Bab 15 : Liontin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maggie mendelik kaget ketika mendapati ibunya yang justru membukakan pintu dengan sedikit kuluman senyum. Ia meneliti sejenak, memperkirakan apa yang membuat wanita itu sedikit melupakan tentang ayah brengseknya sampai kemudian Maggie terpaksa bertanya.

"Ada apa? Uang bulanan berlipat ganda?" Maggie melewati ibunya dengan sindiran yang meluncur begitu saja.

"Tebak siapa yang datang?" Ibunya menutup pintu ketika Maggie melaluinya.

Maggie mendesah. "Siapa lagi kalau bukan—" Ia terhenti tatkala melihat seseorang yang tengah duduk di sofa rumahnya.

"Hai, Maggie!" Perempuan itu tersenyum melambaikan tangan. Tentunya Maggie mengenal orang itu, perempuan yang pernah menghabiskan waktu banyak dengannya saat masih kecil. Dia delapan tahun lebih muda dari ibunya. Dan sekarang, dia tetap terlihat cantik seperti biasanya. Hanya saja, Maggie tak membalas sapaan itu dengan senyuman.

"Jess?" Kerutan dahi terpampang jelas. Sebenarnya Maggie enggan menuruti ajakan ibunya untuk segera duduk di samping Jessika. Tapi melihat liontin yang gadis itu kenakan membuat Maggie berusaha bersikap seramah mungkin.

"Lo ngapain di sini?" Maggie memaksakan senyumnya.

"Sengaja. Ingin menjenguk gadis kecilku yang kini tumbuh menjadi..." Jessika melirik Maggie dari atas ke bawah. "Perempuan normal yang sedikit kelaki-lakian."

"Whooh, lucu." Maggie menepuk bahu Jessika dan tertawa. Di saat yang bersamaan, terlihat ibunya Maggie tersenyum dengan tangan bersedekap. Ia kemudian melenggang ke dapur untuk membuatkan teh.

"Sekarang anak lo berapa?"

Jessika mengerucutkan bibir mendengar pertanyaan itu. "Aku baru mau bertunangan."

Maggie membekap mulut yang menganga dengan punggung tangan. "Oh, God!" Gadis itu mengelus cincin tunangan di tangan kanan Jessika. "Ini cantik sekali. Cowok yang ngedapetin lo pasti beruntung banget udah bisa naklukin hati lo."

"Ya iyalah. Aku ke sini mau ngundang kalian sejujurnya. Tapi aku gak tahu kalau ibu dan ayahmu udah cerai. Maaf ya."

Maggie menggeleng pelan dan mengatakan tidak apa-apa. Mata gadis itu kemudian tertuju kembali pada liontin yang Jessika gunakan. "Liontin itu dari calon suami lo?"

Jessika spontan memegang liontinnya dengan bahu yang menegang. Gadis itu meraba-raba mata kalung dengan tangan bergetar. Ia melirik Maggie dan bergeser gusar. "Ini? Tidak, ini kalung lamaku yang kubeli dari gajiku saat mengasuhmu." Jessika melepaskan kalung itu dengan kaku, kemudian memasukkannya ke dalam tas merah yang ada di antara dirinya dan Maggie.

Maggie tersenyum. "Oh, gitu? Kenapa dilepas?"

Jessika menggeleng dua kali. "Gak apa-apa. Aku... leherku tiba-tiba terasa berat."

Maggie menyembunyikan senyum miringnya dan berusaha bersikap senormal mungkin sampai ibunya kembali ke ruang tamu dengan tiga cangkir teh dan setoples biskuit kelapa.

Ketika obrolan kembali berlanjut, Jessika berubah menjadi kurang tenang dan terburu-buru. Maggie suka melihatnya seperti itu. Jessika pasti tak akan pernah berani menginjakkan kaki di rumah ini lagi.

Malamnya, Maggie menelepon Yoga dan mengabarkan tentang apa yang ia peroleh hari ini. Tangan kirinya memegang liontin indah milik Jessika yang secara mudah ia ambil dari dalam tas merah.

"Lo harus lihat wajah gelagapannya. Dia seperti ikan yang kehabisan air." Maggie terkekeh saat mengatakan itu di telepon.

"Dua juta mungkin. Atau bisa sampai lima juta kalau jualnya di tempat yang tepat." Tangan kiri Maggie berusaha memasangkan liontin itu di lehernya. "Gak bakal gue pake. Kalo gue pake juga pasti cepat ketahuan nyokap."

Untuk beberapa saat, Yoga berbicara dengan nada cemas.

"Tidak mungkin." Maggie justru menanggapinya begitu santai. "Cewek itu gak bakal berani ke rumah gue lagi. Dia pikir gue gak tahu kalau nih kalung dari bokap gue?"

Terdengar desah kekagetan dari seberang sana. Maggie menertawai ekspresi yang kentara dalam nada suara Yoga. Setelahnya, gadis itu membicarakan tentang rencana-rencananya dengan Yoga yang sudah mulai jalan.

Bibirnya terangkat sumringah dengan tangan yang terus mengelus mata kalung.

Tentang liontin, Maggie pernah dibelikan oleh ayahnya sebuah kalung. Kalung dengan liontin berbentuk kucing kecil. Itu hadiah ulang tahun Maggie saat masih kanak-kanak. Maggie menjaganya, merawatnya, dan memakainya setiap hari karena kalung itu begitu berharga baginya.

Akan tetapi, beberapa tahun yang lalu, ia menukarkan kalung itu dengan sekotak rokok dari warung. Setelah keluarganya berantakan, dia muak melihat kalung itu, jadinya ia tukarkan pada anak kecil penjaga warung. Lagi pula, apa gunanya sebuah liontin? Kecuali jika Maggie ingin mengingat kebrengsekan sang ayah.

Jess pergi saat Maggie hampir lulus SD. Selain ayah dan ibunya, Jess adalah orang yang begitu mengerti Maggie. Dia pengasuh sewaan ibunya ketika ibu masih menjadi wanita karier.

Saat itu usia Jess hampir melampaui batas akhir dua puluh tahun. Semua yang Jess lakukan pasti Maggie turuti. Duduk di jendela dengan sebuah majalah, makan camilan dengan televisi yang menyala tapi fokusmu tetap pada ponsel, dan duduk di atas mesin cuci. Jess juga sering menjodoh-jodohkan Maggie dengan Deven meski sejujurnya Maggie suka hal itu.

Jess mengajarkannya tentang berpenampilan yang menarik dan memberitahu tentang kejadian mengerikan yang disebut menstruasi kala Maggie masih belum mengalaminya. Kadang, ketika ibu dan ayahnya tidak bisa pulang lebih sore, dia menemani Maggie menonton televisi hingga larut malam.

Maggie selalu menginginkan Jess menjadi kakaknya sampai kemudian di satu malam, setelah Jess selesai mendongeng, perempuan itu pikir Maggie sudah tertidur padahal Maggie hanya menutup mata. Jess pulang, meninggalkan Maggie sendirian di rumah.

Maggie ketakutan saat Jess sudah tidak ada di kamar. Hingga Maggie memberanikan diri untuk kembali membuka pintu kamarnya, harap-harap melihat keberadaan Jess di ruang tamu atau di sisi lain dari rumahnya.

Maggie saat itu tak pernah tahu jika ayah dan ibunya sudah pulang atau belum. Namun yang pasti, dia melihat Jess.

Tapi Maggie tak senang.

Karena saat itu, ia melihat Jess berciuman dengan ayahnya.

Di bibir.

Dalam waktu yang cukup lama.

Setelah hari itu, Maggie mengetahui jika barang-barang mewah yang tiba-tiba Jess miliki merupakan pemberian dari ayahnya. Termasuk liontin itu.

Tak pernah terpikirkan bagi Maggie apakah ibunya mengetahui hal ini atau tidak. Tapi sepertinya ibunya mengetahuinya. Hanya saja dia berpura-pura.

Ibunya berpura-pura tidak tahu demi kelangsungan pernikahan bodoh ini. Dia mungkin tahu jika disuruh memilih antara dirinya dan Jess, suaminya pasti memilih Jess. Jadinya dia lebih memilih untuk dibodohi. Itu tak bertahan lama karena ibunya selalu dibodohi. Begitu pun dengan Maggie.

Maggie peduli? Dulu iya.

Maggie peduli tentang ayahnya, ibunya, dan Jess yang tiba-tiba menghilang. Ibunya bahkan bertingkah seolah semua baik-baik saja di depan Jess tadi siang dan begitupun dengan Jess.

Tak ada gunanya bagi Maggie untuk melakukan adegan jambak-jambakan tadi siang karena yang ia butuhkan saat ini hanyalah memanfaatkan semua yang orang-orang ambil darinya.

Orang-orang menyakiti dirinya dan mereka bersikap biasa saja. Kemudian tertawa dan mengatakan jika semuanya hanyalah guyonan kecil yang tak perlu diambil hati.

Semuanya mulai melanjutkan kehidupan masing-masing, yang mereka putuskan sebagai hal terbaik. Tapi Maggie masih berjalan di tempat. Tak bergerak sedikit pun dari wadah yang seharusnya telah lama ia lalui.

Dia tak jauh berbeda dari ibunya yang selama ini hanya berpura-pura dan bersembunyi. Meski kadang kita diberikan satu pilihan untuk bertahan, maka Maggie tetap bertahan pada satu pilihan itu.

Maggie menatap foto masa kecilnya yang tertempel di cermin, di mana dirinya dengan seorang anak laki-laki tersenyum di sana.

Setelah menutup telepon dari Yoga, ia menatap foto itu dalam waktu yang lama. Menatap senyum dari raut polos anak laki-laki yang menjadikan hidupnya suatu alasan.

Ya, Maggie diberikan pilihan dan dia sudah memilih.

🚭🚭🚭

*Catatan :

- Liontin (KBBI) : perhiasan (seperti berlian, batu permata) yang digantungkan pada rantai kalung


*Epilog :

Ini salah satu chapter paling intens yang aku tulis dan sepenuhnya tentang Maggie :"

Memang nggak cengeng-cengeng atau emosional secara mendalam, tapi menurutku ini salah satu chapter paporit di sini :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro