Keluarga MisQueen karya Nova Beladona

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nova Beladona.
Akun Wp & Ig; Belattedonat
Judul; KELUARGA MISQUEEN.
Gen; GEN 5. Barisan navy-navy ngeri.

***

Berulangkali jemari tangannya meremas ujung baju tak bersalah yang tengah ia gunakan. Hatinya mencelos. Jantungnya nyaris lepas.

"Ini nggak mungkin terjadi lagi!" isaknya kembali pada diri sendiri. "Ini ... nggak ... mungkin!!!"

Tapi tetap saja, hanya embusan udara yang menyambut. Hanya dentingan jarum jam yang terdengar. Tidak ada seorang pun yang bernapas di sekitarnya.

Mengambil stok oksigen sebanyak mungkin untuk di transfer ke paru-parunya, ia pun mencoba untuk tenang.

"Dia harus tau. Ini nggak boleh," gumamnya lagi meraih benda pipih di atas nakas kayu jati.

Dengan lincah jemarinya menekan spead dial 1 yang berisi nomor sang pujaan hati.  Menunggu beberapa menit, akhirnya nada terhubung berakhir. Menandakan jika panggilannya diangkat oleh seseorang dari seberang sana.

"Ya, Sayang?" Nada penuh cinta kasih dan kelembutan ini selalu berhasil membuat hatinya tenang. Sial, tidak kali ini. Hatinya justru terasa makin disayat. "Ada apa, hm?"

Lidahnya kelu. Rasanya tidak tega mengeluarkan kalimat yang sedari tadi menganggu.

"Kamu masih di sana, kan, Sayang?" tanya Aiman sabar masih dengan nada penuh cinta.

"I...iya, Mas." Bela terbata. Mencoba menyusun kembali kata demi kata yang tercecer karena gugup.

Aiman, pria berusia 32 tahun itu menghela napas. Ia hafal benar kebiasaan Bela jika sudah merasa ternganggu oleh sesuatu. "Kamu kenapa, Sayang? Nggak mungkin kamu nelefon di jam kerjaku begini kalau cuma mau ngomong kangen sama aku," tebak Aiman jenaka. Ia berusaha menghibur sang pujaan hati yang dirundung sendu.

Bela sontak menggeleng. Namun sadar, pria itu tidak bisa melihat gelengan kepalanya. Aiman jauh di seberang pulau sana.

"Aku hamil, Mas," cicitnya seperti decitan tikus. Nyaris tak terdengar.

"Kamu apa?!" Bela yakin, Aiman sekarang pasti tengah menahan napas. "Kamu apa, Bela?!" ulangnya dengan intonasi suara yang naik beberapa oktaf.

"Hamil, Mas. Aku hamil...."

"What the— nggak mungkin, Sayang. Nggak mungkin!"

Isak tangis Bela kembali pecah. Air mata lagi-lagi mengalir dari pelupuk matanya. Persis seperti tiga jam yang lalu saat tau dirinya divonis sudah mengandung delapan belas minggu.

"Tapi aku hamil, Mas. Dokter bilang isinya udah delapan belas minggu," aku Bela ragu.

"Dan aku di sini sudah setahun, Bela." Aiman mengingatkan istrinya tentang rentang waktu yang mereka lalui dengan jarak. Pria itu sedang ditugaskan ke cabang luar kota sejak setahun lalu. "Kita bahkan tidak bertemu setahun belakangan ini. Anak siapa lagi itu, huh?!"

Pertanyaan Aiman bagaikan belati yang telak mengenai ulu hati Bela.

"Anak siapa itu, Bela?!" ulangnya membuat tangis Bela makin senggugukan.

Sementara di depan pintu kamar berwarna putih, ada seorang gadis belia yang mendesah pasrah. Ia tidak tau harus bahagia atau bersedih mendengar curi berita sang ibu yang kembali hamil. Pasalnya, mereka sudah ramai. Ditambah sang ayah yang tidak lagi di rumah. Entahlah, entah apa yang akan terjadi pada rumah mereka. Pada kelangsungan keluarga mereka.

Sebagai anak pertama, Ares tentu harus sering-sering mengalah. Tapi mau sampai kapan?! Ibunya sekarang seenaknya mengatakan pada sang ayah jika sedang mengandung lagi. Adiknya bahkan sudah ada 5 dengan jarak rata-rata 2 tahun saja. Anun dan Atun, si kembar identik yang baru naik kelas 2 sekolah dasar. Fuby dan Fela, si kembar nonidentik yang baru masuk sekolah dasar dua bulan lagi. Belum lagi dengan Syafa, si bungsu yang masih suka menangis kala mainan plastiknya dirampas.

Ares sendiri baru masuk SMP. Bisa dibayangkan akan jadi seperti apa hari-harinya setelah sang ibu kembali melahirkan adik yang sekarang tengah dikandung, kan? Lagi pula, bagaimana cara sang ibu hamil jika ayahnya saja sudah tidak pulang ke rumah satu tahun ini dikarenakan tugas mulia kantor. Apa jangan-jangan—

"Sedang apa kamu, Res?" Suara serak khas ibunya terdengar menghancurkan lamunan Ares. Di sana. Beberapa langkah dari tempatnya mematung, orang yang ia sebut ibu tengah berdiri dengan tatapan penuh curiga dilengkapi bola mata memerah yang kentara sekali habis menangis.

"Bunda hamil lagi?" Tanpa tedeng aling-aling, Ares bertanya dengan ekspresi datar. Jika boleh mengeluarkan ekspresi yang sebenarnya, ia ingin sekali mengeluarkan mimik muka muak. Dirinya memang muak dengan berita kehamilan sang ibu yang terlalu sering.

Seperti disiram air dingin di musim salju, Bela tertegun. Lalu perlahan-lahan kepalanya mengangguk mengiyakan.

"Mau berapa banyak lagi adik Ares, Nda?" Wajah gadis belia yang baru masuk sekolah menengah pertama itu frustrasi. "Sekolah sudah Ares korbankan agar bisa membantu mencari uang untuk keluarga ini. Dan Bunda tidak pernah jera dengan pergaulan tidak senonoh yang lagi-lagi kembali terulang?!"

Mata bulat Bela rasanya nyaris loncat ke luar. Wibawanya sebagai seorang ibu menguap entah pergi ke mana. Ia tau, ini memang salahnya. Dan anak dalam perutnya juga kesalahannya dari rasa nikmat. Tapi janin itu tidak bersalah, bukan?

"Bunda juga tidak tau—"

"Bagaimana caranya bunda tidak tau kalau bunda lagi-lagi melakukan sesuatu yang menyebabkan kehamilan?" tandas Ares. Persetan tentang sopan santun. Toh, dirinya sudah remaja ini. Perkara asal mula kehamilan bukan sesuatu yang tabu bagi dirinya di tengah modernisasi zaman ini.

Bela tertohok. Napasnya berhenti mendadak ketika kedua alat pendengarannya menangkap kalimat sang sulung. "Bunda tidak akan melakukan semua ini jika saja ayahmu tidak mandul, Ares," bisik Bela lemah.

"Jadi kami semua adalah anak dari satu ibu dengan ayah yang berbeda-beda, Nda?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro