Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah waktu sekolah berakhir, Adi berkumpul bersama teman-temannya di depan warung langganan, tepatnya di dua bangku panjang dengan meja di tengahnya.

Udara di komplek saat ini cukup sejuk. Apalagi di dekat warung terdapat pohon yang cukup besar hingga menutupi sebagian terik matahari.

Sekelompok remaja berseragam putih abu-abu itu bercengkrama sambil merokok. Mereka saat ini membahas topik cinta.

“Di sini ada yang sedang jatuh cinta?”

“Wahh! Si Zaki tuh! Dia 'kan belakangan ini dekat sama Clarissa!” Salah satu anak langsung menunjuk-nunjuk.

“Jangan sembarangan! Kenapa arahnya malah ke situ coba!? Lagian, siapa itu Clarissa!?” Zaki membantah.

“Sudahlah jangan menyangkal. Aku tau kau suka sama Clarissa,” ucap remaja itu lagi dengan tampang nyengir yang menyebalkan.

Melihat keduanya berdebat, Adi pun bergabung ke dalam obrolan.

“Zaki, Clarissa itu nama kelinciku. Aku tidak menyangka kau punya hubungan seperti itu dengannya.”

“HAHAHAHAHAHA!”

Teman-teman Adi selain Zaki menjadi ribut. Zaki hanya bisa kebingungan selama beberapa saat lalu memasang ekspresi marah setelah mengerti maksudnya.

“Ternyata Zaki seperti itu ya.”

“Benar-benar tidak disangka.”

“Ck ck ck.”

“Apa kau sudah konsultasi ke rumah sakit?”

Mendengar pertanyaan itu Zaki semakin kesal dan memaki-maki. Tapi reaksinya itu justru menjadi bahan tawaan bagi teman-temannya.

Zaki tentunya tidak ingin dipermalukan sendirian. Dia menatap Adi dengan senyuman lebar yang menunjukkan niat jahat.

“Oke, oke, aku sama Clarissa deh. Tapi masa aku doang sih yang diketahui pasangannya? Gak adil dong?” Zaki menyilangkan kedua lengan. “Belakangan ini, Adi sedang menyukai salah satu gadis di kelas kita. Aku tidak mengada-ngada. Kalau tidak percaya, tanya orangnya sendiri!”

Teman-teman Adi seketika melupakan lelucon Clarissa. Mereka langsung menatap Adi dengan penuh rasa penasaran. Adi terkejut dan salah tingkah. Dari ekspresinya, tampaknya informasi yang Zaki berikan benar.

“Hahaha! Ternyata ada yang lagi kasmaran nih.”

“Sebagai teman kita harus mengetahuinya. Adi, ayo katakan, siapa nama crushmu?”

Adi tiba-tiba didesak oleh pertanyaan beruntun. Dia menyadari ekspresinya sudah membuktikan kebenaran, jadi tidak bisa mengelak.

“Pokoknya ada! Udah lah, jangan penasaran!” Adi lantas menatap Zaki dengan ekspresi kesal. “Hey Zaki, darimana kau tau itu? Kau stalker ya?”

“Nggak, tingkahmu saja yang kelihatan jelas. Aku heran kenapa anak-anak lain tidak mengetahuinya.” Zaki menahan tawa.

“Kalau kau peka harusnya kau rahasiakan!”

“Aku tidak mau!”

Zaki tertawa puas melihat Adi yang marah dan malu disaat yang sama. Adi menggertakkan giginya. Salah satu temannya merangkul dan mendesaknya kembali.

“Ayo kasih tau dong Adi ... jangan mengalihkan pembicaraan.”

“Gak mau.” Adi melepas rangkulan. Raut wajahnya masih terlihat malu.

“Baiklah teman-teman. Karena Adi tidak mau kasih tau, aku akan mengatakan nama gadisnya.” Zaki menghisap rokoknya. Teman-temannya langsung heboh dan memaksa Zaki untuk segera memberitahu.

“Jangan kasih tau Woy! Lagian, kenapa kau dendamnya padaku sih? Yang mulai duluan 'kan Gio!”.

“Benar juga ya. Kan yang mulai duluan aku. Hahahaha!” Gio menggaruk-garuk kepalanya.

“Maaf Adi, Gio sudah mentraktirku mie goreng hari ini. Jadi kali ini aku maafkan dia.”

Mendapat ketidakadilan dari Zaki, Adi mengumpat dalam hati. Dia tidak menyangka lelucon kelincinya akan menjadi boomerang seperti ini.

Adi pun menghisap rokoknya untuk menghilangkan ketegangan yang dia rasakan. Antusiasme teman-temannya tidak bisa dikendalikan. Adi juga tidak bisa kabur karena takut Zaki menyebar rumor di kelas. Maju kena mundur kena. Sepertinya yang bisa dia lakukan hanyalah menghadapinya.

“Aku akan kasih tau namanya, tapi jangan sebar-sebar ke yang lain!”

“Oke siap! Kalo itu mah gampang!”

“Tenang saja Adi, rahasiamu aman bersama kami.”

Adi sangat meragukan perkataan teman-temannya. Tapi apa boleh buat, dia akan mempercayai mereka untuk saat ini. Lagi pula jika dia tidak memberitahu nama crushnya, hasilnya akan sama saja karena ada Zaki.

“Nama crushku ....”

Keributan yang ada tiba-tiba lenyap.

Merasakan keheningan dan atmosfir yang terasa berat, Adi menjadi gugup dan menyesal. Namun, dia tidak bisa mundur lagi setelah ditatapi tujuh pasang mata.

“L-Laila Rahayu.”

Enam remaja membelalakkan matanya.

“Oalah ...! Laila toh!”

“Dia emang cantik sih.”

“Cewek populer cantik pinter kayak Laila mau kamu pacarin? Hahahaha! UDAH SIANG!”

Teman-teman Adi kembali ribut dengan berbagai komentar. Ada yang bereaksi biasa saja, ada yang mengejek, dan ada yang mendukung.

'Hah ... kira-kira, aku bisa dapetin Laila gak ya?”

Adi menghisap rokoknya lagi, lalu menghembuskan asapnya.

Setelah mendengar komentar-komentar yang mayoritas negatif, semangat Adi dalam mendapatkan Laila menurun drastis. Rasa malunya juga berkurang banyak karena pikirannya terfokus pada persentasinya dalam mendapatkan Laila.

Sore itu, Adi mendapatkan berbagai saran cinta dari teman-temannya. Tapi dia mengacuhkan semua itu karena semua temannya jomblo.

....

Beberapa hari kemudian.

Di kelasnya, Adi mencuri pandang ke Laila yang duduk agak jauh di depannya. Lelaki itu duduk di sudut belakangan kelas, jadi dia bisa melihat-lihat dengan nyaman.

Sambil merasa rendah diri, Adi memikirkan cara mendapatkan Laila.

Tampang Adi biasa saja, fisik dan prestasi akademiknya juga demikian. Sementara itu Laila memiliki kualitas yang lebih tinggi dari murid-murid pada umumnya. Saingan Adi dalam mendapatkan Laila cukup banyak dan keren-keren. Wajar lelaki itu merasa rendah diri.

Karena tanpa sadar menatap terlalu lama, pandangan Adi disadari oleh Laila. Gadis itupun menoleh ke belakang secara tiba-tiba. Tatapannya sedingin es, tapi di sisi lain memiliki pesona anggun yang tidak biasa.

Adi langsung memalingkan pandangan. Tidak berani menatap balik. Laila yang agak heran kembali mengerjakan tugasnya.

Zaki yang menyadari situasi Adi tersenyum penuh makna. Diapun menepuk pundak lelaki itu dari depannya.

“Woy, salting ya?”

Adi menatap ke depan. Tampang nyengir ngeledek Zaki memicu emosinya dalam sekejap.

“Ssst! Jangan keras-keras!”

Zaki tertawa kecil. “Takut banget. Santai aja kali.”

Adi mendecakkan lidahnya.

Tidak ingin kesal lebih jauh, diapun mengacuhkan Zaki dan memperhatikan buku tulis penuh angka.

“Adi, menurutku lebih baik kau segera tembak Laila saja. Laila agak susah didekati. Kalau mau PDKT kayaknya kelamaan. Keburu diambil yang lain juga.”

Zaki memberikan saran sambil duduk memeluk sandaran kursi. Adi mengernyitkan dahi mendengar pendapatnya. Jika langsung tembak begitu, bukannya sama saja dengan bunuh diri?

“Hah? Tembak langsung? Yang ada aku malah ditolak!” Adi berbisik dengan nada seolah berseru. Dia tau hubungannya dengan Laila tidak begitu dekat. Jika langsung menembak, sembilan puluh persen dia akan ditolak.

“Ya kalo ditolak gak apa-apa. Kan bisa nembak lagi di lain waktu.” Zaki berbicara dengan enteng.

“Ya ... itu benar sih. Tapi gak segampang itu tau.”

“Emang susahnya di mana?”

“Malunya lah! Takut juga!”

“Kau takut nembak tapi tidak takut confess di depan teman-teman? Aneh banget. Ke mana nyalimu yang kemarin?”

“Ini dan itu berbeda.” Adi menunduk lesu.

Zaki tidak habis pikir dengan temannya itu. PDKT susah, nembak juga susah. Kalo begini dia akan terus berjalan di tempat.

Sebagai teman yang baik, Zaki kembali mendorong Adi.

“Udah tembak aja. Serius, mending tembak secepatnya.” Zaki mendoktrin.

Adi pun kembali memikirkan sarannya. Dia mengelus dagu dan menatap angka-angka di bukunya lagi, tapi tidak memikirkan rumus, melainkan cinta.

“Nggak ... kayaknya gak usah nembak dulu untuk sekarang.” Adi masih terlalu takut.

“Percayalah. Tembak hari ini juga.”

“Jangan. Hatiku belum siap.”

“Tembak.”

“Gak.”

“Tembak.”

“Gak.”

Zaki tidak menyerah. Dia terus mendoktrin Adi, memanipulasinya hingga pikirannya mematuhi perkataannya.

“Adi, apa kau yakin pilihan untuk tidak menembak adalah yang terbaik? Bagaimana jika Laila diambil cowok lain? Bagaimana jika dia pindah sekolah? Bagaimana jika dia punya perasaan padamu tapi tidak lagi karena kau terlalu lama mengambil tindakan?”

Adi menelan ludah. Ekspresi dan gestur tubuhnya menunjukkan keresahan. Kata-kata Zaki berhasil mempengaruhinya. Setelah dipikir kembali, Adi sepertinya memang harus nembak meskipun akan ditolak.

“Ya udah deh. Hari ini aku akan nembak dia. Bodo amatlah ditolak. Nanti bisa dicoba lagi.”

“Nah! Gitu dong!”

Zaki tersenyum puas melihat temannya menurut. Di sisi lain Adi tersenyum hampa melihat temannya berhasil memaksa.

Dan begitulah. Awal mula Adi melakukan tindakan nekatnya.

Nembak cewek tanpa PDKT.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro