Damn It!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gavin's PoV

Baru juga aku duduk di belakang kemudi dengan gelas kopi di tangan, ketika tiba-tiba ponsel berdering. Seketika kumendengkus ketika nama Zara tertera pada layar. Ada apa dia menelepon? Apa untuk menanyakan apakah aku akan pulang atau tidak? Kurang kerjaan.

Dengan berat hati kujawab juga panggilan. "Ya, Pumpkin?"

"Kamu di mana? Maria baru saja menelepon kalau dia ada di Jakarta."

"Maria? Dia enggak ngasih kabar." Keningku berkerut.

"Dia di apartemen. Katanya supaya bisa langsung kamu culik buat jalan-jalan sepulang kantor."

Aku menghela napas, adik semata wayangku itu selalu saja berbuat sesuka hati. Entah kapan dia datang dari Bandung ke Jakarta. Bulan apa ini? Apakah sudah libur semester?

"Suka asal tuh anak. Oke, makasih infonya. Aku kayaknya bakal di apartemen malam ini." Tidak ada basa-basi, kami hanya saling memutus panggilan tanpa saling bertanya lagi.

Ada untungnya juga Maria datang, artinya aku tidak perlu bersama Zara malam ini. Baguslah. Segera kuinjak pedal gas dan mengarahkan mobil ke apartemen.

***

Suara klakson terdengar nyaring saat aku baru saja turun dari mobil. Karena ini basemen, suaranya jadi bergema memekakkan telinga.

Aku menoleh ke arah suara hendak memaki. Namun, lampu dim dari mobil yang terparkir di seberang mobilku berkedip-kedip. Mobil berwarna putih dengan plat berawalan D terlihat ada di sana. Sekali lagi, suara klakson yang memekakkan telinga terdengar.

Ya ampun, ini anak mau bikin rusuh kayaknya. Cepat kakiku melangkah lebar mendekati. Jendela bagian penumpang perlahan turun, senyum manis yang terbit di bibir Maria malah membuatku jengkel.

"Pake mobilku aja, Kak ...," katanya seraya beranjak ke kursi penumpang bagian depan, sebelum tanganku yang mengulur sempat menjitak kepalanya. "Mau jalan-jalan ke taman kota. Makan jagung bakar."

Aku menghela napas dalam-dalam, tapi akhirnya masuk juga ke kursi kemudi. Maria terdengar terkekeh saat mobil mulai bergerak keluar area parkir. Dia cerewet sekali sepanjang perjalanan. Bercerita tentang kuliahnya, tentang kekasihnya yang baru saja putus. Ck!

"Harus banget jagung bakar? Emang di Bandung enggak ada?" tanyaku saat memarkirkan mobil.

"Banyaklah, Kak. Tapi kan pas belinya enggak dibayarin." Dia tertawa.

Mau tidak mau aku tertawa tertahan, membuka pintu mobil berwarna putih itu dan turun. Maria juga segera turun, langsung bergelayut manja di lenganku. Dia sangat bersemangat memesan jagung bakar dari seorang penjaja kaki lima, sementara mulutnya penuh dengan gulali yang sempat kami beli sebelumnya. Meski usianya sudah menyentuh angka dua puluh, karena usia kami yang terpaut jauh, dia masih kelewat manja seperti bocah ingusan di mataku.

"Ayo pulang!" ajaknya ketika tangannya sudah memegang jagung yang dipesan.

"Nginap?" tanyaku sambil merangkulnya.

"Emang Kakak tega nyuruh aku balik ke Bandung semalam ini?" Dia balik bertanya.

"Bobo di apartemen aja ya. Besok aja baru ke rumah," ajakku.

"Kak Zara enggak apa-apa?" Maria bertanya dengan mulut yang penuh dengan jagung.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum seraya menggiringnya ke dalam mobil. Maria masih terlalu muda untuk mengetahui apa yang terjadi tentang hubungan dinginku dengan Zara. Kisah cintanya masih sebatas patah hati yang akan sembuh keesokan harinya. Berbeda dengan ceritaku dan Zara, yang rumit dan menyesakkan hati.

***

Aku sudah berbaring di ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Lampu utama di ruangan ini sudah kumatikan, tinggal lampu tidur yang cahayanya redup.

Sebenarnya aku ingin sekali menghubungi Ivy hanya untuk sekadar mendengar suaranya. Namun, menyadari kalau malam ini aku tidak sendirian di apartemen, aku tidak mau mengambil resiko.

Untungnya notifikasi ponsel berbunyi terlebih dahulu. Cepat kuambil ponsel yang teronggok di ranjang, dan tersenyum ketika mengetahui kalau pesan yang masuk dari Ivy.

'Apa kamu sudah tidur, Gav?'

Itu isi pesan yang masuk. Yang segera kubalas.

'Belum. Aku masih asyik mikirin kamu.'

Rasanya menyenangkan berbalas sapa dengan Ivy. Aku rasa benih-benih rasa ini semakin menguat. Aku rasa hatiku sudah benar-benar jatuh padanya.

'Kamu udah makan? Masak atau tadi sempat keluar beli makan?'

Lihat. Selain baik hati, dia juga sangat perhatian.

'Tadi beli makan, dan sudah kenyang. Kamu sendiri udah makan? Aku enggak mau kamu sakit.'

'Aku udah makan, Gav. Kalau begitu selamat tidur.'

Cuma segini? Aku masih merindukannya, dan dia sudah mau mengakhiri percakapan kami? Rasanya tidak rela. Aku sedang mengetik pesan balasan ketika tiba-tiba lampu utama kamarku menyala. Menoleh, kulihat Maria sudah berdiri di ambang pintu sambil tersenyum lebar. Lalu, tanpa permisi dia masuk ke kamar dan berdiri di ujung ranjang, di ujung kakiku.

Segera kuletakkan ponsel di ranjang, kemudian menatapnya meski masih berbaring. Maria terlihat sedang mengamati dinding di atas ranjang dengan kening berkerut, sementara kedua tangannya disimpan di belakang tubuh.

"Kakak tau apa yang pertama kali Maria lakukan begitu putus dengan Andre?" tanyanya tanpa melepas pandangan dari dinding. "Menghapus semua fotonya dari ponsel, sosial media, dan bingkai foto di kamar kos." Absurd. Dia bahkan menjawab pertanyaannya sendiri. Apa dia sedang mencoba untuk curhat?

"Good!" sahutku sambil beranjak duduk. "Apa kamu lagi butuh teman curhat?" tanyaku sambil menepuk bagian kasur sebelahku yang kosong, agar dia duduk di sana.

Namun, Maria menggeleng. "Aku sangat yakin kalau terakhir kali aku datang, foto pernikahan Kakak dan Kak Zara ada di dinding." Dia menunjuk dinding di atas ranjang dengan telunjuk tangan kanannya.

Sontak aku menelan liur sendiri, terkejut dengan pernyataan yang keluar dari bibir Maria barusan. Dia memperhatikan ternyata. Sial.

Kemudian, Maria kembali menyembunyikan tangannya ke belakang tubuh. Lalu, berjalan mendekatiku dengan lagak seperti ibu yang akan menginterogasi anaknya yang ketahuan berbuat salah.

"Apa Kakak mau curhat?" tanyanya, lalu tersenyum miring.

Aku mengangkat kepala hingga mata kami bersirobok. Mencoba mereka-reka wajah yang sedang menatapku dengan banyak pertanyaan. Aku yakin, kalau Maria akan berada di pihakku jika dia tahu apa yang terjadi sebenarnya. Atau ....

Tidak, aku tidak akan mengambil resiko. Jadi, dengan sok acuh aku kembali berbaring dan menarik selimut. Memunggunginya dan berkata, "Ngantuk, mau tidur. Sana keluar!" Kupejamkan mata dengan segera.

"Dih! Ngusir ...." Maria mendengkus, tapi kemudian langkah-langkah itu terdengar menjauh diiringi senandung menyebalkan yang keluar dari bibirnya. "O-ow! Kamu ketauan, kamu ketauan ... ketauannnn!"

Aku mengintip, melihatnya berjalan menuju pintu.

"Matiin lampunya!" seruku sebelum Maria menutup pintu. Kemudian terlihat tangannya meraih saklar, dan seketika lampu utama mati. Detik berikutnya, pintu kamar berdebum menutup, membuat nyanyian asal Maria hilang di luar sana.

Mataku kembali membuka sempurna, tubuhku kembali terlentang, dan mataku kembali menyapa langit-langit. Bagaimana bisa aku seceroboh ini? Sepertinya aku harus merangkai kata-kata untuk menjelaskan pada si cerewet itu besok, atau dia akan menjadi berisik.

Menyebalkan!

Mendadak teringat kalau belum membalas pesan terakhir dari Ivy, aku kembali meraih ponsel dan mengirim balasan.

'Selamat tidur, Sugar. Have a nice dream.'

***

"Kakak harus buru-buru ke kantor, ada meeting pagi ini. Kamu bisa. 'kan, ke rumah sendiri?" tanyaku begitu menemukan Maria yang sedang menyantap roti selai cokelat di meja makan. Aku sendiri sudah berpakaian rapi, kemeja putih dengan celana abu-abu, juga jas yang masih kugenggam di salah satu tangan.

Maria menatap dengan binar jahil, seakan mencoba mengingatkanku dengan kejadian semalam. Sepertinya gadis yang tidak pernah beranjak dewasa di mataku ini, berharap agar kakaknya ini terpancing, tapi aku tidak akan terpancing.

"Bisa, 'kan? Ntar malam kita ketemu di rumah." Aku berkata seraya memperbaiki lekuk kerah kemeja.

"Baik, Kakakku sayang ...." Maria mengangguk pelan, masih dengan senyum penuh arti.

"Dan tutup mulut kamu!" Aku membelalakkan mata ke arahnya sekarang, membuat gadis itu meringis menghina.

"Tergantung sogokannya kalau itu, Kakak tercinta." Lalu matanya berkedip dengan menyebalkan.

Aku berdecak, menatapnya penuh peringatan. Namun kalah dengan senyumnya yang semakin menjadi.

"Ntar aku transfer! Ngeselin!" Aku berbalik menuju pintu depan, diiringi tawa puas Maria.

Dasar bocah!

Aku berjalan ke arah lift seraya mengenakan jas. Tidak lama, pintu lift terbuka. Aku masuk, disambut senyum dari seorang petugas apartemen yang berseragam rapi.

"Pak Gavin." Tiba-tiba petugas itu menyapa.

"Ya?" Aku tersenyum, mencoba menyahut dengan ramah.

"Ah, ternyata benar kalau Anda adalah Pak Gavin."

"Ada apa?"

"Ada beberapa surat dan paket untuk Bapak. Kami pikir Bapak tidak ada di unit, jadi surat-surat itu dikumpulkan di mailing room," jelasnya.

Aku mengangguk. "Terima kasih. Saya akan mampir ke mailing room."

Si petugas balas mengangguk, kemudian turun di lantai--entah keberapa--saat pintu lift membuka. Tidak lama, lift tiba di lobi. Bergegas aku keluar dan menuju mailing room.

Petugas di mailing room membantu mengumpulkan beberapa surat yang ditujukan untukku. Setelah menandatangani tanda terima, segera aku menuju ke mobil di parkiran basemen.

Begitu masuk ke mobil, kuletakkan tumpukan surat dan sebuah amplop cokelat besar di kursi penumpang. Kemudian, kulepas cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan, jangan sampai terlupa dan jadi masalah lagi nanti. Kalau biasanya cincin itu aku masukkan ke dalam kantong jas, kali ini kuletakkan pada kotak kartu nama kosong yang ada di laci dashboard. Aku akan memastikan tidak akan ada kesalahan lagi kali ini.

Merasa kalau semua sudah oke, aku pun menyalakan mesin mobil. Sambil menunggu mesin panas, aku bersandar. Menarik napas panjang, dan meraih salah satu amplop yang baru kuambil dari mailing room.

Tangan ini bergerak hendak membuka amplop, ketika mataku menangkap amplop cokelat yang ukurannya lebih besar dari yang lainnya. Jadi, kuletakkan amplop di tangan kembali ke kursi penumpang dan meraih si amplop cokelat.

Aku menimang-nimang sebentar amplop yang terasa agak berat kalau ternyata isinya hanya sebuah kertas dokumen. Penasaran kusobek bagian atas amplop, mencoba merogoh dan menyadari kalau itu bukan lembaran kertas. Dengan sengaja kubalik amplop, membuat lembaran-lembaran foto berjatuhan di pangkuan.

Kutahan napas ketika meraih salah satu foto yang tercecer, menatap gambar yang tercetak di sana dengan hati yang panas.

Ini memang bukan pertama kali aku mendapatkan kiriman seperti ini. Kiriman foto yang membuatku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Zara. Foto di mana dia terlihat mesra, dengan laki-laki lain.

Sialnya, foto yang ada di genggamanku kali ini, adalah foto di mana bibir mereka saling bertaut. Berengsek!

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro