Bab 2 : Cowok Kemayu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika pulang, ingin sekali rasanya Maggie melarikan diri meski kenyataannya hampir setiap hari dia merasa ingin melarikan diri. Ibunya tersedu dan hanya menangis ketika Maggie pulang dari sekolah.

Jika ibunya diabaikan oleh ayahnya—ralat—jika ibunya diabaikan oleh mantan ayah Maggie, maka semuanya akan terlampiaskan pada gadis itu.

"Berisik!" teriak Maggie dari ambang pintu kamar ibunya. Matanya melotot tajam pada sang ibu yang terlihat mengenaskan dengan tubuh meringkuk di atas ranjang. Tangis ibunya masih tak kunjung reda.

"Gitu aja nangis." Gadis itu menendang pintu sebelum akhirnya menutupnya dengan hempasan yang keras.

Perlahan ia menggeleng sambil memijat pelipisnya.

Maggie kemudian memasuki ruangan bekas sang ayah dan mulai mengobrak-abrik lemarinya. Hanya beberapa helai pakaian yang tersisa di sana. Gadis itu mengambilnya beberapa dan memandanginya dengan mata yang memicing.

"Jelek. Gak guna." Ia melemparkan pakaian ayahnya sembarangan. Kemudian dia kembali mengobrak-abrik lemari, laci, maupun nakas di kamar itu.

Bunyi barang-barang lama beradu padu bersama tangannya yang terus menggebu-gebu mencari sesuatu yang mungkin sedikit bernilai.

"Sial! Dia gak ninggalin apa-apa." Maggie berkacak pinggang dalam posisi jongkoknya. Ia kembali mencari dan terhenti sesaat pada kotak rokok yang tertinggal. Ada tiga batang rokok di dalamnya dan gadis itu langsung mengantunginya.

"Apa yang kau lakukan pada barang-barang ayahmu?"

Sedikit kaget, Maggie langsung membereskan barang-barang ke sembarang wadah.

"Kau tidak boleh menyentuhnya! Siapa tahu ayahmu kembali untuk mengambil barang yang tinggal." Ibunya mengambil beberapa helai baju yang tergeletak.

"Aku tidak melakukan apa-apa." Maggie berdiri. "Lagi pula tidak ada yang bisa dijual."

Malamnya, gadis itu kembali mendengar suara tangis ibunya. Maggie memutar bola mata. Setelah mengenakan earphone untuk meminimalisir kebisingan, Maggie menghisap rokoknya dalam.

Baru saja ia hendak memutar lagu Stevie Wonder, tiba-tiba pesan Line masuk dari Deven si Brengsek.

'Nyet, udah belom pe-er MTK:v'

Maggie menyelipkan puntung rokok di antara jari telunjuk dan tengah sebelum kemudian mengetikkan balasan dengan cepat.

'Ngapain gw mikirin PR? Mabuk lo.'

'Santuy.' Balas Deven cepat. 'Ngapain lo sekarang?'

Maggie berdecak. 'Ngudud.'

'W butuh bantuan nih. Kira-kira Stevi suka nonton apa ya? W butuh pencerahan dari sudut pandang lo.'

'Ngapain lo nanya ke gw? Kayak gw tw aja kebiasaan cewek.'

'O ya, gw lupa lo cowok ;P'

Maggie terkekeh sinis kemudian menghisap kembali rokoknya. Deven tidak membalas atau mengetikkan pesan apapun lagi sehingga Maggie memilih mengetik pesan duluan.

'Palingan dia suka Drama Korea. Sekarang kan lagi musimnya cowok kemayu.'

Tanpa waktu yang lama balasan kembali muncul. 'Untung aja gw cowok kemayu :v'

Maggie terbahak seketika menyadari seberapa naifnya sahabatnya yang satu itu. 'Cowok kemayu cocoknya sama cewek galak.'

'Kayak lo?'

Seketika Maggie membeku melihat balasan itu. Entah mengapa ia hanya bisa diam menatapi pesan yang tak lebih dari dua patah kata dengan hiasan satu tanda tanya yang mungkin memiliki berjuta jawaban.

Entah apa yang telah ia lakukan, tapi dari seperdelapan juta kemungkinan yang ada, Maggie malah membuang rokoknya ke sembarang arah dan mengetikkan balasan yang terdengar konyol.

'Lo gak kemayu kok, Dev. Dan gue gak galak-galak amet kali:)'

🚭🚭🚭

Paginya, Maggie harus kembali menarik napas panjang ketika melihat Deven yang mengejar-ngejar Stevi bak anak anjing.

Beberapa orang berbisik-bisik menyayangkan Deven yang ganteng harus tergila-gila pada Stevi yang cabe.

"Padahal dia itu kandidat Most Wanted, kan? Sayang banget kalo bukan dapet cewek yang Most Wanted juga."

"Iya, orang kayak Deven mah cocok sama yang jauh lebih cantik."

Maggie menyerapah dalam hati mendengar ocehan sampah orang-orang seperti itu. "Pencemburu!" sergapnya ketus membuat orang-orang itu langsung menatap sinis.

"Apa lihat-lihat? Ada masalah?" Maggie menantang mereka yang menatapnya dengan tatapan seperti itu. Gadis-gadis itu pun memilih pergi karena tak ingin mencari keributan pada cewek paling bermasalah di sekolah.

Belum sempat Maggie melangkah lebih jauh untuk mengejar Deven si Brengsek, Pak Ansori tiba-tiba lewat di depannya dan mencegatnya begitu saja. Mata bekel guru tua yang lebih pendek dari Maggie itu meliriknya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki sebelum kembali ke ujung kepala lagi.

"Kamu gak bawa rokok lagi, kan?" Suara berat guru itu berusaha memperingati.

"Gak," jawab Maggie sungkan.

"Awas ya kalau kamu berani-berani merokok lagi, tak hajar kamu!"

"Yaelah, Pak, alay banget deh. Bapak sendiri juga sering ngerokok di sekolah."

"Oh... berani ngelawan ya kamu?"

Maggie menggeleng jengah dan pergi begitu saja. "Bapak kan tahu sendiri saya gimana."

Guru itu menggeram dan memanggil Maggie untuk kembali ke tempatnya semula. Akan tetapi, Maggie memilih terus berjalan dan tak mengindahkan apa perintah guru itu.

Ketika guru lain sudah lelah menghadapi kelakuan Maggie, Pak Ansori justru tak kenal lelah. Guru lain mungkin menindak tegas siswa yang melakukan perundungan, berkelahi, merokok, bahkan bolos, tapi mereka sudah kebal jika Maggie yang melakukannya.

Hanya saja, Pak Ansori tidak begitu. Dia terus memperingati Maggie, memberikan hukuman—meski Maggie tak pernah kapok—dan menasihati gadis itu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Melihat kegigihan itu, Maggie justru merasa Pak Ansori memperhatikannya. Hal itu malah membuat Maggie menganggap Pak Ansori sebagai temannya.

Dan sebagai teman, dia bertindak semena-mena.

Maggie menoleh kanan-kiri secara pasti pada sepanjang jalan menuju koridor belakang. Ia menyelidik waspada sebelum kemudian memeriksa halaman belakang sekolah.

Deven terlihat sedikit terlonjak mendapati keberadaan Maggie yang muncul secara tiba-tiba.

"Gue pikir siapa. Lo kayak setan."

"Biasa aja, Njir." Maggie duduk di samping Deven yang kini berada di pojok halaman belakang sekolah. Tangannya menengadah di depan Deven yang tengah menyalakan korek.

Saat rokok laki-laki itu menyala, Maggie baru mendapatkan sebatang rokok darinya. Gadis itu pun mengambil korek milik Deven sebelumnya.

"Udah puas ngejer-ngejer Stevi? Lo digosipin jadi maniak cabe-cabean tuh."

"Enak aja, Stevi bukan cabe kali. Dia itu lebih cantik dari cewek manapun," sanggah Deven tak terima.

Maggie hanya mengidikkan bahu mendengar hal konyol itu. "Cinta itu bukan bikin orang buta rupanya. Tapi halu!"

Deven menertawai ucapan Maggie barusan. "Ya kali. Lo kan belum ngerasain yang gue rasain, Nyet. Lagian Stevi jauh lebih mendingan daripada Lo."

Maggie mematung seketika. Rokok yang sebelumnya hampir mendarat masuk ke mulutnya, kini tertahan di atas angin-angin. "Anjing lo!" Gadis itu kemudian menghisap rokoknya dengan sorot mata yang tertunduk.

Deven pun bermain dengan pikirannya sendiri, menatapi embusan asap rokok yang berterbangan, menciptakan keheningan yang begitu sepadan.

"Mag, ada orang yang tanya ke gue. Kenapa sih perokok itu setiap ngisap dan ngembusin asap rokoknya, dia terlihat kayak ngerenungin sesuatu? Lo tahu jawabannya?"

"Nggak."

Deven terkekeh. "Aneh, ya. Padahal kita perokok." Deven menggigit bibir bawahnya. "Kalo lo? Apa yang lo rasain waktu merokok?"

Maggie menatap kosong ke depan, memainkan putaran lama dari memori masa lalu sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan laki-laki itu.

"Sakit."

🚭🚭🚭

*Catatan :

- Kemayu (KBBI) : genit; centil (untuk gadis) 

- Kemayu (M) : genit; centil (untuk cowok)

- Kemayu (D) : Samain aja artinya kayak Maggie

---

- Cabe (KBBI) : Cabai

- Cabe (M) : Cewek Agak Begok

- Galak (KBBI) : buas dan suka melawan (menyerang, menggigit, menanduk, dan sebagainya tentang binatang); ganas; garang: anjingnya -- sekali

- Galak (D) : Suatu Spesies seperti Maggie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro