Part 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekitar jam empat sore, Adi bersandar pada dinding suatu gang sambil menunggu kedua temannya datang. Dia membuka aplikasi chat untuk memantau jika ada informasi terbaru dari mereka.

Tak lama kemudian, dua sosok perempuan berjalan menghampiri Adi dari jauh. Nama pemuda itu disebut dengan suara lantang oleh salah satu gadis, yaitu Ratih.

Adi tersenyum dan melambaikan tangannya pada mereka.

“Akhirnya datang juga.”

Setelah ketiganya berkumpul, Laila membuka percakapan. Dia terlihat sangat bersalah.

“Maaf Adi. Kami berdua terlambat. Kau pasti sudah menunggu lama.”

“Hahaha. Kalian cuma telat sepuluh menit kok.”

Lama waktu tersebut mungkin sangat menyebalkan bagi sebagian orang. Namun, Adi tidak peduli Laila terlambat. Bahkan kalau perlu dia rela menunggu sampai satu jam.

“Aku sebenarnya sudah siap. Tapi aku ke rumah Ratih dulu karena sudah berjanji pergi bersama. Ratih mandi dan siap-siapnya kelamaan, makanya kami terlambat.”

Ratih mengernyitkan dahinya. Laila terlihat bersalah, tapi kata-katanya seolah menumpahkan semua kesalahan pada Ratih.

“Begitu ya, aku mengerti. Pantas saja.” Adi mengangguk-ngangguk. Dia merasa semuanya menjadi masuk akal.

“Iya-iya, salahku deh. Maaf banget nih ya.” Ratih berdecak sebal.

“Huh, harusnya kamu bersiap-siap lebih awal. Kau mempermalukan kaum cewek. Cewek itu harusnya lebih tepat waktu dari laki-laki.”

Adi mengarahkan kedua tangannya ke arah Laila. Telapak tangannya menghadap ke atas. Pose Adi terlihat seperti seseorang yang menunjukkan barang mewah.

“Kau tidak kasihan dengan Laila? Dia sampai menunggu lama gara-gara kau yang terlalu lelet.”

“Hah? Dia sama aja tau!” Ratih menunjuk-nunjuk Laila. “Saat aku baru keluar rumah, dia bilang baru menunggu selama tiga menit. Itu tandanya dia sama saja sepertiku, meskipun aku memang lebih lambat!”

Laila hanya diam saja dengan ekspresi datarnya.

“Jangan diam saja Laila. Mengakulah. Kau sama sepertiku 'kan?”

“Apa iya?” balas Laila tenang.

Adi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berpikir gadis yang sedang marah-marah ini sangat tidak dewasa.

“Mencari-cari alasan ya? Aku paham. Tapi lain kali jangan menyalahkan Laila.”

“Kau bilang begitu karena menyukai Laila. Kalau yang disalahkan orang lain kau pasti tidak peduli.” Ratih menyindir.

“Memang iya.”

Adi menjawab dengan raut wajah sedatar Laila. Melihat itu membuat Ratih semakin kesal.

“Bahkan kau tidak menyangkal ya. Dasar.” Ratih tidak mau melanjutkan perdebatan ini. Lawannya ada dua orang. Melawan mereka hanya menghabiskan tenaga secara sia-sia.

Waktu terus berlalu. Ketiga remaja itu tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi. Jadi mereka langsung bergegas menuju mall, atau lebih tepatnya toko buku di dalamnya.

Setelah melakukan perjalanan selama dua puluh menit, mereka akhirnya sampai.

Adi, Laila, dan Ratih menelusuri mall bersama. Adi sangat gugup setelah memasuki mall. Dia baru sadar sedang jalan-jalan bersama dua gadis tanpa teman laki-laki.

Laila beberapa kali mencuri perhatian banyak laki-laki. Bahkan ada yang terang-terangan meminta nomor telepon. Tentu saja, Ratih tidak membiarkan para lelaki itu mendapatkan apa yang mereka mau.

“Hahaha, kau seperti artis saja.”

Kata-kata Adi terdengar seperti memuji, tapi senyumannya terlihat mengejek. Laila menyadari ejekan itu. Dengan raut wajah seperti biasanya, diapun menjawab, “Menjadi gadis cantik emang repot. Udah kayak gula dikerubungi semut aja.”

Adi membelalakan matanya. Terkejut karena Laila tiba-tiba berbicara dengan bahasa gaul. Dia juga bingung Laila sedang bercanda atau serius. Kata-kata dan ekspresinya bertolak belakang.

“Kenapa? Apa candaanku tidak lucu?”

Adi membelalakkan matanya lagi.

“Oh, kau bercanda toh. Kirain lagi serius.”

Laila menurunkan pandangannya. Dia tidak mengerti mengapa Adi memberi reaksi bingung seperti itu. Apakah candaannya benar-benar sulit dimengerti?

“Sepertinya, aku tidak punya bakat dalam melawak.”

“HAHAHAHAHAHAHA.”

Laila kaget. Dia dibuat bingung lagi oleh Ratih yang memegangi perutnya karena tidak bisa menahan diri.

“Maaf, maaf. Mendengarmu bicara begitu dengan wajah datar membuatku ingin tertawa.”

Ekspresi Laila berubah. Dia tersinggung dengan pendapat itu.

“Apa maksudmu? Kau menghinaku?”

Adi menepuk wajahnya sendiri. Sebelum kenal dekat dengan kedua gadis ini, dia berpikir hubungan mereka harmonis. Karena seperti itulah yang Adi lihat di sekolah. Namun, setelah cukup akrab dengan mereka, Adi akhirnya mengetahui sisi lain hubungan Laila dan Ratih.

“Udah, udah, toko bukunya udah deket tuh. Jangan berantem mulu. Nanti keblablasan sampai ke tokonya. Para pengunjung bisa risih nanti.”

“Tanpa kau ingatkan pun kami sudah tau,” jawab Ratih.

“Hahaha, gak mungkin. Aku gak percaya ama cewek yang mandinya kelamaan.”

Adi, Laila, dan Ratih akhirnya sampai di toko buku. Suasana di tempat ini benar-benar berbeda. Sunyi dan memiliki aroma kertas. Sebagai orang yang hobi membaca buku, datang ke tempat ini membuat ketiga remaja itu antusias.

Pertengkaran kecil sebelumnya langsung terlupakan begitu saja. Ratih menjadi tenang, mata Laila samar-samar berbinar, dan Adi tersenyum lebar.

“Sudah lama aku tidak ke toko buku. Dulu aku biasa-biasa saja saat masuk ke sini. Tapi sekarang rasanya berbeda.”

“Hahaha. Mungkin itu karena kau telah menjadi nerd.”

“Gak, aku bukan nerd.” Adi tidak mau mengakui ucapan Ratih. Dicap sebagai nerd entah kenapa membuatnya malu. Mungkin karena pandangan masyarakat atau semacamnya.

Saat mereka menelusuri toko lebih dalam, Ratih melihat Adi dan Laila. Dia tersenyum jahil.

“Aku pergi ke sana dulu ya? Kalian berduaan aja. Bye bye~”

Adi terdiam dengan mulut terbuka melihat Ratih yang pergi begitu saja. Dia hanya bisa meluruskan tangan seolah ingin menggapai Ratih, tapi diam di tempat.

Adi sekarang berduaan dengan Laila. Laila berada di sampingnya dan melihat-lihat buku. Gadis itu tampak tidak peduli sama sekali.

“Ada apa Adi?”

“E-Enggak. Gak ada apa-apa.” Adi menggaruk-garuk kepalanya.

Suasana kembali sunyi dan tenang. Ini adalah kesempatan berlian bagi Adi untuk mempererat hubungannya dengan Laila. Namun, karena Ratih tidak ada di sini, Adi jadi bingung harus melakukan apa.

'B-Bukannya ini namanya kencan!?' Adi menjerit dalam hati. Dia terlalu gugup dan sangat senang hingga merasa ingin terbang ke langit.

“Adi, Apa kamu sakit?”

Melihat gelagat Adi yang tidak biasa membuat Laila khawatir. Adi menanggapinya dengan tertawa canggung.

“Tidak. Aku 100% sehat!”

“Oh ... begitu. Baguslah.” Laila kembali menatap buku-buku di dalam rak.

Adi menghembuskan nafas panjang untuk menenangkan diri. Dia harus santai dan berbicara normal dengan Laila seperti sebelumnya. Kesempatan ini mungkin tidak datang dua kali, jadi lelaki itu harus memanfaatkannya sebaik mungkin.

'Eh ...?'

Saat Adi menarik nafas dalam-dalam untuk kedua kalinya, indra penciumannya tiba-tiba menghirup aroma yang familiar. Adi terdiam seketika. Dia melihat sekitar, tapi di dekatnya hanya ada Laila.

Adi membuka matanya lebar-lebar. Detak jantungnya berpacu cepat. Dia berusaha menolak dugaan di pikirannya. Lelaki itu mengendus-ngendus untuk memastikan, dan lagi-lagi dia menghirup aroma yang sama.

“Ada apa? Kenapa wajahmu begitu?”

Laila terkejut melihat ekspresi Adi sekarang. Mata lelaki itu melotot seolah menyaksikan sesuatu yang mustahil. Sangat tegang dan mengucurkan keringat dingin.

Tanpa menjawab, Adi memalingkan wajahnya dari Laila. Dia tidak ingin mengatakan isi pikirannya. Bagaimanapun, Laila adalah gadis yang luar biasa. Jadi ada kemungkinan Adi keliru dengan pikirannya.

'Laila ... gak mungkin merokok 'kan?'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro