Bab 1 : Satu Untuk Berdua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari seperdelapan juta kemungkinan, entah mengapa Maggie secara tidak sengaja memperhatikan pembicaraan Eyrina yang terlihat seru meski nyatanya hanyalah omongan sampah.

Pagi ini Maggie meringkuk dengan tangan di atas meja yang menopang kepala. Matanya melirik Eyrina serta teman-teman seper-labrak-annya. Awalnya mereka hanya membicarakan tentang kutek, sampai-sampai ketika Carla masuk kelas untuk meletakkan tas, pembicaraan mereka menyimpang.

"Ada tiga tipe cewek di dunia ini. Pertama, yang halus, baik hati, lembut, cantik, suara merdu, yang pastinya perfect-lah kayak Carla." Teman-temannya tertawa riuh. Mereka menanggapi omongan Eyrina dengan pengakuan—tolol—bahwa mereka semua adalah kembaran Carla.

"Terus yang kedua, cewek tipe pertengahan, yang sebenernya cantik sih tapi cuma standar cewek biasa dan seringnya dapet cowok remahan rengginang. Contohnya kayak gue." Semuanya terbahak dan menunjukkan reaksi lebih ekstrim dari pernyataan sebelumnya. Harus Maggie akui jika dia sempat menyeringai mendengar hal itu.

"Dan tipe yang ketiga... yang enggak banget. Gak usah jauh-jauh deh, contohnya Maggie." Semuanya kembali tertawa. Tanpa dosa, mereka menunjuk-nunjuk Maggie yang tiba-tiba tersulut emosi.

Maggie berdiri menyergap, tapi rombongan itu sudah melarikan diri terlebih dahulu keluar kelas.

"Awas, Gorila ngamuk!" teriak mereka dari luar kelas.

Maggie mendengus ketika suara itu semakin sayup terdengar sebelum akhirnya menghilang.

Belum sempat ia kembali mendaratkan pantatnya di kursi, Dani tiba-tiba datang dan memanggilnya. "Mag."

Maggie memutar kedua bola mata lalu duduk dan memalingkan wajah dari sosok laki-laki tinggi tegap itu.

"Mag!" panggil Dani lagi. Kali ini terdengar lebih jelas karena laki-laki itu berada di depan mejanya.

Merasa tak mendapatkan hirauan, Dani menendang meja gadis itu. "Woi!"

Maggie berdecak, menatap laki-laki itu kesal. "Ngapain sih?"

"Deven mana?" Dani mengucapkan hajatnya ke kelas Maggie.

"Mana gue tahu, lo pikir gue bapaknya?"

"Yaelah nanya doang. Gak usah ngegas napa?" Laki-laki itu duduk di meja Maggie setelahnya. Maggie semakin jengkel melihat Dani duduk seenaknya.

"Mau ngapain lagi?"

Dani tersenyum. "Eh, lo... mau ginian kagak?" Laki-laki itu setengah berbisik seraya mengacungkan jari telunjuk dan tengah yang menempel di bibir.

Melihat itu, sorot mata Maggie seketika berubah menjadi penuh binar. "Emang lo punya?"

"Ya enggak, gue ngajakin lo karena gue pikir lo punya."

Maggie berdecak, kembali menenggelamkan wajah di atas kedua lengan yang terlipat.

"Cari Deven, yuk! Siapa tahu dia punya."

"Ogah." Maggie menjeda. "Lo ke sini buat cari itu?"

"Cari Deven juga sih."

"Ya udah, kalo gitu pergi gih. Deven gak ada."

"Hah?" Dani mengernyit. "Gak ada maksudnya dia belum dateng?"

Maggie kembali mendengus dengan wajah yang terangkat. Rasanya ingin sekali ia mengobrak-abrik wajah tampan laki-laki di hadapannya. "Ya enggak lah oneng! Dia gak masuk."

"Hah?"

"Hari ini Deven sakit. Mencret."

"Hah? Kata lo tadi lo gak tahu Deven di mana, sekarang kok kasih kabar dianya mencret?"

"Gue emang gak tahu dia sekarang di mana. Mungkin di kamarnya atau di WC-nya atau di kuburannya. Yang pasti dia gak masuk."

"Hah?"

"Sekali lagi ngomong kayak gitu, gue dipak kepala lo!" Gadis itu menunjuk amplop surat yang ada di meja guru seraya memberikan kode agar Dani segera enyah dari hadapannya.

Dani hanya berdiri beberapa saat, menatapi surat sakit Deven sebelum akhirnya pergi tanpa kalimat penutup.

"Bedebah." Maggie bergumam sebelum kembali pada posisi tidur duduknya.

Untuk beberapa menit, ia merasakan ketenangan yang hakiki. Sampai menit-menit menjelang bel masuk, ketenangan itu kembali terusik karena panggilan suara dari cowok yang begitu familiar.

"Woi, Monyet."

Maggie sontak menegakkan wajah dengan mata melotot tak percaya. Di hadapannya, Deven tersenyum miring seraya mengedipkan mata kirinya.

"Wa-wah, lo nipu gue, Njir! Lo bilang lo mencret, gue udah bela-belain bikin surat sakit palsu, duit jajan gue kepotong buat beli amplop lagi, basi lo!" Maggie menyerapah. Keinginan untuk mengobrak-abrik wajah Deven turut meningkat.

"Santuy, gua cuma April Mop doang kok!"

"April Mop palak lu peyang! Ini Januari woi."

Deven tertawa tanpa dosa kemudian menggusur tempat duduk Maggie dengan bokongnya. Maggie semakin naik darah dengan apa yang dilakukan Deven saat ini.

"Kursi lo ada di sebelah, jadi ngapain lo ngegusur-gusur kenyamanan gue, hah?!" Gadis itu berteriak saat Deven mengambil setengah wilayah kursinya.

"Satu kursi berdua." Laki-laki itu tersenyum, melumrahkan apapun agar selalu dibagi berdua dengan sahabatnya itu.

Maggie mendengus dan menyerah. Paling tidak semenit lagi Deven pindah.

Satu Untuk Berdua sudah menjadi jargon lumrah bagi Deven—Maggie tidak—dalam melabeli persahabatan mereka. Menurut Deven, semua hal yang mereka punya adalah milik bersama. Yeah, meski ini hanya akal-akalannya untuk mencomot makanan, mengambil tempat, dan memasuki personal space Maggie seenak udel, tapi Deven juga membagi semua hal yang dia punya pada Maggie.

Maggie tak menyanggah jargon ini karena Deven lumayan kaya dan dia menerima banyak keuntungan akan hal ini. Terutama ketika ibunya malas masak.

Deven bahkan membagi kamarnya ketika Maggie malas tidur di rumah akibat suasana yang tidak bersahabat.

Setelah membiarkan Deven membajak kursinya, Maggie memalingkan pandangan dari apa yang saat ini tengah Deven lakukan.

Dari seperdelapan juta kemungkinan lainnya untuk hari ini, entah mengapa Maggie melirik sekilas siluet tubuh Deven. Dan entah mengapa dia sedikit menggeser tubuhnya, mendekati laki-laki itu meski tak dapat dipungkiri jika mereka sudah berdempetan.

"Tadi pacar lo nyariin."

"Apa? Akhirnya Stevi mau jadi pacar gue?" Deven bereaksi riang.

Maggie mencibir, "bukan. Tapi si Dani."

"Yee, Dani pacar semua orang. Lo juga pacarnya tuh."

"Ngigau lo!" Maggie mendengus. Ia menyanggah hal itu karena menurutnya Dani adalah manusia dingin dan hanya berteman dengan sedikit orang. Namun, dari sudut pandang Deven, Dani merupakan orang yang terbuka dan hangat kepada siapa saja. Hal itu membuat Maggie berpikiran kalau Deven terlalu naif karena Dani bersikap baik hanya pada teman-temannya saja.

Dani bahkan bersikap dingin pada pacarnya kalau saja pacarnya itu tidak benar-benar dia sukai. Note : Setahu Maggie, Dani hanya dua kali berpacaran dan keduanya tidak benar-benar cowok itu sukai.

"Eh, tapi kalo Dani nyariin, pasti dia ngajak..."

Maggie mengangguk. "Dia ngajakin kita ngudud."

"Sssttt!" Deven menutup mulut Maggie seraya menatap sekeliling dengan awas.

"Sok suci lo." Maggie melepas bekapan tangan Deven.

"Kalo gitu ayok!" bisik Deven lebih pelan dari bisikan Dani sebelumnya.

"Kami gak punya rokok."

"Gue bawa sekotak." Deven membuka salah satu kancing kemejanya dan menunjukkan kotak rokok yang ada di sana. "Gimana?"

"Sial, bentar lagi bel udah mau masuk! Mana pelajaran Fisika lagi."

"Yaelah, kita bolos aja."

"Gila lu!" Maggie berdiri seketika. "Tumben-tumbennya otak lo encer."

🚭🚭🚭

*Catatan :

- Ngudud : Merokok (Yakali gatau arti ini😂)

- April Mop : Hari ketika orang berbondong-bondong melemparkan lelucon, kebohongan, dan tipuan kepada orang lain tanpa merasa bersalah.

- April Mop di Bulan Januari (D) : Hari ketika Si Brengsek Deven melemparkan lelucon, kebohongan, dan tipuan kepada Maggie tanpa merasa bersalah.

- Otak Encer (M) : Cerdas dalam melakukan tindak kebadungan.

*Keterangan :

(D) : Deven

(M) : Maggie

Nungguin Deven bawa rokok di halaman belakang sekolah. Sial, tuh bocah malah ngintilin Stevi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro