Part 8 (End)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam hari.

Adi memeluk gulingnya. Lampu kamarnya sudah dimatikan meskipun saat ini belum waktunya tidur. Dia ingin cepat-cepat terlelap dalam mimpi agar tidak terus memikirkan Laila yang mungkin terjurumus ke dalam rokok.

“Dadaku panas ....”

Tangan Adi mencari-cari sesuatu di atas rak kecil. Dia tidak menemukan apa-apa selain foto dan beberapa buku.

“Benar juga, aku belum beli rokok.”

Adi sungguh tersiksa. Dia ingin kembali ke kebiasaan lamanya.

Adi menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan. Masih belum terlalu larut, Adi pikir jalan-jalan sebentar tidak ada salahnya. Setelah mengenakan jaket dan celana panjang, ia pun pergi keluar rumah.

Dia tidak tau ingin ke mana. Dia hanya berjalan-jalan agar beban pikirannya berkurang.

Adi memegangi tenggorakan dengan ekspresi seolah kehausan. Rokok, rokok, rokok. Masih terngiang-terngiang di kepalanya. Pikiran negatif tentang Laila memperparah keadaannya saat ini.

Adi tidak rugi jalan-jalan di komplek. Angin berhembus dengan suhu yang sejuk. Masih ada orang yang terlihat meskipun tidak ramai. Suasana sepi malam ini benar-benar terasa nyaman.

“Jika Laila benar-benar merokok, apa yang harus aku lakukan?”

Kembali berpikir. Adi sulit membayangkan jika itu terjadi. Bagaimana jika sudah dinasehati, Laila menolaknya? Bagaimana jika gadis itu ternyata sudah kecanduan?

Memaksa mungkin adalah cara yang efektif untuk membantu Laila seandainya dia memang merokok. Namun, cara itu kurang baik dan memicu ketidaknyamanan. Adi tidak ingin Laila merasa tertekan.

Jika sudah kecanduan, akan sulit lepas dari yang namanya rokok. Adi hanya bisa berharap gadis pujaan hatinya itu belum terjerumus sampai ke sana.

Tanpa Adi sadari, dia telah pergi cukup jauh. Rumah Laila kini berada di dekatnya.

“Apa yang terjadi?”

Adi mendekati rumah Laila secara tergesa-gesa. Dia tidak dapat melihat situasi di dalam sana, tapi dia mendengar suara bentakan.

“AYAH SUDAH SUSAH PAYAH MEMBAYAR BIAYA PENDIDIKANMU, SEKARANG KAU MALAH MEROKOK!?”

Tidak ada yang menjawab suara itu.

“Mengapa kau jadi seperti ini!? Apa kau tidak memikirkan perasaan orang tuamu!? Kau sudah mulai nakal ya, Laila!?”

Adi tersentak.

Ternyata dugaannya selama ini benar.

“JANGAN DIAM SAJA. AYO JAWAB!”

Pria paruh baya itu terus memarahi anaknya. Laila hanya bisa membisu di tempatnya.

“Kenapa malah menangis!? Harusnya Ayah yang menangis karena melihatmu nakal seperti ini!”

Adi tidak bisa melakukan apa-apa selain mengamati. Meskipun dia tidak berada di posisi Laila, dadanya sesak mendengar teriakan amarah itu.

Tidak lama kemudian, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Adi spontan menunduk untuk menyembunyikan diri lalu melangkah ke belakang beberapa kali untuk bersembunyi di balik dinding.

Laila keluar dari rumahnya sambil berlari. Lengan yang menggosok-gosok wajah menunjukkan emosinya. Adi melihat ke arah rumah sekali lagi. Pria paruh baya berniat mengejar Laila tapi ditahan oleh istrinya.

“Laila! Mau ke mana kamu!”

“Sudahlah ...! kamu tenang dulu!”

“Bagaimana bisa aku tenang!?”

“Biarkan dia sendiri! Tenang saja! Dia pasti hanya pergi sebentar!”

Percakapan itu berakhir setelah pria paruh baya mendengus dan kembali ke dalam rumahnya.

“Laila ....”

Adi menggertakkan giginya, kemudian dia berlari ke arah gadis itu pergi. Dia berlari secepat mungkin agar tidak kehilangan jejaknya.

“Laila!”

Laila yang sedang berlari lantas menoleh. Dia panik lalu menghapus air matanya. Karena perbedaan fisik, Adi berhasil mengejar dan meraih pundak Laila. Mereka berhenti di samping lapangan yang digunakan anak-anak komplek untuk bermain bola.

“Laila! Tetaplah di sini. Jangan kabur.”

Adi memegangi kedua bahu Laila. Gadis itu sedang menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

“Tenanglah, tenanglah. Aku di sini. Kau bisa cerita apapun padaku.”

Laila menggelengkan kepala dengan wajah yang masih tertutup. Adi tidak ingin memaksa, jadi dia menunggu Laila menenangkan diri.

“A-Adi ....”

Setelah beberapa waktu, Laila akhirnya memperlihatkan wajahnya. Bulu mata dan sekitarnya terlihat basah. Ini adalah ekspresi baru yang Adi lihat.

“A-Aku, aku, aku sangat mengecewakan. Aku munafik.” Laila berbicara terisak-isak. “Kau pasti membenciku bukan? Kau pasti memandangku buruk kan?”

Laila tidak berani bertatapan. Dia sedikit menunduk dan terus menghina diri sendiri. Laila kini terbukti merokok sepenuhnya. Padahal dia tidak menyukai lelaki perokok, tapi sekarang dia melakukan hal yang sama dengan tipe lelaki yang dia benci itu.

Adi masih memegang kedua bahu Laila. Citra Laila memang memburuk di matanya sekarang, tapi perasaan sukanya sama sekali tidak berubah.

“Kau pasti sudah menduganya ya ...? Saat di mall, kau terlihat aneh. Sikapmu tidak seperti biasanya.”

Laila semakin murung. Dia masih ingat raut wajah Adi yang pucat saat itu. Ekspresi itu menunjukkan keresahan dan kekecewaan.

“Aku gadis yang benar-benar munafik.”

“Sudahlah.” Adi menggertakkan giginya lalu memeluk Laila agar dia tidak mengeluarkan kata-kata buruk lagi. Suara Adi bergetar karena sakit hati melihat Laila terluka.

Meski dipeluk dan Adi menyuruhnya berhenti, Laila tetap tidak bisa diam.

“Aku tau betul bagaimana orang-orang memandangku. Jika mereka semua tau aku merokok, aku pasti akan dibenci. Ratih akan kecewa. Guru-guruku akan kecewa. Orang tuaku mungkin kena dampaknya juga.” Nada suara Laila rendah seperti biasanya. Tapi Adi bisa merasakan berbagai emosi dari suaranya itu.

Laila berusaha mempertahankan semuanya. Ekspetasi dan image-nya di mata orang lain sangat membebaninya hingga kesalahan yang ia lakukan membuatnya sangat ketakutan.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku tau pasti ada alasan kuat mengapa kau merokok.”

“Aku ... aku ....”

Laila menggertakkan giginya kuat-kuat.

“AKU SUDAH MEMPERTAHANKAN SEMUANYA!”

Air matanya tumpah sekali lagi.

“Aku berusaha mencapai prestasi yang mereka inginkan! Aku berusaha memenuhi ekspetasi semuanya! Aku berusaha menuruti keinginan mereka! Aku selalu diam tanpa melawan!”

Laila mencengkram baju Adi.

“Mereka melukaiku jika melihat kekurangan! Aku lelah! Mereka teriak-teriak setiap hari!”

Adi dan Laila akhirnya bertatapan.

Tidak seperti biasanya, wajah yang cantik itu kini tidak enak dipandang. Saat menatap wajah itu, Adi merasa sakit. Dia tidak tau apa yang Laila alami, tapi dari luapan emosinya, Adi mengetahui garis besar masalahnya.

“Aku lelah! Aku ingin menenangkan pikiranku sebentar saja! Karena itulah ... karena itulah aku merokok! Benda itu memberiku ketenangan meskipun sebentar!”

Laila terengah-engah setelah melepaskan banyak emosi yang dia tahan.

Setelah beberapa waktu, Adi akhirnya membuka mulutnya.

“Laila, aku tidak tau apa yang kau rasakan. Sesedih apa, sesakit apa, seberat apa, aku tidak merasakannya.”

Adi menepuk pundak Laila.

“Tapi, terjerumus ke dalam hal buruk hanya memperburuk masalahmu. Itu bukan jalan keluar, tapi jalan lain yang membuatmu semakin sengsara. Jika kau kecanduan, akan sulit melepasnya. Bahkan bisa jadi kau menyentuh hal yang lebih buruk lagi.”

Rokok memang sangat lumrah, sangat umum. Sangat mudah ditemui sehari-hari dan kebanyakan orang tidak terlalu peduli dengan dampaknya.

Namun, Adi peduli. Benda buruk yang adiktif ini bisa menjatuhkan gadis baik-baik seperti Laila. Sekarang hanya dia yang bisa menghentikannya. Adi harus melakukannya saat ini juga.

“Laila, aku tau mereka punya banyak salah padamu. Masalahmu besar, tapi jangan lari seperti ini. Kau harus menghadapinya. Merokok hanya membuatmu kecanduan dan tenang sebentar.”

Laila menggertakkan gigi lalu mencengkram bahu Adi dengan kasar.

“KAU CUMA BISA MENGUCAPKAN OMONG KOSONG! KAU TIDAK TAU APA YANG AKU RASAKAN!”

“Aku tidak bicara omong kosong! Aku mengatakan yang sebenarnya!”

“Jangan bertingkah seolah-olah kau memahamiku! Kau tidak sedekat itu denganku Adi!”

Adi hampir kehilangan kata-kata. Ucapan Laila menusuk hati, Adi tersinggung tapi menahan emosi itu.

“Aku bukan pembaca pikiran orang! Aku tidak bisa melakukannya! Aku hanya manusia biasa, tidak bisa mengerti isi hati orang lain sepenuhnya! Tapi, aku mengerti masalahmu. Aku ingin membantumu. Karena itu, dengarkan aku Laila!”

“Kau hidup dengan bersenang-senang! Kau tidak pantas mengatakan hal-hal seperti itu!”

“Semua orang punya persoalannya masing-masing! Meskipun mereka terlihat bahagia!”

“Omong kosong! Lalu kenapa hidupku seperti ini!? Kenapa mereka bisa bersenang-senang tanpa beban sedangkan aku harus mati-matian menahan bebanku!”

“Mungkin semua orang tidak semenderita dirimu, Laila. Tapi ketahuilah, kau bukan orang paling menderita!”

Adi menggenggam kedua tangan Laila untuk melepas cengkraman gadis itu.

“Aku tidak bermaksud menganggap mentalmu lemah atau semacamnya. Aku hanya ingin membantumu.”

“Membantuku? Memangnya kau bisa apa!?”

“Aku bisa ... menjadi sandaran bagimu saat kau lelah. Kau bisa curhat padaku.”

“Curhat saja tidak bisa menyelesaikan masalah!”

“Memang iya! Karena itulah kau harus menghadapi masalahmu!”

Laila sangat kesal. Benar-benar kesal. Mengapa lelaki dihadapannya ini terus memaksanya melakukan hal yang dia inginkan?

“Jangan mengaturku, Adi.”

“Aku melakukannya demi kebaikanmu.”

“Apa alasannya?”

Adi sedikit ragu, tapi dia memberanikan diri mengatakannya.

“Karena aku menyukaimu.”

Laila tidak percaya itu alasan murni.

“Jika kau berharap aku memacarimu setelah ini maka lupakan saja.”

“Tidak, aku tidak berharap begitu. Yang aku harapkan adalah kau terbebas dari rokok. Masalah keluarga yang kau hadapi tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Tapi, masalahmu yang terjerumus ke dalam rokok, aku ingin kau menyelesaikannya sekarang juga.”

Laila masih terlihat kesal. “Kau perokok tapi berani mengatakan itu. Apa kau tidak punya malu?”

“Kau sendiri merokok padahal tidak suka laki-laki perokok. Apa kau tidak punya malu?”

Laila kehilangan kata-kata. Dia menghembuskan nafas panjang. Perdebatan ini membuatnya sangat lelah. Dia tidak harus melakukan apa untuk menyelesaikan masalahnya ini.

“Kau bawa rokok kan? Keluarkan.”

Laila kebingungan. Dia merogoh sakunya lalu menunjukkan bungkus berisi dua rokok.

Adi menatap bungkus itu lalu mengambil sebatang rokok di dalamnya. Tidak hanya itu, dia juga menjepit rokok dengan dua jari lalu mengambil pemantik api.

“K-Kau ingin merokok? Disaat seperti ini?”

Laila tidak mengerti apa yang ada di pikiran lelaki itu.

“Ambillah.”

Adi merebut bungkus rokok Laila lalu menawarkan.

“Ini rokok terakhirmu. Setelah ini, jangan merokok lagi. Jika kau melakukannya, aku akan membuat hari-harimu penuh dengan rasa malu.”

“Apa ...? M-Memangnya apa yang ingin kau lakukan jika aku tidak menurut?”

“Aku akan teriak 'I love you Laila' setiap hari di sekolah.”

Laila tersentak. Dia seketika merinding membayangkan itu. Bukan karena jijik, melainkan karena besarnya rasa malu yang akan dia rasakan jika itu terjadi.

“J-Jangan lakukan itu! Bodoh!”

“Kalau begitu, kau harus menurut.”

Adi benar-benar tidak bercanda. Dia menunjukkan bungkus rokok lagi pada Laila sebagai tanda penawaran.

Laila menghembuskan nafas lalu mengambil sebatang rokok di dalam bungkus tersebut.

“Berjanjilah kau tidak akan merokok lagi setelah ini.”

Adi menyalakan rokoknya.

Laila terlihat kesulitan saat ingin menjawab. Konsekuensi dari melanggar perintah Adi membuatnya tidak punya pilihan.

“Baiklah, aku berjanji.”

Mendengar itu, Adi tersenyum dengan rokok di mulutnya. Dia kemudian menunjuk-nunjuk ujung batang rokok. Laila memahaminya. Dia mendekatkan ujung rokoknya dengan milik Adi.

Rokok Laila kini menyala. Mereka sama-sama menghisap dan menghembuskan asap rokok.

“Laila, aku mencintaimu. Apa kau mencintaiku juga?”

Laila terkejut, lalu tertawa pelan. Bisa-bisanya Adi ngomong begitu disaat seperti ini.

“Iya, aku mencintaimu juga.”

Keduanya sama-sama tersenyum tipis, lalu kembali menghisap rokok.

Di dalam hati, mereka bertekad untuk berhenti dari rokok. Meskipun benda ini negatif, tapi berawal dari benda inilah hubungan asmara mereka dimulai.

fin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro