Suspicious

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang office girl datang membawa dua cangkir teh yang tadi kupesankan untuk Gavin dan Amy. Karena dia terlihat ragu-ragu untuk masuk, jadinya aku ambil alih nampan itu. Mungkin dia takut ketika tahu yang ada di dalam ruangan adalah putri kesayangan direktur utama. Mungkin dia masih gugup karena baru bekerja seminggu di sini.

Aku sudah membuka pintu ruangan Gavin, tepat bersamaan dengan suara yang memecah konsentrasi. Parahnya bukan hanya itu, tubuhku bergetar, tanganku tidak bisa memegang nampan dengan benar, hingga cangkir itu meluncur ke lantai. Aku terdiam, mengamati kepingan-kepingan keramik yang basah kini berserakan di bawah sana. Teh panas tadi bahkan mengenai ujung sepatuku, meninggalkan basah di warna hitamnya yang mengkilat.

Telingaku bekerja dengan baik, sehingga kalimat Amy masih saja bergaung. Kulihat Gavin menegang, tapi Amy melangkah setelah berseru, “Aku pergi!”

Tubuh rampingnya melewatiku yang masih mematung di ambang pintu. Wangi parfum stroberinya menguar, meninggalkan aroma manis yang sayangnya sama sekali tidak membuatku senang sekarang. Ada keheningan yang terjadi setelah Amy menutup pintu utama secara kasar.

“Ivy ....”

Aku tersenyum. Senyum yang sangat-sangat aku paksakan agar tampak setulus mungkin. Lalu berjongkok untuk memungut kepingan cangkir di lantai. Tidak ada yang bisa aku tanyakan. Hati masih terlalu terkejut atas kata-kata yang bagiku sangat sialan.

Gavin sudah menikah, kata Amy. Astaga! Sebuah pernyataan yang mengguncang dada.

Are you okay?” tanya Gavin pelan, seraya berjongkok.

“Ya. Emang aku kenapa?” Aku bertanya balik, tapi tidak menatap Gavin. “Tadi aku nggak hati-hati bawanya, makanya jadi jatuh. Duh, jadi nggak sempat kasih Amy teh. Padahal niatnya mau tenangin hatinya yang kacau.” Lalu aku tertawa pelan.

Ya, sekarang ternyata aku yang sangat kacau. Lucu sekali.

“Panggil orang aja buat beresin. Nanti tangan kamu kena pecahannya.”

Kedua tanganku digenggam Gavin. Dengan gerakan pelan, dia menuntunku untuk berdiri. Sebuah senyum lagi-lagi aku berikan untuk menutupi kekalutan diri. Kami duduk bersisian di sofa, saling tatap tanpa ada kata.

Meski tidak dijelaskan, aku tahu ada kecemasan yang melingkupi wajah Gavin. Keterkejutannya ketika aku memecahkan cangkir tadi juga sangat kentara. Dan sekarang, dia terlihat duduk resah, walaupun coba dia tutupi dengan senyuman.

Aku ingin menyerangnya dengan serentetan pertanyaan. Ingin mencecarnya dengan berbagai kemungkinan yang ada di kepalaku sekarang. Tapi tidak, aku tidak akan melakukannya. Lisanku harus tertahan saat ini. Kecurigaanku belum terbukti dengan jelas. Jadi, Ivy, tenanglah. Bertindaklah dengan otakmu untuk sekarang.

“Aku balik kerja, ya,” kataku, hendak bangkit. Gavin menahan tanganku, membuat bokong masih di posisi semula. “Ada yang mau kamu omongin, Gav?”

Dia mengangguk cepat. Kuhela napas panjang. Apa ini saatnya dia mengatakan sesuatu yang aku sendiri belum yakini 100%? Apa dia mau menjelaskan mengapa Amy bisa berkata seperti tadi?

“Kamu pasti dengar yang Amy bilang.” Wajah Gavin masih tegang.

Dan kamu mau menjelaskannya.

“Aku terpaksa bohong. Karena dia benar-benar gencar mau deketin aku. Aku bilang aku udah nikah dan punya istri biar dia berhenti kejar aku.”

Benar, kamu berbohong. Tapi aku ragu, kamu berbohong pada Amy atau padaku?

“Ivy, katakan sesuatu. Jangan diam. Kamu pasti marah.”

Dia terlihat benar-benar cemas. Bahkan tangannya yang menggenggam jemariku terasa basah. Gavin gugup, entah karena takut aku lebih percaya ucapan Amy atau apa.

“Oh, ayolah, Gavin. Kamu hanya sedang berusaha untuk melarikan diri dari Amy. Aku ngerti, kok.”

“Aku lega banget, Ivy!”

Dia terdengar semangat. Wajahnya lebih berseri dibanding tadi, sedangkan aku masih berusaha menampilkan ekspresi terbaik. Bukannya aku ingin berpura-pura tetap baik meski hati berderak patah. Ya, siapa pun yang ada di posisiku pasti merasa terempas dari ketinggian, ketika mendengar kekasihnya ternyata sudah menikah. Aku hanya ingin tetap menjadi Ivy yang bersikap tenang.

“Yaudah, ya, aku kerja lagi.”

Gavin mengangguk. Tanpa menunggu lagi, aku berjalan, tapi rasanya hati kembali dientak ketika melihat pecahan yang masih berantakan. Cangkir yang pecah itu adalah bukti bagaimana aku mendadak tidak bisa bersuara mendengar pernyataan yang menyakitkan. Rasanya tadi ingin menjerit histeris, tapi tidak bisa. Bahkan kakiku yang lemas kupaksa untuk tetap berdiri, meski sangat ingin luruh ke lantai.

Kupejamkan mata sejenak, lalu kembali melangkah, dan memanggil seseorang untuk membersihkan kekacauan di ruang Gavin.

Layar laptop kutatap tanpa semangat. Gavin sangat pandai mengambil alih seluruh ruang di kepalaku, hingga mood bekerja benar-benar rusak. Tapi, ini tidak boleh dibiarkan. Urusan pribadi tidak boleh mengganggu pekerjaan.

Bersabarlah, Ivy. Kamu pasti akan tahu kebenarannya.

❤️❤️❤️

“Mau mampir buat makan dulu?” Gavin menawarkan.

“Nggak. Aku mau pulang aja. Mama udah masak banyak katanya.”

“Jadi kita pisah di sini?” Aku mengulas senyum seraya mengangguk. Kami memang sudah sampai di basemen. “Ya udah. See you tomorrow, Sugar.”

Seperti biasa, Gavin mengusap kepalaku. Senyumku terkembang, menyambut hangat perlakuan manisnya. Kami sudah akan masuk ke mobil masing-masing, tapi aku sengaja merogoh tas dengan kebingungan.

“Kenapa?” tanya Gavin. Dia urung membuka pintu mobil yang terparkir tepat di sebelah mobilku.

“Kayaknya kunci mobil aku ketinggalan di meja, deh. Aku coba cek ke meja.” Nada bicara sudah kubuat terdengar alami. Seharusnya Gavin percaya.

“Aku temenin.” Dia menekan tombol pada kunci di tangannya, hingga mobil itu berbunyi sebentar.

“Nggak usah. Aku bisa sendiri, kok. Jangan anggap aku anak kecil yang ke mana-mana harus dianterin. Kamu pulang duluan, gih. ”

Aku menghampiri Gavin. Menyentuh lengannya pelan dan mengedip manja. Dia menghela napas panjang. Lalu menyentuh bibir dengan dua jari, kemudian menempelkan di bibirku. Cukup terkesiap dengan tindakannya, tapi pada akhirnya aku tersenyum. Begitu juga dengannya.

Gavin-ku yang manis, yang baik, yang menghargaiku. Dan kuharap akan tetap seperti itu, selalu.

“Aku pulang duluan, ya. Bye, Sayang.”

Aku melambaikan tangan, lalu mulai berjalan ke arah lift karena Gavin tetap memandangiku. Saat aku sudah cukup jauh darinya, aku menoleh ke belakang, barulah dia masuk ke mobil dan meluncur dengan cepat meninggalkan area basemen.

Tidak ingin membuang waktu, aku segera berlari untuk mengejar Gavin. Sepatu hak tinggi ini untungnya sudah terbiasa di kaki, hingga tidak kesulitan untuk mencapai mobil dengan cepat.

Keluar dari basemen, aku mengamati padatnya jalan. Berusaha mencari mobil Gavin di antara kendaraan-kendaraan yang melaju pelan. Oh, di sana! Mobil Gavin hanya berjarak dua kendaraan saja dariku. Syukurlah aku tidak ketinggalan.

Ini mungkin terlihat konyol. Berbohong dengan mengatakan kunci mobil ketinggalan, lalu berakhir dengan membuntuti kekasih yang pulang bekerja. Katakan saja ini lucu, tapi aku memang harus memastikan sesuatu. Aku harus tahu ke mana kekasihku pulang. Karena apa yang terjadi hari ini sungguh menyiksa jika tidak aku buktikan dengan segera.

Tetap berjarak dengan mobil Gavin membuatku aman. Dengan begini dia tidak akan tahu aku ada di belakangnya. Tapi, keningku mengernyit ketika sadar bahwa baru saja mengambil arah berlawanan dengan apartemennya. Seketika dadaku kembali berdebar aneh. Jika Gavin tidak pulang ke apartemen yang dia tunjukkan waktu itu, lalu dia akan ke mana?

Napasku sudah terasa berat. Takut kalau pemandangan yang selanjutnya aku dapati adalah seorang wanita menyambut Gavin dengan hangat di ambang pintu rumah. Namun, ketakutanku sedikit memudar, ketika Gavin berhenti di sebuah kedai kopi. Aku ikut masuk ke area parkiran dengan tetap menjaga jarak dari Gavin.

Gavin turun dari mobil, sembari sibuk dengan ponselnya. Yang ternyata dia sedang menghubungiku! Lalu tubuhnya hilang dari pandangan karena dia sudah melewati pintu utama kedai.

“Ya, Gavin.”

Aku berusaha menyamarkan kegugupan, berharap Gavin tidak akan menyadarinya. Musik pada mobil juga kunyalakan, agar suara dari luar tidak terdengar. Bisa gawat kalau Gavin menyadari kebisingan ini sama dengan kebisingan dari posisinya berada.

Kamu udah sampai rumah? Aku lagi mampir di kedai langganan. Udah agak lama nggak ke sini. Jadi mau beli kopi dulu.”

Begitukah?

“Belum. Jalanan masih macet. Kamu hati-hati ntar pulangnya.”

Pasti, Sugar. Abis ini aku langsung balik ke apartemen. Kamu lanjutin nyetir, ya. Jangan ngebut.”

Oke. Bye, Gavin.” Lalu sambungan terputus.

Kusandarkan tubuh seraya menutup mata. Seharusnya apartemen yang Gavin maksud adalah yang itu, ‘kan? Tapi aku tetap merasa belum tenang. Meskipun sudah mendengar alasan mengapa dia tidak mengambil jalan menuju apartemennya tadi.

Menunggu sekitar lima belas menit, Gavin akhirnya keluar dengan gelas kopi di tangan. Dia segera kembali membelah jalan dan tentunya aku tetap mengikuti. Kali ini mobilnya benar-benar menuju apartemen, lalu menghilang ke dalam basemen.

Kuhentikan mobil di depan gedung apartemen, lalu mengambil air dari botol yang selalu sedia di mobil. Ada kelegaan, meski tidak penuh.

Tidak apa, Ivy. Setidaknya kamu hari ini sudah berjuang.

Merasa sedikit lebih tenang, aku kembali melajukan mobil. Langit telah gelap, menambah kepekatan yang tengah aku rasakan. Tadinya ingin segera pulang dan merendam diri di bathtub sebelum menyantap masakan Mama. Tapi mobilku akhirnya berhenti di sini, di sebuah taman kota yang ramai. Beberapa penjual kaki lima terlihat ramai dikerumuni pembeli, sedangkan yang lainnya berdiam diri tanpa kesibukan berarti.

Aku tidak turun dari mobil, hanya menurunkan kaca kemudi agar dapat merasakan angin malam. Pikiranku kembali berkecamuk, mengingat tentang cincin Gavin, lalu statusnya. Kalau aku memiliki jabatan lebih tinggi dari Gavin, jelas ini tidaklah sulit. Tapi aku bisa apa? Jelas-jelas aku bawahannya dan untuk mendapatkan data diri atasan jelas saja tidak mudah.

Berdiam diri selama hampir satu jam, aku memutuskan untuk pulang. Baru saja kaca kututup dan menyalakan mesin, mataku tanpa sengaja menatap seorang laki-laki di deretan pedagang kaki lima. Dia sedang membeli jagung bakar dan seorang perempuan tengah bergelayut manja di lengannya. Bukan kemesraan mereka yang menjadi perhatianku, tapi penampakan laki-laki yang tampak familier dari samping. Aku memegang dada, merasakan ada nyeri yang tiba-tiba saja datang.

Gavin. Laki-laki itu terlihat seperti Gavin. Aku tidak bisa menghentikan tatapanku pada mereka yang kini memasuki sebuah mobil putih. Itu bukan mobil Gavin. Aku sangat yakin, karena mobil yang biasa Gavin bawa berwarna hitam. Tapi, laki-laki itu ....

Ah! Karena kami berjarak cukup jauh, aku jadi tidak bisa memperhatikan dengan jelas wajah keduanya. Bahkan sampai mobil itu meluncur pergi, aku tetap diam di mobil, masih memikirkan mungkinkah dia Gavin? Tapi bersama siapa? Mobil siapa yang dia pakai?

Astaga! Aku ingin berteriak!

TBC

Next verlitaisme

Mau main tebak-tebakan?

Kenapa Gavin mampir di kedai kopi dan pulangnya malah ke apartemen? Kenapa nggak langsung pulang ke rumahnya yang asli sama Zara?

Yang di taman kota beneran Gavin atau bukan?

Kalau bukan Gavin, terus siapa?

Kalau Gavin beneran, siapa dong cewek itu?

Wwkwk. Selamat menebak! Jawabannya ada di next part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro