Part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari rabu, saat jam istirahat, Adi memandangi langit dari lantai dua sekolahnya. Kedua lengannya dilipat di atas dinding pendek. Dengan raut wajah serius dia merenungi pengalaman pengakuan cintanya yang ditolak.

Adi merasa keputusannya untuk menembak terlalu cepat. Sisi baiknya dia dapat mengetahui apa yang Laila suka dan tidak suka. Adi bisa memperbaiki diri agar bisa menjadi lelaki idaman Laila. Itupun kalau mereka masih bertemu dan berteman setelah lulus SMA.

Dari kejauhan, Zaki dan Gio mengamati Adi. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi karena lelaki itu tidak ngumpul bersama seperti biasanya.

“Zaki, Adi kenapa sih?” tanya Gio sambil mengerutkan dahinya.

Zaki memicingkan matanya untuk melihat wajah Adi lebih jelas. Ekspresi Adi menunjukkan alasannya bersikap demikian.

“Sepertinya aku tau apa yang terjadi.” Sebagai orang yang mendorong Adi melakukan langkah besar dalam percintaannya, jelas ia dapat mengetahui isi pikiran Adi saat ini.

Zaki pun berjalan menghampiri Adi. Gio mengikutinya dari belakang.

“Woy, lagi galau ya?”

Zaki tersenyum jahil. Sebagai teman yang sudah dekat, Zaki lebih suka menjahili temannya yang sedang galau dibanding menghiburnya. Tapi tentu saja dalam batas tertentu.

“Cih, kau seneng banget kayaknya.”

“Hahahaha! Habisnya, ekspresimu terlihat lucu sih!” Zaki menepuk-nepuk pundak Adi.

Gio melihat kedua temannya tampak membicarakan hal yang sama. Di sini hanya Gio yang tidak tau masalah percintaan Adi. Ini membuatnya penasaran.

“Memangnya ada apa sih? Kasih tau aku dong!”

Zaki terkekeh. “Si Adi ini lagi patah hati. Dia ditolak sama Laila. Makanya merenung di sini.” Zaki kemudian menoleh ke arah Adi. “Benarkan?”

Adi belum memberitahu alasan mengapa dia merenung di tempat ini, tapi Zaki bisa mengetahuinya dengan jelas dan menjelaskan duluan. Adi tidak menyangkal apa yang Zaki katakan. Lagipula dia sudah memberitahu siapa crushnya pada teman-temannya. Jadi dia mengangguk sebagai tanggapan atas pertanyaan Zaki.

“Woahhh! Serius!? Kau berani nembak!?”

“Iya, bener! Jangan keras-keras woy ngomongnya!”

Adi panik karena respon Gio sangat heboh hingga menarik perhatian beberapa murid. Untungnya, murid-murid tersebut tidak terlalu peduli, jadi Adi aman dari gosip.

“Hah ... harusnya aku PDKT dulu, baru nembak.” Adi memberikan pandangan kesal. “Saranmu sesat, aku menyesal mengikutinya. Kau harus bertanggung jawab Zaki! Ini semua salahmu!”

“Jangan marah begitu dong ... lagian, siapa suruh mengikuti saranku?”

Seseorang bisa jadi bodoh karena jatuh cinta. Adi mulai berpikir perkataan tersebut benar adanya.

Ucapan Zaki memang tidak salah. Tapi tetap saja, dia sangat kesal dan galau. Semalam dia tidak bisa berhenti memikirkan Laila. Ditolak sangat menyakitkan. Adi sampai susah tidur karena itu.

Adi tidak menjawab pertanyaan Zaki. Dipikir-pikir ini memang bukan salahnya. Namun, Adi tetap kesal karena Zaki berhasil mendorongnya menembak Laila.

Karena Adi terdiam dan ekspresinya terlihat rumit, Zaki pun melanjutkan, “Tapi, meskipun ditolak, kau dapat keuntungan juga kan? Hatimu jadi lebih lega karena sudah menyatakan perasaan.”

“Apa iya?” Adi mengernyitkan dahi.

“Eh? Salah ya?”

Adi tidak berpikir pernyataan Zaki salah. Memang benar, Adi merasa lebih nyaman karena sudah nembak. Sebelumnya dia hanya memendam dan sangat pasif. Dia tidak ada kemajuan. Nembak Laila adalah tindakan yang membuatnya maju.

Namun, setelah satu masalah selesai, masalah lainnya muncul.

Adi merasa galau dan pesimis bisa mendapatkan Laila. Tipe laki-laki yang Laila inginkan berbanding terbalik dengan dirinya. Karena itulah Adi tidak percaya diri.

“Kata-katamu benar sih, tapi aku tetap resah.”

“Resah kenapa?”

“Emm ... begini. Laila bilang dia suka laki-laki yang punya prestasi bagus dan penyabar, terus dia gak suka laki-laki yang perokok dan terlalu banyak bergaul.”

Zaki dan Gio mengangguk-ngangguk. Tidak heran Adi merasa pesimis.

“Lebih baik kau melupakan Laila. Kalau terlalu memaksa, yang ada kau malah sengsara sendiri.” Gio mengeluarkan pendapatnya.

Adi juga berpikir seperti itu sebelumnya. Dia ingin melupakan Laila dan menghilangkan perasaannya. Tapi sayangnya tidak semudah itu. Semakin dia mencobanya, dia malah semakin memikirkan Laila.

“Itu ... mungkin pilihan terbaik. Tapi gak semudah itu. Aku udah berusaha lupain Laila, tapi gak bisa.”

“Hm ... susah juga ya jadi Adi,” kata Gio.

Adi tersenyum pahit mendengar itu. Saat ini perasaannya memang rumit. Dia juga sulit menentukan langkah selanjutnya.

“Terus, kau mau gimana?” tanya Zaki.

Adi merenung lagi. Saat ini dia memiliki dua pilihan. Maju dan berusaha mendapatkan Laila, atau mundur dan berusaha move on.

“Aku ... masih sangat menyukai Laila. Aku ingin mendapatkan hatinya.”

“Berarti, kau akan berusaha menjadi laki-laki yang Laila inginkan ya?”

Adi mengangguk, “Benar.”

Zaki merasa itu akan sangat sulit. Bahkan nyaris mustahil. Dia sudah memiliki hubungan dekat dengan Adi. Gio juga demikian. Mereka berdua tau seberapa besar rintangan yang harus Adi hadapi.

“Pertama-tama.”

Zaki tiba-tiba mengambil sebungkus rokok dari saku kiri celana Adi. Celana pramuka memiliki warna gelap dan tidak ketat. Bungkus rokok tidak terlalu terlihat menonjol. Namun, Zaki mengetahui keberadaan bungkus rokok tersebut.

“Kau harus membuang ini.” Zaki memegang sebungkus rokok tepat di depan Adi.

“E-Eh ....” Adi terkejut dengan tindakan Zaki. Namun, dia diam dan tidak merebut rokok tersebut.

“Kau sudah terlalu kecanduan dengan benda ini. Kau selalu mengkonsumsi dua sampai empat bungkus sehari kan?”

Adi menggaruk-garuk kepalanya. Di circle pertemanan Adi, memang dialah yang paling kecanduan. Teman-temannya yang lain masih bisa lebih berhemat dan menahan diri.

“I-Iya ... kau benar ....” Adi menggaruk-garuk kepala.

Melihat aksi dan reaksi dari kedua temannya, Gio terkekeh.

“Iya tuh! Kalau Adi gak bisa ngalahin nafsu ngerokok, dia gak akan bisa dapetin Laila. Kalau dapatpun, Laila bisa ikut-ikutan ngerokok juga!”

“W-Woy! Jangan ngomong gitulah!”

Adi jadi was-was mendengar ucapan Gio. Dia takut tidak bisa mendapatkan Laila. Tapi dia lebih takut lagi jika Laila ketularan ngerokok sepertinya.

Laila adalah siswi cantik, berprestasi, dan jauh dari hal-hal seperti rokok. Jika Adi membuatnya ikut-ikutan ngerokok sama saja dia merusak Laila.

“Zaki ....”

Adi menghembuskan nafas panjang. Nafasnya terdengar berat. Dia tampak memiliki beban yang sangat besar.

“Buang itu.” Adi menunjuk bungkus rokok di tangan Zaki.

“Hah? Serius?” Zaki sampai kehilangan kata-kata. Raut wajahnya menunjukkan seolah-olah dia menyaksikan sesuatu yang amat mustahil.

“Iya, aku serius. Buang saja itu. Aku mau tobat.”

Gio sampai membuka mulutnya. Dia juga bereaksi seperti Zaki.

Setelah keheningan sesaat, Zaki menghembuskan nafas panjang lalu tertawa kecil.

“Gila ... kau pasti sudah gila.”

“Aku masih sehat secara kejiwaan. Ayolah, ini gak semustahil yang kau bayangkan. Kau mendukungku kan?”

“Tentu saja kawan.” Zaki berjalan menuju tong sampah dan berkata, “Aku akan membuang ini. Semangatmu jangan hanya hari ini saja ya.”

Sebungkus rokok itupun dibuang. Adi merasa sedikit sakit melihat benda itu jatuh ke tong sampah. Namun, di sisi lain dia merasa lebih baik. Rasanya sisi buruknya sebagai manusia sedikit berkurang.

“Jadi, apa rencanamu? Kawanku?” tanya Gio.

“Hmm ...”

Adi memegang dagunya. Dia terjun ke dalam pikirannya untuk menemukan solusi.

“Laila menyukai laki-laki yang berprestasi dan tidak merokok. Prestasiku pas-pasan, dan menghilangkan kecanduan rokok tentunya tidak semudah itu. Aku akan mencari kebiasaan baru yang bisa meningkatkan prestasiku sekaligus membuatku terbantu dalam melupakan rokok.”

Gio tersenyum. Dia terlihat penasaran.

“Kebiasaan ya? Bagus juga. Lalu, kebiasaan apa yang ingin kau latih?”

Adi tersenyum kaku. Dia benar-benar tidak menyangka ide ini akan terlintas di kepalanya.

“Membaca buku.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro