Bab 10 : Jatuh Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maggie meneliti pantulan bayangannya di cermin. Sejenak ia melirik foto dirinya dengan Deven ketika masih kanak-kanak.

Sejujurnya ia masih tak percaya jika Deven benar-benar ingin menjauhinya hanya karena perempuan seperti Stevi ataupun faktor lainnya. Ini semua hampir tak masuk akal karena selama ini Deven tak pernah terganggu akan sikap Maggie. Apakah Maggie harus merubah sikapnya? Tidak. Tentunya dia tidak mau.

Gimana kalo orang yang lo sukai juga ngelirik lo?

Mengingat ucapan Deven yang satu itu, Maggie malah semakin tidak percaya. Lagipula kalau dia berubah sekalipun, semua orang tetap akan memandang jelek dirinya. Mereka semua hanya tahu jika Maggie adalah preman sekolah, tapi jika semua orang tahu kehidupan Maggie secara baik seperti Deven, maka mereka pasti semakin memandang jelek dirinya.

Deven bodoh. Hanya dia yang mengerti seperti apa hancurnya kehidupan Maggie dan dia justru semakin memperparah hal ini dengan sikap bucinnya. Meskipun begitu, jika dipikirkan sekali lagi, sikap yang mungkin diambil Deven bukanlah sesuatu yang salah. Memang Maggie tidak layak untuk menjadi teman siapapun termasuk Deven.

Sekali lagi Maggie memandang foto mereka berdua. Tidak apa jika Deven ngebet ingin menjauhinya, dengan begitu jumlah teman Maggie sekarang ada...

Nol.

Semua orang yang Maggie kenal saat ini, semuanya berkat Deven.

"Argh, Deven si Brengsek!" Maggie menghempaskan buku di dekatnya hingga beberapa kertas terlepas dari buku lama itu. Dengan sesal, gadis itu memunguti buku dan kertas yang berserakan. Tangannya terhenti ketika menemukan satu foto lama di antara selipan kertas.

Untuk beberapa detik, Maggie meratapi foto dirinya saat kecil yang berada di pelukan ayah dan ibunya. Matanya kosong menatap seberapa bahagianya senyum ketiga orang di foto itu.

Setelah beberapa saat, Maggie mengambil ponselnya dan mencari kontak seseorang. Tangan kirinya masih menggenggam foto itu, kemudian ia duduk di kursi kamarnya yang gelap. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam namun seseorang yang saat ini Maggie coba hubungi langsung menjawab panggilan Maggie.

"Halo? Kak Yoga?"

Gadis itu mengapitkan ponselnya di antara telinga dan bahu, kemudian tangan kanannya menyelipkan rokok ke mulut.

"Gue udah punya duit nih," lanjut Maggie dengan suara yang agak samar karena rokok yang menyelip di mulut. Setelahnya, gadis itu menghidupkan pemantik.

Ia mendekatkan api pemantik pada foto yang berada di tangan kiri. Foto keluarganya.

"Kapan mau ngelakuinnya?"

Perlahan, api yang menari di kegelapan ruang merambat dan menyambar foto lama itu. Maggie mematikan korek api lalu menghidupkan rokoknya dengan kobaran api dari foto. Ketika rokoknya menyala, gadis itu melanjutkan pembicaraan. Sementara foto yang berada di tangan kirinya sudah ia pindahkan ke asbak rokok.

Api itu membakar secara cepat, menyisakan Maggie bersama kegelapan malam ketika semuanya telah menjadi abu.

🚭🚭🚭

"Lo lihat apa yang orang-orang obrolin sepanjang koridor sekolah? Mereka semua membicarakan Yugo dan Scarlet." Dani memperjelas apa yang sesungguhnya sudah terlalu jelas hari ini. Padahal ini masih pagi.

Bel masuk pun belum berbunyi. Namun, kabar tentang hubungan seniman sekolah yang berwajah standar dengan salah satu anggota chirs yang dicalonkan menjadi Most Wanted menyebar cepat seperti jerawat.

Sepertinya julukan Most Wanted sudah beberapa kali disebutkan. Oleh karena itu, akan dijelaskan sedikit. Jadi, Most Wanted merupakan julukan bagi Siswa-Siswi yang dianggap berwajah paling cantik ataupun paling ganteng di sekolah. Setiap angkatan mempunyai empat kandidat siswa dan empat kandidat siswi yang nantinya akan diresmikan ketika sudah menginjak kelas dua SMA. Jika pada satu angkatan hanya ada tiga kandidat untuk perempuan, maka tidak akan ada yang namanya Most Wanted untuk perempuan pada angkatan itu.

Dani dan Deven sempat dikabarkan menjadi kandidat untuk Most Wanted cowok. Satu lagi ada yang namanya Dion, temannya Dani dalam klub basket, hanya saja sampai saat ini masih belum ada kandidat yang keempat padahal ini sudah memasuki semester dua. Meskipun banyak cowok ganteng lainnya di angkatan Maggie, tetapi seleksi yang begitu teliti membuat semuanya tidak mudah untuk menjadi kandidat.

Hal ini tak menutup kemungkinan tidak akan adanya Most Wanted Cowok pada angkatan Maggie. Sementara yang perempuan sudah memiliki lima orang kandidat. Scarlet salah satunya.

"Kenapa orang-orang lebih banyak membicarakan tentang kejelekan hubungan mereka?"

"Itu karena Yugo jelek. Tuh cowok gak cocok dengan Scarlet," jawab Maggie terlalu jujur.

"Lo gak boleh dong ngomong kayak gitu."

"Terus harus ngomong gimana? Emang kenyataannya, kan? Sekarang mereka jelek-jelekin Scarlet. Seharusnya yang cakep dapetnya sama yang cakep, kayak lo sama Biuret misalnya. Gue aja gak setuju Deven dapetnya sama cewek kualitas rendah kayak Stevi." Maggie mendumel panjang lebar tanpa memedulikan Dani yang kadang tidak suka dengan sesuatu yang berbelit.

"Menurut gue sah-sah aja kalo yang cakep dapetnya yang jelek. Selama mereka saling menyukai sih, gue gak masalah."

Maggie berhenti sejenak, mencerna perkataan Dani barusan sebelum akhirnya kembali menyusul laki-laki itu yang sudah dua langkah di depannya.

"Emangnya menurut lo yang cakep-cakep berkemungkinan bisa suka dengan yang jelek?"

Dani mengangguk sebagai jawaban. Hal itu justru membuat Maggie merasa senang meski gadis itu mengutuk dirinya sendiri.

"Gue mau tanya nih, Dan," gumam Maggie sebelum mereka masuk ke kelas masing-masing. "Lo nyaman gak sih ada di deket gue?"

Dani melirik Maggie sekilas dengan tatapan penuh kebingungan. "Demi apa lo bisa nanyain hal kayak gituan?"

"Enggak, cuma... lo gak risih gitu ada di deket preman kayak gue. Lo pernah kepikiran gak untuk minta gue ngubah sikap... gitu?"

Kali ini Dani menilik manik mata Maggie dengan begitu tajam. Beberapa detik saling beradu pandang, akhirnya Dani mengakhirinya dengan gelengan pelan. "Gak pernah."

"Misalnya aja nih, gue suka sama elo. Terus, lo minta gue ngubah sikap, terus waktu gue udah berubah, kira-kira lo bisa suka sama gue juga gak?"

Dani tertawa mendengar hal itu. "Lo abis makan apa sih, Mag? Sejak kapan lo mulai tertarik ngomongin masalah yang kayak ginian?"

"Jawab aja, Tai!"

Dani menggeleng dengan senyuman yang masih menyungging di wajahnya. "Gue... gak tahu. Gue gak tahu soalnya gue sendiri masih belum pernah ngerasain suka-suka yang kayak gituan."

"Lha? Bukannya lo lagi suka sama Biuret?"

"Kalo itu gue masih belum yakin."

"Cowok brengsek." Cibiran Maggie itu malah dibalas kekehan kecil dari Dani. Laki-laki itu kemudian memisahkan diri menuju kelasnya duluan.

Hari ini Maggie hanya bersama Dani—bukan karena Deven yang pura-pura mencret lagi—tetapi laki-laki itu mencoba peruntungan dengan membawa motor ayahnya untuk menjemput Stevi di rumah gadis itu.

Deven bodoh. Dia bahkan tidak memperbolehkan Maggie menaiki boncengan motornya tadi karena tempat itu spesial hanya untuk Stevi.

Cemburu? Tentu saja Maggie cemburu karena posisi persahabatan yang setinggi angkasa itu harus tergeser sama cinta monyet terhadap cewek abal-abal.

Ketika memasuki kelasnya yang sedikit bising, Maggie sudah dihadapkan dengan orang-orang yang mengerumuni salah satu meja siswa di kelasnya. Gadis itu mengernyit melihat beberapa siswa luar. Dia bahkan mengenali jika orang-orang itu merupakan kakak tingkat kelas sebelas. Entah kelas sebelas berapa, tapi Maggie yakin jika itu kakak tingkatnya.

Maggie melihat rombongan Eyrina mengisi garis depan, membuatnya terpaksa harus berdesak-desakkan melihat apa yang sebenarnya terjadi.

"Minggir! Geser dikit doang pelit amet!" Maggie memaksakan diri berada di garis depan seperti Eyrina. Seharusnya Maggie tak memedulikan apa yang tengah terjadi seperti dia yang biasa mengabaikan hal-hal bodoh lainnya. Hanya saja kali ini hasratnya berbeda. Dia benar-benar ingin tahu.

Kak Rey?

Maggie mengulum senyuman geli melihat Kak Rey—cowok yang pernah adu jotos dengan Maggie—saat ini tengah menyatakan perasaannya kepada Carla.

"Gue mungkin gak sempurna, tapi rasa sayang gue ini nyata." Laki-laki itu meyakinkan perempuan berdarah Denmark di depannya. Maggie menatap geli ekspresi wajah Carla yang penuh akan kebingungan. Hal ini mengingatkannya pada Deven dan Stevi.

"Gue mohon, Car, lo terima gue. Kalo lo terima cokelat ini, itu berarti lo terima gue." Sedetik setelahnya semua orang mulai menyerukan Carla untuk menerima cokelatnya. Maggie sendiri hanya menggeleng, tahu bagaimana kelanjutan nasib Kak Rey hari ini. Gadis itu ingin sekali meninggalkan tempat itu, hanya saja ia malas harus berhimpit-himpitan lagi.

"Gak usah-Diterima-Gak usah-Diterima." Maggie turut menyeru. Seruan itu membuat orang-orang di sekitarnya terhenti sambil memusatkan mata padanya, tak terkecuali Kak Rey dan Carla sendiri.

"Lo ngedoain gue ditolak? Mau cari ribut?" Rey melebarkan mata menatap Maggie jengkel.

"Nggak juga. Gue gak nyanyi kayak gituan pun, lo bakal tetep ditolak." Maggie langsung melanjutkan sebelum Rey kembali bersua. "Lagipula lo gak lihat apa ekspresi Carla kayak gimana? Dia gak suka sama lo. Seleranya tuh tinggi."

Laki-laki itu langsung mencengkram kerah baju Maggie dan kericuhan seketika mengambil alih. Orang-orang pada berhamburan ke posisi yang berbeda dan beberapa dari mereka berusaha menenangkan Rey untuk tidak berbuat keributan di kelas orang.

Laki-laki itu melepaskan cengkramannya kemudian. Kakinya menghentak, menendang meja, dan pergi dari tempat itu dengan perasaan penuh amarah.

Maggie tersenyum, kemudian berjalan menuju tempat duduknya dengan santai karena kerumunan orang-orang sudah tidak ada lagi.

"Itu tadi sangat menolong. Terima kasih." Maggie tak menduga jika Carla mendatangi tempat duduknya saat ini.

"Santai aja. Lagipula itu cowok kesembilan yang lo tolak."

Carla tersenyum dan mengangguk sekali. Sebelum gadis itu pergi, Maggie cepat-cepat menahannya.

"Carla, gua mau tanya sesuatu."

"Ya?" Carla merespon dengan baik.

"Kan udah banyak nih cowok-cowok cakep yang lo tolak. Terus, lo gak ada naruh hati ke seseorang gitu?"

Carla berpikir beberapa saat. "Kayaknya sekarang belum. Memangnya kenapa?"

Maggie berdeham ragu untuk menjelaskan. "Gue tahu kalo tipe lo pasti cowok yang kelas tinggi, tapi mungkin gak sih lo bisa suka sama cowok jelek?"

Carla memicingkan mata dan memberikan tatapan menyelidik. "Sepertinya ada yang sedang jatuh cinta."

"Apa? Gue? Enggak, gue enggak kok. Lo sembarangan banget ngomong."

Carla tertawa dan mengatakan pada Maggie jika dia hanya bercanda. Gadis itu mengusap pipi dan hidungnya sembari menjawab pertanyaan Maggie dengan sungguh-sungguh. "Mungkin aja bisa. Orang bisanya tertarik sama penampilan, tapi hal itu bukan penentu utama dalam hubungan tahap selanjutnya."

Maggie membuka mulutnya, tapi segera menutupnya lagi. Gadis itu kemudian menyuruh Carla untuk pergi dari hadapannya dan Carla memberikan Maggie sedikit masukkan agar dia tetap menjadi dirinya sendiri

🚭🚭🚭

*Catatan :

- Ngebet (KBBI) : rasa ingin sekali untuk menikmati sesuatu atau mengerjakan sesuatu.

- Jatuh Cinta (M) : server error


Ciyeee jatuh centong😂😂

Aku senyum-senyum sendiri nulis n baca chap ini, padahal Deven gaada🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro