Cerpen Karya Via

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Via
Akun Wattpad: callmevia_
Gen: GEN 6

***

17 Oktober 2015

Seorang gadis berambut sebahu tengah duduk di sebuah meja nomor sembilan di sebuah kafe dengan kedua bola matanya tampak sesekali menengok ke luar kafe melalui jendela kaca besar yang terletak di sebelah kirinya. Senyum gadis itu mengembang ketika matanya melihat seorang laki-laki jangkung yang sedang berjalan ke arahnya.

Dengan satu tarikan napas, laki-laki itu mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku kayu bergaya industrial yang terletak di depan gadis berambut sebahu tadi. Kini posisi mereka berhadapan. Matanya menatap bola mata hitam milik gadis di depannya sesaat sebelum laki-laki itu menyerahkan sekotak martabak cokelat. “Buat kamu,” katanya.

Gadis itu tersenyum. Tangan kanannya terulur untuk menerima pemberian laki-laki di depannya. “Makasih, Ri.”

Laki-laki itu tersenyum. Ia kemudian mengangkat tangan kanannya untuk memanggil pelayan di kafe itu. Tidak berapa lama kemudian seorang pelayan laki-laki datang mendekat ke meja tempat mereka duduk.

“Mau pesan apa, Mas?” Tanyanya.

“Cokelat panas sama lemon tea satu," katanya.

Setelah mencatat pesanan pada secarik kertas kecil yang ia pegang, pelayan itu kemudian pergi. Suasana kembali hening. Keduanya asik dengan pikiran masing-masing. Ari yang mulai merasa tidak nyaman langsung membuka suara.

“Gimana hari ini?” Tanya Ari.

"Seperti biasa, membosankan."

Setelahnya, keduanya kembali diam karena seorang pelayan datang mendekat ke tempat mereka duduk  sambil membawa nampan yang di atasnya berisi pesanan Ari. “Ini pesanannya, Mas. Selamat menikmati.” Ucap pelayan itu ramah.

“Terima kasih,” ucap Ari

Setelah pelayan itu pergi, Ari kembali memfokuskan dirinya kepada Nuril yang sudah asik dengan cokelat panas dan martabak pemberiannya. Tanpa sadar Ari tersenyum. Matanya terus memperhatikan gerak-gerik gadis itu yang menurutnya masih sama seperti dulu. Tidak sedikitpun ada perubahan.

Gadis itu masih suka cokelat. Dan mungkin akan selalu suka cokelat. Rambut pendek sebahu, mata yang membulat sempurna dan poni rata ala Dora mendominasi wajah lugu miliknya. Di sudut bibir gadis itu ada sebuah tahi lalat kecil. Tahi lalat yang menjadi pemanis wajah Nuril. Tak lupa juga pipi tembem yang selalu ia kembung-kembungkan ketika mengambek. Pipi yang menjadi favorit Ari dan sasarannya untuk di cubit ketika sedang gemas dengan tingkah Nuril.

“Jangan terlalu lama melihatku, Ri,” celetuk Nuril sambil mengelap tangannya yang berlumuran cokelat.

“Kenapa?” tanya Ari.

“Nanti jatuh cinta.”

Ari tertawa lalu mengacak-acak poni Nuril. “Udah dari dulu.”

OooO

19 Oktober 2015

Kata orang cinta pertama tidak akan bertahan lama. Tetapi kata Nuril, cinta pertama adalah cinta yang awet. Bukan tanpa alasan dia berkata begitu. Sebab, memang sudah terbukti dengan adanya hubungan pacaran antara dirinya dengan Ari. Bagi Nuril, jika ada cinta pertama yang tidak bertahan lama, itu berarti kita menjalin hubungan dengan seseorang yang salah.

Ia percaya Ari adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhirnya. Jika tidak, mana mungkin seorang Ari yang selalu cuek akan sesuatu yang namanya cinta bisa menjalin hubungan dengannya. Bahkan hubungan itu sudah menginjak satu setengah tahun.

Nuril juga meyakini kalau Ari adalah kepingan puzzle-nya yang selama ini telah ia temukan. Memiliki hobi yang sama, menyukai genre film yang sama, tidak suka hujan, suka makan martabak cokelat, dan masih banyak kesamaan lainnya yang semakin meyakinkan Nuril bahwa ia dan Ari berjodoh. Nuril pernah membaca sebuah buku yang menceritakan kalau ada banyak persamaan antara laki-laki dan perempuan, artinya hanya satu. Mereka berjodoh.

“Aku penasaran gimana keadaan kita dua tahun nanti. Apakah masih tetap seperti ini, atau mungkin malah berubah.” Ari berucap sambil memandang langit. Rambutnya tampak sedikit bergerak-gerak karena ditiup angin.

Nuril menarik napas pelan. “Aku nggak minta banyak-banyak, sih. Aku cuma ingin kamu tetap bersamaku," ucap Nuril sambil menatap Ari sekilas sebelum akhirnya mengalihkan pandangan matanya ke arah langit yang sudah menampilkan semburat merahnya, pertanda matahari telah pergi, menjemput malam yang sebentar lagi akan tiba.

Ari menarik kepala Nuril ke pundaknya. Tangan kanannya merangkul pundak Nuril. “Semoga.”

Nuril diam. Matanya terfokus pada semburat merah yang ada di langit kota Makassar. Entahlah, apa hanya Nuril yang berpikiran begini. Intinya dia merasa kali ini ada yang berbeda dengan senja. Tidakkah semburat itu terlalu merah? Seolah matahari tidak ingin pergi dari langit. Namun malam memaksanya untu pergi.

”Ril, kamu merasa sesuatu yang aneh nggak, sih?” tanya Ari tiba-tiba.

Nuril menarik kepalanya dari pundak Ari. Kemudian mengernyit ke arah laki-laki itu. “Aneh? Apa?”

Ari melirik tangannya yang masih merangkul Nuril lalu menatap gadis itu dengan tatapan jahil. “Tanganku nggak mau lepas, lho. Udah nyaman katanya.”

“Nyaman sama aku?” tanya Nuril sambil tertawa kecil.

“Nggaklah!”

“Terus?”

“Sama pundaknya,” ucap Ari di ikuti dengan tawa renyahnya.

Nuril mencubit pinggang Ari. Gemas sekaligus kesal. Namun begitu, setidaknya ia bahagia melihat Ari tertawa seperti tadi. Dalam benaknya ada secercah harapan yang ia genggam sekuat tenaga. Harapan untuk bisa tetap seperti ini. Dengan orang yang sama, bernama Ari.

“Minggu depan anniversary satu tahun dua bulannya kita, kan, Ril?” tanya Ari.

Nuril mengangguk.

“Gimana kalau kita jalan-jalan ke ke pantai?” tawar Ari. Matanya yang penuh binar itu menatap Nuril. Berharap Nuril akan mengiyakan.

“Ngapain?” Tanya Nuril.

“Pengen aja.”

OooO

16 Januari 2018

Jika seseorang di beri pertanyaan mengenai hal apa yang paling ia benci, maka orang itu pasti akan menjawab “dikhianati”. Tetapi tidak dengan perempuan pucat yang tengah duduk di kursi roda yang terletak di atap rumah sakit saat ini. Baginya, ditinggalkan seseorang yang di cintai lebih menyakitkan daripada dikhianati. Setidaknya itu yang ia rasakan selama ini.

Mata perempuan itu menatap nanar semburat merah yang mulai terpampang nyata di langit kota Malang. Sedetik kemudian air matanya menetes membasahi pipinya. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sambil terisak perempuan itu mengelap air matanya dengan punggung tangannya.

Ia benci senja. Ia benci semburat merah itu. Ia benci perpisahan. Ia benci sesuatu yang namanya cinta. Ia benci dirinya sendiri. Dirinya yang begitu naif, yang percaya konsep puzzle yang sama sekali tidak masuk akal, yang percaya bahwa jodoh di dasarkan pada banyaknya kesamaan antar satu sama lain. Ia benci itu semua.

Kenapa semesta begitu jahat hingga membuat perpisahan ini terjadi? Lagipula kalau hal ini memang akan terjadi, kenapa harus dengan cara seperti ini? Tidakkah semesta tahu bahwa perpisahan itu menyakitkan? Kalau saja ia tahu sore itu adalah saat-saat terakhirnya bersama Ari, maka ia tidak akan menyuruh laki-laki itu untuk mengantarnya pulang. Harusnya ia pulang sendiri supaya ia saja yang kecelakaan. Ia saja yang pergi, jangan Ari.

“Berhenti menyalahkan banyak hal, Ril.” Ucap seorang laki-laki berkemeja biru yang kini telah berjongkok di samping kursi roda Nuril. “Kamu harus bangkit. Jangan menyalahkan senja atau apapun yng menurut kamu salah.”

Nuril mengelap air matanya dengan kasar sebelum akhirnya menatap laki-laki yang tengah berjongkok di sebelahnya. “Terus maksud kamu siapa yang salah? Aku? Jelas-jelas senja, Was. Gara-gara senja aku dan Ari kecelakaan. Senja jahat, Was. Semburat merah itu jahat.” Tubuh Nuril terguncang. Ia kembali terisak.

“Kamu yakin senja jahat?” tanya Wasi.

“Kalau aja senja nggak bikin aku dan Ari kecelakaan, aku nggak akan ngomong gini.”

“Kamu tau nggak seberapa sakitnya senja ketika ia harus berpisah dengan matahari? Saat senja datang untuk menghampiri matahari yang dia cintai, matahari malah pergi dan datang besok pagi saat senja udah nggak ada. Setiap hari selalu begitu. Sedangkan kamu, kamu di izinkan untuk bersama orang yang kamu cintai dalam jangka waktu satu tahun lebih, waktu yang nggak singkat. Sakitan mana sama senja yang bahkan nggak punya kesempatan untuk itu?

“Sebagai makhluk yang sempat di berikan kesempatan bersama orang yang kamu cintai, kamu patut bersyukur, Ril. Banyak orang di luar sana yang yang juga nggak punya kesempatan untuk itu. Dan kamu tahu? Perpisahan mungkin memang menyakitkan. Tapi jika kamu melihat sisi lain dari perpisahan, maka kamu akan menemukan sesuatu yang namanya keikhlasan. Kamu harus belajar ikhlas. Nggak semua yang kamu cinta akan selamanya ada sama kamu.

“Jangan terfokus sama sakitnya aja. Anggap aja ini pelajaran buat kamu kedepannya supaya lebih kuat, dan bisa lebih menghargai orang-orang tersayang yang ada di sekitar kamu sebelum mereka pergi,” ucap Wasi panjang lebar. Ia berdiri lalu memeluk Nuril yang sejak tadi tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

“Gampang banget, ya kamu ngomongnya, Was. Oh iya, kamu, kan nggak tau apa-apa apa yang aku rasain," ucap Nuril sarkatis.

Wasi melepaskan pelukannya lalu menatap Nuril tajam. “Aku memang nggak merasakan yang kamu rasakan. Tapi seenggaknya kamu mikir. Bukan cuma kamu orang yang pernah di tinggalin. Semua orang pasti pernah. Termasuk aku. Jadi jangan egois, Ril. Hargai perpisahan itu. Kalau kamu nggak ingin ada perpisahan, maka jangan pernah menjalin hubungan dengan orang lain,” kata Wasi. Laki-laki itu kemudian pergi. Meninggalkan Nuril yang terdiam dengan setetes air mata di pipinya.

Nuril menatap ke langit. Semburat itu masih ada di sana. Seolah sedang memperhatikan dirinya yang termenung memikirkan kata-kata Wasi tadi. Nuril membenarkan perkataan sepupunya itu. Namun untuk saat ini, ia belum bisa melakukan seperti yang Wasi katakan. Entahlah, hanya saja ia butuh waktu untuk semua ini.

Tetapi walaupun begitu ia sudah tahu harus melakukan apa. Ia akan merelakan kepergian Ari. Seberat apapun itu. Sesulit apapun itu. Ini takdir antara dirinya dan Ari. Sama seperti takdir antara senja dan matahari. Ari sebagai matahari, dan Nuril sebagai senja. Walaupun tidak bisa bersama, setidaknya pernah saling mencintai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro