The Light of Thera Karya Ivan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ivan
Akun Wattpad: ScottLehnsherr95
Judul: The Light of Thera
Gen: GEN 3

***

Aku baru tahu bahwa dalam keadaan darurat di mana aku nyaris mati, aku bisa berlari cepat ini.

Napasku memburu saat kupaksa kakiku berlari cepat. Lolongan yang memecah kesunyian hutan menandakan bahwa para serigala masih mengejarku di belakang. Aku tak punya waktu untuk beristirahat, jika hanya tiga detik saja aku menurunkan kecepatan, kematian pastilah datang.

Sial! Umpatku kasar selagi berusaha berlari tanpa menabrak pohon. Kegelapan yang semakin pekat membuat jarak pandangku ke depan sangat terbatas. Meski bulan purnama bersinar begitu terangnya di langit, lebatnya dedaunan pohon membuat cahaya itu tertahan di atas.

Semua malapetaka ini bermula dua hari yang lalu, saat aku mencoba berburu di daerah hutan yang belum pernah kujamah. Saat itu aku nekat melakukannya, karena di kawasan hutan biasanya aku berburu, hewan buruan sudah sangat sulit ditemukan.

Hari pertama aku mencoba menjamahi daerah hutan baru, keberuntungan selalu datang. Lima tupai berhasil kutangkap hanya dalam waktu beberapa jam. Namun, siapa sangka bahwa keberuntunganku hanya berlangsung sesaat? Terlalu bergairah dalam mencari hewan yang barangkali bisa kumakan, aku terlalu jauh mengeksplor hutan ini. Sampai aku bertemu seekor singa, aku tahu bahwa aku tengah dalam kesulitan.

Sang singa jelas bukan tipe mahluk yang senang berbincang-bincang ramah.

Aku cukup beruntung karena bisa berlari kabur dari singa itu, tapi keberuntungan itu semata-mata hanya karena ada seekor rusa yang mengalihkan perhatian singa, membuat sang Raja Hutan itu melupakan keberadaanku dan lebih memilih memangsa sang rusa.

Namun kini, saat puluhan serigala kelaparan mengejarku, aku ragu bahwa keberadaan satu ekor rusa dapat mengalihkan perhatian mereka semua.

Beberapa meter jaraknya di depanku, aku melihat sebuah lubang besar yang mirip gua, barangkali pengelihatanku keliru dan itu malah sarang ular, tapi aku benar-benar butuh tempat perlindungan sekarang. Kutambah lagi kecepatan lariku ke gua itu, lalu melemparkan tubuhku sendiri masuk ke sana, momentum melayang dari tanah disusul rasaa sakit yang mendera sekujur tubuh saat badanku menghantam dasar gua berbatu. Kurasa beberapa kulitku lecet dan berdarah, tapi aku tak punya waktu untuk memeriksa berapa parah luka itu.

Aku membalikkan badan, mengecek kondisi di luar gua. Kesuyian yang dilihat hanya berlangsung sebentar karena sekonyong-konyong para serigala itu muncul dari rerimbunan pohon terdekat. Aku menghitung. Satu, dua, tiga … sepuluh … dua puluh, barangkali ada tiga puluh lebih serigala yang muncul. Mataku melebar takjub, betapa besarnya kawanan serigala itu. Meskipun aku tengah dicengkram rasa takut, terlintas juga dalam benakku seandainya aku tertangkap, daging yang melekat pada tubuhku tak akan cukup jika dibagi dengan semua serigala itu.

Kubekap mulutku, berusaha tak mengeluarkan suara sedikit pun, bahkan hanya suara embusan napas. Aku berharap mereka segera enyah dari sana, mengira bahwa aku terus berlari.

Namun, aku keliru.

Seekor serigala yang paling dekat dengan persembunyianku mengendus udara. Lagi-lagi aku mengumpat. Aku lupa bahwa penciuman mereka cukup bagus, jika mereka tak bisa melihatku, pastilah bau darah yang menguar dari tubuhku akan tercium oleh mereka.

Dan benar saja, serigala itu mendekat ke arahku setelah mengendus-endus. Mulutnya membentuk seringai kala melihat keberadaanku. Persembunyianku terbongkar sudah.

Sang serigala melolong, barangkali memberitahu kawanannya bahwa ia sudah menemukan makanan yang selama ini mereka kejar, dan dengan cepat aku terkepung. Tak ada jalan keluar. Tatapan dari tiga puluh serigala yang kelaparan itu menjanjikan kematian yang menyiksa.

Namun, sebelum para serigala itu menekuk lututnya untuk menerjang ke arahku, sebuah ledakan dahsyat terjadi di luar sana, disertai kilatan cahaya kuning yang menyebar ke seantero hutan, membuat kegelapan hutan malam hari berubah menjadi terang benderang laksana siang hari.

Meski aku terheran-heran akan apa yang sebenarnya terjadi, aku menutup mataku karena tersilaukan oleh cahaya itu.

***

“Eh, bisakah kau ulangi lagi, siapa sebenarnya dirimu?” tanyaku pada gadis dengan aura keemasan yang berpendar dari tubuhnya itu. Aku merasa seperti berbicara pada kobaran api yang hidup. Secara harfiah gadis itu memancarkan kehangatan yang hanya bisa dihasilkan oleh api.

Sulit untuk mempercayainya, tapi gadis laksana bongkahan emas hidup inilah yang membantuku saat ajalku nyaris saja menjemput karena jadi santapan sekawanan besar serigala. Sejauh yang bisa kuingat, setelah kemunculan ledakan cahaya itu, semua serigala lenyap. Cahaya kuning meredup. Tidak, bukan meredup, tapi menyusut. Menyusut menjadi sosok seorang gadis berpendar keemasan yang berdiri mantap di tengah hutan dekat dengan gua persembunyianku. Dan kalau tidak salah ingat, sang gadis itu tersenyum padaku, senyumnya begitu riang seolah lenyapnya tiga puluh ekor serigala bukanlah perkara besar.

Dan gadis itu berkata dengan nada yang sama riangnya, “Halo, Jagoan. Aku Theranocha, peri bintang yang diutus alam semesta untuk memandumu keluar dari hutan ini. Salam kenal!”

Pengalaman semacam itu takkan mungkin bisa kulupakan seumur hidup.

“Sudah kukatakan padamu berulangkali,” jawab gadis itu, peri itu atau apalah dengan lembut kepadaku, “aku Theranocha, peri bintang yang diutus alam semesta untuk membantumu keluar dari hutan ini.”

Kedua alisku terangkat. “Yah, benar, dan aku Scott, siluman tikus yang diutus dewa anjing untuk memusnahkan semua kucing,” kataku sarkatis.

Theranocha hanya mengembuskan napas, asap putih keluar dari mulutnya selagi melakukan itu. “Kenapa kau sulit sekali mempercayai itu? Jika kau tak percaya, bisa kau jelaskan secara rasional pendar keemasan yang menguar dari diriku ini?”

Yah, itu memang sulit untuk dijelaskan. Bahkan aku ragu ada tipuan sihir yang dapat membuat hal semacam itu terjadi. Dan lenyapnya ketiga puluh serigala … itu sulit diterima akal sehat.

Namun, penampilan Thera tidak terlalu meyakinkan jika ia mengaku sebagai peri bintang apalah. Tingginya tak sampai dua meter, ia jelas jauh lebih pendek dariku. Rambut di kepalanya ditutupi kain kuning, praktis hanya menampilkan wajahnya. Wajahnya imut, tidak terlalu cantik tapi sedap dipandang. Dorongan pertama yang kurasakan saat melihat wajahnya adalah mencubit gemas  kedua pipi yang kelewat besar, seolah semua daging dan lemak yang ia punya terfokus di sana. Begitu besarnya ukuran pipi itu sehingga aku heran ia bisa berdiri tegak tanpa keberatan dengan bobot pipinya yang mungkin mencapai beberapa kilogram.

“Jadi,” kataku memulai percakapan, selagi aku mengikutinya untuk keluar dari hutan ini, “jika kau ini memang benar peri bintang. Bisa kau jelaskan padaku apa yang terjadi pada semua serigala yang hilang itu?”

“Oh, itu sih pertanyaan gampang,” jawab Thera enteng. “Aku hanya meleburkan mereka semua ke dalam kegelapan. Para peri bintang memiliki kekuasaan atas gelapnya malam hari, dan serigala adalalah binatang malam. Jadi, begitulah. Intinya, melenyapkan mereka semua adalah perkara mudah.”

Bola mataku memutar. “Itu … penjelasan yang spektakuler sekali.”

Thera hanya diam tak menanggapi perkataanku.

Semakin kami berjalan, semakin rimbun pula pepohonan di sekeliling kami. Meski pendar keemasan yang memancar dari diri Thera cukup bagus untuk penerangan, aku masih bertanya-tanya mahluk mengerikan apa saja yang tersembunyi di dalam gelap itu.

Anehnya, aku malah semakin asing dengan daerah hutan yang kujelajahi sekarang. “Hei, apa benar kau memanduku keluar dari hutan ini? Karena kawasan hutan ini terasa benar-benar baru untukku.”

Seketika Thera terdiam, lalu membalikkan badannya ke arahku. “Aku yakin, percayalah padaku. Ini arah yang benar, jika kita terus berjalan ke arah timur, kita akan berakhir di tepi hutan dekat dengan desa tempat tinggalmu.”

Ada yang aneh, aku menaksir arah angin, lalu melihat bulan di atas dan posisinya yang lebih condong ke satu sisi langit. Jika perkiraanku tidak salah …. “Tapi kita sekarang tengah berjalan ke arah barat.”

Thera sontak terkejut. “Benarkah?”

Kepalaku mengagguk. “Iya, aku ini pemburu. Sudah menjadi bakatku untuk menebak arah dari pertanda yang alam berikan. Walaupun harus kuakui, beberapa hari terakhir ini hutan seolah memperdayaiku dengan cara memberi penanda alam yang salah.”

Mulut si peri itu meringis, seolah menyadari sesuatu. “Yah, kalau begitu, kita salah jalan,” ucapnya lalu tanpa merasa bersalah berjalan menuju arah yang berlawanan dengan tadi.

Kutatap kepergian peri pendek itu dengan tatapan tak percaya. “Peri bintang pemandu apaan,” keluhku seraya berjalan mengikutinya. “Dari semua peri yang ada, kenapa Pak Alam Semesta malah mengirimmu? Bisakah lain kali alam semesta mengirim peri yang lebih cakap darimu?”

Rupanya, peri itu mendengar keluhanku. “Jangan mengeluh begitu,” katanya, nampak merasa tersinggung, “alam semesta sudah cukup berlaku baik padamu dengan mengirim peri pemandu sepertiku. Dan kau ini … aaaaaaah.”

Tiba-tiba peri itu menjerit, berbalik dan lari, ia segera bersembunyi di belakang punggungku. Ada yang membuatnya ketakutan. Kufokuskan mataku ke depan untuk melihat apa yang membuatnya seperti itu. Kira-kira tiga lemparan batu jauhnya, sosok seorang wanita melayang dengan raut wajah yang datar. Maksudku benar-benar melayang. Kakinya yang tanpa alas kaki tidak menjejak tanah. Sosoknya berpendar redup, nyaris transparan. Bukankah itu … hantu?

“Hei tidak apa-apa,” kataku pada peri yang masih bersembunyi di belakang punggungku. “Itu hanya arwah penasaran. Hanya hantu.”

“Iya, itu memang hantu,” cicitnya ketakutan.

Perasaan heran melandaku. “Kau takut? Pada hantu?” tanyaku yang dijawab gumaman pelan peri itu. “Tapi kau kan peri?”

“Memangnya peri tidak boleh takut hantu? Mereka itu menakutkan!”

Semakin heranlah aku. “Peri payah,”gerutuku pelan, tapi sang peri tidak menanggapi.

Aku memberanikan diri berjalan lebih mendekat ke sosok melayang itu, beserta Thera yang masih mencicit ketakutan di belakangku. Setelah semakin dekat, kuperhatikan bahwa sosok arwah penasaran itu cukup cantik, sebuah tombak berujung tajam mencuat dari perutnya. Pasti korban pembunuhan. Ekspresi sendu yang diperlihatkan hantu itu bercampur dengan rasa sakit.

“Bukan apa-apa,” kataku pada diriku sendiri. “Cuma hantu biasa, bukan apa-apa.” Pengalamanku selama bertahun-tahun berburu di hutan telah menjadikanku kebal terhadap gangguan semacam ini.

Dan ternyata benar, hantu wanita itu mengabaikan kami. Matanya mengikuti gerak kami berdua, tapi membiarkan kami melewatinya untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah hantu itu memudar dari jarak pandang. Thera segera keluar dari persembunyiannya di belakang punggungku.

“Huft, untung saja tak terjadi apa-apa,” ucapnya pelan, lalu berjalan dengan percaya diri seolah tak pernah terjadi apa-apa.

“Sungguh pemberani,” sindirku, tapi kini peri itu tak mengacuhkan ucapanku.

Setelah berjam-jam lamanya, sampailah kami berdua di tepi hutan yang tak asing bagiku. Di luar sana aku bisa melihat padang rumput luas yang berbukit-bukit, di bukit paling besar itulah desa tempat tinggalku berada. Setelah pertemuan dengan hantu itu, tak ada kendala yang berarti, aku jadi berpikir jika tak dipandu sang peri pun, aku sudah pasti bisa menemukan jalan keluar sendiri.

“Nah, kita sudah sampai, Jagoan,” ucap Thera setelah aku melangkah keluar dari tepi hutan. “Kurasa sudah saatnya aku pulang.”

Tak urung juga aku bertanya, “Kau tak tertarik untuk ikut bersamaku?”

Wajah sang peri diliputi kesedihah. “Aku tidak bisa, di langit aku bisa dilihat dari mana saja, tapi di darat, hanya di hutan inilah aku bisa menampakkan diri.”

Sudah kuduga. “Yah, kalau begitu, terima kasih atas semuanya. Terima kasih sudah memanduku.”

Sang peri pun mengangguk, tersenyum. Lalu tubuhnya berpendar semakin terang. Kututup mataku saat ledakan cahaya itu terjadi. Dan saat aku membuka mata, si peri berpipi tebal itu telah menghilang.

Langit yang kutatap kini berbeda, ada satu bintang yang baru hadir di sana. Cahaya lebih terang. Berkedap-kedip seolah menyapaku. Mulutku membentuk senyum. Kukira aku takkan pernah bisa menatap langit malam penuh bintang tanpa memikirkan peri itu.

Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi? Batinku berharap selagi membalikkan badan.

Berjalan pulang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro