Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anjani sesekali melirik tangannya yang bertaut dengan jari-jari Dhyast. Mereka berjalan berdampingan menuju pasar swalayan di pusat perbelanjaan yang mereka kunjungi. Sebenarnya itu gestur sederhana, tetapi tetap saja menghangatkan hati.

Dhyast tadi datang ke rumah Anjani dan meminta izin kepada ibu perempuan itu untuk mengajak Anjani keluar. Dhyast sudah beberapa kali berkunjung ke sana, dan sudah berkenalan dengan ibu Anjani yang tampak senang menyambutnya setiap kali datang.

Ekspresi ibunya membuat Anjani sedikit miris. Harapan itu terlihat jelas di sana. Ibunya pasti akan ikut merasa sedih seandainya hubungan Anjani dan Dhyast tidak berhasil.

Berbeda dengan Anjani yang sudah mengenalkan keluarganya kepada Dhyast, laki-laki itu tidak pernah membicarakan orangtuanya. Kalaupun dia bercerita tentang anggota keluarganya, Dhyast hanya membahas kedua adik kembarnya yang juga teman Rayan. Anjani juga menahan diri supaya tidak bertanya. Mungkin saja Dhyast memang merasa kalau hubungan mereka belum sampai tahap untuk buka-bukaan soal keluarga. Bersikap posesif malah bisa membuat Dhyast tidak nyaman.

Anjani melepaskan tautan tangannya dengan Dhyast untuk meraih troli.

"Biar aku yang dorong." Dhyast mengambil alih pegangan troli dari Anjani. "Kamu yang pilih bahan yang kita beli. Aku tinggal ngikutin kamu aja."

"Beneran mau menu tradisional?" Tadi Anjani menawarkan beberapa jenis makanan yang simpel dan tidak makan waktu lama untuk dimasak, seperti makaroni keju, spageti, dan ayam penyet. Pilihan Dhyast jatuh pada opsi terakhir. Katanya, menu itu cocok untuk makan siang pertama mereka di apartemen. Pilihan yang mengejutkan Anjani, karena dia pikir orang seperti Dhyast pasti menyukai makanan ala barat atau Asia Timur, karena itulah yang sering mereka makan saat keluar bersama.

"Tambah tahu, tempe, dan lalapan pasti enak banget, Jan. Sambelnya yang pedes ya."

Anjani menyusuri bagian bahan makanan basah untuk memilih ayam, sayur, buah, dan bumbu dapur. Dia juga membeli bahan-bahan untuk membuat brownis. Rayan pasti akan senang makan brownis buatannya lagi. Anjani belum membeli kompor listrik karena khawatir daya listrik di rumahnya tidak cukup. Lagi pula, saat ini kompor belum masuk dalam skala prioritas.

Mereka langsung kembali ke apartemen Dhyast setelah selesai belanja. Dapur Dhyast kembali membuat Anjani takjub. Bisa-bisanya dapur yang didesain semodern dan selengkap itu tidak pernah digunakan. Merek peralatan yang ada di situ malah asing baginya.

Dengung mesin penggiling bumbunya nyaris tidak kedengaran, berbeda dengan milik Anjani yang ribut. Dapur ini mungkin sama dengan milik Gordon Ramsey.

Sambil menunggu ayam yang diungkepnya masak, Anjani mencuci sayur untuk lalapan. Tahu dan tempenya sudah digoreng. Piringnya sekarang berada di depan Dhyast yang duduk menghadapi meja tinggi dapur sambil mencamili makanan itu.

"Jangan makan terlalu banyak," tegur Anjani memelotot. "Ntar malah kenyang sebelum nasi dan ayam penyetnya matang."

Dhyast mendorong piring di depannya menjauh. "Khusus hari ini aku bisa makan banyak. Nggak setiap hari juga dimasakin, kan?" Dia berdiri dan menghampiri Anjani. "Apa yang bisa aku bantu?"

"Nggak ada. Tinggal nunggu ayamnya digoreng aja. Duduk aja lagi."

"Aroma gorengannya menggoda. Kalau duduk lagi bisa beneran habis lho." Dhyast merangkul bahu Anjani dan mengecup bagian belakang kepalanya sebelum menuju kulkas untuk mengambil air minum.

Anjani tersenyum. Gestur Dhyast membuat hatinya terasa hangat. Kalau hubungan mereka kelak tidak berhasil, Anjani tahu dia akan patah hati. Namun, itu memang konsekuensi yang sudah sejak awal dia tahu saat memutuskan menerima Dhyast.

Dia memahami risiko itu, dan mengambilnya dengan suka rela. Jadi lebih baik tidak memikirkan hal-hal buruk di saat-saat seperti sekarang. Bisa saja kekhawatirannya hanya sebatas prasangkanya saja, kan? Dhyast tampak tulus dan serius dengan hubungan mereka.

"Sepertinya ada yang datang deh." Dyast meletakkan botol air mineral di tangannya. "Mungkin si kembar. Mereka tahu kode pintu. Biar aku lihat dulu."

Anjani menatap punggung Dhyast yang menuju ke depan dengan cemas. Si kembar atau siapa pun keluarga Dhyast yang datang, dia tetap saja merasa cemas. Dhyast sudah kenal ibunya dan Rayan, tetapi Anjani belum pernah bertemu dengan keluarga Dhyast. Pertemuan di ruang BK beberapa bulan lalu dengan si kembar tidak masuk hitungan, karena waktu itu hubungannya dengan Dhyast belum seperti sekarang.

Dhyast meringis saat melihat siapa yang sudah menguak pintu apartemennya. Dia sama sekali tidak menduganya. "Kok Ibu nggak bilang-bilang mau datang sih?" Ini bukan saat yang tepat untuk berkunjung.

"Masa harus selalu bilang-bilang kalau mau ke tempat anak sendiri." Ibu Dhyast langsung masuk. "Tadi Ibu jenguk teman di rumah sakit. Deket sini, jadi sekalian mampir. Kali aja kamu ada di rumah. Eh, itu sepatu siapa? Kok bulukan gitu?"

Dhyast melihat sepatu Anjani yang memang tidak dimasukkan dalam lemari sepatu di dekat pintu masuk. "Sepatunya bersih gitu kok dibilang bulukan?" Untung saja apartemennya luas, sehingga kemungkinan Anjani mendengar kata-kata ibunya tidak terlalu besar.

"Maksud Ibu, kelihatannya udah tua banget. Kok masih dipakai aja gitu lho? Kamu lagi ada tamu? Itu sepatu perempuan, kan?"

Dhyast menyugar. Sebenarnya ini bukan saat yang tepat untuk memperkenalkan Anjani kepada ibunya, tapi dia tidak punya pilihan. "Iya, ada teman Dhyast di dalam." Dia menahan lengan ibunya. "Ibu hanya akan kenalan sama dia. Nggak ada pertanyaan yang sifatnya pribadi. Belum saatnya. Dia juga nggak perlu mendengar komentar Ibu tentang sepatu atau penampilannya."

"Kamu nggak perlu ngajarin Ibu soal tata krama. Pantas saja kamu selalu mengelak saat Ibu nyebut-nyebut Gracie. Ternyata kamu sudah punya pacar. Dan dengar apa yang barusan kamu bilang, dia jelas bukan dari kalangan kita."

Kata kalangan kita itu membuat Dhyast berdecak sebal. "Kalangan kita itu apa? Memangnya kita beda dengan orang lain?"

"Jangan pura-pura bodoh gitu!"

Dhyast mendahului ibunya menuju ke dapur. Semoga Anjani tidak terintimidasi oleh ibunya, karena kebanyakan orang merasa seperti itu.

Anjani bisa langsung menebak siapa perempuan yang berjalan di belakang Dhyast. Dia buru-buru mematikan kompor dan mengelap tangan sebelum bergegas menghampiri kedua orang itu.

"Jan, kenalin ini ibuku." Dhyast menatap ibunya memperingatkan. "Ibu, ini Anjani."

Anjani langsung mengulurkan tangannya. Bertemu ibu Dhyast sama sekali tidak terlintas di benaknya saat dia menyetujui ajakan Dhyast untuk datang ke sini. Dan melihat reaksi Dhyast sekarang, Anjani yakin kalau laki-laki itu mempunyai perasaan yang sama. Ini kebetulan yang tidak diinginkan.

"Anjani, Bu." Anjani berharap tarikan bibirnya berbentuk senyuman, bukan ringisan cemas yang mencerminkan isi hatinya. Dia merasa ibu Dhyast sedang menilai penampilannya dari ujung kepala sampai ke kaki. Entah mengapa, ini terasa lebih menakutkan daripada menghadapi penguji saat ujian skripsi.

"Danita, ibu Dhyastama." Danita tersenyum tipis. Dia menyambut uluran tangan Anjani. Hanya sesaat sebelum buru-buru melepaskannya. "Saya nggak tahu kalau Dhyastama punya tamu. Biasanya dia nggak membawa teman perempuan di apartemennya kalau belum beneran dekat. Jadi sudah berapa lama kalian dekat?"

"Bu...!" Dhyast menyentuh lengan ibunya.

"Kenapa ibu nggak boleh ngobrol sama pacar kamu?" Danita berbalik menghadap Dhyast. "Kamu nggak pernah bilang-bilang sama Ibu kalau sudah punya pacar. Apa Ibu salah kalau langsung bertanya sama dia? Mumpung ketemu kayak gini, kan?"

Anjani diam saja karena dia merasa Dhyast tidak mau dia menjawab pertanyaan ibunya. Dia tidak sakit hati dengan kenyataan kalau Dhyast menyembunyikan hubungan mereka dari keluarganya, karena dia juga memilih melakukan hal yang sama sampai Dhyast akhirnya muncul di rumahnya dan memperkenalkan diri kepada ibunya.

"Kalau ada yang mau Ibu tahu, nanti Ibu tanya sama aku. Ibu ke sini sama Tante Kristin?" Dhyast menyebut nama asisten pribadi Danita. Dia merangkul bahu ibunya dan mengarahkan langkah perempuan itu kembali ke depan. "Dia nunggu Ibu di bawah?"

"Kamu ngusir Ibu?" Nada Danita naik.

"Aku nggak mungkin ngusir Ibu. Ini bukan saat yang tepat untuk berkunjung."

"Sama aja, Yas!"

Dhyast menoleh dan tersenyum kepada Anjani. "Aku ngantar Ibu ke tempat parkir dulu ya. Lanjutin aja lagi masaknya."

Anjani berdiri kaku, tidak tahu harus mengucapkan apa. Dia hanya mengawasi Dhyast dan Danita yang seperti merasa terpaksa harus meninggalkan apartemen itu.

Anjani mendesah. Meskipun belum berinteraksi banyak, dia tahu kalau Danita tidak terlalu menyukainya. Terlihat dari caranya menatap. Penilaian sekilas menunjukkan kalau dia tidak menyukai pilihan Dhyast. Teori bahwa kelompok orang seperti keluarga Dhyast memilih pasangan yang tingkatan ekonominya setara sekarang mulai terasa kebenarannya.

Kelihatannya Anjani harus membawa pulang bahan-bahan brownis yang sudah dibelinya, karena dia sudah kehilangan semangat untuk memanggang kue. Besok, dia akan membeli panggangan bolu yang bisa langsung diletakkan di atas kompor. Semoga benda itu bisa menggantikan oven listrik yang boros token.

Meskipun semangatnya sudah menurun drastis, Anjani kembali ke depan kompor. Dia masih harus menggoreng ayam. Sial, kenapa matanya terasa hangat? Rasa tidak diinginkan yang sudah lama terkubur seperti meronta dan menyeruak ke permukaan. Apakah yang menguar di udara yang dihidunya sekarang adalah aroma perpisahan?

"Ibu nggak percaya kamu akan mengusir Ibu karena nggak mau bikin pacar kamu itu nggak nyaman," Danita melanjutkan omelan kepada Dhyast dalam lift yang mengantar mereka ke bawah. "Dan Ibu lebih nggak percaya kamu memilih perempuan kayak gitu. Iya, dia cantik sih, tapi jelas nggak bisa dibandingin dengan Gracie. Kamu anak sulung, dan anak laki-laki satu-satunya. Ada banyak pertimbangan untuk memilih pasangan. Cinta bukan hal yang paling penting. Hidup mati perusahaan nanti ada di tangan kamu. Ja—"

"Iya, aku tahu, Bu. Hidup-mati perusahaan ada di tangan aku, bukan pasangan aku."

"Tapi kamu perlu pasangan yang seimbang supaya bisa fokus bekerja. Pasangan yang bisa mengimbangi kamu dan tahu seluk-beluk pergaulan di kalangan kita. Bukan perempuan yang nggak tahu gimana caranya memilih sepatu."

Dhyast malas melanjutkan perdebatan. "Aku dan Anjani belum lama sama-sama. Masih terlalu dini untuk ngomongin soal itu."

"Belum lama jadian tapi sudah main rumah-rumahan kayak tadi? Dia pikir kamu hanya butuh perempuan yang bisa menggoreng tahu dan tempe? Hidup kita lebih kompleks daripada itu."

"Sudah aku bilang masih terlalu cepat untuk ngomongin itu, Bu. Kita nggak perlu berdebat soal ini. Kita akan membahasnya kalau aku sudah mengajak Anjani ke rumah kita untuk berkenalan resmi dengan Ayah dan Ibu. Dan aku belum kepikiran sampai ke sana."

"Sebaiknya kamu nggak usah mikir sampai ke sana. Nggak ada yang lebih cocok daripada Gracie untuk kamu. Pernikahan kamu dan Gracie Kusuma bagus untuk bisnis keluarga."

"Kita lihat saja nanti." Dhyast berusaha tetap tenang, meskipun mulai gusar mendengar ibunya terus menyebut nama Gracie Kusuma.

"Ini bukan urusan nanti. Ingat umur kamu!"

"Selalu kembali ke umur. Menikah itu tergantung pada kesiapan emosi, Bu. Umur nggak terlalu berpengaruh."

"Siapa bilang nggak berpengaruh. Kamu pikir bagus punya anak saat fisik kamu nggak prima lagi? Gracie juga nggak mungkin nunggu kamu selamanya. Bukan hanya kamu calon potensial untuk keluarga Kusuma."

"Dia bisa menikah kapan saja, dan dengan siapa saja." Dhyast menggeleng-geleng. Menahan emosi ternyata jauh lebih sulit daripada yang dia pikir. "Itu berarti dia memang bukan jodohku."

"Jodoh memang di tangan Tuhan, tetapi tetap saja harus kita usahain."

Dhyast mengembuskan napas lega saat sudah sampai sisi mobil ibunya. Dia membuka pintu belakang, mengabaikan Kristin yang hendak melakukannya.

Danita menurunkan kaca. "Jangan main lama-lama sama dia. Perempuan seperti dia sebenarnya hanya mengejar keuntungan yang bisa dia dapetin dari kamu. Beliin dia sepatu, gaun, dan tas yang layak. Atau perhiasan yang nanti bisa dijual kembali kalau dia butuh uang. Setelah itu ucapkan selamat tinggal."

Dhyast berdecak sebal. "Anjani nggak mengejar uangku."

"Belum. Dia nggak mungkin melakukannya terang-terangan. Itu malah tipe yang lebih berbahaya daripada yang langsung minta kamu beliin macam-macam."

"Bu...!"

"Jangan lupa pakai pengaman," potong Danita. "Repot kalau dia hamil. Kalau dia licik, dia bisa bisa berhubungan dengan laki-laki lain juga dan menjebak kamu untuk bertanggung jawab."

Dhyast menggeleng-geleng. "Hati-hati di jalan, Bu." Dia berbalik kembali ke apartemennya.

Anjani sudah selesai dengan ayam penyetnya saat Dhyast kembali di atas. Semua makanan itu dihidangkan di meja bar dapur. Dia tersenyum canggung menatap Dhyast. "Mau makan di sini atau di meja makan?"

"Kamu mau makan di mana?" Dhyast balik bertanya.

Rasa lapar Anjani sudah menguap habis, tetapi dia tidak mau memperlihatkannya. "Di sini aja boleh? Meja makan kamu terlalu besar gitu. Rasanya resmi banget kalau duduk di sana."

"Oke, kita makan di sini." Dhyast mengambil dua botol air mineral di kulkas. "Tolong gelasnya, Jan."

Anjani mengambil dua buah gelas dan menyusul duduk di dekat Dhyast. "Biar aku yang isi," katanya.

"Aku nggak tahu kalau ibuku bakalan datang. Maaf suasananya jadi canggung kayak tadi." Dhyast mengusap lengan Anjani. "Aku memang belum bilang ke Ibu kalau aku sudah punya pacar."

Anjani meringis kikuk. "Aku mengerti kok."

"Bukan karena aku nggak serius," tambah Dhyast cepat. "Butuh waktu untuk kita sampai di tahap ini, jadi aku nggak mungkin main-main. Hanya saja ak—"

"Aku tahu," sambut Anjani menenangkan. "Butuh waktu untuk menuju jenjang berikutnya. Terutama untuk orang kayak kamu."

"Orang kayak aku?" Dhyast tidak suka kata-kata itu. Juga ekspresi pemakluman di wajah Anjani. Rasanya seperti mendengar kata kalangan kita yang tadi diucapkan ibunya.

Anjani menarik napas panjang. Lebih baik berterus-terang. "Dari cara kamu meminta ibu kamu supaya cepat-cepat pergi dari sini, aku tahu kalau kamu nggak mau kami ngobrol lebih lama. Aku yakin itu karena Ibu kamu nggak terlalu suka aku, dan kamu nggak mau aku tersinggung kalau beliau mengatakan sesuatu. Aku nggak bodoh, Mas. Satu-satunya alasan mengapa ibu kamu nggak suka aku saat pertemuan pertama karena dia tahu aku nggak masuk dalam kriteria yang dia inginkan untuk jadi pasangan kamu."

"Jan, itu bu—" Dhyast tidak menyangka analisis Anjani akan setepat itu.

"Sudah aku bilang kalau aku ngerti." Anjani buru-buru memotong. Dia tidak ingin memperpanjang pembahasan. Bagaimanapun juga, hubungan mereka masih terlalu singkat untuk meminta Dhyast mengambil sikap dan terang-terangan memihaknya di depan ibu laki-laki itu. Anjani menarik piring Dhyast dan mengisinya dengan nasi. "Kita makan sekarang ya. Ntar makanannya keburu dingin."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro