3. Kirana si Gadis Penghancur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Biasanya, manusia akan lebih kompak dalam berteman jika membenci atau menyukai sesuatu hal yang sama.

***

Tetesan air tampak berbunyi dari pipa-pipa keran yang kurang tertutup rapat. Suara decitan spidol yang menggores papan tulis putih juga tak kalah terdengar, menganggu pendengaran orang-orang yang tak suka dengan suaranya.

Suara langkah sepatu juga terdengar di lorong yang sepi. Bahkan beberapa orang yang tengah belajar melirik sebentar ke lorong, melihat, siapa orang yang berani menganggu fokus belajar mereka.

Seperti di serial drama, rambutnya yang hitam legam terterpa angin, berkibar dan berkilauan layaknya bintang iklan shampo.

Langkahnya terhenti. Dia berdiri di depan sebuah pintu yang terbuka lebar. Guru yang tengah menulis rumus itu pun menoleh.

"Oh iya anak-anak, Ibu lupa kalau hari ini kalian kedatangan murid baru. Silakan masuk!"

Guru itu mempersilakan gadis tadi masuk. Kedipan mata yang memikat, body yang ramping, dan bibir semerah ceri, nyatanya mampu meluluhkan hati para buaya yang siap menebar janji manis.

Para gadis lainnya seperti tak terlalu keberatan dengan kedatangannya, hanya saja pasti ada beberapa orang yang membenci gadis seperti murid baru ini.

"Hai! Namaku Kirana. Semoga kalian bisa akrab denganku."

Setelah mengucapkan kata-kata klasik dengan didampingi senyuman, akhirnya guru mempersilakan Kirana untuk duduk di sebelah gadis bertubuh gempal.

Sungguh tak memikirkan perasaan si gadis bertubuh gempal. Guru itu pasti tahu akan hal yang terjadi setelahnya. Benar sekali, gadis itu akan dibanding-bandingkan dengan Kirana yang bertubuh ramping.

"Hallo, sekarang aku akan jadi teman sebangkumu. Boleh aku tahu siapa namamu?" Kirana membuka percakapan, mengulurkan tangan. Entah itu hinaan atau tulus permintaan, yang pasti gadis gempal itu menerima jabatan tangannya.

"Aku Sindi," jawabnya. Tidak lama menjabat tangan Kirana, karena Sindi kala itu merasa insecure. Tangan Kirana sangat lembut, sementara tangannya tidak sehalus tangan Kirana.

***

Seperti biasa, bel istirahat adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa-siswi, termasuk guru. Tak dapat dipungkiri, bahwa mengisi perut dalam keadaan lapar dan otak yang lelah bekerja rasanya seperti anda menjadi ironmen.

Gadis-gadis sekelas mencoba mendekati Kirana, diantaranya teman Sindi, Rika dan Nuna. Tapi, dengan lembut Kirana menolak. Kirana memutuskan untuk keluar sendiri.

"Cieee!!!"

Baru saja Kirana beranjak dari bangkunya, teman sekelasnya berteriak. Ternyata, teman sekelas Kirana, Dio, membawa makanan dari kantin. Tentu saja bukan karena hal itu manusia di kelas berteriak, tapi karena mereka semua tahu bahwa Dio membawakan makanan itu untuk pacarnya, Nuna.

Nuna yang merasa melting kala itu langsung menghampiri Dio.

"Ayo ikut aku," katanya sembari mengenggam tangan Nuna.

Nuna mengangguk. Tapi, sebelum mereka benar-benar keluar dari kelas, Kirana terlebih dahulu melewati Dio dengan mengedipkan matanya. Tidak ada yang menyadarinya, karena ketika itu terjadi Nuna masih diteriaki oleh teman-teman sekelasnya.

Mereka sudah dikenal berpacaran dari kelas 7 SMP. Wajar saja ketika kini mereka kelas 12 SMA, mereka dijuluki sebagai pasangan abadi. Memang teman sekelasnya sudah sering melihat hal itu, hanya saja, mungkin hidup mereka tidak akan puas jika tidak meneriaki Nuna dan Dio.

Ketika berjalan di lorong, teman sekelas Kirana, para buaya yang hobbinya menebar janji manis, mengajak Kirana untuk pergi ke kantin. Dengan senyuman Kirana menolak dan lebih memilih sendirian untuk ke kantin.

***

Hari ini adalah hari valentine. Hari penuh kasih sayang itu memanglah sangat menguntungkan bagi perempuan dan laki-laki yang memiliki banyak pacar.

Seperti biasa, hari istirahat sangat menghebohkan. Nuna yang memberikan coklat berbentuk hati, berukuran sedang, dengan balutan pita berwarna merah muda pada Dio. Tentu saja semuanya melihat kejadian itu, termasuk Kirana yang tersenyum melihat hal itu.

Dio begitu erat memeluk Nuna di depan semuanya, membuat suasana heboh.

"Hari ini kamu tidak memberikan bunga untukku?" kata Nuna dengan manja.

"Ooou!" saut teman-teman sekelas.

"Mana mungkin aku tidak memberikan bunga untukmu. Coba cari di mana aku meletakkan bunga."

Seolah insting wanita pada Nuna aktif, dia melihat kolong bangkunya. Benar saja, buket bunga berukuran sedang ada di kolong bangkunya.

"Wah, Dio hanya memberikanmu bunga, nih?" sindir ketua kelas, Oji.

"Diam kau! Orang yang tidak punya pacar sepertimu mana mungkin bisa merasakan apa yang aku rasakan."

"Skak mat!" kata Gilang membuat seluruh tawa kelas pecah.

"Ngomong-ngomong, Kirana, kau ini cantik, apa kau sudah punya pacar?" tanya Oji seraya mendekati Kirana.

"Uuuu modus uuu!" Teman-temannya tidak mendukung Oji sama sekali.

"Emm ... punya atau tidak? Kalian bisa menebaknya sendiri." Kirana mengeluarkan puluhan coklat dari kolong bangkunya. "Ini sudah ada di sini sejak pagi, aku tidak tahu siapa yang mengirimnya."

Tak berhenti sampai situ saja, seseorang memanggil Kirana dari pintu kelas.

"Seseorang mengirimkan ini untukmu," kata abang-abang itu. Setelah Kirana menandatangani kiriman, barulah abang-abang itu pergi.

Kirana mendapatkan buket yang besar, membuat semua perhatian yang tadinya pada Nuna beralih pada Kirana.

"Sepertinya pacarmu memiliki cinta yang sangat besar untukmu. Karena buket yang kau dapat sangat besar," kata Rika.

Ya, semua orang kini menanyai Kirana, melupakan Nuna dengan pasangan abadinya, Dio.

***

Kirana hari ini pulang cukup sore. Dia melihat pertandingan sepak bola terlebih dahulu. Tampaknya, Gilang bersama tim yang kemarin mengajaknya ke kantin memenangkan pertandingan.

Dari jauh Kirana dapat melihat Rika menghampiri Gilang dan memberinya minum. Mereka tampaknya sudah lama berteman, hanya saja Rika memiliki perasaan pada Gilang, tapi Gilang tak demikian.

Hal itu terbukti dari lirikan mata Gilang yang mencuri-curi pandangannya pada Kirana.

Menunggu para pemain bola berganti pakaian, Rika menunggu Gilang untuk pulang bersama.

"Sudah siap? Ayo pulang." Rika berjalan terlebih dahulu, tapi Gilang tak mengikutinya.

"Aku ingin memberikan sesuatu padamu. Mungkin kau tak memberikan coklat padaku, tapi aku ingin memberikan sesuatu untukmu."

Mendengar hal itu dari mulut Gilang membuat Rika berhenti sejenak. Dia hampir lupa ingin memberikan ini pada Gilang. Ah tidak, bukan lupa, tapi malu. Padahal, coklat sudah ada di sakunya sejak pagi.

"Mungkin ini tidak seberapa. Tapi, maukah kau menerima setangkai bunga mawar yang aku tanam sendiri ini?"

"Bicara apa kau ini, tentu saja aku—"

Harusnya Rika tidak menoleh, karena kenyataan sangat pahit untuknya.

"Tidak!" jawab Kirana tegas.

"Tolong terimalah!" pinta Gilang kukuh.

"Apa tidak malu, pacarmu melihat ke arahku, lho."

"Ah, Rika ini sahabatku, mana bisa dia jadi pacarku, itu tidak mungkin."

Entah apa yang terjadi. Waktu seperti berhenti berputar untuk Rika. Hatinya seolah remuk dan harga dirinya seperti diinjak-injak.

"Be—benar sekali, Kirana, mana mungkin aku pacaran dengan orang aneh ini," jelas Rika. Meski dia berbicara dengan nada gemetaran, tapi dia masih tak mau mengakui bahwa dirinya merasa malu dengan kenyataan.

"Baiklah, aku pergi dulu."

Setelah menghancurkan harga diri Rika, Kirana tampak tersenyum lalu berjalan menuju kelas.

"Sudah lama menungguku, Beb?"

"Tentu saja. Aku sudah lama menunggumu. Bagaimana? Suka dengan hadiah yang aku berikan?"

"Tentu saja aku suka. Tapi, kamu tidak adil pada pacar abadimu itu, Dio."

Benar. Pacar Kirana adalah Dio.

"Bagaimana kamu berbohong pada Nuna? Rasanya tidak enak sekali jika terus berbohong pada Nuna demi bersama denganku."

"Kirana, kamu lebih penting daripada siapa pun di dunia ini. Tentu saja aku lebih memilih dirimu daripada perempuan itu. Aku sudah bosan dengannya, hanya saja aku tidak mau merusak nama baikku. Sudahlah, ayo kita ke tempat yang sudah kita rencanakan."

Kirana mengangguk. Mereka berdua tampak bergandengan tangan, tanpa mengetahui bahwa Nuna tengah duduk di bawah meja guru, mendengarkan semua percakapan Dio dan Kirana.

"Wanita sialan itu! Aku tidak akan melepaskannya. Mereka pikir aku wanita bodoh yang bisa dikelabui? Padahal aku sudah lama mengetahui hal itu, hanya saja aku tidak ingin melepaskan Dio untuk siapa pun. Siapa yang merebut Dio dariku, dia harus mati."

Kirana hanya melihat ke belakang, lalu tersenyum.

***

"Kau juga korban Kirana, kan?" tanya Rika pada Lula.

"Ya, kau benar. Kemarin pacarku terang-terangan meminta putus denganku karena dirinya menyukai wanita itu."

"Lalu, bagaimana denganmu, Sindi?"

"Aku sudah bosan. Mentang-mentang aku sebangku dengannya, banyak laki-laki yang memberiku hadiah, tetapi bukan untukku, melainkan untuk Kirana."

"Dia memang tidak beres. Aku sudah merasakannya dari awal," timpal Nuna yang baru saja datang dan bergabung dengan kumpulan wanita pembenci Kirana.

"Nuna? Apakah Dio berkhianat? Pantas saja, aku selalu melihat dia pulang malam," kata Lula.

"Tidak. Dio tidak mungkin berkhianat dariku. Hanya saja, aku takut jika Kirana akan menggoda Dio."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Sindi.

"Membunuhnya."

"Apa kau gila? Kita tidak harus membunuhnya," sanggah Lula.

"Tentu saja aku bercanda. Kita akan membuatnya kapok. Pertama kita akan memfitanhnya dan membuat orang berpihak pada kita, kedua ...."

***

Kirana tengah mencuci tangannya setelah dari toilet. Dia tampak tersenyum menatap dirinya di pantulan kaca, dan juga tersenyum pada empat orang yang datang untuk menemuinya.

"Sepertinya aku kedatangan tamu."

Tanpa basa-basi, Nuna mendorong Kirana hingga membentur dinding.

"Apa yang kau inginkan dariku, sleingkuhan?"

"Berisik kau wanita jalang!"

Bugh!

Satu pukulan berhasil mendarat di pipi Kirana.

Setelah puas memukuli Kirana, barulah Lula yang sudah menggunakan make up dibawa dekat dengan Kirana.

Kini seolah posisi berbalik, Kirana yang berdiri seolah menindas Lula, dan Lula seolah penindas. Tak lupa, Nuna memberikan pisau pada Kirana.

Sekenario dimulai. Sindi merekam Lula dan Kirana. Lula bersandiwara.

"Bunuh aku cepat! Bunuh!" teriak Lula pada Kirana.

Namun, di luar dugaan mereka berempat, Kirana justru tertawa kencang. "Tentu saja, dengan senang hati!" teriaknya membuat ketiga gadis itu gemetaran dibuatnya. Bahkan keringat bercucuran ketika pisau mulai diayunkan pada Lula.

"Bercanda," bisik Kirana lalu membuang pisau itu dan pergi meninggalkan tiga gadis itu.

Mereka sempat ketakutan, tapi mereka kembali pada kesadaran mereka dan masih melanjutkan rencana mereka.

***

"Tolong! Tolong! Kirana seorang pembunuh!" teriak Nuna ketika tiba di kelas.

"Bicara apa kau ini, Nuna? Mana mungkin gadis seperti Kirana membunuh," sanggah Oji.

"Baiklah, jika kalian tak percaya padaku, aku akan melihatkan buktinya pada kalian."

Nuna menunjukkan video yang sudah diedit pada semuanya. Bahkan dia juga sudah menyebarkan pada grup-grup kelas lainnya

"Beruntung aku dan Rika datang tepat waktu, juga Sindi sempat merekam kejadian itu. Jika tidak, mungkin tidak akan ada yang mempercayai kami."

Ketika Kirana memasuki kelas dengan lebam di wajahnya, semua orang menjauh.

"Ki—Kirana? Benarkah itu?" tanya Gilang tak percaya. Tapi, berusaha menjauh dari Kirana, begitu juga yang lainnya.

"Ada apa? Kenapa kalian menjauhiku?"

"Kau pembunuh! Pergi jauh-jauh! Kami tidak akan memaafkan pembunuh!" teriak Nuna menjadi provokator. Begitu Nuna berteriak, yang lainnya pun jadi ikut berteriak.

Kirana tak menanggapi, justru malah duduk di bangkunya.

***

Ketika pulang sekolah, semua orang menjauhi Kirana. Bahkan, banyak sekali orang yang melemparinya dengan batu hingga pipinya beberapa bagian tubuhnya berdarah.

Tapi Kirana tetap diam. Justru dia malah tersenyum seolah tak sabaran dengan hari esok.

***

Keesokan harinya, meja Kirana sudah dipenuhi dengan tulisan-tulisan dan kotoran. Seperti dugaannya, Kirana lalu memindahkan meja itu ke gudang dan mengantinya dengan meja lain.

Wajahnya dan lengannya dipenuhi dengan perban dan plester bekas luka kemarin.

"Seharusnya pembunuh tidak dekat denganku!" cemooh Sindi menjauhi Kirana.

"Heee, benarkah? Bolehkah aku meminta video full darimu?" bisik Kirana.

Sindi hanya mampu menelan ludahnya dan menggeser jauh dari Kirana.

Oji dan Gilang tampak menyalakan laptop yang sudah tersambung dengan infokus. Seketika pintu tertutup rapat bahkan terkunci.

Tiba-tiba infokus itu menunjukkan sebuah video. Sebuah video yang membuat Nuna, Rika, Sindi, dan Lula gemtaran dibuatnya.

Itu adalah cuplikan yang menayangkan ketika Nuna dan ketiga temannya membuat rencana hingga mereka melancarkan aksinya.

Tak tinggal diam, Nuna mencoba mematikan tayangan itu. "Apa-apaan ini! Ini tidak benar! Ini pasti ulah Kirana yang ingin membalikkan fakta!"

Beberapa kali mencoba, tapi Nuna tak dapat mematikan tayangan itu.

"Nuna? Benarkah itu ulahmu?" tanya Dio dengan nada kecewa.

"Tidak Dio, kamu tidak benar. Itu hanya akal-akalan wanita licik Kirana."

"Aku meminta kejujuranmu, Nuna," kata Dio dengan nada kecewa.

Mereka berempat disudutkan. Tak dapat mengelak. Suara dari teman-teman sekelasnya nyatanya mampu membuat kerusakan cukup besar bagi Nuna, sehingga dia harus berkata jujur.

"Ya! Kalian semua benar! Kami berempat mencoba membunuh Kirana. Tadinya, kami akan memfitnah Kirana dan membuat kalian membunuh Kirana secara perlahan, tapi nyatanya tidak!"

"Nuna, kenapa kau melakukan hal itu?" tanya Dio dengan nada kecewa.

"Berisik kau Pria Hidung Belang! Aku tahu kau berselingkuh dariku dengannya," teriak Nuna sembari menujuk-nunjuk Kirana.

Semua orang melirik Dio.

"Aku sudah tahu sejak lama. Aku selalu mengikutimu, aku menyadap ponselmu, sehingga aku tahu kalau Kirana pindah ke sekolah ini karena keinginanmu. Aku tahu selama tujuh tahun ini hanyalah kepalsuan. Kau tidak pernah menyukaiku, hanya saja kau melampiaskan kekesalan karena ditolak ratusan kali oleh Kirana kepadaku. Dan aku selalu menerimamu, Dio."

Kirana bertepuk tangan sembari mengelilingi Nuna. "Gadis pintar. Betul sekali teman-teman. Pacarku adalah Dio. Dia sudah ratusan kali ingin menjadi pacarku, hanya saja baru beberapa bulan ini kami berpacaran."

"Lalu kalian? Kenapa kalian membenciku?" tanya Kirana melihat satu persatu wajah ketiga gadis itu.

"Rika, apakah kau sakit hati karena aku merebut hati Gilang darimu? Padahal kau sudah lama sekali kau—"

Plak!

Satu tamaparan keras berhasil mendarat di pipi Kirana.

"Diam kau! Kau tak berhak ikut campur!"

"Rika kau—"

"Diam kau Gilang! Ini bukan urusanmu!"

"Hahahaha ... hahaha! Kalian lihat, 'kan? Siapa yang salah di sini?" teriak Kirana, melihat satu persatu teman sekelasnya.

"Lalu kau, Lula! Ish ... ish!" Kirana membelai lembut pipi Lula, tapi Lula meludahi Kirana. "Aku merasa prihatin padamu. Aku sungguh minta maaf karena sudah merebut pacarmu, tapi kita sekarang seimbang. Kau juga sudah merebut pacarku Dio, kan?"

Semua orang membelalakkan matanya, termasuk Nuna. "Apa maksudmu! Kau telah memfitnahku!"

"Benarkah? Bukankah kalian itu tetangga? Kau tahu, kalian sering bermain berdua. Di rumahmu. Benarkan, Beb?"

Dio sudah bercucuran keringat. Kini teman-teman Dio menjauhi Dio.

"Kau harus percaya padaku, Nuna. Aku tidak mungkin mengkhianatimu."

"Benarkah, Lula? Mau aku tunjukkan videonya?" Kirana menepuk tangannya sehingga video di layar papan tulis berputar.

Itu adalah ketika Dio sedang bersenderan dengan Lula di depan televisi.

"Bagaimana? Kau sudah puas?" kata Kirana.

"Dasar pengkhianat! Aku kira kau temanku, nyatanya kau menusukku dari belakang!"

Jambak-jambakan rambut akhirnya terjadi. Nuna dan Lula berkelahi, Dio juga dipukuli oleh laki-laki satu kelas karena kelakuannya itu.

Keadaan kelas menjadi panik, karena video yang diputar oleh Kirana panik. Bagaimana tidak, video itu mengungkapkan aib-aib tentang pengkhianatan. Nyatanya, dalam lingkungan persahabatan pun, mereka masih berkhianat pada sahabatnya sendiri.

Tugas Kirana sudah selesai. Dia pergi keluar dari kelas dan mengunci pintu kelas. Kini Kirana harus pulang. Dalam benaknya, berendam air hangat akan membuat otot-ototnya rileks dan pikirannya menjadi tenang.

Inilah Kirana, si gadis penghancur hubungan orang lain. Baik itu teman, atau pacar. Tunggu saja Kirana menghancurkan hubunganmu.

***

End
Penulis
Mikurinrin_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro