Kamu Karya Amoebaitis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Amoeba
Akun Wattpad: amoebaitis
Judul: Kamu
Gen: GEN 1

***

BR, 2029

Aku memandang jam di pergelangan tanganku. Masih kurang satu jam hingga aku sampai di stasiun tujuan. Ya, aku memang masih berada di kereta intercity express, dan sudah menempuh sekitar tiga jam perjalanan. Berat? Tentu saja tidak. Jarak ini sudah jauh lebih dekat daripada aku harus datang ke Jakarta.

Kubuka kembali lembaran buku setebal 367 halaman. Danke, itulah judul yang tertera di sampulnya. Isinya sangat menarik, bercerita tentang seorang anak perempuan buta bernama Gabriella yang selalu bersyukur atas apa pun yang ia terima dalam hidup. Baik kebahagiaan, atau pun kesedihan, ia selalu berterima kasih.

Buku itu sudah diterjemahkan lebih dari 27 bahasa. Aku berharap, Indonesia juga bisa menikmatinya. Seolah mendapat wangsit, tanpa sadar bibirku tersenyum. Ada seseorang yang kuanggap teman, juga berprofesi sampingan sebagai penerjemah. Aku berharap, dia akan tertarik dengan buku yang aku sukai ini.

“Ah, lebih baik aku rekomendasiin buku ini sama dia,” gumamku sambil meraih ponsel dan memotretnya.

Namun percuma, aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Kami tidak pernah bertukar kontak atau pun alamat. Kami sudah sangat lama tidak berhubungan. Tidak ada yang aku punya, selain kenangan.

Hari pertama masuk kelas bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tidak ada yang kukenal, pun sebaliknya. Tidak ada yang bisa aku ajak bicara dan bercerita. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain berjalan pelan, mencari tempat duduk yang paling belakang.

Seorang wanita berjilbab coklat jingga berjalan menuju depan kelas, lalu memperkenalkan diri.

“Assalammu’alaikum. Saya Krist, usia 33 tahun, dari Jawa Tengah. Saya bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan bekerja sampingan sebagai penerjemah.”

Wanita itu mengakhiri perkenalannya dengan senyum, lalu bersambut dengan sapaan ramah seisi kelas. Begitu juga denganku, meski mungkin suaraku tidak akan terdengar.

Berteman dengannya, aku juga mau. Namun aku malu, aku tidak tahu bagaimana caranya bersapa terlebih dahulu. Pernah suatu ketika, aku ingin bergabung dengannya yang sedang berkerumun berbagi cerita. Sebagai normalnya orang, aku ingin mengeluh juga. Kehidupan dunia ini sangat memuakkan. Jika kita tidak berjuang, kita tidak akan pernah bertahan.

Tugas yang tidak ada habisnya, serta waktu 24 jam yang menurutku kurang, sudah bisa menjadi alasan untuk berhenti bertahan. Pekerjaan yang datang tiba-tiba, serta kegiatan yang tidak pernah punya waktu pasti kadang membuat jam tidur berantakan. Kadang dua jam perhari, kalau beruntung bisa lima jam perhari. Bahkan, pernah sekali aku menabrak pasir pinggir jalan karena mengantuk setelah terjaga semalaman. Besoknya, ganti naik angkutan, tapi keblablasan sampai Pasuruan karena ketiduran. Kadang, untuk mengantisipasi keterlambatan, aku selalu membersihkan diri sebelum terlelap, agar waktu bangun bisa langsung pergi tanpa harus mandi.  Apa itu semua masih belum cukup untuk disebut sebagai alasan?

Namun, belum sempat aku mengungkapkannya, Kak Krist lebih dulu bercerita, “Aku hampir setiap hari bangung jam tiga. Kalau nggak nerjemahin, ya nyetrika.”

Tertohok. Itulah kata yang paling tepat untuk menerjemahkan perasaanku saat ini. Kita sama-sama punya jam tidur yang singkat. Namun, tidak seperti dirinya yang harus bekerja mengasuh anak setiap hari ...  aku tidak pasti sebulan sekali. Tidak seperti dirinya yang tidak bisa berhenti, aku bisa menolak kegiatan jika memang tidak sanggup.

Aku tersenyum nanar membayangkannya. Kadang, hanya dengan memperhatikan, kita bisa mendapat jawaban tanpa harus mengungkapkan pertanyaan.

Pandanganku beralih ke wanita yang berada di sebelahku. Rambut sepinggangnya tergerai, dan sebagian menutup wajahnya yang tengah tertidur pulas. Ia tampak manis meski keriput sudah mulai menghiasi wajahnya. Aku mengelus pipinya beberapa kali, hingga membuatnya terjingkat. Perempuan itu pun mengerjap sebentar, lalu memandang berkeliling.

“Sudah mau sampai?” tanyanya.
Aku mengangguk mengiyakan.

Tidak berselang lama, kereta pun berhenti. Saat turun, kami langsung bersambut dengan panas matahari yang bersinar terik. Aku bergegas merapikan topiku sebelum melanjutkan berjalan kaki menuju stasiun kereta api bawah tanah.

“Beli minum dulu,” ucapnya sambil menarikku ke vending machine.

“Aku mau yang rasa jeruk,” kataku sesaat setelah ia memasukkan kartu ke reader vending machine.

Tidak berselang lama, dua botol minuman susu rasa jeruk pun keluar. “Sejak kapan kau suka jeruk?” tanyanya sambil menyerahkan satu botol ke arahku.

Aku tersenyum renyah. “Entahlah, aku seperti teringat akan sesuatu saat melihat jeruk,” jawabku sambil duduk di bangku ruang tunggu.
“Jeruk?”

“Ya. Sebenarnya nama aslinya bagus, seperti nama Rasul. Tapi kadang, teman-teman sering mlesetin seperti nama pakaian dalam wanita. Karena itulah, aku lebih senang memanggilnya Jeruk saja.”

Gadis di sebelahku terkekeh menanggapi ceritaku.

“Saat aku bertemu dengannya, dia masih remaja, masih mau masuk perguruan tinggi. Dia suka menulis cerita horor dan misteri. Aku penasaran dengan kabarnya sekarang. Apa dia masih suka menulis? Apa dia akan terkejut kalau aku menceritakan kisah nyata kepadanya tentang fenomena jam hantu di sini?”

“Itu bukan cerita horor.”

Aku terkekeh. Memang bukan cerita horor. Namun, akan sangat menyenangkan menjahili seseorang dengan sesuatu yang baru pertama kali ia alami. Aku cukup yakin ia akan bergidik karena fenomena jam yang berubah sendiri saat pergantian ke musim dingin, dan aku akan mengarang berbagai macam cerita untuk menakutinya.

Sebuah kereta cepat berhenti, dan kami pun bergegas masuk ke dalamnya. Cukup sepi, mengingat musim panas biasanya menjadi musim yang sibuk. Banyak sekali orang beraktiftas di luar karena waktu siang yang relatfi panjang, bahkan sampai dua puluh jam perhari.

Di sebelahku, duduk seorang wanita dengan bouquet bunga di tangannya. Bunga mekar berwarna putih itu seolah membawaku teringat dengan sebuah kenangan lama.

“Ah, aku lebih suka Katakokoh,” kata Ratna dengan antusias. “Tapi Kak Maul cakep juga, sih.”

“Iya, tulisan mereka bagus-bagus,” sahut Tiga.

“Iya, diksinya, byuuuh baper abis, kocak juga.”

Aku menelan ludah. Sekali lagi, aku hanya menjadi pendengar setia. Aku sadar benar dengan selera baca yang berbeda. Dan mungkin, aku harus mencari orang dengan jenis bacaan yang sama untuk bisa bersatu dengan isi pembincangannya.

“Selamat siang.”

Semua menoleh. Seorang tutor berusia tujuh tahun di bawahku telah berdiri di depan kelas, siap memberikan materi. Seisi ruangan pun langsung terdiam memerhatikan.

“Kali ini, kita akan belajar tentang struktur kalimat. Aku pengen tanya, menurut kalian, kalimat itu apa, sih?”
Seperti dugaan, kebanyakan menjawab dengan benar. Mungkin, hanya aku satu-satunya yang menjawab kurang tepat. Analisa saja, tidak sepenuhnya bisa dipercaya.

“Ya. Nggak salah aku memanggil teman-teman dengan sebutan Kakak. Ilmu mereka sudah jauh di atasku,” gumamku pada diri sendiri.

Tutor pun melanjutkan, “Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, baik secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa. Kalimat juga bisa dikatakan perkataan atau satuan ujar menyampaikan suatu konsep pemikiran.

“Kalau dalam linguistik, kalimat masuk dalam cabang sintaksis. Dijelaskan bahwa kalimat ada yang terdiri dari satu kata, dua kata, tiga kata, dan seterusnya. Setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun dan naik. Tentunya dikatakan kalimat karena memiliki tanda baca.”

Aku menghela napas dalam, memperhatikan sekeliling. Semua orang memerhatikan dengan seksama. Beberapa lagi memanggut-manggutkan kepala tanda mengerti. Dan aku, lagi-lagi menjadi satu-satunya orang yang tertinggal. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud secara relatif berdiri sendiri? Apa itu pola intonasi final? Apa itu aktual dan potensial? Apa itu klausa? Dan, apa itu linguistik dan sintaksis?

Aku lupa apakah aku sudah mempelajari itu semua semasa sekolah. Atau, kalaupun ingat, itu juga tidak akan membantu banyak. Ilmu itu tidak bertambah, tapi berganti, terlebih jika tidak diulangi.
Aku pun lebih memilih absen dari kelas. Tidak ada tujuan, tapi hanya ingin jalan-jalan menenangkan pikiran. Hingga aku bertemu dengan pengurus sekolah, yang kebetulan sedang menyiapkan materi mengajarnya.

“Kak Lili,” sapaku sambil duduk di hadapannya.

“Ada apa?” tanyanya ramah.

Aku tersenyum senang. “Aku ada kesulitan di kelas. Kakak bisa bantu?”

“Tentu saja. Asal aku bisa, aku akan bantu.”

“Ah, aku ingin menanyakan tentang dasar-dasar kepenulisan. Tapi, tolong jangan kasih tahu orang lain. Aku malu kalau ada yang tahu bahwa aku sangat bodoh.”

“Kenapa harus malu? Semua yang di sini bodoh. Kalau pintar, untuk apa belajar?”

Aku tersenyum mengiyakan. Namun,bukan pemikiran itu yang saat ini aku perlukan. Aku butuh persiapan untuk bisa sejajar dengan mereka. Aku membutuhkan dua tutor untuk membantuku melangkah dua kali lipat daripada mereka. Dan saat ujian dilaksanakan, aku sudah bisa menyamai mereka.

Baiklah, aku tarik perkataanku. Aku bukan bodoh. Aku hanya perlu berusaha dua kali lebih keras dari mereka.

“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
Aku tersadar dari lamunan, lalu menoleh ke arahnya. “Bunga lili, mengingatkanku pada banyak kenangan.”

“Nama seseorang lagi?”

“Ya, dan juga seseorang yang menyukai bunga.”

Gadis itu tersenyum dengan tatapan yang seolah memintaku melanjutkan.

“Dulu dia suka bunga matahari yang kalau di bahasa Jepang disebut himawari. Namun, dia nggak suka dipanggil ‘ri-ri-ri’, akhirnya dia ngerubah namanya jadi ‘penyuka bunga’ saja. Tapi, selain bunga, dia sepertinya suka dengan buah berry. Buktinya, dia menulis series berrynya.

“Ah, gimana kabarnya dia sekarang, ya? Semoga dia sudah jadi penulis hebat sambil berkebun bunga dan berry-berry-an.”

“Ayok,” ajaknya sambil bangkit berdiri.

Memang, kereta sudah berhenti. Namun, kami masih harus berjalan kaki mencari stasiun bawah tanah lain, yang punya jalur ke tempat tujuan kami.

“Aku heran kenapa dia lebih memilih tinggal di Pasuruan, padahal Malang punya kota Batu yang dingin, yang cocok untuk bertanam bunga dan berry-berry-an,” cerocosku sambil menyamakan langkah dengannya. "Tunggu!”

Gadis itu berbalik. “Apa?”

“Ayo kita sarapan wurst,” kataku sambil menunjuk rumah makan yang ada gambar sosis di papan namanya.
Ia tersenyum mengiyakan, lalu berjalan masuk mendahuluiku.
“Tumben, kau mau makan ini,” ujarnya sambil mengiris roti yang terolesi moster. “Biasanya kau cuma mau pakai selai.”

“Entahlah, hari ini terasa istimewa. Aku seperti bernostalgia.”

“Kau mengingat orang bernama Wurst?”

Aku terkekeh. “Bukan. Tapi kebetulan dia itu orangnya suka banget sama sosis, dan cola,” jawabku sambil mengangkat gelas berisi air soda.

“Kami dekat karena sebuah tugas. Saat aku memilihnya, itu aku belum kenal benar bagaimana kepribadiannya. Tapi, satu-satunya alasanku menyukainya karena dia sudah dewasa. Aku yakin ia bisa bertanggung jawab, saling mendukung, dan bisa bekerja sama. Dan lagi-lagi, instingku nggak ngecewain.”

“Ayo, kita akan ketinggalan kereta nanti,” ajaknya sambil bangkit berdiri.

Aku pun bergegas menghabiskan minumku sebelum akhirnya mengekorinya sampai ke stasiun. Saat kami tiba, kereta sudah siap. Hanya butuh waktu sekitar lima menit kami duduk di kursi kereta.

Rumah Budaya Indonesia. Itulah tujuan kami. Sekarang, gedungnya sudah besar dengan gapura megah di depannya. Saat kami masuk, sudah banyak pengunjung yang datang. Saat ini, memang sedang mengadakan book fair di sana. Banyak ornamen literasi serta dekorasi yang memang disediakan untuk mengisi event tahunan ini.

Dan lagi-lagi, kami terpana dengan pertunjukan tari Bali yang sedang unjuk gigi. Namun, kami tidak bisa berlama-lama, karena tujuan kami sebenarnya bukan itu.

Kami berjalan ke ruangan lain, di mana acara bedah buku diselenggarakan. Kami memang sedikit terlambat. Tapi, masih sempat mengikuti.

Seorang wanita berjilbab hitam, tengah bercerita tentang buku yang dikarangnya. Buku klasik yang bercerita kebudayaan Indonesia dan dikemas secara modern ternyata mendunia. Bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

“Dari dulu, aku tahu dia bakal bisa sampai sejauh ini,” gumamku.

“Kenapa kau begitu yakin?”
Aku tersenyum. “Sejak aku me-review tulisannya, aku bisa menilai dia wanita tangguh, pekerja keras dan nggak gampang nyerah. Bab pertama yang aku koreksi, tulisannya sangat berantakan. Tapi makin hari, kemampuannya makin berkembang, dan itu membuatku iri.”

“Lagakmu,” remehnya. “Kayak kau bisa nulis bagus aja sampai menilai tulisannya berantakan.”

“Hei! Kamu ngeremehin aku? Aku memang nggak bisa nulis bagus, tapi sebagai pembaca, aku tahu mana tulisan menarik dan enggak.”

Ia terkekeh, dan aku pun membalasnya. Aku ingat seseorang pernah berkata, “Pelajarilah apa saja yang ada di dunia ini. Karena kau tidak akan pernah tahu di mana peruntunganmu.” Dan siapa sangka, menulis sudah menjadi rejekinya. Sementara aku, meski pernah belajar bersama mereka, tapi jalan aku lalui berbeda. Menulis memang bukan passion-ku. Aku hanyalah pembaca, dan aku menyukai setiap karya.

“OK, give an aplouse for Mrs. Hanni Maharani.”

Aku terkesiap saat wanita itu mulai menghilang dari panggung. Aku pun bergegas mengejarnya, tapi sayang, beberapa penjaga menghalangiku.

“Tulis aja pesan untuknya.”

Aku tersenyum, lalu menuliskan sebuah pesan dan menitipkannya kepada penjaga. Aku harap ketulusan akan membawa surat itu sampai kepadanya.

Kalau kau ingat aku, tolong add id line-ku, @a*******s. Aku ingin tahu kabarmu, dan teman-teman yang lainnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro