Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adi membuka kontak Laila di aplikasi chatnya. Dia menghembuskan nafas panjang sebelum mengetik beberapa kalimat.

“Laila, bisakah kau ke perpustakaan setelah pulang sekolah? Ada yang ingin kubicarakan.” Tangan Adi bergetar saat menekan layar HP. Dia benar-benar gugup.

Tanpa waktu lama, suara notifikasi terdengar pelan dari HP Adi.

“Baiklah.”

Chat tersebut dikirim oleh Laila. Dia langsung menerima permintaan Adi begitu saja tanpa menanyakan apapun.

“Apa? Diterima semudah ini?” gumam Adi kebingungan, lalu menatap Laila yang sedang makan bekal dan mengobrol dengan seorang gadis.

Adi tidak menyangka dengan jawaban Laila. Dia bingung harus senang atau resah dengan hal ini.

“Jika terlalu lancar, bukankah itu berarti akan ada sesuatu yang buruk nantinya?”

Adi pun membuat spekulasi negatif tentang pengakuan cintanya nanti.

Jika membicarakan penolakan, dia sudah menyiapkan diri. Tapi yang menjadi masalah adalah kata-kata Laila saat menolaknya yang mungkin akan sangat menusuk.

“Ah ... udahlah gak apa-apa. Paling galaunya sebentar doang.” Adi menghibur diri. Jika terlalu larut dalam pemikiran negatif bisa-bisa dia membatalkan rencananya.

Waktu pun berlalu.

Setelah jam pelajaran yang begitu panjang, murid-murid akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing.

Adi langsung pergi ke perpustakaan dan menunggu Laila di sana. Laila tidak langsung datang karena sepertinya dia memiliki beberapa urusan.

Untuk menghabiskan waktu, Adi melihat-lihat buku di sekitarnya. Jenis buku-buku tersebut beragam. Ada buku pelajaran, novel, cerita anak-anak, dan lain sebagainya.

Untuk ukuran perpustakaan sekolah, ruangan ini cukup luas. Rak bukunya juga banyak hingga membuat tempat ini seperti toko buku kecil.

Melihat sampul yang beragam dan menarik, Adi pun membuka salah satu buku dan membaca beberapa paragraf. Saat menatap deretan huruf di kertas, ekspresinya tidak menunjukkan ketertarikan.

“Apa yang menarik sih dari buku? Aku heran kenapa ada orang-orang yang sangat rajin membacanya.” Adi berkomentar pelan setelah menutup bukunya. Setelah mengembalikannya ke tempat semula, Adi kembali melihat-lihat tapi tidak membaca lagi karena menggeneralisir semuanya membosankan.

Setelah menunggu selama tujuh menit, Laila akhirnya datang ke perpustakaan.

”Maaf Adi, aku membuatmu menunggu lama.” Laila terlihat bersalah.

“Gak apa-apa. Santai aja.”

Adi tersenyum melihat Laila. Dia tidak marah sama sekali. Namun, saat melihat seorang gadis menunggu di dekat pintu, senyumannya seketika memudar.

'Aduh ... bagaimana aku bisa confess kalo begini?'

Gadis tersebut adalah temannya Laila. Adi tidak menyangka dia akan ikut ke tempat ini. Namun, mengingat pertemuannya dengan Laila berada di tempat yang sepi, kedatangan gadis tersebut adalah sesuatu yang wajar. Lagipula Adi tidak dekat dengan Laila, jadi memang lebih aman jika Laila ditemani seseorang.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” Laila akhirnya bertanya.

Mendengar pertanyaan gadis itu, Adi tiba-tiba menjadi gugup. Sebelumnya dia sudah memikirkan kata-kata yang tepat agar Laila mau menerima pengakuan cintanya. Tapi setelah bertemu dengan orangnya langsung, rangkaian kata itu tiba-tiba menghilang begitu saja.

“L-Laila ....” Suara pelan Adi sedikit bergetar. Benaknya mencoba merangkai kata dan rasa malu di dalam diri berusaha ia usir. Adi tidak menyangka mengakui perasaan akan sesulit ini meskipun dia sudah mempersiapkan diri.

Laila memperhatikan dengan serius. Dia menunggu Adi menyelesaikan ucapannya.

Ditatapi sorot mata gadis yang ia sukai membuat Adi sulit berkonsentrasi. Pandangannya ke mana-mana. Dia bingung harus mengatakan pengakuan cinta yang seperti apa.

“B-Begini, aku memiliki perasaan suka secara romantis padamu. Maukah kau menjadi pacarku?”

Akhirnya Adi mengatakannya.

Saat mendengar itu, Laila melebarkan mata. Dia tidak menyangka Adi akan melakukan pengakuan cinta.

“Apa yang kamu suka dariku?” Ekspresi Laila samar-samar menunjukkan rasa penasaran. Namun, tidak ada sesuatu yang menunjukkan dirinya punya perasaan yang sama dengan Adi.

Adi menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Dia sangat malu menjawab pertanyaan itu.

“Kamu ... anggun dan cantik. Aku suka penampilanmu, warna kulitmu, dan gaya rambutmu yang digerai. Kamu juga cerdas, rajin, baik, dan tidak dekat dengan laki-laki. Hal lain yang aku suka, kamu tidak mudah terlena dengan laki-laki dan tidak nakal. Kamu tipeku lah pokoknya.”

Adi menjawab jujur. Dia tidak melebih-lebihkan ucapannya. Apa yang terlintas di pikirannya dia katakan dengan sepenuh hati.

Sebagai seorang gadis, Laila tentu malu mendapat pengakuan cinta seperti itu. Dia senang ada yang menyukainya. Apalagi yang memiliki perasaan tersebut adalah laki-laki seperti Adi.

“Benarkah ...?”

Laila sudah mendengar beberapa pengakuan cinta, tapi ini pertama kalinya dia mendengar pengakuan seperti yang Adi lakukan. Kata-katanya deskriptif dan tulus. Menunjukkan bahwa Adi menyukainya bukan karena parasnya saja, tapi lebih kompleks dari itu.

“Ya, aku benar-benar menyukaimu. Aku sungguh menyukaimu.” Tatapan Adi menjadi tajam. Melihat Laila yang tampak terpengaruh dengan kata-katanya membuat Adi mendapat kepercayaan diri.

Laila terdiam selama beberapa waktu. Dia memikirkan hal ini cukup dalam. Laila tidak memiliki hubungan yang dekat dengan Adi. Namun, dari yang ia lihat di sekolah, Adi adalah anak yang baik dan tidak sebandel sebagian temannya yang satu sirkel.

“Adi ....”

“Ya?”

“Maaf ....”

Bahu Adi melemas mendengar itu. Kepercayaan diri yang dia dapat tiba-tiba hancur begitu saja. Benar, harusnya dia tidak berekspetasi tinggi sejak awal.

“Aku hargai perasaanmu itu. Tapi aku tidak menyukaimu.”

Laila menundukkan pandangannya. Dia sedikit merasa bersalah pada Adi karena sudah melukai perasaannya.

Adi memahami itu. Dia bukan tipe laki-laki yang marah karena ditolak lalu menganggap gadis yang menolaknya jahat atau semacamnya.

“Kalau boleh tau, apa yang kurang dariku?”

“Emm ....”

“Tidak apa-apa. Katakan saja. Masalah paras pun aku terima.” Adi tersenyum kaku. Meskipun pahit dia ingin mendengar pendapat Laila.

“Baiklah, aku akan katakan.”

Laila awalnya ragu tapi pada akhirnya dia menyetujui permintaan Adi. Mungkin agak naif dan terkesan memberi harapan, tapi dengan ini mungkin Adi bisa menjadi lebih baik.

“Aku tidak suka laki-laki perokok, mabuk-mabukan, dan terlalu banyak bergaul. Kalau bisa, aku ingin punya laki-laki yang prestasinya bagus dan penyabar.”

Laila menjelaskan cukup spesifik. Dia mengatakan ini karena memang seperti itulah laki-laki yang dia inginkan. Bukan sekedar ingin memotivasi Adi menjadi lebih baik.

'Berbeda sekali denganku,' ucap Adi dalam hati.

“Kita juga tidak memiliki hubungan yang akrab sebelumnya. Jadi sulit bagiku untuk menyukaimu. Lagipula orang tuaku juga melarangku berpacaran dan menyuruhku untuk langsung menikah. Jadi ... maaf ....”

Laila tidak ingin memberi harapan palsu. Secara halus dia ingin Adi mencari gadis lain dan melupakannya. Selain itu, Laila menganggap cinta Adi adalah cinta monyet. Jika mereka berpacaran, hubungan tersebut kemungkinan besar tidak bertahan lama.

“Hm ... okelah. Makasih ya Laila udah luangin waktunya. Maaf banget udah manggil kamu ke sini untuk hal yang gak penting.” Adi berbicara pelan dengan perasaan tidak enak.

“Tidak apa-apa. Aku tidak mempermasalahkannya.”

Laila tersenyum pada Adi. Senyumannya itu membuat sifat dinginnya menghilang untuk sesaat. Ini pertama kalinya Adi melihat sisi hangat dari gadis itu.

“Kalau begitu, aku pulang ya.”

“Y-Ya, silahkan.”

Laila pun membalikkan badannya lalu berjalan menghampiri temannya di dekat pintu. Mereka berbicara sejenak. Temannya Laila melirik-lirik Adi dengan ekspresi tidak menyangka akan sesuatu. Setelah itu, keduanya pun menghilang dari pandangan lelaki tersebut.

“Aku ditolak ... sayang sekali ....”

Adi menatap langit-langit, lalu menghembuskan nafas panjang.

Dia patah hati sekaligus lega karena melepaskan perasaan yang ia pendam berminggu-minggu. Adi berniat melupakan Laila setelah ini. Gadis seperti Laila terlalu silau untuk dia gapai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro