Part 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adi merenung sangat lama. Mulai dari mencium aroma rokok hingga selesai membayar buku. Mukanya juga terlihat pucat.

“Kau benar tidak apa-apa? Jika kau sakit, kau bisa pulang sekarang. Aku akan mengantarmu.”

Adi menatap Laila dengan banyak pikiran. Aroma rokok yang ia cium sebelumnya kini telah menghilang karena mereka berada di luar perpustakan dan ada banyak aroma yang bercampur di sini.

Laila adalah gadis cantik yang pintar dan jauh dari hal-hal nakal. Itulah yang diketahui semua orang termasuk Adi. Namun, lalu bagaimana dengan aroma rokok itu? Adi sangat yakin asalnya dari Laila. Tapi harusnya itu tidak mungkin 'kan?

“Tidak, aku tidak apa-apa kok. Sungguh.”

“Benarkah?”

“Iya.”

Ratih yang mengamati menyadari sesuatu. Adi tidak baik-baik saja. Jika dilihat dari mata dan ekspresi, Ratih menduga saat ini Adi memiliki banyak pikiran buruk yang berkaitan dengan Laila.

“Hey, gimana kalau kita makan dulu? Kalian udah laper 'kan?”

“Benar juga.”

“M-Makan? Benar. Ayo kita makan.”

Mereka bertiga pun menaiki elevator. Ada banyak restoran kecil. Adi dan Laila tidak memberikan pendapat saat ditanya Ratih. Keduanya hanya bilang 'terserah' atau 'kau saja yang pilih'.

Ratih tidak mau ambil pusing. Dia memilih restoran secara acak. Laila dan Adi tidak protes dengan pilihannya.

Adi masih bersikap seperti sebelumnya meskipun sudah duduk dan memesan makanan. Dia lebih banyak diam. Gestur tubuhnya juga terlihat resah. Sebaliknya, Laila justru lebih banyak berbicara.

“Adi, kamu beli buku apa aja tadi?” tanya Laila dengan ekspresi kalem seperti biasanya.

“Aku membeli ini.” Adi menunjukkan dua buku, yaitu Atomic Habbits dan Bumi.

“Kamu sekarang tertarik dengan non-fiksi?” Laila melebarkan matanya ketika melihat buku yang pertama. “Apa kamu yakin bisa menghabiskannya?”

“Aku tidak yakin sih, tapi aku ingin mencobanya. Lagipula, nilaiku pas-pasan. Aku ingin membangun kebiasaan belajar agar nilaiku naik.”

“Apa kamu ingin masuk ke kampus tertentu?”

“Soal kampus ... aku belum memikirkannya sih. Tapi aku harap bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri.”

Laila melihat sisi lain dari Adi. Semakin dia mengenalnya, sisi positifnya semakin terlihat. Berbeda jauh saat ia belum mengenal Adi.

Tanpa Laila sadari, sebenarnya sisi positif yang ia lihat merupakan pengaruh dari dirinya sendiri.

Memang tidak sepenuhnya karena Laila, tapi perubahan Adi bisa ada karena ia masih berharap pada gadis tersebut.

“Kamu ternyata punya niat seperti itu. Aku tidak menyangka.”

Adi bingung harus bereaksi apa mendengar komentar Laila yang 'terdengar' menyindir. Dia hanya tertawa hampa dan introspeksi diri meskipun Laila tidak berniat buruk sama sekali.

Beberapa waktu kemudian. Makanan akhirnya tiba. Adi memesan nasi goreng, Laila memesan mie, sedangkan Ratih memesan ayam dan ikan dengan porsi nasi yang banyak.

“Kau rakus juga ya.”

“Aku tidak peduli.” Ratih memakan makanannya tanpa mempedulikan tatapan Adi.

“Ratih, apa kamu tidak takut gemuk?” tanya Laila.

“Nggak. Dari dulu aku makan banyak tapi gak gemuk-gemuk. Jadi ya ... aku santai aja.”

Memang benar. Tubuh Ratih seperti gadis pada umumnya. Standar, tidak gemuk dan tidak kurus. Sebagian gadis pasti iri padanya karena memiliki tubuh susah gemuk.

“Kau sendiri kenapa gak makan banyak? Tubuhmu termasuk kurus lo.”

Laila spontan melihat tubuhnya yang kurang berisi.

“Tidak apa-apa. Aku terbiasa makan secukupnya.”

“Hahaha. Dasar anak hemat.”

Ratih dan Laila terus mengobrol. Adi tidak masuk ke dalam obrolan dan hanya membalas ucapan sedikit-sedikit.

Setelah mereka menghabiskan makanan, Laila pergi ke kamar mandi. Sekarang tinggal Adi dan Ratih saja. Hanya ada es teh manis di atas meja.

Ratih sebelumnya tidak menanyakan apapun pada Adi meskipun tau kondisinya sedang tidak baik. Namun, sekarang adalah kesempatan emas baginya untuk berbicara.

“Adi, katakan apa yang kau pikirkan.” Ratih dengan santai meminum es teh manisnya.

Adi terbelalak. Dia tidak menyangka Ratih bisa mengetahui masalahnya.

“Hahaha. Apa maksudmu?”

“Sudahlah, katakan saja. Ini pasti berkaitan dengan Laila 'kan? Cerita saja. Mumpung dia masih di kamar mandi.”

Adi tidak menyangka pikirannya berhasil dibaca. Dibandingkan Laila, Ratih jauh lebih peka. Meskipun belum kenal lama Adi merasa bisa mempercayai gadis tersebut.

“Sebenarnya ... ada sesuatu yang mengangguku.”

Adi meletakkan tangannya di atas meja. Jari-jarinya saling masuk ke sela-sela. Ratih memperhatikan dengan serius. Sikapnya berbanding terbalik dengan yang biasanya.

“Aku mencium aroma rokok dari Laila.”

Ekspresi Ratih berubah.

Rokok dan Laila. Remaja-remaja sekarang memang banyak yang merokok. Bahkan gadis sekalipun. Namun, untuk gadis seperti Laila, Ratih merasa itu mustahil. Ratih berpikir Adi terlalu khawatir karena perasaan sukanya pada Laila.

“Maksudmu Laila merokok? Itu mustahil. Mungkin itu aroma rokok dari orang lain yang menempel di bajunya.”

“Tidak, tidak mungkin. Aromanya cukup kuat jika dibandingkan aroma yang menempel saja. Aku tidak tau di luar sekolah bagaimana, tapi yang aku lihat Laila adalah gadis yang jarang berkumpul dengan perokok. Karena itulah aku cukup yakin aroma rokok ini berasal dari Laila sendiri.”

“Itu ... itu tidak mungkin.”

Ratih menundukkan pandangannya. Meskipun merokok adalah hal yang lumrah, sebagai sahabat Ratih tidak ingin Laila terjerumus ke dalam hal-hal seperti itu.

“Jika Laila merokok, itu pilihan dia. Kalau dia memang begitu mau bagaimana lagi.”

Ratih kecewa tapi tidak ingin mempermasalahkan lebih lanjut.

“Tidak ... jangan begitu. Kau harus lebih peduli padanya.” Adi mengandalkan Ratih karena dialah sahabat Laila. Ratih berpengaruh besar, tidak seperti Adi. Jika dia cuek begitu akan sulit menjaga Laila.

Ratih masih terlihat sedih. Dengan nada pelan dia bertanya, “Memangnya kenapa? Bukan tanggung jawab kita bukan?”

Adi tersenyum pahit.

“Iya, memang bukan tanggung jawab kita menjaga Laila. Tapi ... aku menyukai Laila. Aku ingin menjaganya dari hal-hal yang buruk.”

Adi memegangi dadanya. Seolah-olah mencengkram paru-parunya sendiri.

“Aku tau betapa buruknya rokok itu. Saat kecanduan, aku sulit mengendalikan diri. Tubuhku terasa berat, kepalaku pusing, di pikiranku hanya ada rokok rokok rokok. Banyak uang yang kuhamburkan. Aku benar-benar dilahap oleh nafsu. Sangat sulit lepas dari kebiasaan ini.”

Adi berbicara seperti pendosa yang berusaha tobat tapi selalu tergelincir pada dosa yang sama.

“Aku berhasil lepas dari rokok belakangan ini karena Laila. Dia memotivasiku untuk berhenti dari kecanduan. Tidak hanya itu, dia juga membuatku melakukan kegiatan positif. Dia membuatku berkembang. Karena itu, aku tidak ingin Laila kecanduan rokok.”

Adi menatap Ratih seolah-olah gadis itu adalah harapannya.

Mungkin hiperbola, tapi perasaan khawatir Adi memang sebesar itu.

Ratih yang melihat ekspresi Adi mulai berpikir bahwa masalah ini sangat serius. Laila memang belum pasti merokok. Tapi mendengar perokok berat seperti Adi berbicara seperti ini, maka kemungkinan Laila merokok tidak kecil.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Ratih sangat khawatir, tidak menyerah atau membiarkan seperti sebelumnya. Meskipun bukan tanggung jawab, mereka harus serius menjaga Laila.

“Cukup beri dia nasehat. Itu sudah cukup.”

Adi tidak ingin Ratih melarang Laila secara kasar dan terlalu sering. Untuk membantu seseorang meninggalkan hal buruk, cara yang baik sangat diperlukan.

Tugas Adi dan Ratih hanya menyampaikan saja. Sisanya ada di tangan Laila sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro