Damn Liar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tadi malam kamu menghabiskan waktu di mana?"

Mulutku tidak lagi bisa menahan pertanyaan itu. Tadinya ingin kukatakan ketika kami berbalas pesan semalam. Sayangnya, Gavin terlalu lama menjawab pesan terakhirku, hingga aku ketiduran. Maunya juga kusampaikan langsung sewaktu kami bertemu pagi tadi. Sayangnya lagi, ada setumpuk pekerjaan yang membuat kami tidak punya waktu untuk membahas hal pribadi. Kulihat Gavin juga dalam mode yang sangat serius, mungkin karena banyak yang harus dia tangani. Jadinya kami baru sempat bicara ketika hendak makan siang.

Resahku belum berakhir. Ya, memang siapa yang bisa tidur nyenyak setelah mendengar kekasihnya punya istri? Sialnya, aku benar-benar belum menemukan cara untuk menyelesaikan kepelikan hati ini.

"Aku di apartemen, Sugar. Kenapa?"

Kebiasaan Gavin setiap kali bertemu tidak pernah hilang. Tangan besarnya dengan lembut mengusap-usap kepalaku. Ditambah senyuman manis yang rasanya mampu melelehkan hati, siapa yang tidak terpesona padanya? Bahkan ketika Gavin berjalan di area perusahaan, tatapan mata para gadis yang tertarik padanya tidak dapat disembunyikan. Itu membuatku senang sekaligus khawatir.

"Semalam aku kayak lihat kamu di jalan. Tapi mungkin salah orang aja sih, ya."

Aku tersenyum, mencoba menyamarkan hal yang sebenarnya sangat mengganggu pikiran. Kalau saja punya bukti valid bahwa yang kulihat di taman kota semalam adalah Gavin, pastinya dia sudah kucecar untuk memberi penjelasan. Aku hanya tidak mau menuduh sembarangan, sedangkan aku sendiri masih ragu.

"Apa kamu segitu kangennya sama aku, sampai lihat laki-laki lain kamu kira itu aku?"

Wajahku seketika menghangat. Gemas, kucubit pinggang Gavin. Dia mengaduh dengan ekspresi seperti kesakitan. Aku tidak menyangka reaksinya akan seperti itu. Kugigit bibir bawah, merasa bersalah.

"Aduh, maaf. Terlalu keras ya aku cubitnya? Sakit banget?"

Kusentuh pinggangnya, berniat mengusap untuk mengurangi sakit yang dia rasa. Tapi, Gavin malah meraih tanganku dan mengerling genit. Tahu baru saja ditipu, aku melotot kesal. Gavin malah tersenyum lebar dan mengambil satu langkah maju. Jarak kami sangat dekat, hingga aku bisa menghirup dengan bebas parfum yang menguar darinya.

"Ada yang kesal nih habis dikerjain."

Satu kalimat saja, tapi mampu membuatku menahan senyum. Dia pandai sekali mendapatkan kemurahan hatiku. Harusnya aku beneran kesal karena sikapnya barusan. Tapi yang ada malah jadi senyum-senyum diberi tatapan nyaman seperti ini.

"Bisa nggak sih jangan godain aku kayak gini?"

"Nggak bisa, Sugar. Aku suka godain kamu."

Aduh! Mau melesat ke langit rasanya!

Punggung tanganku dia kecup, membuat mataku melebar tidak percaya. Efek sentuhannya terasa sampai ke seluruh tubuhku. Meremang, tapi mulutku juga nyaris berteriak girang. Ketika ingin kutarik, Gavin mencegah dengan lebih mengetatkan genggaman.

Berada dalam posisi seintim ini sebenarnya membuatku berdebar gila. Rasanya ingin melarikan diri, karena tidak tahan berlama-lama berada dalam tatapan yang seolah-olah ingin menguasaiku. Namun, di saat bersamaan, aku juga mulai merasa nyaman. Terlebih karena yakin, kalau Gavin tidak akan berbuat aneh.

"Kita masih di kantor, Gavin," kataku pelan.

Suaraku pelan, karena sebenarnya sedang berusaha menguasai diri. Tidak lucu, bukan, kalau aku terdengar gugup? Atau mungkin sebenarnya aku memang ketahuan sedang gugup, terlihat dari senyum Gavin yang tampak geli.

"Apa harus kuundang ke apartemenku kalau kamu nggak mau di sini?"

"Eh? Nggak-nggak, nggak perlu!"

Aku menjawab cepat. Tawa Gavin pecah. Baginya ini lucu?

"Ish! Nyebelin!"

Tangan kutarik paksa, membuat Gavin menghentikan tawa dan sedikit terlihat lebih serius.

"Kenapa kamu selalu tegang kalau bayangin kita berduaan di apartemen?"

"Perasaan kamu aja, deh. Ah, udah lama ngobrolnya. Yuk ke kantin, aku lapar."

Sengaja kualihkan pembicaraan, meski sebenarnya aku juga lapar sungguhan. Kupikir Gavin tidak punya hal yang perlu dibahas lagi, tapi ketika aku membalik tubuh dan hendak berjalan, Gavin mencegah. Otomatis aku kembali menghadapnya.

"Ya?"

"Kenapa kita terlambat ketemu, ya, Ivy? Kalau kita ketemu dua atau tiga tahun sebelumnya, mungkin sekarang kita udah married?"

Ini terlalu cepat, 'kan, untuk menyinggung perihal pernikahan? Iya, ini terlalu cepat. Tapi kenapa aku masih saja merasa dihujani ribuan kelopak mawar?

"Belum terlambat, kok, kalau mau serius. Kita punya banyak waktu, 'kan?"

Gavin menggumam, entah apa. Bibirnya sedikit tertarik dan sedikit terlihat ... terpaksa?

Interkom yang berdering memutus tatapan kami. Aku segera menjawab panggilan, menyapa ramah pada seseorang di seberang sana yang langsung menanyakan keberadaan Gavin.

"Pak Direktur ingin Pak Gavin datang ke ruangan Anda sekarang?"

Aku menatap Gavin. Dia menepuk jidat, lalu menggeleng kencang. Ah, apa aku harus berbohong?

"Mohon maaf, Pak. Pak Gavin sedang makan siang di luar."

Gavin tersenyum lebar seraya mengelus dada. Hahaha. Lucu sekali ekspresinya.

"Saya? Oh, baik, Pak. Saya segera ke sana."

Percakapan kami terputus. Aku mengatur napas panjang, sedikit berdebar tentang sesuatu yang tiba-tiba berkeliaran di kepalaku.

"Bilang apa? Kenapa suka banget, sih, suruh aku ke ruangannya?"

"Kayaknya kamu harus makan siang di luar beneran dan sendiri. Sebagai asisten yang baik, aku harus menggantikan Bapak Gavin menghadap Direktur Utama."

"Apa Amy juga ada di sana?"

"Ya."

Kalau segalanya normal, Gavin tidak akan memasang raut terkejut seperti barusan. Aku sudah bertemu ratusan orang. Ekspresi mereka nyaris dapat aku pahami semuanya. Dan Gavin, jelas-jelas sedang memikirkan sesuatu setelah mendengar berita yang kusampaikan.

"Sebaiknya, aku aja yang menemui Pak Direktur. Aku enggak mau kamu merasa enggak enak hati harus ketemu Amy yang terang-terangan suka sama aku."

Gavin, apa yang kamu sembunyikan? Apa yang tidak boleh aku ketahui?

"No! No!"

Aku mengulas senyum, lalu meraih tas yang berada di meja.

"Aku akan terlihat nggak profesional kalau ketahuan udah berbohong. Aku cuma gantiin kamu makan siang. Apa, sih, yang bisa terjadi sama aku?
Everything will be okay, right? Udah, ya. Aku ke sana, nanti lama ditungguin Pak Joseph."

"Ivy," tanganku dicekal Gavin, "Pak Joseph dan Amy mau ketemu aku. Aku yang akan ke sana, oke?"

Kamu tidak pandai beralibi, Gavin.

Siapa yang tadi memberi kode agar aku berbohong atas keberadaannya? Lalu setelah tahu Pak Joseph yang menyuruhku mewakilinya, dia ketakutan kalau aku akan mendengar hal-hal yang mungkin seharusnya memang tidak aku ketahui.

"Gavin, aku jadi mau tanya sesuatu." Aku melepas cekalannya. "Apa ada rahasia di antara kamu, Pak Joseph, dan Amy?"

"Seperti?"

Ada jeda beberapa detik. Aku terdiam, mengamati perubahan drastis pada wajah Gavin. Dia sedang berusaha menampilkan kalau segalanya memang baik-baik saja.

"Enggak ada hal semacam itu, Sugar. Enggak ada rahasia. Jangan mikir yang aneh-aneh."

Kali ini pun Gavin tersenyum dengan berat hati. Kepalaku dia usap, lalu menyuruhku segera ke ruangan Pak Joseph. Sebelum aku sepenuhnya menghilang dari pandangan Gavin, aku dengan pasti mendengarnya mengumpat pelan.

Oke, tenang, Ivy. Lakukan dengan alami, gali sedalam yang kamu bisa mumpung ada kesempatan.

Tiba di depan ruangan Pak Joseph, Riri mempersilakanku masuk. Katanya, sudah ditunggu. Aku mengucap terima kasih, ditambah mengeluarkan sebungkus cokelat dari tas untuk menyemangatinya. Yah, aku suka membawa beberapa bungkus setiap hari, akan kuberikan pada karyawan yang terlihat lelah dan butuh sedikit penambah mood.

"Makasih, Bu Ivy. By the way, good luck, ya. Ada Nona Amy."

"Udah biasa. Semoga enggak ada permintaan yang aneh-aneh, ya."

Kami tertawa kecil. Setengah isi dari perusahaan ini kurasa tahu seperti apa sosok Amy. Kesayangan ayahnya, manja, minta apa harus segera diberi, dan suka meledak-ledak kalau kesal. Jujur saja, aku belum ada bayangan tentang topik percakapan kami sebentar lagi. Tapi yang pasti, kalau ada Amy artinya ada hal yang penting, 'kan?

Aku mengetuk pintu setelah mengatur ekspresi wajah. Pak Joseph mempersilakan masuk, wajahnya dan Amy seketika jadi pusat perhatianku. Bibirku tertarik dengan lebar, menerima tawaran Pak Joseph untuk duduk di dekat Amy.

"Maaf, Pak. Jadi, apa yang bisa saya bantu?"

"Amy membuat dessert sebagai tanda minta maaf atas kejadian kemarin di ruangan Gavin. Kamu bawakan untuk Gavin. Pastikan dia memakannya."

"Ah, baik."

Amy menyerahkan paper bag yang cukup berat. Gadis ini benar-benar tidak menyerah dalam mendekati Gavin.

"Bilang sama Gavin, aku enggak bermaksud bentak-bentak. Aku kesel dia sebegitunya nolak aku. Aku marah. Aku bukannya mau jadi selingkuhan dia, aku paham dia udah beristri. Tapi sikap dia ...."

Kalimat Amy tidak lagi bisa kudengar. Telingaku berdengung dibarengi dengan isi kepala yang berbaur hingga aku sendiri tidak yakin sedang memikirkan apa. Tempo detak jantungku meningkat, mulai membuatku sesak. Ruangan ini seperti sempit, hingga harus berebut oksigen demi melegakan dada.

Gavin sudah beristri? Ya Tuhan ....

"Kamu paham, 'kan, Ivy? Bisa kamu sampaikan ke dia? Aku mau nemui dia langsung, tapi nanti kalau dia sudah ada waktu senggang. Untuk sekarang, aku titip pesan sama dessert ini ke kamu dulu, ya. Rasanya enak, aku sudah suruh semua orang rumah nyobain biar Gavin enggak kecewa pas makan."

Kesadaranku perlahan-lahan kembali. Denyut di hati dan dada kuabaikan sementara. Panas pada mata kutahan agar tidak sampai luruh. Fakta ini sungguh mencengangkan. Informasi yang kudengar seperti kemustahilan yang ingin kuelak. Gavin, dia membohongiku. Ya Tuhan.

"Ah, iya, baik Nona Amy. Akan saya sampaikan. Ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Kamu sekalian saja makan di sini, Ivy. Amy memasak, maunya untuk Gavin. Sayang kalau harus terbuang."

"Wah, dengan senang hati. Apa Nona Amy tidak keberatan?"

"Aku senang kalau kamu mau makan masakanku. Ayo, kita makan bersama."

Dengan semangat Amy membuka kotak-kotak yang tersedia di meja makan. Aku urung membantu, tidak ingin merusak antusiasmenya yang menyuruhku untuk diam saja dan dia yang akan menyajikan. Tapi dibandingkan terpesona pada kecantikan Amy serta gigihnya dalam memberikan sesuatu yang spesial untuk Gavin, aku jauh lebih memikirkan bagaimana Gavin bisa menipuku serapi itu. Sialan dia. Bisa-bisanya aku terjebak dengan laki-laki yang telah punya status legal.

"Maaf, Pak Joseph, Bapak sudah pernah bertemu istri Pak Gavin? Ah, maksud saya, selama Pak Gavin berada di sini, istrinya belum pernah terlihat."

Dada, berhentilah tersayat. Dia itu cuma Gavin, laki-laki yang baru kenal. Dia itu cuma ... ha! Sialan. Dia memang orang baru dalam hidupku, tapi hatiku telah tercuri. Hatiku pedih. Kenapa sakit sekali? Kenapa aku tidak bisa menyuruh hati agar jangan terluka?

"Sudah. Sehari sebelum  Gavin masuk perusahaan kita mengadakan makan malam. Kamu hari itu tidak hadir, 'kan?"

Ah, iya. Karena kupikir acara itu akan membosankan, jadi aku tidak hadir. Tapi ... ini artinya tidak ada lagi keraguan tentang istri Gavin, ya? Hahaha. Jadi aku benar-benar tertipu. Kenapa aku masih sempat berpikir bahwa Pak Joseph dan Amy hanya bergurau tadi? Sadarlah, Ivy. Sadarlah. Kamu benar-benar dibohongi.

Sepanjang menghabiskan makan siang, aku terus memuji diri sendiri. Kamu hebat, Ivy. Kamu kuat. Kamu enggak nangis. Kamu enggak lemah. Ayo, bertahan, karena kamu bukan orang yang mudah hancur.

Keluar dari ruangan Pak Joseph, lalu bertemu Gavin, rasanya semua pertahananku nyaris runtuh. Terlebih saat Gavin bertanya apa saja yang kami bicarakan. Aku mengalihkan topik, menyuruhnya mencicipi hasil tangan Amy hari ini. Gavih ogah-ogahan, tapi mau memakan saat kubilang ingin memakannya juga.

Masih tidak habis pikir bagaimana laki-laki ini tega menyembunyikan hal sebesar itu. Apakah baginya cinta adalah permainan semata? Bagaimana dia bisa berpura-pura sealami itu denganku? Apa yang mendasarinya tega mengkhianati ikatan suci itu? Banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Ingin kutumpahkan semua risau ini, tapi teringat kalau kami masih berada di kantor.

"Gavin, nanti kamu ada acara?"

"Kamu mau pergi ke suatu tempat?"

"Mau ke apartemen kamu, main. Boleh?"

Gavin terdiam sejenak. Dugaanku adalah dia sudah punya janji dengan orang lain, tapi kembali mempertimbangkan karena aku bilang ingin berkunjung ke apartemennya. Rasanya tidak perlu lagi kureka-reka siapa yang sudah memiliki janji dengannya. Istrinya, tentu saja.

"Oke. Nanti kita ke apartemenku. Sekalian dinner, gimana? Aku pesan makanan dari restoran dekat sana, dijamin enak."

Aku mengangguk, melebarkan senyum demi menutupi keterkejutan. Dia lebih memilihku dibanding langsung menemui istrinya. Ini patut kubangggakan atau malah sebuah ejekan besar?

To be continued

Next verlitaisme

Halllooo! Apa kabar? Maafkan kalau cerita ini nggak update selama seabad. Heheheee

Pada deg-degan nggak sih Gavin ketahuan gini? Wkwkwk

Mulai sekarang aku dan Mbak Ver akan mengusahakan rutin update. Minta doanya ya biar kami sehat.

Btw, cast Ivy kami ganti. Dan inilah dia ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro