Cerpen Karya Sandra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sandra
Akun Wattpad: sandramilenia
Gen: GEN 4

***

Perpustakaan adalah tempat ternyaman yang aku tahu. Tidak ada kebisingan dan hiruk pikuk, hanya ilmu, surganya bagi mereka penjelajah dunia. Ah ...., aku rasa bahasaku terlalu tinggi. Di tempat yang namanya sering disingkat perpus ini aku tahu bahwa bumi masih punya harapan. Banyak anak kecil, kawula muda, dan para lanjut usia yang masih suka membaca. Dengan membaca dapat membuka jendela dunia. Katanya.

Kembali lagi pada topik perpustakaan. Bangunan yang berada di seberang jalan raya ini disebut perpustakaan kota. Di berbagai daerah pasti beda-beda. Kalau di Bandung letaknya di Jalan Seram. Jangan salah paham, ini bukan jalan berhantu kok. Bangunannya tinggi, nampak dari depan berdinding kaca karena jendelanya panjang, dan masuk ke sini gratis, loh.

Seperti biasa di hari senin perpustakaan buka pukul delapan pagi. Udara masih segar belum terkontaminasi asap kendaraan, asap rokok, dan asap lain akibat ulah manusia. Untung di dalam perpustakaan jendela ditutup dan memakai penyejuk udara. Jadi, hanya aroma khas buku yang tercium di sini. Tahu aroma buku? Tidak, ya. Sering-sering datang ke perpustakaan dan baca.

Sampai pukul sepuluh belum ada pengunjung hari ini. Para pustakawan juga sudah menyortir buku-buku sejam yang lalu. Aku cukup jenuh menunggu sampai terdengar bunyi gesekan pintu kaca.

Satu orang pengunjung datang. Dia seorang perempuan mengenakan baju terusan mirip jubah bewarna kuning gading, pakai jilbab putih, dan sedang berputar di sekitar rak buku. Dia berdiri di depan rak dengan susunan buku berjenis fiksi. Ah tipe remaja ...., penyuka novel dan drama.

Dia memilih beberapa novel. Aku kenal salah satunya, sebuah novel terjemahan berjudul The Da Vinci Code karya Dan Brown, seleranya bagus juga. Gadis itu memilih tempat duduk terdekat, lalu meletakkan buku-buku di atas meja dan mengambil yang bersampul hijau. Dia membaca dengan matanya yang bulat.

Sudah seperempat jam dia membaca dan aku menunggu dengan setia. Aku perhatikan mimik wajahnya, kadang ada tarikan di bibir lalu berganti dengan ocehan tidak senang. Aneh. Dia juga sering mengerutkan dahi lalu tiba-tiba tertawa. Ini perpustakaan! Aku harap dia sadar untuk tidak terlalu berisik.

Lama juga gadis itu menghabiskan setengah buku, ada sekitar satu setengah jam. Dia sudah bosan dan kini berganti dengan ponsel di tangannya.

"Hai Indri!" seseorang datang menyapa.

Sekali lagi aku ingatkan, ini perpustakaan! Tolong jangan berisik, andai saja aku bisa berteriak. Ngomong-ngomong aku lupa, sekarang sudah pukul sebelas. Sejam lagi perpustakaan akan tutup sebentar karena pegawainya istirahat. Dan sekarang tempat ini tidak hanya berpenghuni gadis berjilbab tadi, ada temannya yang baru saja gabung, seorang perempuan juga tapi tidak berkerudung. Selain mereka, ada dua orang lain, satu laki-laki dan satu perempuan yang masuk sekitar 15 menit yang lalu. Entahlah, aku kurang tahu tepatnya karena aku sibuk memperhatikan gadis di depanku yang kini kuketahui namanya adalah Indri.

"Jangan berisik." Indri mengingatkan dengan jari telunjuk menempel di bibir tipisnya.

Oh syukurlah, dia tahu keinginanku. Good girl.

"Maaf," balas gadis tak berkerudung sambil cekikikan. Tipe yang tidak kusuka.

Mereka duduk bersebelahan. Tidak melakukan hal yang penting selain bercerita tentang salah satu cowok di kelas mereka, namanya Budi, eh apa Rudi, ya?

"Mudi!" sahut Indri.

Ah iya benar Mudi, mereka ini bikin kesal. Sudah aku bilang berulang kali ini perpustakaan kalo mau berisik di kafe saja sana! Sudahlah, percuma aku mengomel.

"Sudah aku duga kamu suka sama Mudi, Vee kamu nggak perlu malu-malu sama aku," ucap Indri pada gadis di sebelahnya.

Pipi gembul Vee nampak merona, warnanya lebih merah ketimbang digigit semut. Namun, sekejap mimik jatuh cinta itu berubah murung, bibirnya berkedut, lalu mata mulai merah dan basah.

"Kenapa?" tanya Indri tahu perubahan mood  temannya.

Vee menggeleng. Dasar perempuan! Teori mereka itu, bilang iya padahal di hati tidak. Geleng kepala padahal hatinya bergejolak. Entah apa yang ada di pikiran mereka.

"Kamu pasti ada apa-apa, cerita saja!" tuntut Indri.

Good choice! Aku mulai menyukai Indri. Dia lebih realistis.

"Dia suka orang lain." akhirnya Vee membuka mulut.

Gadis itu melenguh panjang. Lalu tersenyum kecut. Lagi-lagi teori perempuan, sok kuat.

"Sudah nggak apa-apa kok. Eh ini kan perpustakaan aku mau baca buku juga," kata Vee sebelum bangkit dari kursi dan mulai menjelajah perpustakaan.

Indri hanya mengangguk lalu kembali pada bacaan yang belum ia tuntaskan. Namun, dia tak berniat melanjutkan buku tadi malah mengambil yang lain secara acak. Dan buku bersampul hitam yang terambil.
Vee sudah kembali dengan satu buku tipis di tangannya. Senyumnya lebar lagi tapi siapa yang tahu isi hati manusia. Gadis itu duduk membuka bacaannya. Tiba-tiba bunyi ponsel milik Indri berdering. Haruskah aku ulangi kalimatku.

Indri langsung mengambil ponselnya mematikan benda yang terus berbunyi nyaring itu.

"Siapa?" tanya Vee.

"Mudi," jawab Indri sekenanya.

Bingo!  Apa di sini ada kisah cinta segitiga. Baik di dalam novel atau dunia nyata konflik cinta ini klise sekali, ya? Mereka jadi gugup, saling diam dan menatap dalam pada bacaan masing-masing yang aku yakini tidak dengan serius mereka baca. Perpustakaan ini jadi beralih fungsi. Aku merasa tangan Indri sedikit bergetar, kentara sekali dia gugup. Berulang kali matanya bergantian menatap Vee - ponsel - buku terus begitu, kuhitung sudah lima kali.

"Maaf Vee." akhirnya Indri berbicara.
Vee tidak merespon.

"Aku tahu Mudi suka padaku," kata Indri sambil menutup buku bacaannya. Nadanya terdengar menyesal.

Vee nampak tersenyum. Bukan aku ralat, kalau di novel ini namanya smirk, sebut saja senyuman jahat, tak ikhlas, menyeringai, intinya ia tak bersungguh-sungguh.

"Maafkan aku Vee tapi aku tidak—"

"Sudah diam!" Vee memotong dan membentak. Sampai dua orang di bangku seberang mereka ikut terkejut. Jangankan mereka aku saja hampir terjungkal dari tempatku.

Vee mendengkus sepertinya menahan malu karena perbuatannya barusan. Ia menunduk lalu terpejam sebentar. Sementara Indri, apa yang bisa diharapkan dari gadis itu. Dia hanya diam mematung, tangan dan kaki gemetar, bibir bawah juga digigit.

"Maaf Indri aku nggak bermaksud." Vee tidak menyelesaikan ucapannya.

"Aku menolaknya kok," ungkap Indri akhirnya.

Aku merasa sebal dengan mereka. Kekanakan sekali! sama saja seperti kisah novel. Karena satu cowok saja mereka bertengkar. Dasar perempuan! Oke aku minta maaf, tak semua perempuan seperti mereka. Setidaknya tidak lebih dari 90 persen berarti sisanya mahkluk langka.

Mereka akhirnya saling berbaikan, tertawa, kemudian pelukan. Ah ini momen apa sih. Hari ini akan ada badai ya? Tepat setelah mereka saling melepas diri bunyi speaker  terdengar menandakan jam kunjung perpustakaan habis untuk sementara waktu saja. Indri dan Vee pun berbaikan, mereka keluar dari ruang baca bersama dengan dua orang yang lain. Aku pun kini kembali ke tempatku. Aku diselipkan kembali ke susunan buku di dalam rak. Tempat di mana aku berada sebelumnya. Rak buku fiksi. Aku kembali setia untuk menunggu pengunjung lain datang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro