Bab 11 : Abu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bukannya risih, hanya saja Deven heran mengapa saat ini Maggie berjalan mengekorinya menuju tempat parkiran. "Lo mau ngapain?" tanyanya kemudian.

"Ya mau pulang lah."

"Barengan gitu?"

"Biasanya kan juga gitu. Lo banyak bacot deh." Maggie berjalan mendahului Deven. Laki-laki itu menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung karena seharusnya Maggie saat ini membersihkan toilet sebagai hukumannya waktu itu.

"Lo gak bersihin toilet?"

Maggie berbalik. "Hukumannya dah kadaluarsa. Habis masa berlaku."

Laki-laki itu kemudian mengingat-ingat jika ini sudah seminggu berlalu dari ketentuan sahabatnya mendapatkan hukuman. Deven akhirnya berjalan mengikuti Maggie yang menuju parkiran motor. Terlihat gadis itu yang ngonyor seenaknya mendekati motor Deven.

"Biasanya jalan kaki. Tapi hari ini kita bisa naik motor."

"Ehhh, jangan!" Deven seketika menghadang Maggie yang hendak menaiki motor laki-laki itu. "Gak boleh."

"Pelit amet lo, Njir. Kalo gue gak boleh naik, gimana mau pulang barengan?"

Deven memasang cengiran kuda seraya mengacungkan jari telunjuk dan tengah. "Sori. Hari ini lo pulang sendirian aja ya. Gue mau bareng Stevi."

Maggie memelototkan mata dan menajamkan telinga mendengarnya. "Oh, jadi gitu. Sekarang sama Stevi?"

"Sori, Nyet. Soalnya tadi pagi dia nerima ajakan gue buat anterin dia ke sekolah. Jadinya gue mau anterin dia pulang juga."

Maggie terkekeh nanar seraya berkacak pinggang. Gadis itu meludah dan menyerapahi Deven dengan kata-kata sarkas.

"Pliss, Nyet, ngertiin gue dong. Gue udah masuk tahap eksekusi nih. Gue mau nembak Stevi segera."

Maggie menatap Deven tajam. "Lo tuh gak guna tahu gak. Mau-maunya jadian sama orang kayak dia, lo tuh bisa dapet yang lebih baik, Dev. Lo tuh..." Maggie menarik napas sejenak. "Lo tuh orangnya baik. Dan lo pantes buat dapet... yang lebih baik."

Maggie tak mengerti mengapa dia justru mengatakan hal seperti itu. Gadis itu bahkan mengatakannya sambil tertunduk dan mengepalkan tangan. Entah apa yang terjadi, dia tak berani menatap mata Deven sama sekali.

"Gue minta maaf, Nyet." Maggie menegakkan wajah seketika saat Deven mengatakan hal itu. "Lo duluan aja sekarang. Stevi udah ada di sini." Laki-laki itu berseru kegirangan.

Maggie berdecak dan memutar kedua bola mata. "Lo dengerin omongan gue gak sih?"

Deven melangkah maju melalui Maggie. Laki-laki itu melambaikan tangan pada Stevi yang tengah berjalan menuju tempatnya.

Maggie mengepalkan tangan dan berbalik menatap Stevi yang kini melenyapkan senyumnya. Gadis itu kemudian memperlambat ritme jalannya menuju tempat Maggie dan Deven berdiri saat ini.

"Stev, ayo pulang barengan gue." Deven menarik tangan Stevi pelan. Stevi melirik Maggie sesaat kemudian melepaskan tangannya.

"Gak. Gue gak mau dianter sama orang nyebelin kayak lo."

Maggie mendengkus kemudian memutar kedua bola mata. Munafik, munafik, munafik!

"Lho, kok gitu. Kan tadi pagi—"

"Gak mau, Dev. Gue tadi pagi cuma kasihan sama lo. Gue khilaf. Berhenti ngajakin gue naik motor lo lagi." Gadis itu menyedekapkan tangan kemudian berbalik meninggalkan mereka.

"Yah, jangan gitu dong, Stev. Lo kenapa tiba-tiba jadi berubah gini sih?" Deven membujuk-bujuk seraya mengejar Stevi.

Maggie memejamkan mata sesaat. "Berisik! Bacot semua lu berdua. Kalo mau naik motor ya naik aja. Gak usah lama-lama."

Kedua orang tadi menatap Maggie dengan takut.

"Deven! Naik!" tunjuk Maggie pada motor laki-laki itu. "Cepet!"

Deven yang tak berkutik hanya bisa manut dan kembali menuju motornya. Dia tak ingin jika amarah Maggie akan gadis itu lampiaskan pada Stevi.

"Dan lo Cewek Cabe, naik sana! Dia mau ngebonceng lo pulang, gak usah sok jual mahal." Maggie masih menunjuk motor yang kini telah Deven naiki. Stevi memicingkan mata dan berjalan malas menuju motor Deven. Deven melirik Maggie sesaat sebelum memasangkan helm ke kepala Stevi. Setelahnya, laki-laki itu menjalankan motornya.

"Mag, lo pulang sendiri gak papa, kan?" izin Deven sebelum berangkat.

Maggie memalingkan wajah dan mengibaskan tangan, menyuruh Deven pergi.

Akan tetapi, sebelum Deven tancap gas, sebuah motor dengan cepat melaju dan berhenti di depannya.

Pengemudi motor itu melepas helmnya.

"Hei?"

Deven lantas menoleh, menatap wajah setengah kaget Maggie sebelum kembali menatap wajah laki-laki yang ternyata kakak kelasnya, Yoga.

Yoga tersenyum sumringah. "Maggie, ayo pulang bareng gue."

🚭🚭🚭

Lima menit berlalu semenjak motor Yoga berhenti di depan taman yang menghadap gedung besar. Salah satu gedung konsultan terbesar di kotanya. Maggie menerima rokok yang disodorkan Yoga, kemudian mereka berdua merokok sambil menatap lurus gedung itu.

"Seinget gue, dulu Bokap kerja di sini." Maggie memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Nyokap gue yang masukin bokap ke perusahaan ini."

Gadis itu menoleh, menatap wajah tenang Yoga. Yoga menghisap rokoknya dengan saksama sambil menatap kosong gedung tersebut. Tidak mendapat respon apapun, Maggie kembali memalingkan wajah lurus ke depan.

"Kenapa Nyokap lo bisa masukin tuh cowok ke perusahaan ini? Dia yang punya?"

Maggie menggelengkan kepala. "Ada temen deket Nyokap di perusahaan itu, jadi waktu itu bokap dapet bantuan orang dalem."

"Sekarang temen Nyokap lo masih kerja di sini?"

Maggie mengidikkan bahu, tidak tahu karena dia tidak pernah peduli tentang ruang lingkup orang tuanya. Gadis itu kemudian menghisap rokoknya sehingga keduanya termenung untuk beberapa saat.

"Kok Bokap lo berani-beraninya sih ngekhianatin nyokap lo. Itu kan namanya Bangsat!"

Tanpa sadar Maggie tersenyum tipis mendengarnya. Yoga mengatakan sesuatu persis seperti apa yang Maggie rasakan. Gadis itu merasakan energi yang tertransfer dalam dirinya.

"Itu udah biasa. Udah biasa banget malah." Maggie merenung. "Nyokap lo bukan yang pertama."

"Apa?" Untuk pertama kalinya Yoga menatap Maggie yang duduk di sampingnya.

Maggie mengangguk. "Gue udah lihat dia kayak gitu beberapa kali... sejak SD."

"Anjir!"

Maggie tertawa mendengar reaksi Yoga yang begitu impulsif. "Gak tahu kenapa, tapi gue suka sama serapahan elo. Gue ngerasa ketemu Maggie yang sama dalam bentuk cowok."

Yoga menggaruk kepala dan tertawa. Laki-laki itu meminta Maggie untuk meneruskan ceritanya dan Maggie pun melanjutkan. Maggie menceritakan jika dulu dia sudah biasa melihat perilaku ayah yang seperti itu. Maggie pura-pura tak tahu dan menutup mata demi kebaikan ibunya. Hanya saja, ibunya ternyata juga sudah mengetahui semuanya dan berpura-pura tidak tahu.

Ibunya terlalu mencintai ayah? Tidak. Menurut Maggie ibunya terlalu bodoh. Begitu pun dirinya. Ketika kedok sang ayah terbongkar, laki-laki itu justru tak menunjukkan rasa sesal, dia semakin berani dan terang-terangan bertindak semaunya.

Dan ibunya? Ibunya memilih bertahan meski Maggie membenci hal itu.

Setelah menceritakan semuanya, Maggie tertawa. Menertawai apa yang sudah terjadi padanya dulu dan sekarang. Sementara Yoga tak memalingkan wajah dari Maggie. Laki-laki itu menatap datar dan tersenyum melihat tawa naif gadis itu. Tawa yang dibuat hanya untuk bersembunyi.

Laki-laki itu kemudian menatap lurus gedung pencakar langit. Kembali menghisap rokoknya dalam selagi Maggie mulai menetralkan keadaannya.

"Mereka itu menggelikan bukan?"

Yoga mengangguk menanggapinya. "Mereka semua membuat kita menjadi gila."

Keduanya menatap kosong langit yang mulai kemerahan. Menikmati keheningan yang menyelimuti bersama sambaran api yang mengabukan tembakau.

Orang tua... dan rasa cinta. Semuanya tak dapat dimengerti. Entahlah, dari seperdelapan juta kemungkinan yang ada, Maggie tidak tahu. Dan dia mungkin tak pernah ingin tahu seperti apa rasanya menjadi mereka.

Di bangku taman itu, terlihat asap putih yang melayang-layang indah. Maggie menghisap rokoknya, menghembuskan asapnya, kemudian semuanya hilang.

Yang tersisa hanyalah abu tembakau. Dan rasa sakit.

🚭🚭🚭

*Catatan :

- Mendengkus (KBBI) : berdengkus--tiruan bunyi orang menarik dan menghembuskan napas kuat-kuat dr hidung

- Mendengus (KBBI) : berdengus--tiruan bunyi binatang spt lembu, kerbau, kuda mengembuskan napas kuat-kuat

- Tembakau (KBBI) : tumbuhan berdaun lebar, daunnya diracik halus dan dikeringkan untuk bahan rokok, cerutu, dan sebagainya〔Nicotiana tabacum〕| racikan daun tembakau yang sudah kering untuk rokok, sugi, dan sebagainya


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro