Kos-Kosan WWG Karya Syalva

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Syalva
Akun Wattpad: Greyliana_TheBlue
Judul: Kos-Kosan WWG
Gen: GEN 7

***

"Habis ini kamu mau lanjutin ke perguruan tinggi mana?"

"Em.... Enggak tahu juga 'sih, tapi kata Mama aku harus lanjut di Universitas X."

Dua orang berbeda gender itu tengah berjalan di gang dekat perumahan warga. Dari seragam mereka, sepertinya kedua orang itu baru pulang sekolah di sekolah menengah atas. Pemuda tinggi berambut hitam pendek dan berkacamata itu terdiam sejenak sebelum akhirnya memekik kaget.

"Heee?! Univ X?! Itukan universitas yang masuknya kudu pake nilai bagus." netra hitam di balik lensa mata itu sedikit terbelalak. Sementara itu, gadis yang berjalan di sampingnya hanya menatap heran pada teman satu sekolahnya. Surai hitam sebahunya ikut bergoyang saat embusan angin menerpa.

"Lha terus kamu mikirnya nilaiku enggak cukup buat masuk kesana, 'gitu?"

Sang pemuda menggeleng keras. "Enggak, Dy. Bukan 'gitu maksudku. Cuman, gimana yah jelasinnya ...." laki-laki yang tasnya diselempangkan di bahu kirinya itu mengusap bagian belakang kepalanya canggung. "Setahu aku, ya Dy, suatu perguruan tinggi yang isinya anak-anak pinter itu 'emang paling sering diincar. Tapi .., kyeh ya ana tapine, biasanya enggak ada kos-kosan yang harganya ramah di saku MaBa," lanjut pemuda itu.

Dyah Putri namanya. Gadis setinggi 156 cm dengan rambut hitam yang sering digerai itu menatap orang yang berjalan di sampingnya dengan jengah. "Baiiimm.., kamu 'tuh ya, ada aja yang dikhawatirin buat kuliah nanti." Dyah berdecak sembari menaruh kedua tangannya di depan perut.

Ibrahim, teman sekelas sekaligus tetangga dari kecil gadis itu hanya menghela napas. "Wajar 'lah, Dy. Ini pertama kalinya kita masuk dunia perkuliahan. Apalagi masalah biaya, hal yang paling wajib ada di dompet selain kertas diskon belanja," ucapnya pelan. Kekhawatiran jelas terukir di wajahnya.

Cowok tinggi tapi buntek yang selama ini jadi teman sehidup sedompet Dyah itu mendengus saat mendengar kekehan dari gadis sekelasnya.

"Baim, baim.... Sebenarnya yang kamu khawatirin itu biaya apa nilaimu, 'sih?" ucap gadis itu tergugu. " 'Nih ya, Im, untuk masalah nilai, aku yakin kamu lulus. Mung kamu aja nilainya stagnan di peringkat dua dari dulu. Kalo buat biaya kuliah, kamu tinggal ikutan SNMPTN, atau SBMPTN aja, dengan 'gitu kamu bakal dapet potongan biaya," jelas gadis itu dengan raut jenaka. Sementara Ibrahim hanya menyimak dengan wajah datar.

"Itu 'sih aku juga tahu," sahut pemuda itu kesal. "Maksudku 'tuh--"

"Aku tahu kok. Masalah kos-kosan dan biaya hidup sehari-hari, 'kan?" tebak gadis itu memotong ucapan Ibrahim. Perempuan 17 tahun tersebut menjentikkan jarinya ke udara. "Untuk kos-kosan, kamu bisa serahin ke bibi ku aja, Im."

Langkah Ibrahim terhenti. "Eh?" pemuda itu menatap tidak paham.

"Ish, kamu 'mah!" sentak Dyah. "Nanti kalo kamu 'nyari kos-kosan yang tempatnya strategis dan murah, masuk aja di Kos-kosan WWG."

"Kos-kosan WWG?" tanya Ibrahim heran. Dia belum pernah mendengar nama kos-kosan tersebut. Maklum, anak pinggir kota, kalo ada apa-apa yang tidak mencolok akan dianggap asing oleh anak-anak seperti dirinya.

Dyah mengangguk. "Kos-kosan WWG. Kos-kosan campuran, tapi semuanya teratur. Tempat buat cowok ada sendiri, buat cewek juga begitu." perempuan itu tersenyum. "Udah 'lah, nanti aku jelasinnya. Susah kalo sambil jalan," lanjut gadis itu lalu mempercepat langkahnya.

Sementara itu Ibrahim yang sebelumnya menatap tidak paham, kini berlari mengejar Dyah. "Tungguin, Dy! Kamu mah!"

---

Beberapa bulan kemudian ....

Dua anak manusia berbeda gender yang tengah berdiri di depan gerbang besi yang tinggi nan lebar itu membawa masing-masing kopernya di tangan, ralat, menggeret.

Sembilan gedung yang masing-masing memiliki dua lantai itu dibatasi dengan dunia luar dengan sebuah tembok tinggi dan tebal yang melingkari kumpulan bangunan tersebut. Terdapat empat gerbang dan tersebar sesuai arah mata angin.

Ibrahim membuka mulutnya tidak percaya pada bangunan utama yang terletak di bagian depan gerbang Utara, tempat tinggal keluarga dari pemilik kos-kosan. "Kayak apartemen...," celetuk pemuda itu meremas tas kecilnya di bahu.

"Keren 'kan?" kini Dyah menatap bangga bangunan yang didirikan oleh bibinya, adik dari ayahnya. "Jarang-karang lho, ada kos-kosan yang mau nyiapin fasilitas segini mewahnya. Pol-polan paling kamar mandi per kamarnya."

Ditengah suasana kagum dan bangga yang menguar dari dua orang yang baru sampai itu, dari arah lain muncul seorang gadis yang kira-kira seumuran dengan keduanya tengah berjalan memasuki lingkungan kos-kosan. Di tangannya terdapat sebuah plastik besar berisi makanan ringan dan beberapa keperluan perempuan, terlihat jelas karena plastiknya berwarna putih.

"Lho, Dyah?"

Suara yang keluar dari gadis berambut sedagu dengan gaya rambut berantakan mirip laki-laki itu menginterupsi kegiatan Dyah dan Ibrahim.

Dyah yang pertama sadar. "Syalva? Kamu Syalva 'kan?" tebaknya dengan raut wajah berbinar pada gadis yang berpakaian kaus lengan pendek bergambar bugs bunny tersebut. "Kamu daftar di kos-kosan ini juga?" tanya Dyah.

Syalva, teman satu SMP Dyah, tapi saat tahun ke dua harus pindah karena pekerjaan orang tua. Gadis itu mengangguk kemudian menggeleng. Membuat kedua manusia yang menatapnya kini memiringkan kepalanya tidak paham. "Iya, aku tinggal di kos-kosan ini. Tidak, aku sudah ada di sini semenjak SMP kelas 9, aku enggak baru daftar, Dy."

Sementara itu Dyah mengangguk paham sembari bibirnya berbentuk bundar. "Bagus 'deh kalo 'gitu. Aku juga mau tinggal di sini," ucap Dyah dengan senyum terukir. "Oh iya, kenalin ini Ibrahim, tetanggaku yang dulu aku ceritain. Nah, Baim, kenalin ini Syalva."

Kedua orang yang saling dikenalkan itu hanya menganggukkan kepalanya sekali tanpa berjabat tangan.

"Ya sudah, ayo masuk. Makin lama di sini makin panas," ujar Syalva mengingatkan teman baru dan lamanya tentang sinar matahari yang menurutnya cukup menggila.

---

Singkat cerita, baik Ibrahim maupun Dyah sudah bertemu dengan pemilik kos-kosan.

Selain bangunan utama, terdapat delapan gedung yang menjadi kamar bagi anak-anak kos. Terbagi menjadi sayap kiri dan sayap kanan. Sayap kanan adalah kos-kosan untuk laki-laki, sementara sisi satunya untuk perempuan. Setelah Dyah dan Ibrahim mendapatkan kamar mereka masing-masing, Syalva ditunjuk oleh ibu kos untuk menjadi tour guide dua pendatang baru kos-kosan.

Pengenalan lingkungan kos-kosan baru akan dimulai pada jam 2 siang, mengingat pada jam tersebut matahari sudah sedikit bersahabat. Ketiganya berencana bertemu di gerbang Utara, tempat mereka bertemu sekaligus wilayah pertama yang akan dikenalkan.

"Nah, berhubung sudah kumpul semuanya, ayo kita mulai tour perdana kita," ajak Syalva pada dua orang berbeda gender yang kini menatap antusias.

Wilayah pertama sudah terlewat, selanjutnya adalah bangunan sayap kiri. Ibrahim diizinkan masuk setelah Syalva meminta kelonggaran khusus untuk hari ini kepada salah satu penjaga kos-kosan, seorang wanita berambut cokelat hitam yang sudah menjadi ikon "ibu kos kedua" di sayap kiri, Bunda Bat sebutannya.

Bukan. Bukan karena Bunda Bat itu ada hubungan dengan kelelawar, hanya saja "Bat" adalah nama akrab wanita itu. Hal yang paling membuatnya mencolok sekaligus yang membuatnya mendapat julukan "ibu kos kedua" adalah, wanita setengah baya itu rajin menagih uang bulanan kostan bahkan seminggu sebelum tanggalnya. Biar ada persiapan uang, katanya.

Dua gadis dan satu pemuda itu selanjutnya berjalan menuju kantin atau ruang makan umum yang ada di masing-masing gedung. Kantin memiliki jajanan unik, karena tempat dan cara belinya yang mirip seperti di Jepang, menggunakan vanding machine. Berbekal uang lima ribu, setiap orang bisa mendapatkan dua kotak mi instan, atau jajanan sekelas Maicih.

"Kantin memiliki jadwal masaknya sendiri. Anak-anak satu gedung akan dibagi menjadi beberapa kelompok, mereka akan bergiliran memasak untuk anggota lainnya," jelas gadis berambut hitam pendek yang kini dikuncir, walau hanya poninya saja.

Dyah dan Ibrahim hanya mengangguk-anggukan kepala mereka paham.

"Wah, lagi ada tour 'nih kayaknya," ucap seseorang menginterupsi langkah ketiganya yang akan melanjutkan ke tempat lainnya.

Syalva menoleh dan mengenali siapa perempuan yang baru datang tadi. "Kak Hanni." gadis berambut agak kemerahan sebahu itu tersenyum dengan dua jarinya membentuk huruf V.

"Anak baru, ya?" tanya Hanni pada Dyah dan Ibrahim. "Kenalin, aku Hanni, penghuni nomor 231, lantai atas," ucapnya sembari menunjuk atap. Kantin memang terletak di lantai satu.

"D-Dyah," ucap Dyah memperkenalkan dirinya. Sebelah tangan gadis itu terangkat untuk menjabat dan Hanni pun menyambutnya. "Salam kenal, Kak Hanni."

"Iya, salam kenal juga. " kini tatapan Hanni terarah pada pemuda berkacamata yang berdiri di samping Dyah. "Yo. Aku Hanni."

Ibrahim tersenyum kikuk. Seorang laki-laki terlihat di salah satu bangunan sayap kiri yang notabene adalah wilayah perempuan, membuat mental Ibrahim sedikit menurun karena malu. "Ibrahim," sahut pemuda itu menyebutkan identitasnya.

Hanni terkekeh. "Santai aja kali. Aku enggak gigit kok," ucap Hanni menenangkan.

"Iya, enggak gigit, cuman suka nyubit orang," celetuk Syalva ditengah percakapan tiga orang tersebut.

Hanni menoleh cepat, lalu mengulurkan sebelah tangannya untuk mencubit lengah Syalva. "Issh! Kamu 'tuh!"

Tidak sempat mengelak membuat Syalva merasakan himpitan menyakitkan antara ibu jari dengan lekukan jari telunjuk. "'Tuh 'kan! Baru juga dibilangin!" kesal gadis itu pada perempuan di depannya.

Bukannya meminta maaf, Hanni malah terkekeh. "Iya iya, maaf." perempuan itu lalu menoleh menatap jendela yang membiaskan sinar matahari. "Aku pergi dulu ya, ada urusan sama anak gedung sebelah," ucap Hanni meminta izin.

Ketiga remaja itu mengangguk mengizinkan.

"Sampai jumpa lagi Ibra dan Dyah, Syalva juga ya.... Jangan sungkan mampir, bawa juga jajan yang banyak, dengan senang hati aku abisin." Hanni melambaikan tangannya sebelum akhirnya keluar dari pintu ruang makan.

Perjalanan dilanjutkan. Selanjutnya mereka bertemu dengan beberapa penghuni lainnya. Begitu juga di bangunan sayap kanan.

Anak-anak kos-kosan lainnya seperti Al Wasi si mahasiswa yang ramah dan murah kalimat alias suka memberi nasihat dan saran, Ari si murid SMA yang cuek tapi perhatian, Ratna yang punya julukan Ratu Cerewet abad 21, Anna gadis paskibra yang jarang ada di kos-kosan karena lagi ikutan lomba, Eza sang kepala keluarga Malika, Nofi dan Kristi yang mendapat predikat mommy bagi anak-anak yang jauh dari orang tua, Suki yang indah perkataannya seperti Tsuki (Jepang = Bulan), sang penyanyi Via, juga yang lainnya yang tidak bisa disebutkan karena limit otak sang penulis sudah berada di titik beku.

---

The End

---

Trivia :

- Buntek (Jawa = Bulat )
- kyeh ana tapine (Jawa = Ada tapinya nih)
- kudu (Jawa = Harus)
- Maicih : Jajan yang pedesnya kebangetan
- Pol-polan paling (Jawa = Ujung-ujungnya paling)

"""""

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro