini. Kenapa dia dipanggil lebih dulu? Kenapa bukan dirinya saja?

Melihat Athia yang sangat terpukul mendengar itu, membuat Vino ikut sedih dan berusaha menghiburnya, tapi dia bisa apa? Dia hanyalah sebatas teman yang baru kenal kemarin.

Puk

Vino menepuk pundaknya. Athia kembali sadar dan langsung menyusut air matanya yang perlahan menetes. Athia pun berjalan lebih dulu ke kelas.

Seperti hari kemarin, istirahat pertama mereka lalui dengan makan di kelas. Tapi kali ini ada yang berbeda, Athia sedari awal melamun terus bahkan tidak fokus ke makanannya. Sendokan nasi pun tidak sampai ke mulutnya.

".... Athia?" Vino memegang lengannya.

"Eh? Ah— iya?" Athia mengerjap pelan.

"Kau tidak apa-apa, 'kan? Jangan melamun, habiskan makananmu."  Vino menatapnya cemas.

Athia tersenyum seakan itu bukanlah apa-apa. "Hahaha, aku mendadak hilang rasa lapar untuk sekarang. Kau saja makan, aku ingin diam dulu."

"Tawa paksaan."

".... Kalau Kau mau cerita silakan, aku tidak akan mencegahmu. Kalau Kau tidak mau juga silakan, aku tidak memaksamu. Dan kalau Kau belum siap juga tidak apa-apa, aku akan menunggumu," ujarnya.

Athia merasa sedikit tersentuh, baru kali ini ada yang memperhatikannya sejauh ini. Ia mengenggam roknya erat, sepatunya juga ia tekankan pada lantai.

"Aku .... Aku sangat menyayangi bu Lilis, aku tidak menyangka dia akan pergi secepat ini. Seharusnya aku kemarin tidak pulang cepat dan tetap menunggu di stand sampai ia keluar. Dan sekarang, aku ingin sekali tidak pernah mengenal orang sebaik bu Lilis. Aku menyesali aku di masa lalu yang dapat mengenal bu Lilis. Dia orang yang sangat menyayangiku walau baru beberapa bulan terakhir ini. Aku sampai-sampai tidak rela jika harus kehilangannya sekarang. Maka dari itu, aku berharap dulu tidak pernah mengenalnya." Wajahnya ia tundukkan, menghalangi pemandangan menyedihkan yang ia keluarkan.

Vino diam. ".... Kau tahu? Dirimu di masa lalu adalah seorang manusia yang berhasil membuat dirimu menjadi orang hebat seperti sekarang. Memang rasanya memuakkan atau kadang kita merasa malu pada diri sendiri saat mengingat kejadian di masa lampau yang kita lakukan. Kadang kala merasa, sebal, atau terlalu lebay, atau bahkan tidak pernah ingin melihat diri sendiri di masa lalu. Tapi berkat dirinya lah, dirimu yang sekarang seperti ini. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi, itu semua sudah digaris takdirkan untukmu."

Athia terdiam, ia mencerna kalimat demi kalimat yang Vino keluarkan. ".... Kau benar, aku salah. Maafkan aku ...."

Vino tersenyum. "Tidak perlu meminta maaf."

Athia mengangguk dan tersenyum haru. "Terima kasih, ya."

Pulang sekolah, kedua orang itu tidak langsung pulang ke rumahnya masing-masing, mereka malah mengunjungi sebuah danau rawa yang sepi dengan penuh pepohonan juga jebakan.

"Athia, kenapa Kau mengajakku ke sini?" tanya Vino sembari menghalau beberapa helai daun tanaman yang menjuntai juga menghindari jebakan beruang yang ada di tanah.

"Diam saja dan ikuti," ujar Athia.

Beberapa saat melewati rintangan ninja warrior, akhirnya sampailah mereka berdua di tepi danau yang airnya terlihat berwarna hijau. Ini tidak seperti danau pada umumnya yang sudah bewarna keruh, airnya masih sangat segar bahkan ikan pun terlihat di dasarnya.

Vino menganga tidak percaya. "Astaga .... Kau tahu tempat seperti ini dari mana?" Vino terperangah, ia belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, apalagi setelah melihat berbagai kengerian di hutan yang baru saja ia lewati.

Athia tersenyum bangga. "Tentu saja aku menjelajah!"

Vino seketika mencibir gayanya. "Dih, gini aja dibilang menjelajah." Ia berbicara dengan nada pelan, namun langsung mendapat timpukan di kepalanya.

"Oke, sekarang kita mau apa?" tanya Vino setelah selesai gulat dadakan.

"Mau apa? Ya mau lihat kehebatan aku lah. Lihat, tempat ini sangat cantik, dan aku yang pertama kali menemukannya." Berbangga lagi.

"Dih."

".... Selain itu ... aku juga ingin mendengar ceritamu ...." Athia berbicara tanpa memalingkan pandangan dari danau.

Vino mengernyit heran. "Kenapa?"

"Eh?" Athia menoleh ke arahnya. "Dilihat dari makanan yang sering Kau bawa, Kau jarang sarapan di rumah. Dilihat dari ke-kutu bukuanmu, Kau sepertinya sangat-sangat harus belajar. Dilihat dari—"

"Iya, iya! Aku tahu ke mana arah tujuan pembicaraanmu." Vino menghela napas pasrah.

Athia menampilkan cengiran lebar. "Nah, gitu dong. Aku hanya tidak mau hal seperti itu mengangganggumu dan membuat apa yang telah Kau lakukan selama ini runtuh begitu saja hanya karena pendapat orang. Kau tahu? Kau juga hebat, kok. Dan aku juga sebenarnya tadi hanya menebak, tapi rupanya itu benar ...."

Vino balik menatapnya. "Kau hanya membalas perkataanku tadi siang padamu'kah? Kalau iya, tidak perlu. Aku memang tulus berkata seperti itu untukmu. Lagipula sepertinya masalah kita berbeda—"

"Tidak, kok. Masalah kita sama, hanya saja berbeda frekuensi. Kau mungkin yang sedikit beruntung dibanding aku, dan aku yang sedikit berada di bawahmu dengan blessing yang kurang, hehe." Athia mengangkat kedua jarinya.

".... Ya, Kau benar ...." Vino menundukan pandangan. "Aku bukanlah anak beruntung seperti anak lain."

Puk

Kini giliran Athia yang memegang bahunya. "Hee, jangan sedih. Kau tahu senang dan sedih ada masanya tersendiri, 'kan? Jadi mari kita sama-sama lewati kerikil ini dengan beralas rasa percaya akan mulusnya aspal di hadapan mata. Tidak jauh, kok! Kita hanya perlu bersabar dan sedikit lebih kuat menahan rasa sakit juga beban ini. Dan mungkin kita ini orang yang beruntung, karena kita dapat merasakan saat-saat seperti ini, tidak selalu terus berada di posisi atas tanpa merasakan bagaimana rasanya terhimpit roda kehidupan."

Tanpa Vino sadar, senyuman mengembang begitu saja di pipinya. "Terima kasih dan mohon bantuannya!"

"Hihi~ iya!"

Plung! Plung!

Sudah jam empat sore, dan mereka berdua masih saja bermain di tepi danau.

"Hei, lemparanmu curang! Aku 'kan lebih mundur tangannya!" protes Athia.

"Hee, tanganmu saja yang pendek. Lihatlah, posisi duduk kita sejajar, tau," balas Vino.

Plak, Plak, Plak! Bugh! Bugh!

.... Tidak ingatkah mereka kalau beberapa saat lalu saling menguatkan?

"Ha iya udah-udah, iya aku curang, berhenti memukuliku!" teriak Vino.

Athia bersidekap kesal. "Huh!" Namun tak lama, ia kembali duduk di samping Vino setelah membantunya bangun. "Kau janji ya tidak akan meninggalkanku?" tanya Athia.

Vino langsung mengangguk mantap dan mengaetkan jari kelingkingnya. "Iya, janji. Kau juga harus berjanji, ya."

"M-hm!" Athia tersenyum lebar, senyum yang sudah jarang ia perlihatkan. "Kalau tidak ada Kau, aku tidak yakin sekarang masih bisa bertahan atau tidak. Semangat baru darimu membuatku ingin terus berada di permukaan bumi untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, dan perlahan bunga yang ada di dalam tubuhku mekar kembali."

Tulus, Athia berkata dengan tulus. Tidak terlihat kebohongan atau ucapan ragu dari perkataannya tadi.

"Terima kasih!"

Vino yang melihatnya sedikit tertegun. "A-aku juga terima kasih! Karena Kau aku jadi merasa mempunyai semangat baru dan mempunyai tujuan baru untuk menjaga satu sama lain. Aku harap Kau tidak akan meninggalkanku dan akan terus bersamaku hingga kita dewasa nanti!"

Athia langsung mengangguk. "Iya, pasti! Sahabat pasti akan selalu bersama! Kau sahabat sebaya pertamaku! Terima kasih lagi, ya!"

Vino ikut tersenyum. "Iya! Aku juga terima kasih lagi!"

Tringining, tringining!

Suara telepon terdengar, menghentikan mereka yang saling berpegangan ala orang yang sedang panco.

Vino melirik sekelilingnya yang hanya terhampar rerumputan hijau. Kebingungan dengan suara telepon yang tidak henti, kegiatannya yang malah berhenti saat Athia mengeluarkan sebuah handhphone genggam dari sakunya.

"Eh Kau bawa handphone ke sekolah?!" Vino menunjuk ke arah teleponnya.

"Hehe .... Sekali-sekali." Athia pun mengangkat telepon itu setelah sempat tertegun sedikit karena melihat uname yang menelponnya. Thata menelpon Athia.

".... Halo, Kak?" tanya Athia ragu.

"...."

".... Hah? A-apa maksud kakak? Kakak berbohong, 'kan?" Suara Athia terdengar bergetar. Vino yang melihat ekspresi itu lagi langsung menyadari ada sesuatu yang aneh.

"...."

Tak, tak ....

Handphonenya jatuh, dan pandangannya menerawang jauh. Athia tidak pernah mengira dirinya akan ditimpa masalah bertubi seperti ini. Baru saja dirinya bahagia beberapa menit lalu, tapi masalah hidup sepertinya tidak memberi celah baginya untuk bernapas lega.

"A-Athia, kenapa?!" Vino panik melihat kepala Athia yang mulai sedikit oleng, pandangannya juga terlihat seperti mulai mengabur.

"Ayah ... pergi menuju ibu?"

Kesadaran Athia pun hilang dengan posisi kepalanya sudah ada di pangkuan Vino yang cemas.

Apakah jika sebagai burung, sekarang sayapku patah dan mengalami kecelakaan fatal yang menyebabkan aku tidak akan bisa terbang tinggi lagi seperti burung-burung lain? Atau ... sangkar penyiksaan yang selama ini mengurungku sudah menghilang, menyisakan diriku untuk tetap memilih maju atau diam di sini menunggu hal buruk akan berakhir dengan keajaiban yang tidak pernah datang?

~ ~ ~ ~ ~

End
Penulis
Lvnder_Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro