37. Remove

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arini menatap harap kepada lelaki di hadapannya, pegangan pada map di tangannya semakin mengerat. Dia berharap lelaki itu akan kembali membuka hati setelah mendengar penjelasannya.

"Saya hanya ingin tahu alasan yang sampai membuatmu menjadi senekat ini," lanjut Azhar yang jelas dapat mengubah sorot harap Arini menjadi terganti kabut kecewa. Ya, dia kecewa. Ternyata dugaannya salah.

"Saya juga berharap, setelah kamu menjelaskan apapun alasanmu lima tahun lalu, kamu bisa berhenti sampai disini," tegas Azhar. "Saya bukan lagi Azhar yang menunggu Arini lima tahun lalu, karena sekarang saya sudah punya kebahagiaan sendiri," lanjutnya membungkam Arini.

"Jadi, bukan karena kamu akan memberiku kesempatan kedua?" ucap Arini dengan tawa kecut, dia jelas-jelas kecewa.

"Maaf, ada hati yang harus saya jaga sekarang," lirih Azhar, tapi masih terdengar oleh Arini yang semakin menyayat hatinya. Sudah sedalam itu rupanya diri istrinya di hati Azhar?

Arini mengusap air matanya yang tanpa pamit keluar begitu saja. Dia tampak begitu menyedihkan sekarang.

"Lalu, untuk apa kamu ingin tahu alasannya? Untuk menertawakanku yang dengan bodohnya masih mengharapkanmu?" todong Arini pada Azhar, sepertinya apapun alasannya pria itu sekedar hanya ingin tahu.

"Saya tidak pernah menyuruhmu berharap, Arini! Jangan menyakiti diri sendiri," ujar Azhar.

"Aku mencintaimu, Mas! Bahkan sampai membuatku hampir gila!" Emosi Arini menyulut cepat.

"Berhenti, saya mohon berhenti, Arini!" pinta Azhar dengan lembut, tapi bermakna sebuah perintah tegas. Bukan menyuruh perempuan itu berhenti menangis, melainkan menyuruhnya berhenti dari semua harapan gilanya.

Arini tertawa diselang tangisannya. Tubuhnya berbalik meninggalkan pria yang jelas-jelas sudah menutup pintu hatinya untuknya. Apakah sudah seharusnya dia berhenti sekarang? Apakah bisa?

***

Danu berjalan ke arah pantry kantor, rencana lembur hari ini membuatnya pusing. Azhar hanya sampai sore di kantor, maka dari itu tugasnya bertambah dua kali lipat sampai waktu lembur selesai.

"Untung gaji dari si Pak Bos gede, kalo nggak mana mau gue jadi kuncen kantor kayak gini," celoteh Danu melangkah menuju meja pantry yang hanya berjarak lima meter lagi.

Langkah Danu terhenti ketika mendegar sayup-sayup suara tangisan perempuan. Bulu kuduknya berdiri, pasalnya sekarang sudah akan memasuki waktu maghrib.

"Kalo gue lari keliatan banget penakutnya." Sebenarnya Danu sudah ancang-ancang berbalik untuk kabur. Namun, tangisan itu sepertinya pernah dia dengar. Ya, dia pernah mendengarnya.

Langkah Danu berlanjut pasti dengan hati-hati. Dia mengintip di balik meja pantry, tempat sumber suara tadi.

"Arini?" panggil Danu menemukan seorang perempuan duduk memeluk lututnya dengan kepala menelungkup. Benar bukan, tangisan yang pernah dia dengar di hotel waktu itu.

Arini mendongak ketika sebuah suara memanggilnya. Dia salah, ternyata jam segini masih ada orang di kantor.

"Kenapa kamu menangis di sini?" tanya Danu. Mata merah dan wajah sembab Arini membuktikan kebenaran dugaannya.

Arini menggeleng sambil mengusap kasar air matanya. "Saya tidak menangis kok, Pak," sanggahnya dengan wajah menghindari tatapan Danu.

"Anak kecil pun tahu kalo kamu sedang menangis," ujar Danu.

Arini bangkit dari tempatnya berniat untuk pergi dari sana.

"Karena Azhar lagi?" tanya Danu membuat langkah Arini terhenti. Kenapa pria itu terlalu peka, sudah berapa kali dia kecolongan seperti ini.

Arini tidak menghiraukannya. Dia berniat untuk melajukan kakinya kembali.

"Saya benar, kan? Jika kamu melanjutkan kebodohan kamu ini, maka semakin banyak luka yang akan kamu dapatkan, Arini," ucap Danu menatap lurus tubuh yang membelakanginya.

"Sekarang saya menemukan kamu menangis di pantry, lama-lama saya bisa menemukan kamu menangis di tengah jalan." Entah sindiran atau candaan. Namun, hal itu membuat Arini berbalik dengan wajah kesal.

"Saya pastikan ini pertama dan terakhir kalinya Pak Danu melihat saya seperti ini!" ujar Arini dengan wajah kesal.

Danu terkekeh. "Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya melihat kamu menangis," aku Danu.

Arini mengerutkan keningnya. "Pak Danu menguntit saya?" tuduh Arini.

"Kerjaan saya banyak, nggak ada waktu buat menguntit orang," elak Danu. "Saya melihat dan mendengar perdebatan kamu dengan Azhar waktu itu di hotel," lanjut Danu. Dia adalah tipe pria yang blak-blakan dan terlampau jujur.

Melihat ekspresi terkejut Arini membuat Danu melanjutkan penjelasannya kembali. "Saya kebetulan lewat bukan sengaja menguping atau menguntit," terang Danu. Sebelum dia dituduh yang tidak-tidak tentunya.

"Jadi, Pak Danu sudah tahu semuanya?" tanya Arini. Pantas saja pria ini kukuh untuk membuatnya mundur.

Danu menyandarkan tubuhnya pada meja pantry, pembicaraan mereka kali pasti akan memasuki fase berat. Dia butuh relaksasi tubuh.

Danu menggeleng. "Tidak semuanya, tapi hanya bisa menyimpulkan tentang perasaan kamu dan Azhar saja," ucap Danu.

Arini tersenyum kecut. "Menurut Pak Danu, apa yang saya lakukan salah?" tanya Arini. Walaupun, dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan pria itu.

"Sangat salah! Apalagi ketika kamu dengan sengaja mengangkat telepon dari istrinya tanpa sepengetahuan Azhar." Danu melihatnya, ketika Arini tanpa sengaja menemukan ponsel Azhar dan malah mengangkat panggilan di ponsel pria itu saat itu. Tentu sangatlah salah.

Arini kali ini seperti diinterogasi. Pria ini ternyata sangat peka, bahkan terlampau peka. Kenapa tidak bekerja sebagai detektif di kepolisian saja?

"Terus apa yang harus saya lakukan sekarang?" Ungkapan yang sebenarnya adalah makna dari sebuah kepasrahan. Ya, Arini lelah berperang dengan otak dan hatinya.

"Berhenti!" Sebuah kata tegas. Terlihat sorot mata Danu tidak lagi ada gurauan, melainkan sebuah ketegasan.

Arini menatap mata pria itu, entah kenapa ada ketulusan di dalamnya. Namun, lagi-lagi dia harus berperang dengan keinginan hatinya.

***

"Tadi beli buku apa aja sama Shilla?" tanya Azhar mendudukkan tubuhnya tepat di samping Asma yang sibuk membaca sebuah buku.

"Buku ini!" ucap Asma masih fokus pada bukunya.

Azhar mendengus. Memang menghadapi ibu hamil harus punya stok kesabaran berkali-kali lipat.

"Aku juga tahu, Sayang. Maksudnya ini buku tentang apa?" tanya Azhar memperjelas.

Asma malah terkekeh, karena nada suaminya yang terdengar menahan kesal. Asma melebarkan bukunya sehingga judulnya bisa terbaca oleh suaminya. Panduan Kehamilan Muslimah

Azhar mengangguk mengerti. Memang akhir-akhir ini Asma sangat teliti tentang kehamilannya. Hampir tiga kali dalam seminggu, istrinya itu membeli buku tentang kehamilan ataupun beberapa tentang ilmu islam. Katanya, mumpung lagi mood.

"Kamu mau punya anak cowok atau cewek, Sayang?" tanya Azhar merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya. Dia ingin bermanja dengan Asma untuk menghilangkan kepenatan pekerjaan maupun tentang masalah masa lalunya. Hanya Asma yang selalu bisa mengembalikan keteduhan bagi dirinya.

Satu tangan Asma membelai lembut rambut suaminya. Sebenarnya yang manja bukan dirinya, malah Azhar yang semakin menjadi-jadi sikap manjanya.

"Aku segimana dikasihnya sama Allah aja, Mas. Asal sehat dan lancar saja," jawab Asma sembari meletakkan buku di tangannya ke atas nakas.

Azhar mengubah posisi kepalanya menjadi menghadap perut istrinya. "Mama kamu makin bijak, ya, Sayang. Papa jadi makin sayang, deh," ujar Azhar berbicara tepat di depan perut Asma.

Asma terkekeh lucu atas perilaku menggemaskan suaminya. "Sebelum hamil aku nggak bijak?" tanya Asma dengan tangan masih mengusap lembut kepala Azhar.

"Kebanyakan manjanya kalo waktu itu," kekeh Azhar.

"Sekarang, kan manjanya pindah ke kamu," sindir Asma membuat Azhar mendongak menatap wajah cantik istrinya yang juga tengah menatapnya

"Sayang," panggil Azhar dengan panggilan yang akhir-akhir ini sering Azhar lontarkan untuk istrinya.

"Apa?" sahut Asma.

"Apapun nanti yang terjadi, jangan pernah tinggalin aku, ya?" Bukan candaan, melainkan sebuah permintaan tulus seorang Azhar kepada sosok wanita yang telah mengisi hatinya sepenuhnya.

Dahi Asma mengerut. "Kenapa juga aku harus tinggalin kamu, Mas," ujar Asma merasa aneh dengan obrolan Azhar saat ini.

"Pokoknya, sekarang dan sampai kapan pun aku sayangnya cuma kamu!" ujar Azhar lagi.

Asma malah tergelak. "Ya Allah, lucu banget, sih." Asma mencubit pipi suaminya. "Iya-Iya tau, kok. Nanti awas aja ya, kalo aku gendutan kamu lirik-lirik cewek lain!" ancam Asma dengan kekehan.

Azhar menggeleng. "Nggak akan! Kamu mau gendut atau nggak tetep cantik, kok," ucap Azhar dengan mengedipkan sebelah matanya.

"Minggir, Mas! Aku mau tidur." Asma harus menghentikan kekonyolan suaminya yang semakin parah, lagipula malam semakin larut juga.

"Yah, kok gitu? Aku pengen tidurnya di pangkuan kamu, Sayang," protes Azhar masih menidurkan kepalanya di pangkuan istrinya.

"Pegel, Mas!" aku Asma, tidak tahu saja sejak tadi dia menahan kesemutan.

Azhar menyingkirkan kepalanya dan membawa kepala Asma agar bersandar pada dada bidangnya. "Besok mau kemana?" tanya Azhar, karena besok adalah tanggal merah. Walaupun di hari biasa pun dia bisa libur tanpa hambatan sebenarnya.

"Ohiya, ya. Besok, kan tanggal merah," celoteh Asma sembari memainkan kancing piyama suaminya. "Ke Bandung kejauhan. Mbak Ismi juga belum balik," gumam Asma, tapi masih terdengar oleh suaminya. Gumaman lucu itu membuat Azhar terkekeh.

"Menurut kamu kita enaknya kemana?" Asma balik bertanya kepada Azhar.

"Beli perlengkapan bayi?" saran Azhar ragu.

"Masih lama, Mas. Perut aku aja masih rata gini," kekeh Asma. Dia saja belum tahu jenis kelamin calon buah hatinya.

"Main ke rumah Mama aja gimana? Katanya Mama kangen banget sama menantu kesayangannya ini." Azhar baru teringat pesan ibunya yang sudah jauh-jauh hari menyuruhnya untuk berkunjung.

"Tapi, aku nggak persiapan bawa apa-apa," keluh Asma. Tidak mungkin dia hanya membawa tangan kosong ke rumah mertuanya.

"Kita beli aja di jalan. Gitu aja ribet, Yang." Setelahnya Azhar mengecup pelipis istrinya dan mendekap tubuh istrinya dengan erat. Memejamkan matanya dan mulai memasuki alam bawah sadar.

"Good night, Sayang." Asma mengecup pipi Azhar ketika merasakan deru napas Azhar sudah teratur. Dia hanya berani melakukan itu ketika suaminya sudah terlelap. Bisa malu jika ketahuan suaminya.

Tanpa diketahui oleh Asma, diam-diam Azhar tersenyum manis masih dengan posisi mata terpejam. Dia sangat menyukai tindakan manis Asma barusan yang suka dilakukan diam-diam. Padahal, terang-terangan pun tidak akan Azhar larang.

***

Apa kabar kalian? Gimana shaumnya?
Masih nunggu nggak nih😁

Maaf ya baru update huhu

Jangan lupa vote and komennya yawww biar aku bisa repost terus buat nemenin nunggu buka🤗

See you next chap insyaa Allah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro