Bab 14 : Pilihan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terima kasih kalian semuanya udah nyempetin diri dateng ke sini."

Maggie tak tahu lagi kata-kata sampah dan hal aneh apa yang tengah Deven lakukan sekarang. Dia meminta Maggie, Dani, dan Yugo untuk menemuinya tepat sebelum laki-laki itu hendak menembak Stevi.

"Di sini, kalian semua udah kasih masukan, saran, nasihat, dan bantuan sebelum gue nembak bidadari terindah di SMA ini."

Maggie menghela napas panjang. Jengah. Gadis itu melirik dua laki-laki di sampingnya yang turut mendengarkan ucapan-ucapan tak jelas Deven. Dani hanya diam dengan tangan yang bersedekap, dia menyimak apa yang diucapkan Deven meski Maggie tahu kalau laki-laki itu saat ini juga sedang menahan rasa geli terhadap apa yang temannya lakukan.

Sementara Yugo sedang merekam apa yang Deven ucapkan saat ini. Hal ini karena Deven yang memintanya guna dokumentasi sebelum penembakan Stevi.

Alay banget gak sih?

Meggie mendengkus mendengar ocehan-ocehan gak penting Deven. "Langsung ke inti aja, Njir. Males gue dengerinnya."

"Sssttt!" Yugo memperingatkan Maggie untuk tidak berisik, tanpa menyadari jika ia mengarahkan kameranya pada Maggie.

"Oke kalo gitu." Deven menepuk tangannya. "Untuk itu, gue bakal tembak Stevi secara pribadi. Di depan rumahnya."

"Lha? Gak jadi di kelas?"

Maggie terkekeh menanggapi pertanyaan Yugo. "Dia takut kalo ditolak."

Kedua orang itu tertawa geli secara bersamaan. Entah mengapa hal itu membuat perasaan Maggie menjadi lebih baik.

"Yee siapa yang takut ditolak," cibir Deven kemudian, tak terima jika dirinya ditertawakan. "Gue pasti diterima sama dia."

"Iya kok. Gue yakin banget malah," sahut Yugo afirmatif.

"Iya. Gue juga percaya." Dani turut menyetujui.

Tatapan Deven kemudian beralih pada Maggie yang tetap terlihat tidak menunjukkan persetujuannya. Maggie malah memalingkan muka dan berpura-pura menatap ke lain arah.

"Lo gak setuju nih?" tanya Deven setelah melihat Maggie yang diam saja.

Maggie melirik ketiga laki-laki yang tengah menghunuskan tatapan pada dirinya. Gadis itu kemudian mengembuskan napas, tak punya pilihan, "iya gue juga yakin. Tapi gak sepenuhnya. Gue lebih yakin lo ditolak gara-gara bonyok di pipi lo."

Deven mengecutkan bibir seraya memegang pipinya yang kemarin Maggie tonjok. "Gue gak bakalan mau lagi jadi temen lo kalo gue ditolak gara-gara tonjokan ini, Nyet."

"Halah, basi lo. Ancamannya itu-itu aja."

Deven memilih tidak melanjutkan perdebatan itu karena ia tahu kalau hal ini akan berbuntut panjang. Maka dari itu, dia kembali ke topik awal tentang penembakan Stevi.

"Baiklah, oleh karena penembakannya bakal gue lakuin sepulang ini, tepatnya waktu nganterin Stevi pulang nanti, maka dari itu gue minta untuk kalian gak mencoba untuk ngeganggu proses penembakan gue. Oke?"

"Jadi kami gak bantuin apa-apa, gitu?" tanya Dani setelahnya. Deven menggeleng mantap dan mengatakan kalau dia yang akan melakukan semuanya sendiri.

"Kalo gitu ceritanya, ngapain lo ngajakin kami rapat negara kayak gini? Buang-buang waktu aja." Maggie menghentakkan kaki, pergi dari sana.

"Oke, selesai." Yugo tersenyum dan menyerahkan ponsel Deven yang ia gunakan untuk merekam tadi. "Bagian Maggie marah-marah gak gue rekam. Jadi semuanya aman."

Deven tersenyum kemudian berterima kasih.

"Semangat, Bro." Dani menepuk-nepuk bahu Deven setelahnya.

Deven mengangguk yakin.

Akan tetapi, rasa yakin itu memudar perlahan ketika ia sudah mengantar Stevi pulang. Selama perjalanan di motor, yang Deven rasakan hanyalah detak jantung tak karuan karena rasa gugupnya akan penembakan ini. Ditambah Stevi yang memeluk punggungnya dari belakang. Hal itu membuat Deven semakin tak dapat mengontrol keringat dingin di dahinya.

"Thanks ya." Stevi tersenyum seraya menyerahkan helmnya pada Deven.

Deven tersenyum kaku, kemudian mengangguk dan menerima helm yang Stevi berikan.

Tangan Deven mengepal kuat ketika Stevi tiba-tiba berbalik badan dan berjalan menuju rumahnya. Deven berusaha meyakini diri sendiri seiring dengan derap langkah Stevi yang menjauh.

"Ayolah, jantung, jangan sekarang lompat-lompatnya." Bisik Deven pada diri sendiri seraya memegang dada.

"Stevi," panggilnya kemudian.

Dengan anggunnya, Stevi berbalik badan, menatap Deven dalam. "Kenapa?"

Deven turun dari motornya, berjalan selangkah membelakangi motor itu. Ia menelan ludah sekali dan menghembuskan napas. "Gue suka sama lo..."

Stevi mengerjap, tak menunjukkan respon yang berarti.

"G-gue tahu kalo lo udah lama tahu tentang perasaan gue. Tap-tapi, gue gak bisa nahannya lagi. Gue mau jadi pacar elo."

Ekspresi datar gadis itu pun berubah menjadi kuluman senyum. Stevi menyelipkan poninya ke belakang telinga, menunduk sesaat, dan salah tingkah.

"Sebenernya gue juga suka sama elo, Dev."

Deven membulatkan mata mendengar jawaban itu.

"Tapi... ada yang gak gue sukai." Dia berdesis resah. "Gue gak suka Maggie."

Senyum yang sebelumnya sempat mengembang, tiba-tiba lenyap begitu saja. "Kenapa?"

Stevi tersenyum. Pertanyaan bodoh. Sudah jelas semua orang tidak menyukai Maggie. "Maggie selalu di sisi lo. Dan gue gak suka itu. Gue gak mau nantinya selalu dapet tonjokan, baik itu tonjokan untuk gue ataupun untuk lo. Yang di pipi lo sekarang itu gara-gara dia, kan?"

Deven memejamkan mata. Ia memegang bekas tonjokan itu untuk kesekian kalinya.

"Dev," lanjut Stevi kemudian. "Gue mau jadi pacar lo. Dengan syarat, lo jauhin Maggie."

Deven langsung merasa pusing mendengar persyaratannya. Dia tahu kalau syarat ini mungkin ada. Tapi bagaimanapun, dia tetap tidak bisa memikirkannya secara jernih.

Stevi mengatupkan rahang, melihat Deven yang justru kelimpungan akan persyaratan ini. Namun keputusan ini sudah final. Dia tahu dan semua orang tahu Maggie hanyalah pengaruh buruk. Tidak mungkin seorang yang mengaku sahabat memukuli sahabatnya sendiri hingga babak belur.

Entah seberapa banyak tabungan kesabaran Deven, tapi Stevi tidak tahan melihatnya terus-terusan begini.

"Gak papa kok kalo lo gak bisa nyanggupinya. Tapi gue bakal kasih lo waktu untuk mikir sampe jam pulang besok. Gue bakal tunggu lo di Taman Mang John. Kalau dalam waktu satu jam lo udah nemuin gue, itu artinya lo udah mutusin untuk ngejauh dari Maggie. Dan kita resmi jadian."

Keduanya menarik napas berat. Deven berat memutuskannya dan Stevi berat melakukan hal ini pada Deven. Dia terkesan sangat jahat dan penuh tuntutan.

"Tapi... kalo lo gak nemuin gue, itu artinya lo lebih pilih Maggie dari pada gue. Tapi itu terserah sama lo."

Stevi tersenyum miris melihat Deven yang menjadi bingung. Gadis itu kemudian berbalik badan dan masuk ke rumahnya. Meninggalkan Deven yang mematung lama di depan gerbang rumahnya.

Sampai di daun pintu, dia melirik Deven sekilas. Laki-laki itu termenung.

Setelahnya Deven mengacak rambut dan menghela napas gusar. Inilah keputusan final yang orang-orang sematkan padanya. Tidak mungkin dia bisa memiliki Stevi sekaligus mempertahankan persahabatannya dengan Maggie.

Deven sudah meyakini diri jika tak masalah baginya untuk kehilangan Maggie. Meskipun begitu, keputusan ini tak seringan yang ia kira. 

🚭🚭🚭

*Catatan :

- Keputusan (KBBI) : perihal yang berkaitan dengan putusan; segala putusan yang telah ditetapkan (sesudah dipertimbangkan, dipikirkan, dan sebagainya): jaksa itu sulit menerima ~ hakim \ ketetapan; sikap terakhir (langkah yang harus dijalankan): ia tidak berani segera mengambil ~ \ kesimpulan (tentang pendapat): dari catatan itu diambil ~ bahwa dia memberikan kesempatan kepada pegawainya untuk melakukan perbuatan pidana \ hasil pemeriksaan (tentang ujian): ~ ujian akan diumumkan melalui surat kabar \ kehabisan (tentang uang, makanan, dan sebagainya): banyak pedagang yang ~ modal \ menderita kekurangan: pada waktu itu saya ~ benar-benar


"Kalo gitu ceritanya, ngapain lo ngajakin kami rapat negara kayak gini? Buang-buang waktu aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro