Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anjani menarik dan mengembuskan napas berkali-kali dalam lift yang menuju ke lobi. Ini untuk yang pertama kalinya dia akan bertemu Dhyastama sebagai pasangan. Kata hati Anjani akhirnya menang. Dia memutuskan mengambil risiko patah hati. Seperti kata Alita, pada akhirnya semua orang akan baik-baik saja. Bukankah Anjani juga sudah pernah membuktikan kebenaran teori itu? Rasa sakit yang dia rasakan saat pacarnya berselingkuh juga luar biasa, kan? Waktu itu seperti mustahil untuk sembuh, tapi sekarang (lagi-lagi seperti kata Alita) ketika teringat menangisi laki-laki pecundang itu, rasanya bodoh. Perjalanan waktu mengubah perspektif dan perasaan.

Atau mungkin itu hanya pembenaran karena Anjani akhirnya mengambil keputusan yang semula ditentang oleh nuraninya sendiri. Namun, dia tidak ingin menyesalinya. Dia toh sudah mengiyakan ajakan Dhyast berkomitmen saat laki-laki itu meneleponnya semalam. Proses jadian yang sangat tidak romantis. Alita pasti akan mencibir kalau sampai tahu. Sedangkan Kiera akan menatapnya khawatir karena pikiran sahabatnya yang jauh ke depan itu sudah membayangkan kegagalan hubungan yang baru dirintis Anjani ini.

"Ini konyol," gerutu Dhyast saat Anjani sudah berdiri di depannya. "Seharusnya kita pergi bareng. Aku sudah jemput ke sini, kan?"

"Aku kan sudah bilang kalau kita bertemu di restoran aja," Anjani membela diri. "Motornya nggak mungkin aku tinggal di kantor, kan?"

"Bisa saja kalau kamu mau. Selesai makan malam, aku antar kamu pulang."

"Nggak usah. Nggak hujan juga kok." Masih terlalu prematur membawa Dhyast ke rumahnya. Setelah selesai makan malam bersama beberapa hari lalu, Anjani minta diantar ke rumah Om Ramdan karena ibunya memang mampir di sana setelah paginya diantar cuci darah oleh bibinya.

Anjani tidak pernah pulang diantar laki-laki sejak putus dengan pacarnya. Ibunya pasti akan bertanya-tanya tentang Dhyast kalau laki-laki itu muncul di rumahnya. Butuh waktu sebelum Anjani mengakui hubungannya dengan Dhyast. Setidaknya sampai dia benar-benar yakin kepada laki-laki itu. Dia tidak mau kebahagiaan ibunya berumur singkat saat akhirnya tahu hubungannya dengan Dhyast ternyata tidak berumur panjang.

Mereka kemudian pergi dengan kendaraan sendiri-sendiri dan bertemu di restoran yang mereka sepakati.

"Weekend nanti aku jemput di rumah kamu supaya kita nggak jalan terpisah kayak gini," Dhyast masih melanjutkan protesnya setelah mereka duduk berhadapan di dalam restoran.

Apa yang dikatakan Dhyast di luar dugaan Anjani. Baru saja dia berpikir untuk menghindarkan ibunya dari laki-laki itu. "Weekend biasanya aku malah nggak keluar rumah."

"Biasanya kamu kan nggak punya pacar. Jadi kamu mungkin nggak punya alasan kuat untuk keluar rumah. Kalau jadwal ketemuannya cuma pas waktu makan siang atau pulang kerja kayak gini, apa bedanya hubungan kita sebelum dan setelah resmi pacaran?"

"Kesehatan mamaku nggak terlalu bagus akhir-akhir ini." Anjani memutuskan berterus-terang. "Di hari kerja dia biasanya hanya ditemani si Mbok. Kadang-kadang sama bibiku juga kalau dia nggak sibuk. Jadi kalau weekend biasanya aku yang gantian menemani mama seharian."

"Memangnya mama kamu sakit apa?" Nada dan raut Dhyast saat bertanya membuat hati Anjani terasa hangat. Itu tidak terdengar seperti pertanyaan basa-basi.

"Awalnya diabetes dan hipertensi, tapi sekarang sudah komplikasi dengan ginjal. Hasil EKG-nya juga nggak terlalu bagus." Ini pertama kalinya Anjani berbagi tentang penyakit ibunya kepada orang selain Kiera dan Alita.

"Kondisinya sekarang gimana?"

"Harus terus cuci darah sampai ada donor ginjal. Sayangnya ginjalku dan mama nggak cocok." Hasil tes itu sempat membuat Anjani sedih karena dia berharap bisa memberikan satu ginjalnya kepada ibunya.

"Dunia kedokteran sekarang udah maju banget. Kalau nggak bisa ditangani di sini, bisa cari second opinion di luar."

"Second opinion kayak gitu nggak ditanggung BPJS sih." Anjani buru-buru mengalihkan percakapan. "Tentu saja aku bisa keluar saat weekend, tapi nggak bisa terlalu lama, dan mungkin nggak setiap weekend. Kalau kamu keberatan deng—"

"Tentu aja aku nggak keberatan," potong Dhyast cepat. "Kita juga bisa ketemu di rumah kamu, jadi kamu nggak perlu keluar rumah, kan?"

Itu bukan opsi yang menyenangkan. Apa yang akan dilakukan Dhyast di rumahnya sekarang yang sempit dan minim privasi itu? Rumah Anjani yang dulu memang tidak mungkin dibandingkan dengan rumah Dhyastama yang pasti menyerupai istana, tetapi jauh lebih besar daripada sekarang.

Anjani buru-buru mengusir pikiran itu dari benaknya. Dhyastama pasti sudah tahu kondisi ekonominya dari penampilannya. Kalau laki-laki itu berpikiran picik, mereka tidak akan berada di sini sekarang.

"Rumahku nggak di depan jalan raya." Anjani masih berusaha menghindar, walaupun rasanya konyol. "Mobil kamu nggak mungkin masuk dalam gang."

"Nggak ada yang sulit kalau pakai google map, kan?"

Kalau sudah begini, alih-alih membantu, teknologi malah terasa menjebak. "Kita lihat saja nanti." Anjani memilih tidak memperpanjang bahasan itu.

"Iya, lihat saja, aku pasti bisa menemukan rumah kamu." Dhyast tersenyum, tampak yakin sekali dengan ucapannya.

Anjani hanya bisa meringis. Saat masih dalam proses pendekatan, tantangannya adalah mencoba menghalau pesona Dhyast. Sekarang, saat Anjani merasa jika tahap yang selama ini dipikirnya berat itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan fase selanjutnya. Mengenalkan Dhyast kepada ibunya dan Rayan. Dan bagian tersulitnya adalah menghadapi keluarga Dhyast seandainya laki-laki itu memang akan membawanya ke sana.

**

Menemani ibunya menjalani proses hemodialisis selalu terasa berat untuk Anjani. Dia jarang melakukannya karena prosedur itu biasanya dilakukan pada hari kerja, sehingga ibunya lebih sering diantar dan ditemani oleh bibinya. Terkadang Anjani merasa bersalah, tetapi dia tidak bisa apa-apa. Ibunya memang sangat butuh dukungan dan perhatian setiap saat, tetapi dia harus bekerja supaya kehidupan mereka tetap berjalan. Tidak mungkin meninggalkan kantor setiap kali ibunya masuk rumah sakit untuk cuci darah.

Anjani tahu ibunya pasti bosan melakukan hal yang sama sebanyak dua kali seminggu, tetapi tidak mungkin melewatkannya.

"Jan, yang bunyi itu bukan ponsel kamu?" suara ibunya membuyarkan lamunan Anjani.

"Bukan, Ma." Anjani sudah mematikan nada dering saat masuk ke ruangan hemodialisis. Dia tidak mau nada dering gawainya mengganggu orang-orang di ruangan itu. Semua tempat tidur terisi penuh. Pasien gagal ginjal ternyata lumayan banyak.

Meskipun yakin yang berdering bukan gawainya, Anjani lantas meraih tas yang diletakkan di dekat kaki ibunya yang sudah berbaring selama hampir dua jam. Di lengannya ada dua selang kecil yang terhubung ke mesin. Salah satu selang mengalirkan darah dari tubuh ibunya ke mesin untuk dibersihkan, dan selang yang lain mengembalikan darah yang sudah bersih itu.

Anjani mengernyit saat melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari Dhyast. Dia sontak teringat kalau beberapa hari lalu saat makan siang bersama Dhyast mengatakan akan bekunjung ke rumahnya hari Sabtu nanti. Hari ini. Waktu itu Anjani memang tidak menolak, walaupun juga tidak mengiyakan. Dia buru-buru mengalihkan percakapan. Rupanya sikap itu dianggap sebagai penerimaan oleh Dyast.

"Ma, aku keluar untuk menelepon ya." Anjani menyentuh kaki ibunya sebelum membawa gawainya keluar.

Panggilan teleponnya langsung diangkat oleh Dhyast, "Kok teleponku nggak diangkat?"

Nada protes itu membuat Anjani meringis. "Maaf, nada dering ponselnya memang aku matiin. Aku sekarang lagi di rumah sakit nemenin mama cuci darah. Nggak enak kalau ada bunyi telepon di dalam ruangan."

"Kok kamu nggak bilang kalau mau ke rumah sakit pagi ini? Kalau tahu kan bisa aku jemput."

"Ini jadwal rutin kok. Biasanya hari Jumat, tapi kemarin bibiku nggak sempat ngantar, dan aku juga nggak bisa izin dari kantor, jadi ditunda hari ini."

'Di rumah sakit mana?" tanya Dhyast lagi. "Aku bisa jemput kalian di situ. Biar nggak usah naik taksi."

"Nggak usah. Tadi ke sini sama paman kok," Anjani buru-buru menolak. Dia tidak bohong, karena memang datang bersama paman dan bibinya. Keduanya sekarang sedang pergi ke tempat lain setelah mengantarnya, tetapi akan kembali lagi untuk menjemput. Paman dan bibinya sudah hafal waktu yang dibutuhkan untuk hemodialisis karena mereka yang lebih sering mengantar ibunya.

"Aku boleh dong datang jenguk ibu kamu nanti sore?"

Anjani mendesah. Dia tidak mungkin terus menolak Dhyast. Lama-kelamaan laki-laki itu akan curiga kalau Anjani memang sengaja mencegahnya berkunjung. "Biasanya mama istirahat setelah pulang dari rumah sakit. Besok aja gimana?" dia menawar.

"Oke, besok kalau gitu."

Anjani kembali ke ruangan hemodialisis setelah mengakhiri percakapan dengan Dhyast. Dia duduk di tempatnya semula, di ujung ranjang, dekat kaki ibunya.

"Kamu bawa uang lebih, Jan?" pertanyaan ibunya yang tidak biasa itu membuat Anjani mengernyit.

"Untuk apa?"

"Pulang nanti kita mampir beli brownis untuk Rayan ya? Sejak pindah, kamu kan nggak pernah bikin kue lagi. Padahal dia suka banget makan brownis." Ternyata ibunya juga mengetahui hal itu.

Di rumah baru, mereka memakai kompor gas biasa dengan 2 mata, berbeda dengan kompor di rumah lama yang dilengkapi oven. Anjani harus membeli oven baru kalau mau memanggang kue, dan dia belum pernah memakai oven biasa, ataupun oven listrik. "Iya, Ma. Nanti kita mampir beli brownis untuk Rayan."

Ibunya tersenyum. "Mama senang Rayan sekarang udah dekat banget sama Mama. Masa kecilnya pasti sulit banget karena bibinya nggak terlalu perhatian sama dia. Mama juga nggak habis pikir kenapa ibunya ninggalin dia begitu saja saat dia masih kecil banget. Pasti bukan masalah ekonomi karena papa kalian sangat bertanggung jawab untuk itu. Nyatanya dia tetap membiayai hidup Rayan sampai dia meninggal."

"Nggak semua ibu di dunia punya hati seperti Mama."

"Papa kamu seharusnya membawa Rayan ke rumah saat kami masih bersama. Mama pasti akan marah saat tahu dia selingkuh, tapi Mama nggak akan menolak Rayan. Bukan salah dia karena lahir dari orangtua seperti papa kalian dan ibunya."

Anjani senang melihat ibunya bersemangat saat bicara soal Rayan seperti ini. Dia sama sekali tidak lagi berfokus pada selang yang menghubungkan lengannya dengan mesin hemodialisis. Rayan benar-benar menjadi tambahan alasan bagi ibunya untuk menjalani pengobatan yang panjang dan membosankan seperti ini.

**

"Ada apa?" tanya Anjani kepada Rayan yang berdiri di depan pintu kamarnya. Kejadian adiknya mengetuk pintunya tidak terlalu sering. Rayan tidak terlihat panik, jadi pasti bukan karena ibunya.

"Kenapa kakak Shiva dan Shera bisa ada di sini?"

"Mas Dyast sudah ada di sini?" Anjani buru-buru keluar kamarnya. "Sudah kamu suruh masuk?"

Rayan mengedik tidak peduli. "Dia di teras. Ngapain dia ke sini?" Dia mengulang pertanyaan yang tadi tidak dijawab Anjani.

"Nggak ada hubungannya dengan ponsel itu kok. Masalahnya sudah selesai, kan?"

"Dia mau PDKT sama Mbak?" Tidak biasanya, Rayan jadi cerewet.

Anjani lantas berhenti melangkah dan menatap adiknya. "Kamu kelihatannya nggak suka ya?"

Rayan mendengkus. "Kata Michael, Shiva sama Shera itu kaya banget, Mbak. Makanya HP segitu nggak ada artinya untuk mereka. Memang nggak semua orang kaya itu jahat sih. Michael baik banget. Shiva sama Shera juga nggak kecentilan kayak yang lain, tapi kondisi mereka sama kita kan kayak bumi dan langit. Ki—"

Anjani mengerti maksud Rayan yang mengkhawatirkan dirinya, dan itu membuatnya hatinya terasa hangat. Rayan jelas jauh lebih dewasa daripada umurnya. "Mbak bisa jaga diri kok." Dia menepuk lengan adiknya sebelum melanjutkan langkah menuju ke depan.

Dhyast berdiri saat Anjani muncul di teras. Seperti kata perempuan itu, rumahnya memang tidak berada di depan jalan raya, tetapi tidak juga di dalam gang-gang sempit seperti yang semula dia bayangkan saat mendengar penjelasan Anjani. Dia sudah bersiap untuk melihat yang terburuk, seperti bagian kota Jakarta yang kumuh dan hanya dilihatnya dari layar televisi. Namun, Anjani ternyata melebih-lebihkan.

"Semoga ibu kamu suka." Dhyast mengulurkan parcel besar berisi buah-buahan yang dibawanya.

"Terima kasih." Anjani menerima benda itu. "Masuk yuk."

Dhyast mengikuti Anjani masuk ke dalam rumah. Ruang tamunya kecil. Sofa yang ada di dalam jadi kelihatan terlalu besar untuk tempat itu. Sebenarnya itu bukan urusannya, tetapi perabot yang tertangkap mata Dhyast seperti salah tempat dan tidak cocok untuk rumah mungil ini.

Pandangan Dhyast lantas hinggap pada sosok Rayan yang bersedekap di samping partisi yang memisahkan ruang tamu dan ruangan di belakangnya. Tidak ada senyum yang tersungging di bibirnya. Anak itu jelas tidak menyukai kehadiran Dhyast. Terlihat jika dia menempatkan diri sebagai tameng bagi kakaknya.

Rayan hanya melengos dan berbalik pergi ketika Dhyast tersenyum kepadanya.

"Rayan memang gitu anaknya." Anjani buru-buru minta maaf atas sikap Rayan. "Maaf, dia kesannya nggak sopan banget."

"Nggak apa-apa. Itu tandanya dia sayang sama kamu. Aku juga mungkin akan bersikap kayak gitu kalau nanti Shiva dan Shera mulai diapelin cowok."

"Sebentar ya, aku ambil minum dulu." Anjani meraih parcel yang dibawa Dhyast lalu beranjak ke belakang.

Dhyast kembali mengamati sekeliling ruangan. Tidak banyak yang bisa di lihat selain sofa yang lumayan empuk dan partisi jati antik yang menghalangi pandangannya ke belakang. Benda yang lagi-lagi terlalu lebar dan tinggi untuk ukuran ruangan yang dipisahkannya. Barang-barang di rumah ini seperti dipaksakan masuk, tidak dibeli khusus sesuai ukuran rumahnya.

Anjani kembali dengan dua cangkir teh yang kemudian diletakkan di atas meja. "Mama sedang tidur," katanya.

Ucapan itu mengingatkan Dhyast kalau ibu Anjani adalah alasan yang dia gunakan untuk datang ke sini. "Nggak apa-apa. Kalau ibu kamu belum bangun sampai aku pulang, kami bisa kenalan lain kali saja."

"Ya, lain kali. Tentu saja." Anjani tidak yakin ada lain kali lagi. Dia tadi sempat mengintip dan melihat Dhyast mengawasi ruang tamu tempatnya duduk. Laki-laki itu mungkin sedang menyesali kedatangannya di sini. Rumah ini pasti membuatnya menyadari kalau perbedaan mereka dari segi ekonomi sangat jomplang.

"Senyum kamu kok aneh gitu sih?" Dhyast meneleng menatap Anjani yang buru-buru mengatupkan bibir.

"Aneh gimana?" Anjani balik bertanya.

"Kayak kamu nggak percaya kalau aku akan datang ke sini lagi. Atau kamu memang berharap supaya aku nggak datang lagi?"

Anjani tidak menduga ekspresi skeptisnya tertangkap jelas oleh Dhyast. "Aku nggak berpikir seperti itu," dia mengelak lalu buru-buru menunjuk cangkir di depan Dhyast untuk mengalihkan perhatian. "Diminum."

Dhyast menurut dan menyesap tehnya. Rasanya pas, tidak terlalu manis. Dia tidak suka makanan dan minuman yang terlalu manis. "Tehnya enak. Lebih enak daripada teh di semua restoran yang pernah kita datangi. Sekarang aku tahu harus ke mana kalau mau minum teh enak."

Anjani berdecak. "Kita nggak selalu minum teh di restoran yang kita datangi."

"Tapi cukup untuk jadi sampel."

Anjani berhenti menanggapi dan beralih melihat Rayan yang seperti sibuk mengerjakan sesuatu di teras karena sudah beberapa kali mondar-mandir melintas di ruang tamu. Masih dengan raut masam.

"Biarkan saja dia," kata Dhyast yang mengikuti pandangan Anjani. "Dia sedang menjalankan tugasnya menjadi polisi pengawas untuk kakaknya. Dia hanya ingin aku tahu kalau dia adalah penguasa di sini, jadi aku nggak boleh macam-macam."

Anjani hanya bisa mendesah pasrah. Tidak mungkin menegur Rayan, sama halnya mustahil menyuruh Dhyast pulang sekarang. Di luar ekspektasinya, laki-laki itu terlihat nyaman. Tampang cemberut Rayan sama sekali tidak mengganggunya. Ya, bagaimanapun juga, laki-laki dewasa seperti dia tidak mungkin terintimidasi oleh remaja labil seperti Rayan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro