Part 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Aku ingin merokok ... aku ingin merokok ....”

Adi berbaring di atas kasur. Dia terlihat sangat lesu seperti orang yang baru berpuasa. Nafsunya untuk merokok sangat sulit untuk ditahan. Di kepalanya saat ini, wujud rokok terus terbayang-bayang.

“Aku harus mencari pengalih perhatian, biar gak kepikiran rokok terus.”

Adi melihat sekelilingnya. Di atas meja belajar terdapat beberapa buku yang ditumpuk. Salah satunya adalah novel yang Laila pinjamkan.

“Baca novel aja deh.”

Adi beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil novel tersebut. Dia sudah membaca hingga ke halaman yang ada di tengah buku. Adi mengakui novel yang ia baca sangat bagus. Bahkan dia larut ke dalam cerita hingga membacanya semalaman.

Laila benar. Novel sangat seru jika ceritanya bagus dan sesuai dengan selera. Buku ini juga tidak seberat yang Adi pikirkan.

Saat asyik menikmati novel, HP Adi tiba-tiba berbunyi.

“Cih, siapa sih yang menelfon pagi-pagi begini.”

Adi lantas mengambil HP-nya lalu melihat kontak yang menelfon.

“Zaki toh.” Diapun menekan tombol telfonnya. Suara yang familiar seketika terdengar begitu Adi menempelkan HP pada telinganya.

“Halooo!”

“Ada apaan?”

“Nongkrong yuk. Kau 'kan udah gak nongkrong beberapa hari terakhir. Mumpung hari libur, ayo main.”

Adi terdiam sejenak. Benar juga katanya. Dia sudah agak lama tidak berkumpul dengan teman-temannya di luar sekolah. Karena menikmati buku, akhir-akhir ini Adi langsung pulang ke rumah setelah sekolah. Jika begini terus dia bisa kurang akrab dengan teman-temannya.

“Oke, ngumpul di mana nih?”

“Depan warung yang biasa.”

“Oh, di situ? Oke. Aku langsung berangkat.”

Setelah beberapa percakapan, Adi menutup telfonnya. Dia menyimpan HP di saku dan membawa beberapa uang. Kemudian dia bergegas keluar rumah untuk pergi ke tempat tongkrongan.

Lokasi yang Zaki sebutkan jaraknya dekat dengan rumah Adi karena satu komplek. Dengan berjalan kaki selama delapan menit, Adi sampai di tempat tujuan.

“Yo, bro!”

Adi melambaikan tangannya saat menatap sekelompok remaja yang terdiri dari enam orang. Dia menyapa mereka satu persatu dan beradu kepalan tinju.

“Ke mana aja? Tumben gak nongkrong beberapa hari.”

“Di rumah doang. Baca buku.”

“Hah? Serius? Sekarang kau jadi nerd?”

“Gak ah. Sama aja kayak biasa. Cuma sekarang lagi coba hal baru. Lumayan juga nih kegiatan, bisa bikin lupa rokok. Tapi yah ... gak lupa-lupa banget sih.”

Zaki bergabung ke dalam obrolan. “Sekarang rekormu gak ngerokok udah berapa hari?”

“D-Dua hari.” Adi tertunduk lesu. Hari kamis setelah membaca buku di perpustakaan bersama Laila, Adi kelepasan merokok karena gak tahan nafsu. Jadi hari minggu ini menjadi hari ketiga dalam misi tobat merokoknya.

Berbeda dengan Adi, teman-temannya justru memberi respon positif.

“Wah ... keren. Udah dua hari. Selamat bro.”

“Iya, gak nyangka ya. Adi yang perokok berat bisa tahan sampai dua hari. Ini pasti keajaiban dunia.”

Tidak sedikit yang melakukan hiperbola. Komentar-komentar mereka membuat Adi mau sekaligus senang.

“Biasa aja ah. Gak sebaik itu juga.” Adi menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum.

“Hm ... ini pasti karena kekuatan cinta.” Gio muncul dari belakang dan berbicara di samping Adi.

“Hahaha. Itu sih sudah pasti.” Zaki ikut-ikutan.

“Hey, kalian berdua bisa gak sih gak memancing topik itu?”

Adi cemberut. Sejak pengakuan crushnya hari itu, teman-temannya jadi sering membahas Laila. Tidak hanya di sekolah, tapi juga di group chat. Adi sering ditanya-tanyai perkembangan hubungannya dengan Laila.

“Benar juga, Laila sekarang makin dekat dengan Adi 'kan?”

“Hahahaha! Itu pasti karena Adi sering baca buku akhir-akhir ini.”

“Adi, jadi niatmu menjadi nerd itu, sebenarnya karena Laila ya?”

Adi mengumpat dalam hati. Dia sudah menduga akan jadi seperti ini jika topik mengenai Laila dipicu sedikit saja.

“Aku ini bukan nerd tau. Baru suka novel beberapa hari masa' udah dibilang nerd.”

“Oke-oke. Terus apa alasanmu menyukai novel? Apa karena Laila?”

“Sial, kenapa aku ditanya-tanyai terus? Kenapa aku jadi pusatnya di sini? Apa karena aku MC?”

“Sudah, jawab saja.”

Adi menghembuskan nafas panjang. Dia ingin melarikan diri tapi dicegah oleh pertanyaan bertubi-tubi. Melihat Adi yang kewalahan, Zaki dan Gio terkekeh.

“Ya, niatku membaca buka memang karena Laila.” Adi tidak punya alasan lain. “Memangnya kenapa?”

“Ya gak apa-apa. Cuma nanya aja.” Salah satu remaja tertawa kecil.

“Kau hebat juga ya Adi. Belakangan ini kau lumayan sering mengobrol dengan Laila 'kan? Tidak banyak laki-laki yang bisa berbaur dengannya sedekat itu.”

Teman-teman Adi banyak yang terpukau dengannya. Bahkan tidak sedikit yang iri dan cemburu.

Di sisi lain, Adi merasa tidak sedekat itu dengan Laila. Dia memang mendapat kesempatan mengobrol, tapi tidak sebanyak itu. Adi dan Laila tetap menjalani kehidupan sekolah seperti biasanya hanya saja hubungan mereka sedikit lebih dekat.

Adi berpikir sepertinya Laila benar-benar jauh dari para lelaki. Sulit digapai oleh mereka karena sifat pendiamnya.

“Kalian sepertinya telalu melebih-lebihkan. Hubunganku dengan Laila masih sama seperti sebelumnya. Hanya saja sedikit lebih dekat.”

Zaki tertawa kecil, “Tapi, meskipun kemajuan hubunganmu dengan Laila hanya sedikit, jika diteruskan kau bisa mendapatkan hatinya lo ....”

Adi tiba-tiba membayangkan dirinya berpacaran dengan Laila. Dalam imajinasinya itu, Laila tersenyum padanya, mengajaknya kencan dan berpegangan tangan. Mereka pergi ke kafe, nonton bioskop bersama, dan menghabiskan banyak waktu di taman.

Wajah Adi memerah saat membayangkannya. Tanpa sadar dia tersenyum tipis saat melamun.

Melihat itu, Gio menatap Adi dengan ekspresi datar.

“Anak ini malah ngefly. Kalo udah jadian ama Laila pasti jadi simp parah nih anak,” gumamnya.

Tidak hanya Gio yang menyadari apa yang Adi pikirkan. Teman-temannya yang lain juga demikian. Mereka meledek Adi dan menggodanya sambil terkekeh bersama.

“Ahhh! Kalian ini!”

Adi tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlanjut. Jika begini terus, bisa-bisa waktu nongkrongnya hanya dipakai untuk membahas Laila.

“Oy, main game yuk. Bosen nih. Masa' bahas cinta-cintaan mulu.”

Adi mengalihkan perhatian temannya dari topik mengenai Laila. Dia tidak hanya mengajak, tapi juga menceritakan perkembangan akun gamenya beberapa hari terakhir. Rencana ini untungnya berhasil. Adi akhirnya bisa lepas dari pertanyaan beruntun dan situasi yang memalukan.

....

Beberapa minggu telah berlalu.

Setelah membaca berbagai buku yang Laila rekomendasikan, Adi semakin menyukai karya sastra. Bahkan di sekolah dia selalu membaca novel di pagi hari sebelum pelajaran dimulai.

Di jam istirahat kedua, Adi dan Laila berkumpul di perpustakaan. Mereka sama-sama membahas buku. Teman dekat Laila yang bernama Ratih juga hadir di sana.

“Aku sudah membaca novel Three Days of Happiness. Perkembangan karakternya menakjubkan! Pengalaman pahit yang dialami protagonis membuatku tersentuh.”

Adi menjelaskan ulasannya dengan penuh semangat. Laila mengangguk-ngangguk saat mendengar bagian yang menarik. Antusiasme Adi membuat Laila tidak bisa menahan senyumannya. Sebagai pecinta novel, mendengarkan ulasan positif seperti ini sangat menyenangkan.

“Adegan itu sangat emosional bukan?” Adi telah menceritakan salah satu adegan di novel Three Days of Happiness.

“Ya, kau benar. Aku juga suka bagian itu.” Laila berbicara dengan nada yang lembut. Dia tenang seperti biasanya. Namun, raut wajahnya memancarkan aura hangat.

Biasanya Adi akan terpesona dan salah tingkah jika melihat ekspresi Laila sekarang. Apalagi dari jarak sedekat ini. Namun, perhatian Adi saat ini terfokus pada isi novel Three Days of Happiness, jadi dia tidak terlalu menyadari kehangatan dari wajah Laila.

“Endingnya sangat memuaskan. Meskipun terkesan menyedihkan tapi kita bisa merasakan kebahagiaan dari tokoh utamanya.” Laila memberikan pendapatnya.

“Iya! Benar! Aku juga setuju!”

Ratih yang sejak tadi memperhatikan dan hanya memberikan sedikit pendapat tersenyum kecut. Dia matanya, Adi dan Laila seolah-olah memiliki dunianya sendiri. Meskipun tidak diabaikan, Ratih tetap frustasi karena merasa menjadi nyamuk.

“Kalian berdua udah kayak orang pacaran aja,” celetuk Ratih. Dia memasang ekspresi menggoda agar kedua remaja itu merasa malu.

Dan benar saja, Adi dan Laila tiba-tiba terdiam sesaat.

“Ahahaha. Bisa aja kamu bercandanya.” Adi menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum canggung.

“Adi, kau jahat banget merebut Laila dariku. Nanti aku nangis nih.”

“H-Hah? Ngerebut Laila? Apasih, orang cuma ngobrol doang.” Adi jadi salah tingkah. Dia kemudian menatap Laila, “Iya kan? Laila?”

“Benar.”

Gadis pendiam itu menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum tipis dan memasang poker face yang sangat baik. Meski begitu, Ratih yang mengenalnya sejak lama bisa menyadari rasa malu yang samar di wajah Laila.

“Kalian ini benar-benar cocok.”

Ratih tertawa kecil melihat reaksi keduanya.

“Ratih, jangan bercanda terus. Kau bisa membuat Adi tidak nyaman.”

"Ah, masa. Kamu kali yang merasa terganggu.”

Laila tidak menyangka Ratih akan menyerang seperti ini.

“Apa maksudmu?”

Laila pura-pura tidak mengerti. Dia masih tenang seperti biasanya. Ekspresi datarnya bukan sesuatu yang diniatkan, melainkan sudah menjadi bagian alami dari dirinya.

“Tidak kusangka temanku ini akhirnya jatuh cinta juga.”

“Ratih, jangan membuat orang lain salah paham.”

“Aku mengatakan yang sesungguhnya kok.” Ratih berusaha mendesak.

“Mungkin yang kau pikirkan itu keliru,” Laila tersenyum tipis. Dia masih tampak sangat tenang.

“Benar kok, semuanya terlihat jelas.”

“Tidak, kau hanya membuat dugaan saja.”

Rasanya ada percikan listrik di antara Laila dan Ratih. Mereka berdua terlihat berdebat biasa, tapi entah kenapa Adi merasa keduanya sedang bertarung.

“Hey hey hey, kita kan lagi bahas buku. Kenapa tiba-tiba jadi begini dah?”

Sikap Laila yang berusaha keras untuk menyangkal sangat mencurigakan. Meski begitu, Adi tidak mau membuat kesimpulan yang menurutnya mustahil. Kata-kata Ratih juga tidak membuatnya berpikir Laila memiliki perasaan khusus padanya.

Adi tidak mau kege'eran. Dia hanya berpikir Laila tidak suka dijodoh-jodohkan. Tidak lebih dari itu.

“Hari ini nongkrong bareng yuk. Kalian berdua anak yang betah di rumah 'kan?”

Adi berusaha melerai. Laila dan Ratih yang berdebat kini mengakhiri pertengkaran kecil mereka.

“Ah ... aku males.” Ratih merespon.

Sesuai yang dibilang Adi, Laila dan Ratih adalah tipe anak yang betah di dalam rumah. Di sekolah mereka juga sering mengobrol berdua saja dan berbaur dengan teman lain seperlunya.

“Gak asik ah. Ayo dong.”

Ratih memutar bola matanya. Dia menatap Laila. “Bagaimana denganmu?”

Laila tampak berpikir sejenak. Kemudian menjawab, “Maaf, aku menolak.”

Reaksi kedua gadis itu sesuai dengan perkiraan Adi. Adi menggaruk-garuk kepalanya dan mencari sebuah ide.

“Bagaimana jika ke toko buku?”

Laila dan Ratih melebarkan mata secara bersamaan. Ide tersebut tidak terpikirkan sebelumnya.

“Ayo!”

Ratih sangat bersemangat. Sementara itu Laila diam saja. Dia mempertimbangkan tawaran ini.

“Bagaimana Laila? Apa kau setuju?”

Setelah berpikir selama beberapa waktu, Laila pun mengangguk. Saat ia menjawab, senyuman hangat merekah dari wajahnya.

“Iya, aku ikut.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro