36. Harus Apa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arini tiba di rumahnya dengan wajah yang sedikit muram, karena perkataan Danu tadi dianggap terlalu mencampuri urusannya. Entah sudah sejauh apa yang pria itu ketahui tentang masa lalunya bersama Azhar. Namun, satu hal yang pasti, Danu tahu bahwa sampai detik ini Arini masih mendamba Azhar.

"Aku tahu kalau omongan Pak Danu itu benar. Semakin aku mengharapkan Mas Azhar, tentu semakin dalam juga luka yang kugali," lirih Arini ketika memandang satu potret di atas nakas kamarnya.

"Tapi, ini sudah terlambat untuk mundur. Bahkan, otakku sudah gila, karena bersedia menjadi istri kedua Mas Azhar." Arini tersenyum hambar menertawakan kebodohan dirinya sendiri.

Arini akan menerima dengan senang hati posisi menjadi makmum kedua Azhar. Jika memang hanya itu salah satunya cara dia bisa bersama pria yang dicintainya.

***

"Pulang jam berapa?" tanya Azhar ketika berada di parkiran kampus Asma. Seperti yang istrinya utarakan kemarin kepadanya bahwa hari ini Asma harus menyerahkan beberapa tugas terlambatnya kepada dosennya.

Asma mengambil tisu di dashboard mobil. "Sebelum Ashar juga udah beres kok, Mas," jawab Asma sembari membersihkan mulutnya dengan tisu, karena cokelat yang belepotan setelah memakan roti isi cokelat tadi.

"Mau aku jemput? Kalo mau, kamu telpon, ya. Nanti aku sekalian makan siang sama kamu juga," tawar Azhar masih memperhatikan istrinya yang fokus dengan beberapa helai tisu di bibirnya.

Asma menggeleng. "Kamu terlalu sering bolos sama izin dari kantor. Jadi, aku minta dianterin Shilla aja kalo mau pulang," jelas Asma. Dia tidak mau suaminya dicap sebagai atasan yang menyalahgunakan jabatan.

"Tapi Shilla kan bawa motor bukan mobil. Nanti-"

"Pelan-pelan kok bawanya, Sayang," potong Asma cepat sebelum suaminya itu mengomel, karena sikap over protektifnya itu yang semakin menjadi. Namun, Asma suka itu.

Mendengar panggilan manis Asma membuat sebuah lengkungan bibir Azhar tercipta. "Kalo ada apa-apa atau pusing dikit juga harus bilang sama aku!" ujar Azhar kembali memberi wejangan kepada Asma.

"Iya-iya bawel!" kekeh Asma sembari mencubit pipi Azhar. "Shilla udah nunggu aku itu, Mas. Aku keluar, ya." Asma memberi petunjuk bahwa sahabatnya telah setia berada dibawah pohon menunggunya.

Asma berjalan menghampiri wanita yang sedang menendang-nendang kakinya entah menendang apa. Shilla sepertinya sudah menunggu lama Asma di sana.

"Nunggu lama, ya Shil?" tanya Asma kepada sahabatnya itu. Dilihat dari wajah Shilla pun sudah terlihat jika perempuan itu sudah menunggunya lama.

"Ninggi limi yi Shil!" ejek Shila dengan raut wajah yang membuat Asma terkekeh. "Lama banget, sih! Kalo mau mesra-mesraan itu di rumah, jangan di mobil Asma!" ujar Shila yang sempat melihat kemesraan Asma dengan Azhar tadi.

"Dih, siapa yang mesra-mesraan. Itutuh rutinitas pasutri tiap mau pamitan tau!" ucap Asma bangga.

"Iya-iya terserah ibu hamil aja," ucap Shilla mengalah. Bisa berabe jika harus berdebat dengan ibu hamil yang sedang sensitif akan semua hal.

"Shil, Dimas emang nggak ada kabar lagi?" tanya Asma kepada Shila ketika mereka berjalan beriringan menuju gedung fakultas mereka.

"Gue udah nggak peduli juga sama dia," jawab Shila datar menanggapi topik tersebut.

"Bukannya, dia pernah bilang cuma mau yakinin keluarga dia yang di Palembang buat nerima lo?" ucap Asma sedikit terbawa emosi karena perlakuan kekasih Shilla yang entah masih bisa disebut kekasih atau bukan.

"Semenjak nggak ada kabar dari dia, gue udah bukan siapa-siapa dia lagi," ucap Shila masih datar. "Siapa juga yang mau nerima anak yatim piatu kayak gue, Ma," lanjut Shila.

"Jangan ngomong kayak gitu, Shilla! Si Dimas aja sama keluarganya yang bodoh kalo berpikir kayak gitu," timpal Asma merasa tidak terima dengan perlakuan Dimas selaku calon suami Shilla yang menghilang entah dibawa badai apa.

Asma tahu, jika keluarga Dimas tidak menyetujui hubungan Shilla dengan Dimas karena keadaan Shilla yang seorang anak yatim piatu dan hanya tinggal bersama bibiny saja.

"Tenang aja, Ma. Gue udah nggak peduli, kok. Dimas mau balik lagi atau nggak pun terserah dia aja," ujar Shila dengan kekehan.

Demi apapun, Asma tidak menyukai sikap Shilla yang seakan semua sesuatu itu tidak menyakiti hatinya.

"Lo udah beneran sehat kan, Ma?" tanya Shila melirik Asma mencoba mengalihkan topik menyebalkan baginya.

Asma mengangguk. "Udah, dong. Makan gue aja sampe empat kali sehari akhir-akhir ini," ucap Asma bangga. Biasanya Asma sangat sulit untuk makan hanya dua kali sehari saja, tetapi anehnya sekarang nafsu makannya meningkat drastis.

"Bagus, deh. Kan, berabe kalo lo pingsan lagi tiba-tiba lagi," sindir Shilla kepada Asma.

Asma menyikut lengan Shila. "Apaan sih, Shil. Itu gue lagi khilaf tau!" ucap Asma malu. Siapa juga yang tidak malu jika dibahas mengenai dirinya pingsan tempo hari. Lucu saja tiba-tiba pingsan.

"Shil, pulang dari kampus anterin ke toko buku, yuk," ajak Asma ketika mereka sudah hampir tiba di depan kelas mereka.

"Nggak dijemput emang sama pangeran lo?" ucap Shilla dengan alis berjinggit.

Asma menggeleng. "Pangeran gue lagi kerja buat nyari sebongkah berlian!" Setelahnya Asma berjalan meninggalkan Shilla yang pasti berekspresi jijik akan ucapannya.

Dasar Asma alay.

***

"Kenapa tante ingin bertemu dengan saya?" tanya Azhar kepada seorang wanita bergaya elegan yang sedang menyeruput kopi hangatnya.

Vina meletakkan cangkir kopinya. "Kamu buru-buru banget, sih, Azhar. Nggak mau pesan minum dulu?" alih Vina kepada Azhar yang sepertinya sudah ingin pergi saja dari sana padahal baru sampai.

Tidak ada tanggapan dari Azhar hanya raut datar yang tampak dari pria itu.

Vina tersenyum tipis. "Saya ingin membahas tentang keponakan saya, Arini," ujar Vina membuka topik utama mereka.

Azhar menoleh dengan raut bingung. "Memangnya ada hubungan apa saya dengan keponakan tante, sampai saya harus ikut membicarakannya?" tanya Azhar sedikit sarkas.

Sebenarnya Azhar sudah tahu dalang dari sikap Arini yang akhir-akhir ini sangat berani terhadapnya adalah karena bibi dari sahabatnya juga, Gilang.

Vina terkekeh. "Kamu lupa? Dulu kamu pernah menawarkan bahkan menjanjikan sebuah pernikahan kepada Arini," jelas Vina kepada pria dihadapannya.

"Lalu?" lanjut Azhar ingin lebih mengorek mengenai tujuan perempuan itu.

"Saya ingin kamu menepatinya untuk menikahi Arini!" terang Vina dengan jelas. Hanya itu yang dia inginkan agar keponakan kesayangannya itu bahagia.

Azhar tertawa sarkas. "Apa tante sedang mengajak saya bercanda?" ucapnya dengan nada benar-benar tidak percaya akan apa yang diinginkan wanita dihadapannya.

"Jika saja tante lupa, saya sudah memiliki seorang istri sekarang," lanjut Azhar.

"Saya cukup tahu tentang itu. Tapi, bagi Arini, sepertinya tidak masalah untuk menjadi istri kedua kamu."

Benar-benar diluar batas kewajaran bagi Azhar permintaan itu.

"Jangan buat dia menjadi wanita berpikiran picik seperti itu! Arini tidak seperti itu sebelumnya," tegas Azhar. Sepertinya, Arini salah menumpukan sandaran hidupnya pada bibinya itu.

"Kamu yang membuatnya menjadi orang seperti itu. Bukan saya!" bantah Vina.

"Tapi dia yang meninggalkan saya, asal tante tahu!" Azhar hampir menghabiskan stok kesabarannya.

"Dia punya alasan Azhar!" timpal Vina dengan nada sedikit meninggi.

Azhar menghela napas menetralkan emosinya. "Tapi semuanya sudah terlambat. Kita memang tidak berjodoh," ucap Azhar mencoba memberi pengertian kepada Vina yang keras kepala.

"Pikirkan baik-baik, Azhar. Arini punya alasan meninggalkanmu. Tolong beri kesempatan untuk Arini," ujar Vina.

"Maaf, saya harus kembali ke kantor," pamit Azhar tidak ingin berlanjut pada pembicaraan yang justru membuatnya malah ragu. "Assalamu'alaikum," Setelahnya Azhar melangkahkan kakinya keluar dari cafe minimalis tersebut.

"Dasar munafik!" ujar Vina lalu menyeruput kembali kopinya.

***

"Halo, Arini," sapa Danu kepada Arini ketika mereka berpapasan di ruang meeting. Kecanggungan masih terselip di antara mereka, karena ucapan Danu malam itu.

Arini mengangguk. "Iya, Pak," Setelahnya Arini duduk di kursinya, memfokuskan matanya dan jarinya kepada berkas untuk meeting sekarang.

"Canggung banget, nih. Pada kemana orang-orang," gumam Danu.

Di ruangan itu hanya ada tiga orang, dengan satu orang sedang duduk di ujung mengantuk, Pak Budi.

Tidak lama setelah gumaman gelisah Danu, pintu ruangan tersebut terbuka menampilkan Azhar dengan wajah sangat suram. Kemudian diikuti beberapa anggota meeting lainnya. Bisa berabe jika mereka terlambat, habis disemprot Azhar.

"Sudah siap, kan?" tanya Azhar kepada Arini, karena memang jadwal meeting ditangani oleh perempuan itu.

Arini mengangguk, matanya tak luput memerhatikan raut suram Azhar.

Apa Azhar bertengkar dengan istrinya? Apa Azhar sedang kesal dengan istrinya atau ada masalah keluarga?

Astagfirullah

Arini buru-buru menghilangkan praduga yang bisa saja menjadi do'a itu. Walaupun Arini berani menyatakan harapannya pada Azhar, tetapi dia tidak sampai mendoakan kehancuran rumah tangga pria itu.

Meeting berjalan lancar, walaupun dalam kegiatan itu sikap srigala Azhar keluar. Ada sekitar tiga orang yang kena semprot Azhar hanya karena melupakan beberapa berkas.

"Lo lagi ada masalah?" tanya Danu. Dia menyempatkan diri menemui Azhar di ruangan pria itu.

Azhar menggeleng dengan jari-jari masih sibuk mengetik. "Nggak ada masalah apa-apa," bantah Azhar mengacuhkan Danu.

"Dusta banget!" kekeh Danu. "Ya, udah, tenangkan pikiran lo dulu. Gue pamit." Setelahnya Danu keluar dan tepat di depan ruangan Azhar, dia berpapasan dengan Arini yang membawa beberapa map.

"Mau ketemu si bos?" tanya Danu.

Arini mengangguk. "Iya, mau ngasih berkas sama tinjauan meeting tadi," jawab Arini. Dia malas bertemu Danu, karena belum terbiasa dengan tatapan mengawasi dari pria itu. Terlebih setelah obrolan sensitif mereka kemarin.

Danu mengangguk menyilakan perempuan itu masuk.

"Semoga bukan karena Arini," lirih Danu setelah Arini masuk ke dalam ruangan Azhar.

-0-0-0-

"Ini berkas yang sudah saya revisi, Pak," ucap Arini menyerahkan beberapa berkas.

"Apa alasan kamu meninggalkan saya waktu itu?" Pertanyaan tak terduga terlontar dari Azhar cukup membuat Arini termangu di tempat.

"Maksud bapak apa?" ulang Arini tidak paham atau memang takut menerka apakah ini bahasan pribadi antara mereka.

"Apa alasan kamu pergi lima tahun lalu?" ulang Azhar lebih tepat sasaran mengenai awal kerenggangan hubungan mereka. Tepatnya lima tahun lalu.

"Kenapa kamu baru menanyakannya sekarang, Mas?"

***

Update gaiss

Masih ada yang nunggu, kah? Lama banget ya saya up nya✌😁

Btw, jangan lupa vote and komen ya gaiss. Harus komen pokoknya, aku suka liat komenannya kayak ngerasa cerita aku ada yang baca🥺

See you next chap, insyaa Allah😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro