Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Risyad dan Tanto sudah ada saat Dhyast sampai di kafe tempat mereka biasa nongkrong. Yudis tidak bisa bergabung karena masih berjibaku dengan urusan rumah tangganya yang pelik. Istrinya menggugat cerai. Rakha sedang pulang ke Bali untuk menghadiri pembukaan galeri seni ibunya yang baru.

Kealpaan Rakha sedikit melegakan Dhyast karena hari ini dia memang sengaja mengajak Anjani bertemu di tempat ini saat membaca pesan WA Tanto yang meminta mereka berkumpul. Siapa yang bisa menduga apa yang bakal keluar dari mulut Rakha yang mesum itu? Anjani pasti akan terkaget-kaget dan merasa tidak nyaman mendengar omongan Rakha.

Tentu saja Dhyast sengaja tidak memberitahu Anjani ataupun teman-temannya kalau dia akan mempertemukan mereka. Sedikit mengejutkan saat Dhyast menyadari jika dia lumayan tegang mengantisipasi pertemuan Anjani dan teman-temannya. Perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya saat memperkenalkan pasangannya kepada sahabat-sahabatnya. Mungkin karena semua pasangannya terdahulu berasal dari lingkungan pergaulan yang sama, jadi dia tidak perlu khawatir tentang kecanggungan dan ketidaknyamanan pacarnya.

Dhyast tahu kalau sahabat-sahabatnya punya daya adaptasi luar biasa. Dia hanya khawatir Anjani tidak memiliki hal yang sama. Dan entah mengapa, dia berharap Anjani akan merasa cocok dengan teman-temannya.

Aneh bagaimana rasa penasaran kepada Anjani berubah dengan cepat menjadi kenyamanan. Dhyast tahu kalau dia tidak akan membiarkan Anjani bertemu teman-temannya kalau dia belum merasa nyaman.

"Gue beneran kasihan sama Yudis," suara Tanto membuat Dhyast mengalihkan perhatian dari gawai. "Itu yang gue bilang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya."

"Perempuan itu kadang-kadang membingungkan," sambung Risyad. "Bisa memaafkan kesalahan yang besar, tapi nggak mau ngalah karena hal kecil. Yudis kan cuman ngucapin hal yang salah di waktu yang keliru. Semua orang pernah melakukan kesalahan seperti itu. Kayana keterlaluan sih minta cerai untuk hal seremeh itu."

"Remeh atau nggak itu sebenarnya tergantung sudut pandang, kan?" Dhyast meletakkan gawai di atas meja dan ganti mengangkat cangkir untuk menyesap kopinya.

"Iya, itu benar. Tapi kalau Kayana nggak terlalu keras kepala, masalahnya dengan Yudis kan nggak rumit-rumit amat. Yudis toh nggak selingkuh."

"Dia hanya bilang kalau dia ninggalin perempuan yang sangat dia cintai untuk nikah dengan Kayana karena ibunya yang minta." Tanto mengedik. "Jujur, gue juga nggak bakal suka dengar kata-kata itu keluar dari mulut orang yang gue cintai sih."

"Yudis sudah jelasin kalau dia ngucapin itu saat dia lagi jengkel sama ibunya," sambut Risyad lagi. "Dia nggak beneran serius. Kayana harusnya tahu itu karena selama ini Yudis bucin banget sama dia."

"Semoga mereka nggak beneran cerai sih," Dhyast juga tidak ingin melihat sahabatnya itu merana.

"Ya, semoga saja Kay mau berpikir ulang lagi," Tanto mengamini.

"Hei, itu Anjani!" Risyad membuat Dhyast ikut menoleh ke dinding kaca. Anjani tampak berjalan dari tempat parkir.

"Anjani yang lagi jalan bareng sama elo, Yas?" Tanto yang belum pernah bertemu Anjani ikut menoleh. "Manis banget. Pantas aja aroma tikung-menikungnya kenceng banget pas awal kalian lihat dia."

Risyad tertawa. "Gue ngalah karena Dhyast yang pertama kenalan dengan dia. Gue baru maju kalau hubungan mereka nggak berhasil."

Dhyast berdecak sebal. "Doanya jelek banget."

"Mau gimana lagi? Kadang-kadang kebahagiaan kita tercipta dari kegagalan orang lain." Gelak Risyad makin menjadi. "Kalian janjian ketemu di sini?"

"Anjani nggak tahu kalau kalian ada di sini. Be nice, okay?"

"Kapan sih gue nggak baik sama perempuan?" Risyad mengedipkan sebelah mata. "Itu kelebihan yang bikin gue nggak pernah kekurangan pengagum."

"Lo sengaja ajak Anjani ketemu kami di sini murni supaya kami bisa kenalan sama dia, atau lo butuh second opinion apakah dia beneran cocok atau nggak untuk elo?" Tanto meneleng, menatap Dhyast penuh selidik.

Dhyast tidak menjawab pertanyaan itu. Dia bergegas menghampiri Anjani yang sedang menuju pintu masuk.

"Sudah lama?" Anjani tersenyum kepada Dhyast yang menarik pintu untuknya.

"Lumayan. Kebetulan teman-temanku juga ke sini." Dhyast menunjuk meja tempat Tanto dan Risyad duduk. "Yuk." Dia mengarahkan langkah Anjani ke sana.

Anjani sudah mengenal Risyad yang tersenyum lebar saat menyambutnya. Lelaki di sebelahnya termasuk dalam trio Paijo, Suleman, dan Tarjo. Anjani menertawakan pikirannya yang spontan teringat nama-nama itu.

"Kenalkan ini Tanto," Dhyast memperkenalkan temannya. "Kamu sudah kenal Risyad."

Anjani membalas uluran tangan Tanto. "Anjani."

"Akhirnya go public juga." Tanto tersenyum ramah.

Pertemuan ini di luar dugaan Anjani, tapi dia lega melihat respons teman-teman Dhyast yang bersahabat. Kalau tahu Dhyast akan mengajaknya bertemu dengan teman-temannya, Anjani pasti akan memakai sepatu yang kesannya lebih formal, bukan sneakers butut yang nyaman di kakinya saat ini. Meskipun Anjani yakin teman-teman Dhyast pasti sudah tahu latar belakangnya, setidaknya dia bisa terlihat sedikit lebih elegan. Namun, sudah terlambat memikirkan hal itu sekarang.

"Mau kopi seperti yang biasa?" Dhyast melambai memanggil pelayan saat Anjani mengangguk.

Risyad menyikut Tanto sambil menyeringai. "Gue kadang-kadang lupa kalau dia bisa semanis itu. Kelihatan banget kalau perempuan yang tepat bisa mengeluarkan bagian sensitif dari dirinya."

Dhyast hanya tertawa mendengar kata-kata itu. "Dengerin aja kalau Risyad ngomong, jangan diambil hati. Kebahagiaannya memang didapat dari mengganggu orang," katanya kepada Anjani yang tersenyum rikuh.

"Gue nggak mengganggu," bantah Risyad masih dengan cengiran khasnya. "Gue menggoda. Semua perempuan suka digoda dengan kata-kata manis."

"Kepercayaan diri lo memang luar biasa." Tanto berdecak sambil menggeleng-geleng. "Pernah nggak sih lo mikir kalau perempuan-perempuan yang lo goda itu terlihat senang supaya lo nggak merasa malu udah ngasih joke garing?"

"Hei..., joke gue nggak pernah garing!"

Anjani hanya tersenyum mendengar perdebatan itu. Yang membuatnya semakin lega adalah, tidak ada tatapan menilai dan menghakimi penampilannya dari kedua teman Dhyast itu. Kekhawatirannya soal penerimaan orang-orang di lingkungan Dhyast mungkin terlalu berlebihan.

Mereka minum kopi dan mengobrol sekitar setengah jam sebelum Tanto dan Risyad pamit pulang duluan, meninggalkan Dhyast dan Anjani berdua.

"Teman-teman Mas menyenangkan." Anjani mengembuskan napas lega. Tanto dan Risyad memang ramah, tetapi dia tetap butuh waktu untuk beradaptasi dengan mereka.

"Tanto dan Risyad masih lebih waras sih dibandingin Rakha. Kapan-kapan, aku kenalin sama Rakha dan Yudis."

Rakha atau Yudis adalah Riley versi Kiera. Anjani kembali meringis membayangkan percakapan dengan teman-temannya saat pertama kali melihat Dhyast dan sahabat-sahabatnya di tempat ini.

"Ada yang aneh?" Dhyast menangkap ekspresi geli Anjani.

Anjani menggeleng. "Aku hanya nggak menduga kalau hubungan kita bisa sampai pada tahap berkenalan dengan teman-teman Mas Dhyast," dia sengaja mengalihkan topik. Dhyast belum tentu senang mendengar dirinya dijadikan bahan imajinasi karakter novel Alita.

"Mengapa kamu berpikir kalau aku nggak akan ngenalin kamu dengan teman-temanku?"

Anjani mengedik. "Jujur, menerima Mas sebagai pasangan rasanya seperti gambling sih. Tadinya aku pikir kalau bagi Mas Dhyast ini hanya pengalihan sesaat karena penasaran bagaimana sih rasanya pacaran dengan orang biasa seperti aku. Dan biasanya umur rasa penasaran itu nggak panjang sih. Jadi ya, aku nggak menyangka akan sampai di tahap bertemu dengan teman-teman Mas Dhyast."

Sejak awal Anjani sering mengejutkan Dhyast dengan kata-katanya yang tidak terduga, jadi dia tidak terlalu kaget lagi mendengar analisis itu. "Aku nggak pernah memulai hubungan atas dasar iseng, walaupun mendekati kamu memang sedikit impulsif dan itu di luar kebiasaanku."

Kata impulsif itu mengingatkan Anjani kalau keputusannya untuk menerima ajakan Dhyast berkomitmen juga impulsif. Dan meskipun Anjani percaya jika Dhyast tidak sekadar iseng dalam hubungan ini, dia juga tidak bisa memungkiri keraguan akan kelanggengannya. Masih terlalu dini untuk bisa membaca arahnya. Namun, lebih baik tidak membicarakannya sekarang karena hal itu bisa merusak suasana. "Kita semua pasti pernah mengambil keputusan yang impulsif."

"Impulsif nggak selalu salah dan hasilnya jelek kok."

Anjani mengangguk. Itu benar. Buktinya dia menikmati waktu yang dia habiskan bersama Dhyast, meskipun tidak ada jaminan apakah hubungan ini bisa bertahan.

Suara petir membuat Anjani mengalihkan pandangan keluar. Hujan mulai mengambil alih musim. Seharusnya dia tadi mengiyakan saat Dhyast mengatakan akan menjemputnya. Sekarang keputusannya untuk menjadi pacar mandiri seperti kebiasaannya tidak terlihat praktis lagi.

"Kayaknya aku harus pulang sekarang, sebelum hujannya beneran turun." Anjani meraih gawai dan memasukkan benda itu ke dalam tas. "Aku bawa jas hujan sih, tapi kalau jalan sekarang, mungkin nggak perlu dipakai."

"Harusnya aku tadi langsung jemput kamu di rumah, nggak usah nanya segala, karena tahu kamu pasti akan menolak," Dhyast mengatakan hal yang baru saja Anjani pikirkan. "Aku pikir kita akan makan siang bareng. Nonton juga. Jarang-jarang kan kita bisa ketemu pas weekend gini."

Ibu Anjani dan Rayan tadi pagi dijemput Om Ramdan sehingga Anjani bisa keluar juga.

"Kalau dipikir-pikir kita lebih kayak teman nongkrong daripada pacaran," lanjut Dhyast. "Ketemunya kalau nggak makan siang, ya pulang kantor aja."

Anjani jadi merasa bersalah. "Oke deh. Kita makan dan nonton." Dia toh hanya tinggal sendiri di rumah kalau memaksakan pulang sekarang.

Senyum Dhyast mengembang. Dia senang karena berhasil memersuasi Anjani. "Aku akan suruh orang buat ngambil motor kamu, jadi kita jalan pakai mobilku aja."

"Alamat rumahku kan nggak gampang ditemuakan." Bagaimanapun juga, motor itu adalah barang berharga untuk Anjani. Berbahaya kalau orang suruhan Dhyast sampai salah mengantarkan motor itu.

"Kalau aku bisa nemuin rumah kamu, orang itu juga pasti bisa," jawab Dhyast enteng.

"Tapi di rumah sekarang nggak orang. Mama dan Rayan sedang pergi. Mereka mungkin pulang malam. Gimana kalau motornya ditinggal di sini aja, ntar aku balik ke sini setelah kita selesai nonton?" Anjani meringis saat melihat Dhyast memberinya tatapan yang mengatakan kalau idenya itu konyol.

"Motor kamu nggak mungkin hilang, Jani. Baiklah, supaya kamu lebih tenang, aku akan suruh motornya diantar setelah kamu sampai di rumah aja."

**

Apartemen Dhyast sangat luas. Anjani harus menahan bibirnya supaya tidak melongo dan terkesan bodoh. Dia memang belum pernah melihat tempat tinggal seperti itu selain di acara The Cribs. Konsepnya minimalis, tetapi kesan megah dan mewahnya tetap saja terlihat jelas. Warna putih, hitam, dan cokelat mendominasi tembok dan perabotnya. Sedikit sentuhan merah di beberapa tempat. Maskulin.

Mereka tadi tidak jadi nonton karena semua film yang diputar hanya film horor, dan Anjani bukan penikmat tontonan yang berisi makhluk gaib. Dhyast lalu mengusulkan mampir ke apartemennya karena Anjani memang belum pernah ke situ.

"Kulkasnya di sebelah sana kalau kamu mau ngambil minum. Tapi pilihannya nggak banyak sih." Dhyast menunjuk ke belakang Anjani. "Aku ke kamar mandi dulu."

Anjani memang merasa haus, sehingga kemudian melangkah menuju tempat yang ditunjuk Dhyast. Sebelum mencapai dapur, dia harus melalui ruang tengah yang berisi sofa panjang berbentuk L. Melihat ukurannya, benda itu jelas dipesan khusus. Setelah itu ada ruangan berisi meja makan dengan 12 kursi. Apakah Dhyast biasa mengadakan perjamuan di apartemennya sehingga dia butuh meja sebesar itu?

Dapurnya membuat Anjani lebih terpesona. Kalau punya dapur seperti ini, dia akan menghabiskan banyak waktu untuk membuat kue. Rayan bisa makan brownis kesukaannya kapan saja. Adiknya itu tidak terlalu menyukai brownis yang Anjani beli di toko kue.

"Mau minum apa?" Dhyast yang menyusul ke dapur membuka kulkas superbesar.

"Dapurnya jarang kamu pakai ya?" Anjani mengusap permukaan kompor induksi yang mengilap.

Dhyast mengedik. "Kompornya belum pernah. Aku nggak bisa masak. Yang paling sering aku pakai sih hanya microwave aja."

"Aku jarang iri sama orang, tapi sekarang aku iri sekaligus sebel banget saat lihat dapur sebagus ini nggak pernah dipakai." Telunjuk Anjani terus menyusuri sudut-sudut simetris kompor. "Kenapa dibikin segini lengkap kalau hanya dibiarin nganggur?"

"Nggak mungkin ada rumah yang nggak punya dapur, kan?" Dhyast tersenyum geli. Dia mengeluarkan botol minuman dari kulkas dan meletakkannya di meja bar dapur, lalu mendekati Anjani yang masih mengagumi kompot. "Kamu bisa masak?"

"Aku suka masak, meskipun lebih senang bikin kue sih. Rayan suka banget brownis buatanku." Sekarang patokan Anjani untuk rasa brownis adalah Rayan. Karena adiknya hanya suka brownis yang dibuatnya, berarti brownisnya memang benar-benar enak.

"Beneran? Kalau gitu, kapan-kapan kamu masak, jadi kita makan di sini aja." Dhyast terdengar antusias dengan idenya sendiri. "Kita tinggal beli bahannya aja."

"Boleh deh." Anjani ikut tersenyum. "Tapi jangan minta menu yang aneh-aneh ya."

"Lidahku nggak terlalu pilih-pilih sih. Kalau kamu yang bikin, digorengin tempe aja, aku sudah senang dan pasti lahap banget."

Anjani tertawa. "Gombal!"

"Garing ya?" Dhyast tertawa kecil. Dia merangkul dan mengecup kepala Anjani. "Bersahabat sama Risyad belasan tahun nggak lantas bikin aku ketularan jago ngegombalnya."

Jantung Anjani berdebar kencang. Jelas sekali kalau perasaannya kepada Dhyast jauh lebih dalam daripada yang dia pikir. Atau yang diinginkannya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro