4. Sang Jenius Dari Jerman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tuhan tidak bermain dadu dengan alam ciptaannya dan segala keajaiban ilmu pengetahuan membuktikan kodrat alam ini.

***

Munich, Jerman, 1884.

Kata orang, aku bodoh.

Hanya karena aku lebih lambat dalam berbicara dibandingkan anak lain, mereka menyebutku memiliki kelainan pada otak.

Guru-guru di sekolah juga tampak tak terlalu menyukaiku. Apalagi kepala sekolah. Dia sering sekali memberikan surat kepada Ibu. Kemudian setelah membaca surat tersebut, Ibu akan menangis dan memindahkanku ke sekolah lain.

Aku selalu penasaran dengan apa yang tertulis di surat tersebut. Namun saat aku bertanya, Ibu hanya tersenyum lembut dan menjawab, "Kata Pak kepala sekolah, kamu terlalu pintar sehingga harus pindah ke sekolah yang lain, Nak."

Jelas aku tidak mempercayainya. Karena dari sorot mata Ibu, terpancar sebuah kebohongan. Akan tetapi, aku tidak memperdebatkan lebih lanjut mengenai hal tersebut dan memilih untuk menurut saja.

Aku benci dengan orang lain. Mereka selalu menatapku dengan tatapan merendahkan. Mereka juga tega menjelek-jelekkan Ibu hanya karena sesuatu yang kuperbuat.

Padahal aku yang melakukan, kenapa Ibu yang terkena getahnya? Harusnya mereka menjelek-jelekkan aku saja, jangan Ibu!

Pernah, aku memutuskan untuk bercerita pada seorang kawan beberapa tahun lalu. Tapi, hei, coba tebak perkataan konyol apa yang dia katakan padaku?

Katanya, aku kurang bahagia.

Hah. Bodoh sekali.

Orang yang bahagia itu terlalu puas dengan masa kini, dan tidak terlalu memikirkan masa depan.

Aku kurang bahagia katanya? Itu karena aku selalu berpikir satu atau dua langkah lebih maju dari mereka. Aku berpikir jauh tentang apa saja yang akan terjadi. Tentu aku tak bisa berpuas hati akan hari ini. Aku harus memikirkan kemungkinan hari esok.

Banyak sekali hal yang bisa mereka bicarakan tentang aku dan keluargaku. Katanya aku anak gagal, dan keluargaku adalah keluarga yang gagal pula. Karena usaha kasur berbulu Ayahku dulu pernah mengalami bangkrut, dan kami sekeluarga harus pindah ke Manich. Sebelumnya, aku lahir di Ulm, Wuettemberg, dan sempat tinggal selama setahun di sana.

Semakin lama mendengar ocehan tidak jelas mereka, semakin menumpuk pula dendam di hatiku. Tapi, aku tak mungkin meluapkan dendamku dalam bentuk kata-kata layaknya mereka. Karena jika begitu, aku tak ada bedanya dengan orang-orang bodoh itu. Aku hanya perlu membalasnya dengan kesuksesan. Biarkan saja mereka mendongakkan kepala mereka demi melihatku berdiri di puncak teratas.

Aku sering menghabiskan waktuku di rumah, enggan bermain ke luar dengan anak-anak lainnya. Aku lebih suka bermain biola bersama Ibu. Rasanya menyenangkan sekali, berkali-kali lipat menyenangkan dibanding bermain ke luar bersama anak lain. Kami sering memainkan karya-karya Mozart dan Bethoveen. Percayalah, karya mereka sangatlah bagus. Aku bahkan tidak pernah merasa bosan mendengarnya meski sudah berkali-kali.

Bermain musik juga menstabilkan emosiku. Yah, jika boleh jujur, aku mempunyai emosi yang sedikit tidak stabil. Pernah suatu ketika saat aku sampai rumah sepulang sekolah, waktu itu moodku sangat buruk. Adik perempuanku menghampiriku dan mengajakku bermain. Namun karena emosi yang meluap-luap, aku justru melemparkan tasku ke wajah adik perempuanku.

"Pergilah, Maja! Aku muak melihat wajah bodohmu itu!!" bentakku.

Maja─adik perempuanku─lantas menangis dan berlari masuk ke dalam kamarnya. Ibuku datang begitu mendengar suara isak tangis Maja. "Albert! Apa kamu melempar barang kepada adikmu lagi?!"

Aku mendengus, membuang muka. "Dia yang memulai," kataku pelan.

Ibu mendelik, berkecak pinggang. "Albert! Sudah kubilang berkali-kali, tahan emosimu! Jangan suka melempar barang kepada orang lain seperti itu!"

"Maaf," cicitku, "Aku mengaku salah."

Wajah Ibu melunak setelah mendengar permintaan maafku. Wanita itu menghela napas panjang. "Kali ini kumaafkan. Masuk ke kamarmu, dan bersiap untuk makan siang."

"Baik, Bu."

Ya, emosiku memang tidak stabil. Aku juga tidak tahu mengapa. Mungkin ini efek karena memendam rasa dendam kepada orang-orang yang selalu berkata buruk terhadap tentang keluargaku.

Karena hal itu pula, aku jadi rentan terkena demam. Terbaring di atas ranjang kayu. Rasanya sungguh tidak mengenakkan. Terkadang jika berbaring tak dapat melakukan apapun seperti ini, aku merasa seperti berada di ambang kematian.

Suatu hari saat aku terkena demam untuk yang kesekian kalinya, Ayah datang padaku. Dia memberikanku sebuah kotak kecil berwarna merah dengan pita di atasnya. Dengan kening berkerut, aku menerima kotak tersebut.

"Apa ini, Ayah?" tanyaku heran.

Ayah tersenyum. "Bukalah, Albert. Kamu pasti akan menyukainya."

Aku membuka kotak tersebut, dan mendapati sebuah benda yang terbuat dari logam berukuran setelapak tanganku di dalam sana. Aku mengambil benda tersebut, memperhatikannya dengan seksama.

Benda tersebut berbentuk lingkaran, dengan jarum di tengahnya. Mirip seperti jam, namun aku tahu ini bukanlah jam. Karena di setiap sisinya terdapat tulisan "utara, selatan, timur, dan barat". Aku menggerakkan benda tersebut, namun jarum tetap menunjukkan arah barat, dan tidak berubah. Meski aku memutar-mutarnya pun, tetap menunjukkan arah barat.

Aku memiringkan tubuhku, barulah tulisan yang ditunjuk oleh jarumnya berganti menjadi "barat daya". Aku berdecak kagum. Baru pertama kali aku melihat benda sekeren ini.

"Benda apa ini, Ayah?" tanyaku semangat, sekejap melupakan fakta bahwa aku sedang terkena demam.

Ayah tertawa. Ia duduk di sisi ranjangku sambil mengelus kepalaku. "Ini namanya kompas, Albert."

"Keren sekali!" kataku antusias. "Baru pertama kali aku melihat benda yang sistem kerjanya sehebat ini. Aku penasaran sistem apa yang dipakai oleh benda ini."

"Kamu penasaran?" ulang Ayah, dengan nada yang lebih mirip sebuah pertanyaan.

Aku mengangguk cepat. "Iya, sangat penasaran!"

"Kalau begitu, belajarlah dengan giat, Albert," pinta Ayah. "Kamu akan mengetahui sistem yang dipakai kompas ini saat kamu mempelajari kutub dalam sains."

"Sains? Terdengar keren!" Aku menatap kompas yang ada di genggamanku ini lekat-lekat. "Suatu saat, aku juga akan menemukan sesuatu yang lebih keren dari pada kompas ini!"

"Ya, aku percaya kamu akan menemukannya." Ayah tertawa sembari menepuk-nepuk pucuk kepalaku. "Sampai saat itu tiba, aku akan terus mendukungmu."

Terima kasih, Ayah.

Karena berkatnya, sekarang aku bisa menemukan minatku pada suatu hal selain musik.

Di sekolah, aku mulai serius menggeluti sains. Nilaiku melonjak naik secara drastis, dan aku menjadi juara kelas tiap tahun. Ibu juga turut bahagia atas prestasiku. Tentu saja aku merasa senang. Selain aku tidak perlu berganti sekolah lagi, sekarang aku bisa menyumpal mulut orang-orang bodoh yang selalu mengatakan hal buruk tentang keluargaku.

Namun pada tahun 1894, perusahaan instalasi gas dan listrik milik Ayah dan Pamanku kalah tender karena kekurangan modal. Maka, sekeluarga terpaksa pindah ke Italia dan mencari peluang bisnis baru di sana. Aku yang baru menginjak usia 15 tahun harus tetap tinggal di Munich untuk menyelesaikan studiku.

Ayahku ingin aku mempelajari tentang teknik listrik di sekolah, sedangkan aku sangat membenci cara guru-guru mengajarkan pelajaran itu. Menurutku, cara mereka sangat sia-sia dan tidak efektif.

Kebanyakan guru membuang waktu mereka dengan mengajukan pertanyaan yang dimaksudkan untuk menemukan apa yang tidak diketahui murid, sedangkan seni pertanyaannya yang sebenarnya adalah menemukan apa yang murid ketahui atau yang mereka ketahui.

Nilai seseorang harus dilihat melalui apa yang bisa dia berikan dan bukan pada apa yang bisa dia terima.

Pada akhir Desember, aku berangkat ke Italia untuk menemui keluargaku yang saat ini menetap di Pavia, setelah sebelumnya berhasil meyakinkan pihak sekolah agar memperbolehkanku libur dengan menggunakan surat dokter.

Pintu kamarku terbuka, menampilkan sosok Ibu yang dibalut piyama merah muda memasuki kamar bersama nampan berisi sepiring kukis dan segelas cokelat hangat. Ibu meletakkan nampan tersebut di samping meja belajarku. Dengan lembut, ia mengelus kepalaku. "Kamu belum tidur?"

Aku menggeleng. "Aku harus menyelesaikan essai ini terlebih dahulu."

Kening Ibu berkerut. "Apa ini?"

"Essai tentang investigasi Ether dalam bidang magnet," jawabku sembari mengambil satu keping kukis, lalu mengunyahnya.

Entah apa yang lucu, namun Ibu justru tertawa. "Astaga, Albert. Kamu 'kan sedang berlibur, tapi tetap saja belajar."

"Eh? Aku tidak belajar," jawabku polos. "Aku hanya penasaran kok."

"Apapun itu, jangan memaksa otakmu untuk bekerja terlalu keras, ya." Ibu mengecup pipiku singkat. "Ibu tidak mau kamu sakit. Jadi, beristirahatlah dengan cukup."

Aku mengangguk patuh. "Baik, Ibu."

"Oh iya, kamu sudah menentukan sekolahmu selanjutnya?" tanya Ibu sembari menarik kursi dan duduk di sampingku.

Aku kembali mengangguk. "Aku berniat masuk ke Politeknik Federal Zurich di Swiss. Menurut Ibu, apa aku bisa, ya?"

"Apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh anakku yang jenius ini?" Ibu tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit dan melengkung bagaikan bulan sabit. "Selama ada kemauan dan usaha, apapun pasti bisa dilakukan."

Tentu saja ucapan Ibu membuatku merasa sangat senang. Aku begitu bersyukur Tuhan memberikanku Ibu yang begitu perhatian dan menyayangiku.

***

Aku mengikuti tes masuk Politeknik Federal Zurich di Swiss. Aku dapat mengerjakan ujiannya dengan lancar, namun sedikit merasa kesulitan saat mengerjakan soal pengetahuan umum. Sepulang dari tes tersebut, Ibu berkali-kali meyakinkanku bahwa aku positif diterima.

"Ayolah Albert, jangan pesimis begitu," kata Ibu sembari menggepalkan kedua tangan guna menyemangatiku. "Kamu pasti diterima!"

"Tapi bagaimana jika aku tidak diterima?" tanyaku harap-harap cemas.

"Memangnya kenapa kalau tidak diterima? Tidak masuk ke sekolah itu bukan berarti tidak menjamin kesuksesanmu, bukan?" Ibu merangkul bahuku. Kami berdua berjalan bersama di alun-alun Kota. "Kamu lah yang menentukan kesuksesanmu. Bukan sekolah, bukan harta, bukan juga orang lain."

Aku tersenyum tipis. "Ibu benar."

"Nah, kalau sudah senyum begitu, ketampanan anak Ibu 'kan jadi bertambah." Aku tertawa mendengar ucapan Ibu. "Ayo kita makan bersama di Restoran!" ajak Ibu.

Aku mengangkat sebelah alisku. "Atas rangka apa?"

"Atas rangka membuatmu senang!" Ibu menggenggam erat tanganku, menarikku memasuki sebuah restoran sederhana di pinggir alun-alun. "Ayo! Kamu boleh pesan apapun yang kamu mau."

Aku tersenyum nakal. "Apapun?"

"Ya ... tapi jangan pesan yang terlalu mahal juga, ya." Ibu menggaruk kepala bagian belakangnya, terkekeh. "Nanti Ayah bisa memarahi Ibu kalau uang bulanan habis sebelum waktunya."

Aku memutar bola mata, namun di saat yang bersamaan aku tertawa. "Oke, oke."

Seminggu kemudian, surat dari sekolah datang untuk memberitahu aku diterima atau tidak. Aku menatap surat yang ada di genggamanku dengan senyum lebar, duduk manis di kamarku. Aku sudah terlalu berbesar kepala akan diterima. Namun, ternyata kenyataannya berbanding terbalik seperti yang diharapkan.

Meski mendapatkan nilai tertinggi di bidang Matematika dan Fisika, namun sayangnya mereka menolakku dengan alasan nilai pengetahuan umumku tergolong rendah dan tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Tentu saja aku merasa sedih saat mengetahuinya.

"Eh?" Aku mendapati ada surat lain di dalam amplop tersebut. Aku segera membacanya. Ternyata, surat ini berisi saran dari mereka bahwa sebaiknya aku mendaftar ke Sekolah Kanton Argovian di Aarau, Swiss untuk menamatkan SMA-ku dan mempersiapkan diri masuk ujian universitas.

Karena ini adalah rekomendasi langsung dari sekolah yang kuimpikan, maka aku mengikutinya. Aku masuk sekolah Kanton Argovian tanpa hambatan yang berarti.

Pada usiaku yang ke-17 tahun, aku melepas kewarganegaraan Jermanku untuk menghindari wajib militer. Pada bulan September, aku berhasil lulus ujian Matura Swiss dengan nilai terbaik dan diterima pada program diploma empat tahun pendidikan matematika dan fisika di Politeknik Zurich.

Banyak sekali prestasi yang dapat kugapai. Rasa penasaran yang terus berkecamuk di dalam kepalaku membuatku menemukan banyak hal-hal baru yang belum pernah ditemui sebelumnya.

"Hei, Albert!" sapa seorang teman saat aku duduk di bangku perguruan tinggi.

Aku memiringkan kecil kepalaku. "Ya?"

"Aku ingin menanyai pendapatmu tentang sesuatu."

"Apa itu?"

"Mengapa saat jatuh cinta dan berada di dekat orang yang kusukai, aku merasa melayang ke langit, sedangkan tubuhku masih menapak bumi?" tanyanya dengan raut wajah serius.

Aku hampir saja tertawa, jika saja aku tidak segera menggigit lidahku guna menahannya. Maksudku, bagaimana mungkin dia bisa menanyakan hal konyol dengan wajah seserius itu? Ayolah, dia pasti sedang bercanda.

"Aku dengar kamu itu jenius, para profesor sering membicarakanmu di ruangan mereka," jelas temanku itu. "Itu mengapa aku menanyakan hal ini padamu. Mungkin saja kamu tahu."

"Hukum gravitasi tidak berlaku terhadap orang yang sedang jatuh cinta." Pada akhirnya, aku tertawa setelah mengatakan hal tersebut. "Itu mengapa kamu merasa melayang saat bersama orang yang kamu suka."

"Begitu?" Dia memiringkan kecil kepalanya.

Aku mengangguk mantap. "Iya."

Meski ini adalah pembicaraan yang konyol, namun aku menyadari sesuatu dari kejadian ini.

Bertahun-tahun berikutnya, aku berhasil menemukan sebuah penemuan yang dapat merubah kehidupan manusia. Meski aku sendiri juga tidak menyangkanya, namun itulah yang terjadi.

Teori yang kucurahkan kepada salah seorang profesor kemudian dipublikasikan ke khalayak umum. Aku mendapat banyak sekali pujian, bahkan dari petinggi negara.

Namaku disamakan dengan kata jenius.

Dan keluargaku dapat hidup berkecukupan tanpa perlu banting tulang.

Panjang sekali perjalanan yang harus kutempuh demi kesuksesan ini. Pada akhirnya, orang-orang yang mengejekku dulu hanya bisa mendongakkan kepala mereka demi melihatku yang berdiri di puncak kesuksesan.

Itulah yang terjadi saat kamu hanya bisa meremehkan tanpa bisa melakukan. Tertinggal di tangga paling bawah, sedangkan orang yang kamu rendahkan justru sudah menapakki anak tangga demi anak tangga untuk mencapai posisi teratas.

Aku yang dulunya dikenal sebagai anak bodoh yang bahkan telat bisa berbicara dan tanpa memiliki teman, kini namaku dikenal di seluruh penjuru dunia. Berbondong-bondong orang ingin mengenalku. Bahkan hingga akhir hayatku, namaku diabadikan menjadi nama teori dan satelit dunia.

Siapakah aku?

Aku adalah Albert Einstein, orang yang berhasil menemukan teori relativitas dan merubah dunia.

Jika kamu bertanya, bagaimana cara kerja sederhana teori relativitas tentu saja aku akan bersenang hati untuk menjawabnya.

Ketika kamu berpacaran dengan gadis yang manis, satu jam seperti sedetik. Ketika kamu duduk di atas tungku panas, sedetik serasa satu jam. Itulah relativitas.

Rasa dendam yang sejak dulu kusimpan, kini bisa membuatku menjadi sukses. Mungkin, aku harus berterima kasih kepada mereka yang pernah merendahkanku dulu.

***

A/N

Ehm, mungkin banyak kehidupan Einstein yang nggak Vara masukin.

Yaiyalah, kalo dimasukin semua, mau sepanjang apa cerpen ini? Belum kehidupan pernikahannya, dia 'kan dua kali nikah. Terus essai serta makalah yang dia buat bejibun itu, masa dimasukin semua :v

Percayalah, Vara keluar masuk perpus demi riset tentang ini :v

Semoga kalian ngerti dimana letak tema "dendam" yang ada di dalam cerita ini yak.

Sekian dan terima gaji~ (つ≧▽≦)つ

End
Penulis
VaraUser

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro